Posts

Dibuai Narasi Negeri nan Kaya—Catatan Perjalanan ke Ujung Indonesia

Oleh Aryanto Wijaya

Usiaku 21 tahun ketika aku menginjakkan kakiku sebagai seorang backpacker selama satu bulan penuh menjelajahi Sumatra. Buatku yang lahir dan besar di Jawa, pulau besar di sebelah barat negeri ini menyajikan pengalaman yang sama sekali berbeda, yang membuat jantungku berdegup kencang sekaligus bibirku tersenyum sumringah akan keindahan alamnya juga keramahan orangnya.

Perjalananku dimulai dengan menaiki pesawat ke Kualanamu, Medan. Dari sini, aku dan temanku—seorang bule Jerman yang mengajakku ikut backpackeran—melanjutkan perjalanan lewat jalur darat. Tiga hari di Medan, tiga hari di Bahorok, kami lalu bertolak menuju Banda Aceh sampai titik nol Indonesia di Sabang dengan naik bus umum dan ferry. Setelah seminggu di Aceh, kami turun ke sisi selatan Sumatra dengan tujuan utama: Padang dan Bukittinggi. Tapi, alih-alih melewati jalan utama dari Aceh yang melewati Medan, kami melewati jalur tengah yang membelah pegunungan Gayo-Luwes sampai nanti kami tiba di Parapat, Sumatra Utara.

Jalanan membelah pegunungan Leuseur ini tidak semulus jalan antar-provinsi di Jawa yang ramai penduduk. Dari Banda Aceh sampai ke Kutacane kami membutuhkan waktu perjalanan tiga malam dengan rincian satu malam wajib transit di Takengon, dan semalam lagi di Kutacane karena tidak ada angkutan yang beroperasi di malam hari. Angkutan antar-kotanya pun tidak seperti travel Bandung-Jakarta yang bisa dengan mudah kita pesan online dengan mobil anyar. Angkutan yang kami naiki adalah mobil L-300 dengan AC alami dari angin semilir.

Jalan belum beraspal yang menghubungkan kabupaten-kabupaten di Aceh Tengah

Menepi sejenak di tepian Danau Lut Tawar, Takengon. Di tiap-tiap kota jika tidak berjalan kaki, kami menyewa motor atau kadang dipinjamkan oleh warga yang berbaik hati.

Pengalaman menarik yang membuat jantung was-was kualami ketika mobil yang kami tumpangi melewati perbatasan provinsi. Di sebuah pasar, naiklah seorang ibu dengan anaknya yang tampaknya masih balita. Ibu ini membawa serta ember besar dengan tas dari anyaman bambu. Di ember itu tampak hasil bumi berupa sayuran.

“Mau ke mana, Dek?” tanya si ibu yang mendapat duduk di sebelahku. Kami duduk di bagian paling belakang karena semua kursi di depan sudah penuh.

“Ke Siantar, Bu,” jawabku.

“Sudah pernah ke daerah sini?” dia bertanya lagi sambil melempar senyum. Aku tak menaruh curiga apa pun, toh dia tampak seperti ibu-ibu biasa. Lagipula, pertanyaan seperti ini sudah sering kudapat sepanjang perjalanan backpakceran. Penampilan seorang anak muda kurus dengan ransel yang lebih tebal daripada badannya memang mengundang pertanyaan bagi warga di desa-desa yang kusambangi.

“Hehe…iya Bu, ini baru pertama ke Aceh…” Aku tak berniat untuk melanjutkan obrolan karena jalanan rusak membuat mobil kami seperti dikocok-kocok. Mual. Jadi, aku pun tertidur.

Kira-kira tiga jam kemudian aku terbangun dengan kondisi mobil telah berhenti. Kutanya ke penumpang lain di depan ada apa, dijawabnya kalau ada pemeriksaan kendaraan sebelum masuk ke provinsi Sumatra Utara. Seraya kami turun, beberapa orang tanpa seragam yang belakangan kutahu itu polisi menghampiri mobil kami dan melakukan penggeledahan.

