Posts

Berdamai Dengan Perasaan Rendah Diri

Oleh Jessica Tanoesoedibjo, Jakarta

Satu hal yang sering menjadi pergumulanku secara pribadi adalah kecenderunganku untuk minder dan rendah diri. Mungkin hal ini adalah hal yang ironis, karena sepertinya di mata orang, hidupku baik-baik saja. Tuhan telah memberi aku keluarga yang baik, pekerjaan yang stabil, dan dalam ukuran dunia, memang aku hidup dalam kecukupan, dan bahkan kelimpahan.

Dari usia dini aku selalu merasakan pressure untuk menjadi orang yang sempurna. Sewaktu aku masih di Sekolah Minggu, aku memiliki ketakutan yang tidak wajar tentang neraka. Karena Alkitab pun menuntut kita untuk sempurna, karena Tuhan sendiri sempurna (Matius 5:48). Mungkin karena aku adalah anak tengah dari lima bersaudara—banyak orang berkata bahwa anak tengah cenderung memiliki “middle child syndrome” atau keinginan untuk dianggap. Atau mungkin ada unsur bullying yang pernah aku alami ketika duduk di bangku SMP. Apapun itu, selalu ada keinginan untuk menyenangkan orang tua, diterima di komunitas, dan menjalin hubungan yang baik dengan semua orang. Dan selalu–hal ini membuat aku merasa bahwa diriku adalah “kurang”.

Banyak orang berkata, “jangan minder!” “Itu hanya masalah mindset.” Namun, apa yang kita rasakan, tidak dapat kita abaikan begitu saja. Nasihat seperti ini, walaupun mungkin diucapkan dengan maksud yang baik, kadang malah tidak membantu. Karena kalau kita jujur, mau sekeras apapun kita mendorong diri, sesungguhnya, kepercayaan diri bukanlah hal yang bisa di buat-buat.

Supaya Aku Jangan Meninggikan Diri

Memang, ada perbedaan di antara kerendahan hati dan kerendahan diri. Alkitab mengajarkan kita untuk rendah hati, dan bukan rendah diri, karena sesungguhnya, manusia telah diciptakan segambar dan serupa dengan Allah (Kejadian 1:27). Namun, kerendahan diri bukanlah sesuatu yang dapat kita ubah dalam sekejap. Setidaknya, selama ini, perubahan tersebut bukanlah hal yang mudah bagi diriku. Walaupun mungkin setelah sekian lama tentunya aku mengalami pertumbuhan, kecenderungan untuk jatuh dalam unhealthy self-image seringkali masih ada.

Suatu bagian Firman yang menguatkan bagiku adalah 2 Korintus 12, di mana kita diceritakan tentang suatu kelemahan yang Paulus miliki. Ia menulis,

Dan supaya aku jangan meninggikan diri karena penyataan-penyataan yang luar biasa itu, maka aku diberi suatu duri di dalam dagingku, yaitu seorang utusan Iblis untuk menggocoh aku, supaya aku jangan meninggikan diri. 8 Tentang hal itu aku sudah tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya utusan Iblis itu mundur dari padaku (ayat 7).

Kita tidak pernah diberitahu apakah sesungguhnya ‘duri’ tersebut yang menjadi suatu gangguan dan halangan bagi Paulus, namun kita diceritakan betapa sang rasul telah berdoa pada Tuhan untuk mengambil duri tersebut darinya. Akan tetapi, dalam keluhannya pun, ia menyatakan suatu kebenaran, yaitu, bahwa duri tersebut ada “supaya aku jangan meninggikan diri.”

Satu hal yang aku syukuri dalam kecenderunganku untuk rendah diri adalah peringatan yang sangat nyata akan kelemahanku dan ketergantunganku kepada Tuhan. Banyak orang memikir bahwa cara untuk mendorong orang lain untuk menjadi percaya diri adalah untuk membanjiri mereka dengan pujian. Tentu, kita boleh memuji dan mengapresiasi orang lain. Namun, jika berlebihan, sanjungan dapat memupuki bibit keangkuhan yang ada dalam hati setiap manusia–keangkuhan yang ada di awal mula, ketika Adam dan Hawa menginginkan otonomi, dan menyangkal dependensi mereka terhadap Tuhan.

Dalam Kelemahan, Kuasa-Nya Sempurna

Mengakui kelemahan kita bukan berarti kita menjadi orang-orang yang pesimis dan tanpa harapan. Orang Kristen tidak seharusnya merasa terkalahkan ataupun putus asa. Karena sesungguhnya, Kristus telah menang atas dunia.

Namun, kemenangan Kristus bukan berarti tiba-tiba kita tidak lagi dihadapi oleh kekurangan dan kelemahan. Sayangnya kebiasaan kita dalam komunitas Kristen adalah untuk mengucap syukur kepada Tuhan dan memberikan kesaksian, hanya ketika ada hal-hal yang ‘layak’ untuk dibagikan. Seperti mengalami suatu mujizat atau terobosan yang tak terduga.

