Posts

Menghadapi Sisi Gelap Pelayanan dalam Terang Tuhan

Oleh Jefferson

“Sampai kapan aku bisa dibilang ‘cukup’ melayani supaya aku bisa berhenti dari pelayanan?”

Pertanyaan di atas terngiang-ngiang dalam benakku sepanjang bulan lalu. Kala itu, aku mengalami serangan depresi bertubi-tubi setelah mengerjakan berbagai pelayanan untuk beberapa minggu berturut-turut. Sebagai contoh, di periode yang tersibuk, aku pernah mengajar di Sekolah Minggu dan ibadah remaja berselang-seling selama empat minggu berurutan. Di sela-selanya juga ada persekutuan kelompok kecil dan berbagai rapat kepengurusan pelayanan lainnya.

Seharusnya aku sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini. Waktu istirahatku sudah cukup. Aku bersaat teduh, berdoa, dan membaca Alkitab dengan rutin setiap hari. Setiap minggu, aku merasakan dan menikmati hadirat Tuhan dalam persekutuan doa bersama teman sekos dan dalam ibadah bersama di gereja. Aku juga tidak lalai dalam bersekutu dengan saudara/i seiman lainnya.

Jadi, mengapa rasanya aku sedang mengalami kekalahan terhadap depresi, apalagi ketika memikirkan akan kembali melayani untuk beberapa minggu berturut-turut? Di malam hari sepulangnya aku dari kantor, bukannya melakukan persiapan pelayanan, aku malah lebih sering bersantai sambil browsing, membaca komik, atau menonton serial TV dan video hingga waktunya tidur. Aku jadi lebih rentan terhadap godaan sehingga belakangan ini aku sering jatuh dalam dosa, terutama kemalasan dan hawa nafsu.

Penunjukan ilahi (divine appointment) di tengah pergumulan

Ajaibnya, di tengah-tengah kesibukanku melayani, bekerja, dan bergumul dengan depresi, Tuhan dalam kasih kemurahan-Nya masih memberikanku waktu rehat yang berharga untuk merenungkan topik ini serta membagikannya dalam tulisan. Kehendak-Nya terlihat sangat jelas bagiku, karena ketika aku memulai tulisan ini pada suatu hari Sabtu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Tuhan benar-benar “mengisolasi”-ku dari dunia luar untuk mendengarkan dan bergumul dengan-Nya.

Divine appointment ini tidak dapat terlihat lebih jelas lagi, terutama dengan datangnya kabar duka dari AS tentang seorang pendeta bernama Jarrid Wilson yang mengambil nyawanya sendiri. Usut punya usut, beliau memang bergumul dengan depresi, dan pada malam ia mengakhiri hidupnya, beliau baru saja memimpin upacara pemakaman seseorang yang meninggal karena bunuh diri. Kita tidak tahu persis mengapa beliau bertindak demikian, tapi kita dapat mencurigai depresi sebagai salah satu faktor penyebab utama tindakannya.

Didorong oleh kehendak Tuhan yang sangat jelas, berikut adalah pelajaran-pelajaran yang kudapat hingga kini dari pergumulanku dengan depresi. Tulisan kali ini mengulas lebih banyak poin dari biasanya karena aku ingin merangkum sebanyak mungkin kebenaran dan aplikasi praktis yang kuharap dapat berguna untukmu. Dengan kata lain, fokusku adalah lebaran cakupan pembahasan dengan harapan dan keyakinan bahwa Tuhan akan memakai pengalamanku untuk menguatkanmu menghadapi sisi gelap pelayanan dalam terang-Nya.

#1. Depresi tidak pandang bulu

Walaupun ini terdengar sepele, ironisnya kebenaran inilah yang paling sering kita lupakan. Ketika mendengar berita duka di atas, mungkin reaksi pertama dari kebanyakan kita adalah, “Kok bisa, padahal dia pendeta?” Kita lupa bahwa depresi dapat menyerang siapapun, termasuk dan terutama para pemimpin di gereja. Tekanan pelayanan yang mereka hadapi dan ketiadaan orang yang dapat mereka curhati (mengingat natur panggilan mereka yang unik) dapat membuat para pendeta lebih rentan terhadap serangan depresi.

#2. Depresi adalah sebuah realita kehidupan yang biasa

Di satu sisi, karena depresi dapat menyerang siapapun, depresi adalah hal yang normal dalam kehidupan. Adalah lumrah bagi kita untuk mengalami depresi ketika kita sedang mengalami kesibukan di kantor, hambatan pelayanan di gereja, konflik dengan anggota keluarga, dlsb. Kalau kamu diserang depresi, jangan merasa aneh seolah-olah depresi bukan hal yang biasa kita hadapi (1 Kor. 10:13a). Meskipun begitu, di sisi yang lain…

#3. Depresi harus dihadapi dengan serius

…kita juga harus memahami kalau depresi adalah hal serius yang harus dihadapi dengan serius pula. Tidak sedikit orang yang meninggal karena depresi. Menurut data World Health Organisation tahun 2018, serangan depresi dialami >300 juta penduduk dunia dan dikaitkan dengan tingginya jumlah kasus bunuh diri tahunan secara global (~800.000). Ketika mengetahui rumah kita sedang terbakar, siapa dari kita yang tidak akan langsung menghubungi pemadam kebakaran untuk memadamkan api?

#4. Depresi adalah salah satu panah api favorit si Musuh

Pelayanan adalah sebuah peperangan rohani di mana Tuhan meruntuhkan segala bentuk keangkuhan manusia dan menyatakan kemuliaan-Nya sehingga makin banyak orang dapat mengenal dan menikmati Dia (2 Kor. 10:5). Mengetahui tujuan pelayanan ini, Iblis tidak tinggal diam dan terus menghujani kita dengan panah-panah apinya (Ef. 6:16). Dan, kalau kamu perhatikan dengan seksama, biasanya jajaran pemimpin yang disasar duluan.