Awalnya suasana tenang-tenang saja, tapi mendadak riuh ketika ibu yang sedianya duduk di sebelahku berteriak keras dan meronta. Dia berusaha lari, tapi tangannya dipegang erat.

Saat barang-barang kami digeledah, rupanya di balik sayuran yang tampak di ember ibu itu tersimpan ganja.

“Gila…” aku membatin. Belum pernah kulihat rupa asli tanaman itu, sekaligus juga melihat bagaimana seorang ibu diringkus oleh aparat.

“Kenal ibu ini? Tadi naik dari mana dia? Kamu juga naik dari mana dan mau ke mana?” Polisi turut menginterogasiku. Dilihatnya KTP-ku, juga semua penumpang lain ikut diperiksa kalau-kalau ada kaitannya dengan si ibu. Ransel besarku ikut dibongkar, kalau-kalau aku ikut membawa barang terlarang itu. Dalam hati aku was-was. Kalau saja ibu itu berniat buruk, bisa jadi saat aku tidur dia diam-diam menyelipkan sejumput barang itu ke kantong celana cargo atau tasku. Tapi, syukurlah itu tak terjadi. Di ranselku, celanaku, juga di semua barang penumpang lainnya tak ditemukan ada kejanggalan. Setelah dua jam menanti, kami pun dibolehkan melanjutkan perjalanan.

Suasana di dalam mobil yang awalnya hening menjadi riuh oleh obrolan seputar ibu tadi.

Supir membuka diskusi, “Gila itu ibu… bawa ganja kok siang-siang demi duit yang gak seberapa.”

“Memang dia itu naik dari mana?” sahut penumpang yang lain.

“Tadi kudengar dia itu dari Blangkejeren. Disuruh bawa itu barang ke Medan. Katanya nanti dikasihlah duit 10 juta, tapi baru 2 juta yang dikasih.”

“Blangkejeren”… aku ingat nama tempat ini. Itu adalah kota yang kulewati dalam perjalananku dari Takengon ke Kutacane. Kota ini kecil dan aksesnya sulit karena terkepung pegunungan. Meskipun mungkin secara potensi alam kaya, tetapi statistik menunjukkan bahwa orang-orang di sana hidup dalam kemiskinan. Tahun 2021 pendapatan per kapita rata-rata orang di sana hanya berkisar 438 ribu per bulan, menjadikannya sebagai kabupaten termiskin kedua di Provinsi Aceh.

Masalah yang kita semua punya andil di dalamnya

Pengalaman di Sumatra itu membuatku merenung lebih jauh. Ketika Indonesia telah memasuki usia ke-77 tahun, tak semua warganya menikmati kehidupan yang layak. Meskipun tiap daerah punya problemnya sendiri-sendiri, kurasa aku yang sehari-harinya hidup di kota besar di Jawa mungkin lebih beruntung karena akses infrastruktur yang lengkap dan ketersediaan lapangan kerja relatif lebih mudah. Tak dipungkiri bahwa sejak kita merdeka, negeri ini belum memaksimalkan potensinya. Pembangunan masih bersifat Jawa-sentris meskipun sudah mulai ada gebrakan pemerataan pembangunan sejak era reformasi. Belum lagi masalah-masalah domestik lainnya seperti intoleransi, pelanggaran HAM, korupsi, juga krisis lingkungan yang semakin hari dapat semakin parah.

Bicara soal kemiskinan, fenomena ini sejatinya bukanlah hal baru dan mungkin pula terkesan utopis untuk mengenyahkannya seratus persen dari muka bumi. Tetapi, Yesus memberi kita teladan menarik. Ketika Dia berada di Betania, datanglah seorang perempuan yang mengurapi-Nya dengan minyak. Melihat tindakan wanita itu, para murid pun gusar. Mereka bilang, “Untuk apa pemborosan ini? Sebab minyak itu dapat dijual dengan mahal dan uangnya dapat diberikan kepada orang-orang miskin” (Matius 26:8-9).