Sebaliknya kita melihat bahwa dalam kelemahannya, Paulus datang kepada Tuhan, sebagai seorang yang mengakui ketergantungannya pada-Nya. Dan Tuhan pun menjawabnya:

Tetapi jawab Tuhan kepadaku: ”Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. 10 Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat (ayat 9).

Satu hal yang menjadi penghiburan dan kekuatan bagiku, sewaktu-waktu aku jatuh dalam pemikiran-pemikiran yang tidak sehat tentang diriku sendiri (atau, unhealthy self-image) adalah Kebenaran Kekristenan yang paling mendasar. Bahwa identitasku tidak tergantung pada apa yang aku miliki, apa yang aku dapat bawa, ataupun pada pemikiranku tentang diriku sendiri. Identitasku sebagai anak Allah telah diberikan secara cuma-cuma oleh Tuhan yang telah membeliku dengan darah-Nya yang mahal.

Dalam Kebenaran inilah, aku percaya. Dan maka dari itu, karena Kebenaran ini, aku dapat bermegah atas kelemahanku, bahkan kerendahan diriku.

Yesus, Sang Raja Yang Merendahkan Diri-Nya Untuk Melayani Kita

Tuhan sendiri mencontohkan hal ini. Meskipun Ia adalah Raja segala raja, Ia datang ke dunia sebagai Bayi di palungan. Walaupun Ia adalah Tuhan, Ia tumbuh sebagai seorang manusia selama tiga puluh tahun dalam keterampilan pekerjaan ayah-Nya, seorang tukang kayu. Ketika Ia memulai pelayanan-Nya, banyak orang ingin menjadikan-Nya sebagai Raja. Tapi tidak lama kemudian, Ia dicemooh dan dihina, bahkan sampai kematian-Nya di atas kayu salib.

Yesus, Tuhan yang sempurna, merendahkan diri-Nya agar Ia dapat melayani kita, manusia yang angkuh. Ia tidak menuntut kesempurnaan dari kita, melainkan, mengasihi kita bahkan dalam segala kelemahan, agar kita dapat berseru kepada-Nya, sang Juruselamat. Dan karena Ia telah menjubahkan kita dengan kesempurnaan-Nya, kita dapat menjalankan hari-hari kita dengan setia, mengetahui bahwa bahkan dalam kelemahan kita, kasih Karunia Tuhan selalu ada.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

3 Hal yang Kupelajari Ketika Aku Mengalami Frustasi Spiritual

Perasaan frustasi akan kegagalanku dalam pertobatan malah membuatku semakin menjauhi-Nya. Perasaan takut, sungkan dan khilaf membaur menjadi satu. Perasaan berulang inilah yang membuatku semakin depresi dalam spiritualku.

Diam, Tak Bisa Melawan

Oleh Nurafni

Orangtua kemungkinan besar akan bangga ketika mengetahui anaknya dapat bersekolah di sekolah favorit. Tak cuma orangtuanya, anaknya pun tentulah merasa bangga. Itulah perasaanku ketika aku diterima di sekolah favorit sewaktu SMP. Ketika teman-teman SD-ku beserta orangtua mereka meremehkan dan berkata bahwa mustahil aku dapat bersekolah di sana, tetapi Tuhan Yesus berkehendak lain dan melunturkan stigma mereka tentangku.

Perasaan bahagia dan berharap besar akan kehidupan SMP-ku untuk berjalan lancar terus mengelilingiku, karena aku satu-satunya murid dari SD-ku dan lingkunganku yang dapat masuk ke sekolah tersebut. Awalnya aku berpikir bahwa aku dapat menjalani masa-masa remajaku ini dengan baik dan penuh tawa. Saat kelas VII, aku ditempatkan Tuhan di kelas yang seru dan nyaman dengan teman-teman yang kocak. Bisa dibilang aku sangat bahagia sewaktu kelas VII ini.

Tetapi keadaan kemudian berbanding terbalik ketika aku menginjak kelas VIII. Di mana setiap pergantian kelas setiap siswa akan diacak sehingga aku mempunyai teman dan lingkungan baru dalam suasana kelas yang baru juga. Kali ini, aku ditempatkan Tuhan dengan orang-orang yang suka mengolok orang lain untuk menjadi bahan hiburannya. Aku termasuk ke dalam bahan hiburan dan tawaan mereka karena warna kulitku yang lebih gelap. Hampir setiap hari dalam kelas itu aku selalu diolok-olok. Bahkan di saat jam pelajaran pun saat guru sedang menjelaskan, mereka berbisik-bisik sambil menatapku dan sambil melontarkan kata-kata hinaan. Mereka memandangku seolah-olah aku adalah sebuah ‘barang’ yang buluk dan telah usang. Bahkan lebih dari itu, aku seakan-akan seperti monster di hadapan mereka. Kata-kata mereka yang menyakitkan terus terngiang bahkan membuatku menangis seketika itu juga. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya tertunduk dan mengambil earphone dan mendengarkan lagu “Hanya dekat kasih-Mu Bapa”. Dalam penggalan lirik tersebut terdapat kalimat. “walau dunia melihat rupa, namun Kau memandangku, sampai kedalaman hatiku”. Aku pun merasa tenang dan dikuatkan walaupun hatiku menangis. Aku menyadari bahwa cara Allah memandangku berbeda dari cara dunia. Mengetahui Allah tidak memandang fisikku memberiku kekuatan untuk menjalani kehidupan masa remajaku.