Pernahkah kamu memikirkan kenapa banyak orang tidak mau melayani, terutama sebagai pemimpin? Karena kepemimpinan identik dengan tanggung jawab yang besar, rasa stres, dan depresi. Semakin banyak pemimpin yang terkena depresi dan akhirnya meninggalkan pelayanan, semakin senang si Musuh. Seperti menjatuhkan dua burung dengan satu batu, pekerjaan Tuhan terhenti karena ketiadaan pemimpin yang meninggalkan pelayanan karena depresi, sementara pekerja Tuhan yang lain dibuat ragu/takut untuk melayani.

Tuhan Yesus sangat memahami natur medan peperangan ini dan memberikan kita satu alasan yang kutemukan cukup untuk membantuku bangkit dari depresi serta terus maju melayani di garis depan.

#5. Kristus menjanjikan penyertaan dalam pelayanan dan depresi, bukan kebebasan dari mereka

Matius 11:28-30 sering dikutip karena penekanannya akan ketenteraman dan kedamaian yang hanya dapat kita temukan dalam Tuhan Yesus. Menurutku penekanan ini tidak salah, tapi juga tidak lengkap. Maksud sesungguhnya dari bagian ini adalah sebuah panggilan, bukan untuk beristirahat, tetapi untuk bekerja bersama Kristus di ladang Tuhan.

“Jadi, ujung-ujungnya pelayanan?” Ya, tapi bukan pelayanan yang kita lakukan sendiri, tetapi bersama Kristus sambil belajar pada-Nya. Dalam panggilan-Nya ini, kita mengikuti Yesus yang lemah lembut dan rendah hati mengerjakan berbagai macam tanah, dari yang lembut sampai yang keras dan tandus. Tuhan Yesus tidak pernah berjanji kita tidak akan menghadapi kesulitan sama sekali dalam mengikuti-Nya, tetapi Dia berjanji untuk terus menyertai dan memimpin kita melewati semuanya itu (11:29). Dan karena mengetahui Yesus yang menuntun dan mengajar kita untuk memikul kuk yang Ia pasang, Ia yang telah mati dan bangkit karena kasih-Nya untuk kita, kita dapat memikul kuk itu dengan tenang dan yakin. Itulah “istirahat” yang sesungguhnya Tuhan janjikan: bukan dari ketiadaan pelayanan, melainkan dari ketergantungan pada diri sendiri untuk memikul beban pelayanan.

#6. Disiplin rohani pribadi sangat penting dalam menghadapi depresi…

Bersaat teduh, berdoa, dan membaca Alkitab adalah beberapa sarana pribadi yang Tuhan berikan agar kita dapat terus menjaga hubungan pribadi dengan-Nya, sehingga ketika depresi menyerang, kita tidak menjadi tawar hati (2 Kor. 4:1). Bahkan setelah jatuh dan terus bergumul dalam depresi pun, disiplin rohani pribadi membantu kita untuk terus bertahan dalam Tuhan. Kamu dapat membaca pembahasanku lebih lengkap tentang poin ini di sini.

#7. …dan begitu juga komunitas orang percaya

Aku bersyukur beberapa minggu terakhir ini dapat berdiskusi dengan rekan-rekan dari berbagai pelayanan yang kukerjakan. Menariknya, semua diskusi itu membahas satu topik yang sama: kami, terutama yang berperan sebagai pemimpin, membutuhkan suatu wadah untuk bersekutu, membagikan suka duka pelayanan, dan “saling mendorong dalam kasih dan pekerjaan baik” (Ibr. 10:24). Ketiadaan wadah tersebut dapat membuat setiap pelayan merasa berjuang sendiri-sendiri sehingga jadi lebih rentan terhadap serangan depresi. Puji Tuhan, ke depannya kami berkomitmen untuk lebih sering memperhatikan satu sama lain. Apakah kamu juga sudah memiliki komunitas yang demikian?

#8. Utamakan istirahat dan Sabat di tengah-tengah pelayanan

Kalau memang kita sudah merasa sangat jenuh karena terus-terusan melayani, tidak ada salahnya mengistirahatkan diri dari pelayanan untuk beberapa saat. Kalaupun kita merasa tidak ada lagi waktu, kamu bisa berdoa kepada Tuhan untuk meminta waktu jeda dari pelayanan. Di sini kita harus sadar kalau Tuhan selalu menjawab doa sesuai dengan kehendak-Nya yang berdaulat. Meskipun doa kita mungkin dijawab-Nya dengan “tidak”, kita dapat beriman bahwa Tuhan sedang mengerjakan suatu kebaikan untuk kita (Rm. 8:28).

Ada kalanya ketika kita tidak mendoakan hal ini tetapi sedang dilemahkan oleh depresi, Tuhan sendiri yang mengosongkan jadwal kita agar kita dapat berdiam diri serta mengingat lagi siapa diri-Nya dan diri kita. Itulah yang terjadi padaku. Aku menulis sebagian besar isi tulisan ini ketika jadwalku dikosongkan Tuhan dari segala acara, rapat, pelayanan, dan persekutuan. Bahkan Ia menyibukkan semua teman kosku dengan acara mereka masing-masing sehingga aku benar-benar berdua dengan-Nya sepanjang malam. Kalau Ia tidak mengintervensi sejauh itu, aku yakin aku tidak akan bisa memproses pergumulanku sebagaimana mestinya dan membagikannya denganmu.