Yesus pun merespons, “Mengapa kamu menyusahkan perempuan ini? Sebab ia telah melakukan suatu perbuatan yang baik pada-Ku. Karena orang-orang miskin selalu ada padamu, tetapi Aku tidak akan selalu bersama-sama kamu.” (ayat 10-11).

Sang perempuan yang meminyaki Yesus bukanlah seorang yang dianggap terhormat pada masa itu. Dia bukan Yahudi, dan beberapa tafsiran juga mengungkapkan mungkin perempuan itu adalah perempuan sundal. Tetapi, dia memberikan penghormatan pada Yesus dengan mengurapi-Nya dengan minyak narwastu yang mahal.

Yesus menerima tindakan perempuan itu dan dengan tegas menekankan pada para murid bahwa orang-orang miskin akan selalu ada bersama mereka. Artinya, sepanjang kehidupan ini kita para murid akan senantiasa berjumpa dengan orang-orang miskin, yang teraniaya. Dan, di sinilah panggilan mulia itu diberikan bagi kita bahwa jika kita menolong dan berbaik hati pada seorang yang dianggap dunia paling hina, kita melakukannya untuk Tuhan (Matius 25:40).

Lebih lanjut lagi, Yesus datang ke dunia untuk menggenapi apa yang Yesaya nubuatkan, “…untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin… memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” (Lukas 4:18-19).

Panggilan untuk melayani mereka yang paling hina masih dan terus berlaku bagi setiap pengikut Kristus sampai kepada hari ini.

Aku tahu mengentaskan kemiskinan dan penderitaan tidaklah mudah dan instan, itu adalah perjuangan yang harus selalu kita upayakan sampai kedatangan-Nya yang kedua. Pada banyak kasus, kemiskinan dan penderitaan ini muncul akibat dari masalah kompleks yang saling berkelindan, atau sederhananya: kekacauan struktural—pemerintahan yang korup, warga yang tak terudaksi dan terampil, akses infrastruktur juga pendidikan yang sulit, timpangnya kesenjangan sosial, hingga posisi geografis. Tetapi, percayalah satu tindakan kecil kita yang bisa kita mulai dengan mendoakan, akan memberi dampak.

Dalam doa-doa kita izinkanlah Tuhan menggerakkan hati kita untuk bertindak. Kita mungkin tak bisa menolong langsung seseorang yang tak berdaya dengan memberinya segepok uang, seperti aku yang tak berdaya bagaimana menolong si ibu di sebelahku yang diringkus polisi. Kita bisa memulainya dengan belajar peka: siapa orang di sekitar kita yang Tuhan letakkan namanya di hati kita untuk kita tolong? Jika memungkinkan, kita bisa menjangkaunya dengan bertanya apa yang jadi kebutuhannya dan memberi pertolongan sesuai kemampuan kita. Atau, kita juga dapat mempertimbangkan untuk memberi lewat lembaga-lembaga yang kredibel yang tak cuma memberi, tetapi mengupayakan empowerement agar masyarakat yang rentan dapat lebih berdaya. Semua tindakan ini meskipun tidak memberi dampak dramatis adalah upaya yang berguna, ibarat menyalakan lilin di tengah kegelapan, alih-alih hanya mengutukinya.

Meskipun statistik mengatakan Indonesia sekarang telah menjadi lebih makmur daripada di masa lampau, tetapi tetaplah ingat bahwa di balik statistik itu ada orang-orang yang berjuang untuk dapat hidup dengan layak. Dan sebagaimana Kristus memanggil kita, kita punya andil dalam kesejahteraan negeri ini.

Kiranya Tuhan memberkati Indonesia, negeri kita yang amat luas ini.

Dirgahayu!