Meskipun aku sempat kecewa pada diri sendiri dan kepada Tuhan yang membiarkan hal ini terjadi padaku, namun hal itu tidak membuat Tuhan menunda pekerjaan tangan-Nya. Aku pun diberi kekuatan untuk mulai membiasakan diri dengan hinaan serta olokan mereka yang melukai perasaanku hampir tiap hari sepanjang kehidupan SMP-ku. Tetapi aku lantas tidak bersedih lagi karena hal-hal itu. Rasa sakitku diganti dengan perasaan kagum kepada Tuhan atas penyertaan-Nya melalui orangtua yang baik, menghiburku dan mendukungku. Ketika aku kembali berpikir saat ini, kenapa sewaktu aku mengalami perundungan aku tidak melawan dan menghajar mereka? Kenapa aku lemah sekali? Kenapa aku malah menyiksa diriku sendiri karena perkataan mereka? Oh mungkin karena aku merasa tidak dapat melawan mereka, temanku tidak ada yang membelaku.

Tetapi setelah berpikir sampai saat ini aku menemukan jawaban yang Tuhan berikan padaku. Bahwa penderitaan yang Tuhan izinkan terjadi atasku tidak melebihi kekuatanku. Bahkan lebih daripada itu, penderitaan yang aku alami tidaklah seberapa besar dari apa yang telah Tuhan Yesus alami. Dia dihina, dicaci, diludahi bahkan disalibkan. Yesus yang tidak mengenal dosa menerima perlakuan tidak manusiawi itu dan tidak melawan. Yesus taat sampai mati bahkan sampai mati di kayu salib. Mengapa aku bersungut-sungut? Mengapa aku merasa menyesal karena tidak melawan?

Aku pun menyadari bahwa melalui penderitaan yang kualami tersebut, Tuhan Yesus ingin supaya aku lebih mengenal Dia satu-satunya pribadi yang tidak pernah meninggalkanku. Tuhan Yesus ingin menunjukkan bahwa manusia dapat mengecewakan, tetapi Dia tidak. Bahkan sekalipun aku merasa ditinggalkan namun Dia tak pernah jauh dariku. Hal ini dibuktikan dengan aku bisa melewati kehidupan SMP-ku dan Tuhan Yesus menunjukkan kasih-Nya dengan memberikanku kepandaian dan nilai yang cukup memuaskan. Memang aku tidak diterima di kehidupan teman-temanku. Tetapi Tuhan Yesus menerimaku apa adanya dan Dia mengizinkanku untuk membuat orangtuaku bangga.

Dari pergumulan ini aku belajar bahwa lebih baik berlindung kepada Tuhan daripada percaya kepada manusia (Mazmur 108:8). Sedekat atau seakrab apa pun kita dengan teman kita, mereka belum tentu dapat menolong kita. Hanya Tuhan yang dapat menolong dan menjadi sandaran kita. Namun bukan berarti kita menjadi membenci teman kita. Aku sekalipun tidak membenci teman-temanku yang tidak beraksi menolongku saat aku diperolok. Aku menyadari bahwa mereka hanyalah manusia terbatas dan mungkin saat itu mereka juga sedang merasakan pergumulan atau penderitaan tersendiri. Dengan begitu pula, aku mulai menjadi akrab dengan Kristus dan merasakan ketenangan sejati hanya dari pada-Nya.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Menemukan Passion: Kombinasi Sukacita dan Derita

Passion biasanya identik dengan apa yang kita senangi. Tapi, seiring proses ketika kita dihadapkan dengan tantangan dan rintangan, apakah kita tetap setia melakukan passion tersebut?

Berdamai dengan Diri Sendiri

Pernahkah kamu menolak dirimu sendiri?

Mungkin ketika nilai-nilaimu tak memenuhi keinginan orang tuamu? Karena teman-temanmu mengejek dan menertawakanmu? Atau, karena kondisi keluargamu tak sebaik keluarga orang lain? Dunia ini mengajari kita untuk selalu merasa tidak puas. Ibarat secarik kertas putih, kita dinodai oleh pandangan-pandangan buruk yang berkembang di sekeliling kita. Tanpa kita sadari, kita pun menolak diri kita.

Apa sih tandanya kalau kamu sedang menolak dirimu sendiri?

1. Kamu berjuang keras untuk membuktikan dirimu

Ada kutipan yang bilang: what doesn’t kill you, makes you stronger. Komentar-komentar buruk mungkin menjadi motivasi penggerakmu. Kata-kata itu melukaimu, tapi mendorongmu bangkit. Selembar kertas putih menyembunyikan wujudnya, mengenakan sehelai masker untuk menunjukkan senyum getirnya. Penolakan dari orang lain kamu jadikan pecut bagi dirimu sendiri, dan kamu paksa dirimu untuk selalu jadi orang yang lebih baik.