#9. Bandingkan alasanmu melayani dengan realita pelayananmu, kemudian kalibrasi ulang dengan kehendak Allah dari waktu ke waktu

Kita membicarakan depresi sejauh ini kebanyakan dari konteks eksternal. Melalui poin ini, aku ingin mengingatkan kalau depresi juga mungkin datang dari diri kita sendiri. Depresi bisa menyerang karena adanya ketidakselarasan antara alasan kita melayani dengan realita bagaimana kita melayani. Kita bisa mengklaim bahwa kita melayani karena Tuhan telah terlebih dahulu memberikan diri-Nya untuk melayani kita (Mrk. 10:45), tetapi sesungguhnya selama ini pelayanan kita hanyalah untuk memuaskan ego dan harga diri kita. Apa daya, semurni dan se-Alkitabiah apapun alasan kita melayani, natur dosa akan membuat kita melenceng dari tujuan yang seharusnya dari waktu ke waktu (Yer. 17:9). Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus mengkalibrasi ulang alasan kita melayani seturut dengan kehendak Tuhan. Kita pun berdoa mengikuti Daud, “Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!” (Mzm. 139:23-24).

#10. Teruslah beriman pada Tuhan, bahkan ketika kamu dibiarkan-Nya tetap bergumul dengan depresi

Mengenai panah-panah api yang dibahas di poin ke-4, Efesus 6:16 juga memperkenalkan kita kepada satu-satunya senjata yang dapat memadamkan semua panah itu, yaitu perisai iman. Perlu kita perhatikan bahwa di zaman Paulus, sekuat apapun sebuah perisai, pasti ada beberapa anak panah yang akan tetap tertancap di sana. Meskipun begitu, perisai iman disebut dapat “memadamkan semua panah api dari si jahat”. Walaupun ada anak panah yang tertancap di sana sini, api semuanya telah dipadamkan. Perisai itu telah menjalankan tugasnya untuk menjaga kita, maka kita terus maju tanpa gentar di medan peperangan rohani seperti Captain America yang maju melawan Thanos. Sebab kita hidup berdasarkan iman, bukan apa yang kita lihat (2 Kor. 5:7).

Satu perbedaan mencolok dari perisai iman kita dengan perisai Captain America adalah daya tahannya. Sekuat apapun vibranium, pada akhirnya pedang Thanos dapat membelah perisai tersebut. Hal itu tidak berlaku bagi perisai iman, karena ia terbuat dari anugrah Tuhan yang selalu tersedia dengan cukup bagi setiap orang percaya (Yoh. 1:16), bahkan di tengah kelemahan manusia (2 Kor. 12:9). Ketika kita memahami kebenaran ini, kita dimampukan untuk terus berserah kepada dan bertahan di dalam Yesus, bahkan ketika depresi terus menyerang kita tanpa ampun.

#11. Jadilah apa adanya di hadapan Tuhan dan sesama

Dalam realita kehidupan, aku pun sering melupakan kesepuluh poin di atas. Ya, aku bisa menulis tentang depresi dan pelayanan sejauh ini, tapi ketika depresi menyerang, aku akan langsung mundur ke zona nyamanku. Sebisa mungkin aku akan menghindari Alkitab dan materi pelayanan sepanjang minggu. Dan ketika pada akhirnya aku merasakan kesia-siaan dari upaya diriku sendiri untuk mengalahkan depresi, aku akan datang kepada Tuhan dan menceritakan keadaanku apa adanya. Perasaan depresi tidak langsung kemudian hilang, namun aku seperti mendapat energi baru untuk mempersiapkan pelayanan sedikit demi sedikit. Mengapa aku tetap datang kepada Tuhan walaupun sedang depresi? Karena aku tahu kasih-Nya kepadaku tak bersyarat, tidak peduli seberapa hancurnya aku oleh depresi dan buruknya aku dalam melayani (Rm. 5:5-11).

Keterbukaan ini juga harus kita jaga dengan saudara/i seiman yang mengenal kita dekat, karena kehadiran mereka dapat Tuhan pakai untuk memulihkan kita sedikit demi sedikit. Dalam kasusku, dalam persekutuan doa mingguan bersama teman-teman sekos, aku dapat membagikan pergumulanku dengan apa adanya dan dipulihkan oleh Tuhan di sana. Contoh lainnya adalah tulisan ini sendiri. Dalam mendeskripsikan keadaan dan dosa-dosaku ketika depresi menyerang, aku tidak menyembunyikan apapun, Tuhan sebagai saksiku. Bukannya aku ingin menyombongkan diri, tetapi aku ingin supaya kasih kemurahan Tuhan dinyatakan dalam aku yang lemah ini (2 Kor. 12:9b).

Menyelesaikan perlombaan sampai akhir

Depresi adalah salah satu pencobaan yang akan terus kita hadapi dalam melayani Tuhan, memberitakan Kabar Baik keselamatan dalam Yesus Kristus kepada mereka yang belum percaya. Sering kali Tuhan membiarkan depresi menjadi duri dalam daging kita supaya kita belajar untuk selalu bergantung pada-Nya (2 Kor. 12:9). Melayani berarti memberi diri terus dituntun Yesus dalam mengikuti-Nya dan mengerjakan pekerjaan-Nya yang agung dan ajaib, yang Ia persiapkan untuk kita sebelumnya (Ef. 2:10).

Akhir kata, marilah kita bertahan dan berjalan dengan teguh dalam terang Tuhan di tengah bayang-bayang sisi gelap pelayanan, mengingatkan diri dan sesama dari waktu ke waktu bahwa kita telah menerima kuasa dari Kristus untuk menjadi anak-anak Allah (Yoh. 1:12). Itulah bentuk nyata kita melatih tubuh kita dan menguasainya seluruhnya (1 Kor. 9:27) dalam mengikuti pertandingan untuk memperoleh mahkota yang abadi (1 Kor. 9:26).