2.Takut melihat ke belakang

Menutup lembaran lama, sama sekali tak ingin menengoknya lagi. Ketika kenangan itu datang, ada narasi yang berbisik di hati: Kok aku bodoh banget sih? Kok aku jelek? Kok aku memalukan? Kamu melabeli dirimu dengan banyak hal negatif.

3. Tak bisa menilai diri dengan objektif

Semakin banyak informasi buruk diterima, semakin sulit kamu menilai dirimu dengan objektif. Kamu menganggap kamulah yang paling bodoh, paling jelek, paling suram di dunia ini

Namun, seiring kamu kelak mengalami proses pemulihan dari Tuhan, Dia membukakan pandanganmu untuk melihat betapa kamu telah menolak dirimu sendiri. Di hadapan tuntutan tinggi yang diterapkan oleh orang tua, sekolah, dan lingkunganmu, kamu mungkin tak mampu mencapainya. Akibatnya, kamu menolak dirimu, membandingkan dengan orang lain, dan merasa buruk. Perasaan-perasaan ini menekanmu sampai Tuhan akhirnya memberimu kelegaan.

4. Ketahuilah nilai dirimu yang sejati di hadapan Tuhan

1 Korintus 6:20 berkata, “Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” Kita adalah ciptaan-Nya yang berharga. Tuhan mengerti dan menguatkan kita. Ingatlah siapa kita di dalam-Nya.

5. Serahkanlah segala kepedihanmu kepada Tuhan

Kuatkanlah hatimu, berdamailah dengan dirimu sendiri, dan serahkanlah segala luka masa lalumu pada Tuhan yang akan menolongmu keluar dari kegelapan.

Aku Ingin Jadi Sempurna

Kita semua diciptakan segambar dan serupa dengan Allah, namun dosa membuat kita terkadang tak menyadari bahwa kita diciptakan baik adanya. Terkhusus para perempuan, mungkin kita sering merasa kurang–kurang cantik, kurang langsing, kurang pintar, dan sederet kekurangan lainnya.

Namun, terlepas dari segala kekurangan itu, firman Tuhan bicara: (Yeremia 1:5).
“Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa.”

Yuk, bagikan ini ke sahabat kamu dan ingatkan bahwa mereka berharga di mata Tuhan.

Imperfect: Menjadi Sempurna dalam Ketidaksempurnaan

Oleh Tabita Davinia Utomo, Jakarta
Gambar diambil dari official trailer

Film besutan Ernest Prakasa dan istrinya, Meira Anastasia yang tayang perdana di akhir 2019 lalu mungkin menjadi film yang dinantikan banyak orang. Film ini mengangkat isu yang hangat di masyarakat saat ini: insecurity.

Sesuai judul bukunya, Imperfect menceritakan tentang keadaan para wanita yang merasa insecure (tidak aman) dengan ketidaksempurnaan diri mereka. Secara khusus, film ini menyoroti kehidupan Rara yang bermasalah dengan kegemukan, Lulu yang kurus tapi dibilang chubby oleh pasangannya, empat penghuni kos ibu Dika, dan kekasih Rara. Mereka harus siap dicibir orang lain karena tidak memenuhi standar kecantikan yang berlaku di masyarakat zaman ini: tubuh langsing, pipi tirus, berkulit putih, berwajah manis, dan bisa berdandan atau up to date terhadap fashion. Namun, perlahan-lahan mereka bisa bangkit dan menunjukkan bahwa kecantikan tidak selalu harus bersumber dari kecantikan fisik semata. Di akhir film, Rara yang diperankan oleh Jessica Mila mengatakan, “Kita tidak perlu menjadi sempurna untuk bahagia.”

Sebagai orang yang sering merasa insecure dengan penampilan fisik, aku merasa tertohok dengan film ini. Meskipun terlahir sebagai orang Kristen yang sangat tidak asing dengan frasa “kamu berharga di mata Tuhan”, aku masih bergumul dengan perasaan minder karena kondisi tubuhku yang kelewat kurus berdasarkan standar body mass index. Banyak orang berkata kalau aku kurang makan. Tidak sedikit juga yang “menyalahkan” orang tuaku yang sama-sama berperawakan kurus. Akibatnya, kalau kesal, aku sering memendamnya dengan makan (terutama makan coklat)…namun ini tidak juga menambah berat badanku.

Selain itu, aku juga memiliki bekas jerawat di wajahku yang sulit hilang, ditambah lagi kedua mataku yang minusnya tinggi. Aku jadi sulit melihat jauh jika tanpa kacamata. Plus, aku juga termasuk orang yang terlambat belajar cara make-up dan memadupadankan pakaian di saat teman-temanku sudah melakukannya lebih dulu. Ini semua menambah perasaan minderku.

Tapi…meskipun dunia mungkin melihatku berdasar penampilan fisikku dan orang-orang melakukan body shaming terhadapku, Tuhan tidaklah demikian. Tuhan tidak menilaiku dengan cara seperti itu.