Tuhan Yesus memberkati, soli Deo gloria.

Baca Juga:

Panggilan

Ada dua macam panggilan dalam hidup orang Kristen. Apakah itu?

Mengapa Film Joker Kali Ini Harus Kita Maknai dengan Serius?

Oleh Caleb Young
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why This Joker Should Be Taken Seriously
Gambar diambil dari Official Trailer

Joker, dibuat oleh Todd Philips dan dibintangi Joaquin Phoenix adalah film yang memicu banyak kritik dan komentar dari para penontonnya di seluruh dunia. Ada yang memuji performa maksimal Phoenix dalam menuturkan kisah saingan terberat Batman, namun ada pula yang menganggap film ini sebagai tayangan yang mengglorifikasi kekerasan dan membenarkan pembunuhan yang dilakukan oleh psikopat.

Saat menonton film Joker minggu ini, aku melihatnya sebagai sebuah film yang jauh lebih dalam dan rumit daripada kritik-kritik yang beredar. Film Joker ini pada beberapa bagiannya menceritakan betapa terbelahnya masyarakat kita, orang-orang yang bergulat dengan depresi, juga menunjukkan pada kita akan kehampaan dan ketidakberartian hidup yang mungkin juga dirasakan oleh kita. Film Joker menjadi semacam kisah peringatan yang bertutur tentang penjahat-penjahat yang bisa kita ciptakan ketika kasih, empati kepada sesama, dan kebenaran kita singkirkan dari kehidupan kita.

Apa yang Joker sesungguhnya bicarakan

Pada dasarnya, Joker adalah kisah awal dari sosok penjahat paling terkenal di serial DC Comic. Ada banyak versi lain dari sosok Joker yang dibintangi oleh Heath Ledger di film The Dark Knight yang menarik banyak perhatian.

Namun, inilah kali pertama Joker difilmkan tanpa kehadiran sosok Batman. Penulis ceritanya, Todd Philips dan Scott Silver menggunakan kesempatan ini untuk menciptakan gambaran tentang kehidupan Joker sesungguhnya—menunjukkan pada kita sesosok orang sakit mental seperti Arthur yang dapat berubah menjadi pembunuh kriminal.

Ada tiga tahapan yang kuamati tentang bagaimana Arthur bertransformasi menjadi Joker. Setiap tahapan ini memunculkan pertanyaan yang berbicara kepada kita hari ini.

1. Apakah kita punya andil dalam menciptakan penjahat?

Salah satu tema kunci dari film Joker adalah perpecahan dalam masyarakat dan kenyataan bahwa kita cenderung menjelek-jelekkan mereka yang tidak kita mengerti. Dalam kasus Arthur Fleck, film ini menunjukkan Arthur berdandan sebagai badut untuk mewujudkan mimpinya menjadi seorang komedian. Arthur bergumul dengan sakit mental yang kemungkinan besar didapatnya dari kekejaman yang diterimanya sewaktu kecil dan setiap leluconnya tidak diapresiasi di semua tempat pertunjukkan yang dia kunjungi.

Beberapa kali ditunjukkan di film, Arthur dirisak, baik secara verbal maupun fisik oleh orang-orang yang berasal dari beragam strata sosial, mulai dari sekelompok anak-anak, tiga profesional muda, hingga oleh seorang pembawa acara profesional yang diperankan oleh Robert de Niro. Setiap perlakuan buruk yang diterima Arthur mendorongnya untuk terluka lebih dalam.

Dalam kasus Arthur, pengalaman-pengalaman buruknya membawa dia kepada kekerasan. Cerita ini sejatinya tidaklah asing. Jika kita melihat berita internasional di televisi atau media sosial, kita mengetahui pernah ada penembakan massal yang terjadi di beberapa tempat di dunia. Film Joker menunjukkan fenomena nyata tersebut dan menantang para penontonnya untuk bertanya, apakah kita punya andil dalam menciptakan penjahat di dunia? Apakah empati dan pengertian kita yang kurang terhadap mereka yang berbeda dari kita mendorong kita untuk mengolok-ngolok atau merendahkan mereka? Atau, apakah kita seperti masyarakat kota Gotham yang yang tidak peduli terhadap perisakan yang terjadi di sekitar kita?

Buatku pribadi, sebagai seorang pengikut Yesus, apakah aku gagal menunjukkan kasih kepada orang-orang yang tak kukenal dan membiarkan mereka hidup tanpa kasih dan perasaan dihargai? Jika ada orang-orang yang sungguh peduli dalam kehidupan Arthur, mungkinkan dia tidak akan berubah menjadi Joker?

2. Apakah kita menyembunyikan pergumulan kita di balik kebahagiaan palsu?

Sebagai badut dan komedian, Arthur punya mimpi untuk membuat semua orang berbahagia, tapi dia mengakui kalau dia tidak pernah merasa bahagia satu hari pun dalam hidupnya. Arthur malah “menggunakan wajah bahagia” untuk menyembunyikan kesedihan yang dirasakannya.

Salah satu akibat dari penyakit mentalnya adalah Arthur bisa tertawa tak terkendali di situasi yang sebenarnya dia tidak ingin tertawa. Salah satu bagian yang menyayat hati adalah ketika Arthur di suatu malam terduduk di sofa. Dia tertawa histeris dan air matanya menetes, menunjukkan depresi yang telah sangat akut menyerangnya.