Kita diciptakan dengan amat baik

Ketika Allah menciptakan bumi dan segala isinya sampai di hari kelima, Alkitab mencatat metode penciptaan-Nya, yaitu dengan berfirman. Ya, hanya dengan berfirman, Allah menciptakan segala sesuatu—kecuali manusia. Di hari keenam, barulah Allah menciptakan manusia, ciptaan Allah yang paling mulia. Allah tak hanya berfirman (Kejadian 1:26), tapi juga membentuk manusia dengan tangan-Nya sendiri serupa dengan gambaran-Nya, imago Dei (Kejadian 1:27), diberi-Nya nafas kehidupan, dan diberikan pula mandat budaya (Kejadian 1:28). Penciptaan manusia terlihat kontras dari ciptaan-ciptaan yang lain, bukan?

Namun, ironisnya, gambar Allah yang mulia itu rusak karena dosa (Kejadian 3). Akibatnya, manusia mengalami keterpisahan dari Sang Pencipta…sekaligus harus bergumul dengan dosa. Tidak heran jika semakin lama dosa muncul dalam berbagai bentuk—termasuk insecurity atas bentuk fisik yang Tuhan berikan. Mungkin, kita pun termasuk salah satu di antara banyak orang yang terjebak dalam masalah ini.
Meski kita terjebak, bukan berarti tidak ada jalan keluar.

Allah mengetahui kerapuhan kita, karena itulah Dia memberikan Yesus Kristus, Anak-Nya yang Tunggal untuk menebus dosa-dosa kita dan menjadi jembatan bagi relasi kita dengan Bapa. Yang lebih indah lagi, Yesus juga membaharui citra diri kita yang rusak dengan memberikan status yang baru bagi kita orang percaya sebagai anak-anak Allah. Ada dua bagian dari firman Tuhan yang membuktikan ini:

1. Mazmur 139 yang menjelaskan bagaimana Allah menciptakan setiap orang dengan detail dan dengan keunikannya masing-masing. Sekalipun kita tidaklah sempurna, tetapi Allah tetap mengasihi kita dengan kasih yang sempurna, karena kita adalah kepunyaan-Nya.

2. Doa Bapa Kami. Yesus meneladani kita untuk menyebut “Bapa” sebagai fokus doa kita. Artinya, bagaimana pun orang lain menilai kita, kita memiliki Bapa di surga yang setia mendengarkan doa-doa kita…bahkan “keluhan-keluhan yang tidak terucapkan” (Roma 8:26).

3. Bukan kita yang membuat diri kita masing-masing bisa tetap kuat hingga detik ini, tapi karena Tuhan sendiri. Bahkan, tokoh sekaliber Paulus juga bergumul dengan “duri” dalam dirinya, sampai dia berdoa tiga kali agar Tuhan mengangkat “duri” itu. Bukannya mengabulkan doa Paulus, Tuhan justru berkata, “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (2 Korintus 12:9).

Mungkin dua poin di atas terasa klise di saat kita sedang bergumul dengan kondisi fisik yang tidak sesuai dengan pandangan orang pada umumnya; cita-cita yang kandas karena faktor yang tidak bisa dikendalikan; rasa minder karena merasa tidak memiliki potensi diri sebanyak teman-teman lainnya; merasa tidak mampu menghasilkan uang seperti saudara kita, atau teman yang sudah beriwirausaha di saat kita masih ditolong secara finansial dari orang tua; dan hal-hal lainnya yang menjadi pergumulanmu.

Aku pun bergumul dengan salah satu dari banyak pergumulan di atas. Temanku, kita tidak sendirian. Apa pun keadaanmu saat ini, kamu tetaplah berharga di mata Tuhan. Tidak apa-apa jika saat ini kita ingin marah kepada Tuhan untuk ketidaksesuaian dengan apa yang kita harapkan, karena toh Tuhan menciptakan marah sebagai respons emosi yang baik. Namun, jangan sampai kita hanya berkubang dalam kemarahan itu, lalu pasrah terhadap keadaan yang tidak bisa diubah. It’s okay to be fragile, but don’t cry alone. Bersamamu, ada orang-orang yang juga bergumul akan hal yang sama. Mengutip lagu “Pelukku untuk Pelikmu”, Fiersa Besari berkata, “Kita perlu untuk kecewa untuk tahu bahagia. Bukankah luka menjadikan kita saling menguatkan?”

Luka yang diserahkan pada Tuhan harus diobati, dan itu pedih. Namun, ketika kita mulai pulih, kita dimampukan-Nya untuk menerima keadaan untuk bersyukur, bahkan bisa menjadi teman bagi mereka yang bergumul dengan keadaan serupa.

Menutup tulisan ini, aku ingin membagikan sebuah lagu dari SAAT Youth Camp 2019 yang berjudul Kar’na Cinta-Mu, Tuhan. Kiranya lagu ini menjadi pengingat kita bahwa hidup kita bukan untuk menemukan kepuasan dari dunia ini, tetapi justru dari Tuhan sendiri.

Saat ‘ku melangkah dan ‘ku pandang dunia, banyak hal yang ditawarkan yang memberi bahagia
Saat ‘ku terima semua dari dunia, namun yang kudapatkan hanya bahagia yang fana
‘ku rasakan hidupku hampa dan tak berarti, menjalani hidup yang tak pasti
Namun Engkau, Tuhan, yang selalu ada, menerangiku dan b’riku harapan
Kar’na cinta-Mu yang selamatkanku dan kasih-Mu yang telah menyadarkanku
Dunia tak dapat memuaskanku, tak dapat bahagiakanku, namun Kau Yesus jawaban hidupku
‘ku ingin setia cintai Firman-Mu yang akan menjadi kebenaran hidupku
dan kuterima kebahagiaan yang sejati hanya di dalam-Mu, oh Yesus Tuhanku.