Penggambaran akan depresi ini begitu menantangku. Meskipun aku sendiri belum pernah merasakan depresi yang mendalam, aku terpikir berapa banyak orang-orang di sekitarku yang mencoba memasang wajah bahagia di balik pergumulan hebat yang mereka alami?

Apakah ada orang-orang, seperti Arthur, yang ingin membuat orang lain tertawa tapi dirinya sendiri tercabik oleh depresi? Apa yang bisa kulakukan atau kukatan supaya mereka tahu kalau ada seseorang yang sesungguhnya bersedia untuk berjalan bersama mereka? Atau, apakah aku terlau egois dengan waktu dan energiku sendiri alih-alih menolong mereka yang bergumul dengan depresi?

3. Apakah hidup ini sebuah tragedi, komedi, atau…?

Salah satu kutipan yang paling kuingat adalah ketika Arthur berubah menjadi sosok Joker si pembunuh. Dia berbicara kepada ibunya yang juga menderita sakit mental. Arthur berkata,”Aku pernah berpikir hidupku adalah sebuah tragedi. Tapi sekarang, aku menyadari hidupku adalah komedi.” Pemahaman ini menjadi tahap akhir yang mengubah Arthur menjadi Joker sepenuhnya.

Kutipan ini berbicara kepada budaya dan masyarakat kita saat ini. Ada banyak berita buruk dan hal-hal negatif tentang masa depan yang membuat kita merasa tak berdaya dan tak punya tujuan, seperti Joker yang pernah berpikir bahwa keseluruhan hidup kita dapat dilihat sebagai sebuah tragedi. Tapi, di sisi lain, mungkin kita lebih mudah melihat kehidupan sebagai komedi ketika kita menganggap kematian, kerusakan, dan kekacauan sebagai sesuatu yang layak ditertawakan.

Jika seandainya Arthur pernah melihat atau mengetahui bahwa ada cara lain untuk melihat eksistensi hidupnya di dunia. Bukan sebagai tragedi atau komedi, tetapi sebagai kisah kasih. Sebuah kisah kasih antara kita dengan Bapa Surgawi. Dalam Joker, tampak jelas bahwa Arthur Fleck, sama seperti kita, mencoba untuk dimengerti, dihargai, dan dikasihi oleh seseorang.

Bagian penting dalam film Joker adalah ketika Arthur mencari tahu ayah kandungnya dan berusaha mengerti mengapa dia ditinggalkan begitu saja. Ketika Arthur bertemu seseorang yang mungkin adalah ayah kandungnya, dia tidak menginginkan uang. Arthur hanya ingin sebuah pelukan. Jika seandainya Arthur mengetahui bahwa Bapa Surgawi, Seseorang yang selalu menantinya dengan tangan terbuka, mungkinkah kisah ini menjadi berbeda?

Ketika film Joker tidak menyajikan akhir yang bahagia, tidak demikian seharusnya dengan hidup kita. Joker adalah tantangan bagi kita orang percaya untuk memohon kepada Roh Kudus untuk membimbing kita kepada ‘Arthur Fleck-Arthur Fleck’ yang ada di dunia dan memberi tahu mereka bahwa kehidupan bukanlah sebuah tragedi ataupun komedi. Hidup ini adalah sebuah kisah kasih dan undanglah mereka untuk masuk ke dalam kisah tersebut.

Pergumulanku Melawan Pikiran-pikiran Negatif

Oleh Kim Cheung
Artikel asli dalam bahasa Inggris: My Daily Struggle Against Negative Thoughts

Aku pernah berada di suatu masa ketika emosiku seperti roller coaster. Emosiku bisa naik begitu tinggi dan terjatuh begitu kelam hanya dalam satu hari.

Di hari-hari biasa, ketika aku bangun disambut dengan mentari pagi yang cerah dan hangat, mood-ku pun bagus. Aku merasa hidupku keren dan cerah. Aku bahkan membeli sekuntum bunga untuk menghiasi kamarku. Namun, perasaan bahagia ini tidak bertahan lama. Di siang hari, aku merasa down dan menganggap hidupku tidak berarti dan melelahkan. Tanyakanlah padaku alasan mengapa aku bisa berubah drastis, aku sendiri pun tidak tahu jawabannya. Bisa jadi hanya karena hal kecil yang membuatku frustrasi, atau ketidakberdayaanku mengendalikan perasaan hari itu.

Perasaan yang berubah-ubah itu pernah aku alami hampir setiap hari. Perasaan dan pikiran negatif itu menghujaniku seperti badai, meninggalkanku lemah dan tak berdaya. Kupikir aku bisa begitu karena badanku lelah, jadi aku mencoba tidur lebih awal. Jika aku tidak bisa tidur, aku coba mengobrol dengan temanku. Tapi, obrolan itu bukannya menguatkan, malah membuatku dan temanku sama-sama merasa depresi.

Hal paling buruk yang terjadi akibat ketidakstabilan emosi ini adalah aku jadi sulit berkonsentrasi pada firman Tuhan. Di momen seperti itu, aku menyerah membaca Alkitab. Paling-paling aku hanya meminta temanku untuk mendoakanku. Seringkali aku pun merasa bersalah.

“Bukankah kamu bisa menemukan sukacitamu di dalam Tuhan? Kok kamu masih saja merasa tertekan?”

Aku pun menegur diriku sendiri. “Lihat dirimu! Kamu begini karena kehidupan rohanimu tidak baik!” Kalimat-kalimat ini bukannya menolongku, malah membuatku terjebak makin dalam di pusaran pikiran-pikiran negatif.

Kondisi seperti ini adalah pekerjaan Iblis yang menyerangku di titik terendahku. Kondisi ini juga seperti sebuah siklus yang akan terus terulang dan membuatku lemah tak berdaya seperti seekor domba yang menanti disembelih.