Cheers!

Baca Juga:

Penyertaan Tuhan Melampaui Segala Ketakutanku

Sejak aku percaya pada Kristus empat tahun lalu, hubunganku dengan ibuku menjadi sangat tidak baik. Penolakan dari orang terdekatku sempat membuatku ragu, sungguhkah Tuhan menyertaiku?

Just Be Yourself! Apakah Harus Selalu Begitu?

Oleh Yulinar Br. Bangun, Tangerang

Dalam sebuah kesempatan makan malam di luar bersama teman, aku tidak sengaja mendengar percakapan beberapa orang yang juga sedang makan di sebelah meja kami. Percakapan mereka seperti pembicaraan wanita pada umumnya yang saling curhat. Aku tidak terlalu tertarik dengan percakapan mereka sampai aku mendengar sebuah statement dari salah satu di antara mereka yang kurang lebih seperti ini “just be yourself, hidup kita terlalu berharga untuk menghiraukan komentar orang lain. Nobody perfect, jadi anggap saja itu bagian dari kelemahanmu.” Just be yourself, kalimat ini menjadi pertanyaan untukku dalam beberapa hari ini. Kalimat tersebut mungkin sering di dengungkan oleh seorang sahabat untuk menghibur sahabatnya. Apa sebenarnya makna dari kalimat tersebut? Ketika aku melihat ke dalam diriku, aku menyadari bahwa aku adalah seorang yang cuek, emosi meluap-luap, perfeksionis dan masih banyak kelemahan yang lain. Lantas, apakah aku cukup dengan menjadi pribadi yang demikian?

Sebagai ciptaan Tuhan, memang benar bahwa setiap manusia adalah unik dengan kepribadiannya masing-masing. Namun, bukan berarti kita harus berpuas diri dengan kepribadian yang melekat dalam diri kita. Aku percaya bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang indah, namun juga telah rusak oleh karena dosa. Dosa itu yang membuat manusia memiliki kepribadian buruk dalam dirinya. Manusia memang tidak sempurna, tapi kita diminta untuk mengejar kesempurnaan itu hari demi hari. Dalam proses mengejar tersebut tentunya terdapat perubahan. Memang benar bahwa mengerti konsep ini tidak membuat prosesnya mulus tanpa hambatan. Setiap orang mungkin juga bergumul dengan hal ini. Perubahan bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Oleh karena itu, kita membutuhkan komunitas yang mendukung dalam pertumbuhan kita menuju kesempurnaan tersebut.

Seorang pendeta pernah berkata dalam khotbahnya bahwa kita harus mengerjakan segala sesuatu dengan kapasitas terbaik yang kita punya, karena semakin baik kualitas diri kita semakin banyak orang yang akan terberkati. Kuncinya adalah melakukan yang terbaik dalam setiap aspek kehidupan kita. Bukan karena ambisi, tapi untuk menjadi berkat.

Kita memang tidak mungkin bisa menjadi sempurna, karena hanya Dia pribadi yang sempurna. Namun, kita juga tidak bisa membela diri dengan berkata “just be yourself” yang kemudian berujung menoleransi diri. Lantas apakah jargon ini salah untuk diucapkan? Tentu tidak, saat ini aku hanya ingin kita melihat dari sudut yang benar. Konsep menjadi diri sendiri sebenarnya adalah konsep yang Alkitabiah. Kita tahu bahwa setiap manusia terlahir unik dengan ciri khas dan talenta masing-masing. Tuhan menciptakan kita sebagai orang yang super limited edition, hanya satu yang seperti kita di seluruh permukaan bumi. Karena itu, adalah salah jika kita mengacaukan kehendak Allah dengan berusaha menjadi seperti orang lain.

Hal yang perlu kita lakukan adalah menjalani kehidupan sesuai dengan alur cerita yang telah dirancang Tuhan dengan upaya terbaik yang kita punya dan penuh pertanggungjawaban atas setiap karunia unik yang Ia percayakan. Apakah dengan sikap cuek aku telah melakukan upaya terbaik dalam relasiku? Apakah dengan emosi yang meluap-luap aku telah melakukan yang terbaik dalam menghargai orang-orang di sekitarku? Jawabannya tentu tidak. Oleh karena itu, daripada “just be yourself” aku lebih menyukai “please improve yourself.” Kenali diri sendiri dengan segala kelebihan dan kekurangannya, melalui itu temukan cara terbaik untuk mengalami pertumbuhan yang semakin menyerupai Dia.

Kolose 3:23, “Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.”

Baca Juga:

Jatuh Bangun Mencari Pekerjaan, Ada Rencana Tuhan Di Balik Setiap Kegagalan

Aku pernah gagal dalam upayaku mencari pekerjaan. Tetapi, pada akhirnya Tuhan menganugerahiku buah yang manis, dan aku pun berkomitmen untuk bekerja dengan baik dan disiplin.