Suatu hari, aku memutuskan sudah cukup aku berkubang dalam kondisi seperti ini. Jelas bagiku bahwa Tuhan memberitahuku untuk percaya dan bersandar kepada-Nya. Firman-Nya mengatakan kita harus mengenakan senjata Allah, barulah kita bisa berdiri teguh melawan serangan-serangan si jahat (Efesus 6:10-11). Aku memutuskan untuk tidak menjadi korban dari mengasihani diri sendiri. Aku mau mengenakan pedang Roh dan melawan balik (Efesus 6:17). Inilah beberapa hal praktis yang telah menolongku:

Meraih kemenangan dengan doa

“Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus” (Filipi 4:6-7).

Ayat ini menguatkanku dan menolongku untuk berani berkomitmen. Aku tidak akan menghindari doa. Aku tidak akan bersembunyi dari pikiran-pikiran pesimisku atau menyangkali bahwa aku mengalaminya, melainkan aku akan mengakui bahwa keenggananku untuk berdoa itu dikarenakan perasaan-perasaanku sendiri dan aku perlu pertolongan Roh Kudus untuk menenangkan hatiku. Ketika perasaan-perasaan negatif menggangguku, aku memanggil nama Yesus dan mengusir semua perasaan negatif itu keluar dari hatiku.

Aku secara pribadi mendapati doa-doa itu begitu menolong. Tuhan memberiku penghiburan dan damai sejahtera. Aku juga akhirnya bisa menyadari bahwa ketika aku merasa sulit berdoa, itu karena aku memanggul sendiri semua bebanku, aku tidak meletakkannya di hadapan Tuhan. Aku belajar bahwa di tengah masa-masa sulit, satu hal yang kita perlu minta adalah supaya Tuhan mengubahkan hati kita.

Merenungkan firman Tuhan

Setelah Roh Kudus melenyapakn semua pikiran negatif dari dalam diriku, aku memerlukan sesuatu untuk mengisi hatiku. Aku membutuhkan firman Tuhan untuk mengisi tiap relung hatiku.

Aku mulai membaca Alkitab, meluangkan waktu untuk merenungkannya. Aku ingin firman-Nya tertanam kuat dalam hatiku.

Filipi 4:13 mengatakan segala perkara dapat ditanggung di dalam Kristus yang memberi kekuatan kepadanya. Dalam Wahyu 21:3-4, Yohanes mengingatkan kita tentang surga dan bumi yang baru yang kelak akan menyambut kita: “Lalu aku mendengar suara yang nyaring dari takhta itu berkata: ‘Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan diam bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi Allah mereka. Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata merek, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu.”

Membaca ayat-ayat itu memberiku penghiburan yang luar baisa. Melalui merenungkan firman Tuhan, aku bisa mengerti maksud-maksud Tuhan lebih jelas dan aku bisa berdiri lebih teguh dalam kebenaran.

Memiliki waktu teratur bersama Tuhan

Aku percaya persekutuan pribadi dengan Tuhan setiap hari itu penting dan tidak boleh diabaikan. Kita perlu menetapkan suatu waktu yang rutin setiap hari untuk membaca Alkitab.

Aku mengakuki kalau aku bukan orang yang bisa bangun pagi. Jadi, aku menjadikan waktu di malam hariku untuk membaca firman Tuhan. Belakangan ini, aku juga melatih diriku untuk lebih jain berdoa. Aku menggunakan sebuah buku kecil sebagai catatan doaku. Aku juga mendoakan orang-orang lain secara personal.

Memiliki waktu yang rutin dan teratur bersama Tuhan setiap hari telah menolongku untuk bertumbuh secara rohani. Waktu-waktuku bersama-Nya telah mengajariku bahwa hanya ketika kita memiliki relasi yang intim dan personal dengan Tuhan, kita bisa melawan setiap godaan dan tidak terjerat dalam pikiran atau perasaan yang negatif.

Jika kamu mendapati dirimu seperti aku yang dulu, aku mau menantangmu untuk tidak takut karena Yesus telah terlebih dulu mengalahkan segalanya—bahkan kematian—untuk kita. Jagalah dirimu dari tipu daya Iblis dan kenakanlah senjata Allah untuk melawannya.

Kiranya kita belajar untuk selalu bersandar kepada-Nya dan menjadi kuat di dalam Tuhan.

Baca Juga:

Apakah Orang Kristen Dapat Mengalami Gangguan Mental?

Kita perlu menyadari bahwa orang-orang Kristen yang mengalami gangguan mental adalah riil. Begitu pula dengan iman mereka kepada Yesus Kristus.

Apakah Orang Kristen Dapat Mengalami Gangguan Mental?

Oleh Yakub Tri Handoko, Surabaya

Beberapa waktu lalu, orang-orang Kristen di dunia, terutama di Amerika dikagetkan dengan berita kematian Jarrid Wilson. Dia adalah salah satu asisten pendeta dari gereja besar Harvest Christian Fellowship di California, AS. Pada usia 30 tahun dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri.

Banyak orang bertanya-tanya: bagaimana mungkin seroang pendeta mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri? Bukankah dia sendiri menjadi penggerak Anthem of Hope, sebuah pelayanan untuk orang-orang yang mengalami depresi? Mengapa Jarrid sendiri gagal mengatasi depresi dalam dirinya?

Di tengah situasi sedih seperti ini, sayangnya masih ada sejumlah orang Kristen yang terlalu naif atau tidak paham terhadap isu ini. Menurut mereka, dengan iman maka semua persoalan akan hilang. Akibatnya, mereka mudah menghakimi sesama orang Kristen yang mengalami depresi sebagai orang-orang yang kurang beriman atau terlalu banyak mengandalkan diri sendiri.

Terlepas dari bagaimana aku dan kamu memahami nasib orang yang bunuh diri (silakan baca artikel lainnya tentang bunuh diri di sini), orang Kristen sebaiknya lebih berempati terhadap mereka yang mengalami depresi sebagai bentuk gangguan mental tertentu (anxiety disorder, OCD, PTSD, dsb). Sikap menghakimi menunjukkan ketidaktahuan (ignorance) dan kesombongan (arrogance). Kita perlu menyadari bahwa orang-orang Kristen yang mengalami gangguan mental adalah riil. Begitu pula dengan iman mereka kepada Yesus Kristus. Sebagian dari mereka yang pernah kujumpai di ruang konseling adalah orang-orang yang sungguh-sungguh ingin mengasihi Tuhan dengan seluruh kehidupan mereka. Hanya saja, upaya ini seringkali dimentahkan oleh keterbatasan mereka secara mental (psikologis).

Ada beberapa alasan mengapa gereja perlu lebih terbuka dan berani untuk merengkuh orang-orang Kristen seperti ini:

Yang pertama: depresi bisa menyerang siapa saja.

Beberapa tokoh hebat dalam Alkitab pernah mengalami keputusasaan. Elia ingin cepat-cepat mati (1 Raja-raja 19:4). Yeremia mengutuki kelahirannya (Yeremia 20:14-15). Paulus terbebani dengan pelayanannya yang begitu keras sehingga dia kehilangan harapan (2 Korintus 1:8).

Alkitab tidak dihuni oleh tokoh-tokoh hebat. Bahkan mereka yang sering dipakai Allah untuk mengadakan mukjizat juga tidak kebal terhadap keputusasaan. Alkitab diisi oleh manusia-manusia lemah yang dihiasi kemurahan dan kekuatan Allah. Sangat konyol dan sombong jikalau seseorang berani menghakimi sesama orang percaya yang bergumul dengan depresi.

Yang kedua: dosa telah merusak seluruh elemen kehidupan manusia.

Pikiran, pengertian, perasaan, perkataan dan tindakan sudah diracuni oleh dosa (Roma 3:10-18; Efesus 4:17-19). Tidak ada satu elemen pun yang kebal. Semua orang memiliki disposisi tertentu dalam dirinya. Ada yang lemah di bidang seksual, fisikal, maupun mental. Setiap orang menghadapi kehancurannya sendiri-sendiri.

Jika doktrin ini memang benar, bukankah sudah wajar apabila kita mendapati orang Kristen yang bergumul dengan disposisi mental? Jika bayi Kristen ada yang mengalami cacat sejak lahir, mengapa seorang bayi Kristen tidak mungkin memiliki kencenderungan besar terhadap gangguan mental? Jika tidak semua penyakit fisik disembuhkan secara mukjizat oleh Tuhan, atas dasar apa kita meyakini bahwa semua gangguan mental akan diselesaikan dalam sekejap oleh Tuhan? Allah memiliki pertimbangan sendiri untuk setiap orang.

Yang pasti: Allah selalu menyediakan penyertaan dan pertolongan. Dia bisa memakai komunitas yang mendukung bagi pemulihan orang-orang dengan gangguan mental. Dia bisa menggunakan konselor dan hamba Tuhan untuk menemani dan memberikan terapi. Dia bisa memakai psikiater untuk menyediakan obat penenang atau anti-depresan.

Bagi kamu yang mengalami depresi, bertahanlah. Terbukalah tentang kelemahanmu kepada orang lain yang mengerti pergumulanmu. Ingatlah bahwa tidak semua orang akan menghakimimu. Peganglah terus pengharapanmu di dalam Tuhan Yesus. Dia yang memiliki kata terakhir dalam hidupmu. Dia sudah membereskan persoalanmu yang terbesar, yaitu dosa. Dia sudah mengalahkan ketakutanmu yang terbesar, yaitu kematian.

Bertahanlah.

Soli Deo Gloria.

Tentang Penulis:
Pdt. Yakub Tri Handoko, Th.M adalah gembala di Reformed Exodus Community Surabaya. Tulisan ini sebelumnya sudah ditayangkan di sini.

Baca Juga:

Tolong! Aku Ingin Bebas dari Overthinking

“Imajinasi kita adalah bagian yang indah, luar biasa, dan inspiratif dari diri kita. Imajinasi kita adalah tempat lahirnya ide-ide brilian, keren, dan kreatif.

Tapi, imajinasi itu bisa juga membelenggu kita jika kita membiarkannya tidak terkendali.”

Tolong! Aku Ingin Bebas dari Overthinking

Oleh Rachel Moreland
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Help! I Can’t Stop Overthinking

Tanganku bergetar, aku lalu membuka ponselku dan mencari tahu mengapa.

Googling.

Beberepa detik kemudian, aku membaca satu artikel tentang tumor otak.

Sakit kepala? Iya.

Penglihatan sedikit terganggu? Iya.

Nah, kamu mengalami dua gejala ini!

Tapi, ada gejala-gejala lain yang ditulis di artikel itu tidak aku alami.

Tapi, kamu sudah mengalami dua gejala loh! Kamu harus ke dokter. Gimana kalau ternyata kamu terkena tumor otak?

Setelah beberapa minggu mengalami gangguan penglihatan, aku pun menghubungi dokter. Aku merasa seperti hendak dihukum mati. Pikiran ini terus menghantuiku dan sulit untuk tidak memikirkannya.

Bagaimana jika ternyata kamu terkena tumor otak? Stop!