Kekurangan Fisik Membuatku Minder, Tapi Tuhan Memandangku Berharga

Oleh Abyasat Tandirura, Toraja

Aku lahir dengan kondisi di mana langit-langit dalam rongga mulutku terbuka sehingga ketika aku berbicara, suaraku tidak jelas. Teman-temanku pernah mengejekku. Aku sangat sedih dan hampir menangis, tetapi seorang guruku menegur mereka dan menenangkanku.

Sejak saat itu, teman-temanku tidak lagi mengejekku. Akan tetapi, sulit bagiku untuk melupakannya begitu saja. Ejekan mereka sungguh melukai perasaanku sebagai seorang anak perempuan yang masih berumur 9 tahun. Aku tidak suka mereka mengejekku, meskipun aku tahu kalau suaraku memang tidak jelas.

Suaraku yang tidak jelas ini menjadi pergumulanku dalam membina komunikasi dengan orang lain. Aku jadi anak yang minder. Tak jarang aku memilih diam ketimbang bercakap-cakap dengan orang lain. Aku merasa lebih baik jadi pendengar saja ketika teman-temanku bersenda gurau atau membicarakan suatu hal. Aku malu dan takut berbicara kalau-kalau temanku tidak mengerti kata-kata yang aku ucapkan. Kadang aku bertanya kepada diriku sendiri: mengapa aku yang mengalami ini, tetapi teman-temanku tidak? Aku bahkan pernah kecewa kepada Tuhan. Aku merasa Dia tidak peduli pada keadaanku. Padahal, di sekolah Minggu aku suka mendengar guruku bercerita tentang Tuhan Yesus yang menyembuhkan banyak orang sakit dan melakukan banyak mukjizat. Aku pun berharap kelak aku mengalaminya. Namun, mukjizat berupa kesembuhan instan itu tidak tampak dalam hidupku.

Sulit bagiku untuk membangun rasa percaya diri seperti yang teman-temanku lakukan. Perasaan minder dalam diriku membuatku tumbuh jadi remaja yang pendiam. Rasa malu dan takut bicara seolah sudah melekat dalam diriku.

Seiring waktu yang terus berjalan, ada satu hal yang kemudian membuat pikiranku terbuka. Aku membaca dan mendengarkan kisah-kisah hebat dari orang-orang yang mengalami cacat fisik atau disabilitas. Ada Nick Vujicic, seorang motivator hebat yang dilahirkan tanpa lengan dan kaki. Ada Frances Jane Crosby, seorang anak yang lahir normal namun mengalami malpraktik hingga dia pun mengalami kebutaan seumur hidupnya. Tapi, dalam kebutaaannya, dia sanggup menciptakan ribuah pujian, himne, puisi, dan sajak.

Selain mereka, masih banyak lagi para disabilitas lainnya, termasuk para atlet. Mereka memiliki keterbatasan fisik, namun Tuhan memakai kekurangan itu dengan talenta-talenta yang luar biasa dan membuat dunia takjub.

Berangkat dari kisah hidup mereka, benih-benih semangat mulai bertumbuh di hatiku. Aku berkata pada diriku: “Kalau aku terlahir dengan ketidaksempurnaan pada salah satu bagian tubuh yang kumiliki, itu artinya Tuhan mau memakai keterbatasanku untuk suatu hal yang indah bagi-Nya.” Kata-kataku ini terus bergema dalam hatiku, dan menjadi batu loncatan yang mengubahku menjadi pribadi yang percaya diri.

Tuhan memimpin hidupku hingga aku menemukan rasa percaya diriku. Firman Tuhan berkata, “Oleh karena Engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan aku ini mengasihi engkau” (Yesaya 43:4a). Ayat ini menjadi sebuah kebenaran yang mengubah rasa minderku menjadi sebuah rasa percaya diri. Tuhan menegurku dengan kasih bahwa aku tidaklah seperti apa yang kupikirkan.

Aku sadar bahwa keterbatsan yang kumiliki tidak seharusnya membatasi dan menghalangi komunikasiku dengan orang lain. Sekalipun suaraku memang tidak jelas, aku tidak perlu bersedih sebab Tuhan sangat mengasihiku dan aku adalah ciptaan-Nya yang mulia dan berharga. Di balik suaraku yang tidak jelas, Tuhan menyatakan rancangan yang indah dan kini aku sedang menikmatinya. Tuhan memberiku talenta dan kesempatan untuk menulis, dan menyediakan media ini sebagai wadah bagiku untuk memberikan kesaksian tentang kasih Tuhan lewat tulisan.

Sekarang aku sungguh bersyukur bahwa Tuhan sangat peduli dengan keadaanku. Tuhan memberiku keluarga yang sangat menyayangiku, teman-teman di sekolah, kampus, persekutuan, tempat kerja, dan tempat pelayanan yang menerimaku apa adanya. Aku yakin dan percaya bahwa dalam kekuranganku, Tuhan turut berkarya. Tuhan merancangkan masa depan yang penuh damai sejahtera.