Mungkin tumor otak itulah sebabnya kamu mengalami gangguan penglihatan. Stop sekarang juga!
Pikiranku terus berpikir yang tidak-tidak. Tiap kali pikiran itu datang, aku selalu berkata “stop”. Aku tidak ingin pikiran-pikiran ini membuatku berpikir semakin buruk.

Dengan derai air mata, aku memohon kepada sang dokter untuk melakukan tes atau uji lab. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi supaya ketakutanku hilang.

Setelah menjalani tes selama satu jam, aku malu karena hasilnya. Seluruh waktu dan energiku dihabiskan untuk khawatir. Sakit kepala dan gangguan penglihatanku ternyata terjadi karena tekanan pikiran, atau stress.

“Stress?” aku membuang ingusku ke tisu.

“Iya. Kamu butuh istirahat lebih,” kata dokter itu seraya menyerahkan lebih banyak tisu kepadaku. Lalu, dia memberiku beberapa nasihat.

“Jika kamu terus memikirkan hal-hal yang buruk, kamu akan mendapati itu terjadi.”

Dokter itu menambahkan, ketakutan kita memiliki kekuatan untuk mengarang sesuatu menjadi ada. Jika kita membiarkan imajinasi kita tidak terkendali, itu dapat menyebabkan masalah buat kta.

Mungkin kamu belum pernah mengalami kepanikan seperti yang kualami, tapi tentu ada suatu hal dalam hidupmu yang membuatmu khawatir terus-menerus: relasimu, pekerjaanmu, kesehatanmu, keuanganmu, pergumulan hidupmu.

Semakin kita fokus kita berlebihan kepada suatu hal, semakin besar juga kesempatan untuk si musuh menekan kita dengan kekhawatiran, sama seperti ketika imajinasiku akan sakitku akhirnya mengantarku ke dokter.

Masalah pola pikir yang destruktif ini sudah ada dalam hatiku selama beberapa waktu, dan aku telah belajar kalau aku bisa mengendalikan pikiran dan imajinasiku—kita harus melakukannya! Kenyataannya, perasaan kita bisa saja mengarahkan kita pada jalan yang salah dan tidak selalu perasaan itu harus dipercaya. Ketika aku menyadari betapa banyaknya waktuku terbuang hanya untuk mendengarkan suara-suara dari pikiranku alih-alih suara Tuhan, aku tahu aku harus berubah. Aku perlu belajar untuk mendengar dan menerima suara-suara yang benar.

Mengendalikan imajinasi kita

Imajinasi kita adalah bagian yang indah, luar biasa, dan inspiratif dari diri kita. Imajinasi kita adalah tempat lahirnya ide-ide brilian, keren, dan kreatif.

Tapi, imajinasi itu bisa juga membelenggu kita jika kita membiarkannya tidak terkendali.

Kawan, dengarkanlah aku. Ada pertempuran yang sedang terjadi sekarang ini. Dan, pertempuran itu bukanlah pertempuran fisik (Efesus 6:12). Musuh-musuh kita berusaha mengisi pikiran kita(2 Korintus 10:3-5). Tapi, syukurlah karena kita tidak perlu takut. Tuhan memiliki tujuan bagi setiap kita, tujuan yang mulia. Tuhan telah mengungkapkan janji-Nya kepada kita (Yeremia 29:11, Ibrani 13:5, 1 Petrus 5:6-7). Sekarang yang perlu kita lakukan adalah mengatakan itu semua kepada diri kita.

Aku tidak tahu cara lain yang lebih hebat untuk mengalahkan pikiran negatif selain dari merenungkan firman Tuhan. Firman Tuhan menolong kita mengambil alih kendali pikiran dari hal-hal buruk kepada hal-hal yang baik.

Kita harus berhenti mendengarkan pikiran kita yang mengembara ke mana-mana dan mulai mendengar apa yang Tuhan katakan, tentang rencana-Nya bagi kita.

Jika ada suatu hal yang telah kupelajari dari peristiwa-peristiwa aku dilanda kepanikan, itu adalah pemahaman bhwa hidup kita cenderung mengikuti apa yang kita pikirkan. Keberanian dan ketakutan datang dari pikiran kita sendiri.

Daripada menjadikan kekhawatiran sebagai penggerak dari tiap tindakanku, aku mau doa dan komitmen rohaniku menjadi respons utama yang kulakukan ketika hidup berjalan tidak sesuai rencana.

Aku tidak mengajak kita untuk mengabaikan saja masalah-masalah kita. Hanya, kita perlu bersikap realistis dan hadapilah tiap masalah dengan solusi-solusi praktis dan hikmat Alkitab. Namun, kita juga perlu mengingatkan diri kita untuk selalu terhubung dengan Tuhan. Suara Tuhan sajalah yang seharusnya menggerakkan hidup kita.

Sekarang aku bergulat dengan kebenaran ini. Aku sedang berproes untuk menuju tempat di mana aku bisa melihat masalah-masalahku lebih luas dan tidak menjadi terpuruk karenanya. Aku mau berpegang teguh pada janji Tuhan. Melalui Alkitab, Tuhan telah berjanji akan menjaga setiap anak-anak-Nya, dan aku pun tahu Dia akan menjaga dan mengangkatku melewati setiap kesulitan yang kuahdapi. Jadi, aku akan berusaha mengingat kebenaran ini.

Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engku dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau. Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal. Rancanganku adalah rancangan damai sejahtera untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan. (Ibrani 13:5, Yeremia 31:3, Yeremia 29:11).

Baca Juga:

Pelayanan, Sarana Aku Bertumbuh di dalam Tuhan

Apa yang kamu lakukan ketika diberi kesempatan melayani?