Teruntuk teman-teman yang mengalami keterbatasan fisik apapun itu, jangan pernah merasa minder. Tuhan yang pengasih, menciptakan kita sebagai pribadi-pribadi yang berharga dan mulia. Keterbatasan-keterbatasan itu mengingatkan kita untuk selalu bergantung pada Tuhan. Tuhanlah kekuatan dalam setiap kelemahan kita. Oleh karena itu, bersama sang pemazmur, marilah kita berkata:

“Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya” (Mazmur 139:14).

Aku bersyukur, saat aku mengetahui bahwa di balik keterbatasan yang ada pada diriku, ternyata Tuhan menciptakanku sebagai pribadi yang sangat berharga dan mulia.

Terpujilah Kristus!

Baca Juga:

Meski Kuanggap Diriku Gagal, Tuhan Punya Alur Cerita yang Berbeda

Orang selalu memujiku sebagai anak pandai, tetapi kegagalan menghinaku sebagai anak bodoh. Tapi, melalui keadaan ini, Tuhan mengajariku sebuah pelajaran berharga yang tak kudapati dari bangku sekolah.

Kehidupan yang Tiada Tara

Kamis, 14 Maret 2019

Kehidupan yang Tiada Tara

Baca: Kejadian 29:31-35

29:31 Ketika TUHAN melihat, bahwa Lea tidak dicintai, dibuka-Nyalah kandungannya, tetapi Rahel mandul.

29:32 Lea mengandung, lalu melahirkan seorang anak laki-laki, dan menamainya Ruben, sebab katanya: “Sesungguhnya TUHAN telah memperhatikan kesengsaraanku; sekarang tentulah aku akan dicintai oleh suamiku.”

29:33 Mengandung pulalah ia, lalu melahirkan seorang anak laki-laki, maka ia berkata: “Sesungguhnya, TUHAN telah mendengar, bahwa aku tidak dicintai, lalu diberikan-Nya pula anak ini kepadaku.” Maka ia menamai anak itu Simeon.

29:34 Mengandung pulalah ia, lalu melahirkan seorang anak laki-laki, maka ia berkata: “Sekali ini suamiku akan lebih erat kepadaku, karena aku telah melahirkan tiga anak laki-laki baginya.” Itulah sebabnya ia menamai anak itu Lewi.

29:35 Mengandung pulalah ia, lalu melahirkan seorang anak laki-laki, maka ia berkata: “Sekali ini aku akan bersyukur kepada TUHAN.” Itulah sebabnya ia menamai anak itu Yehuda. Sesudah itu ia tidak melahirkan lagi.

Mengandung pulalah ia, lalu melahirkan seorang anak laki-laki, maka ia berkata: “Sekali ini aku akan bersyukur kepada Tuhan.” —Kejadian 29:35

Daily Quotes ODB

Dalam sebuah acara TV, beberapa orang pemuda berperan menjadi murid SMA agar dapat lebih memahami kehidupan remaja. Mereka mendapati bahwa media sosial memiliki peranan yang sangat penting bagi remaja dalam mengukur harga diri mereka. Salah satu peserta mengamati, “Nilai diri [para pelajar] terkait erat dengan media sosial—tergantung dari berapa banyak ‘likes’ yang mereka dapat pada foto yang mereka unggah.” Kebutuhan untuk diterima orang lain dapat mendorong kaum muda bertindak ekstrem di dunia maya.

Keinginan untuk diterima orang lain sudah ada sejak zaman lampau. Dalam Kejadian 29, kita dapat memahami bagaimana Lea rindu dicintai oleh suaminya, Yakub. Itu terlihat dari nama tiga anak lelaki pertamanya—semuanya menyiratkan kesepian yang dirasakannya (ay.31-34). Sedihnya, tidak ada tanda-tanda Yakub pernah memberi perhatian yang didambakan Lea.

Setelah kelahiran putra keempatnya, Lea berpaling kepada Allah daripada suaminya, dan menamai anak itu Yehuda, yang berarti “pujian” (ay.35). Sepertinya Lea, pada akhirnya, memilih menemukan nilai dirinya dalam Allah. Ia menjadi bagian dari rencana keselamatan Allah atas umat-Nya: Yehuda adalah leluhur dari Raja Daud, dan kemudian, Yesus.

Kita bisa mencoba mencari nilai diri kita lewat berbagai cara, tetapi hanya dalam Yesus kita menemukan identitas sejati sebagai anak-anak Allah, pewaris Kerajaan Allah bersama Kristus, yang akan hidup kekal bersama Bapa Surgawi. Seperti yang ditulis Paulus, tidak satu hal pun di dunia ini yang sebanding dengan “pengenalan akan Kristus Yesus, [yang] lebih mulia dari pada semuanya” (flp. 3:8). —Peter Chin

Dalam hal apakah, atau pada siapakah, kamu berusaha mendapatkan pengakuan dan penerimaan? Bagaimana iman kepada Yesus menyingkapkan identitas sejati kamu?

Bapa Surgawi, tolonglah aku memandang nilai diriku dalam Engkau dan bukan dalam hal-hal lain. Hanya dalam Engkaulah aku menemukan identitas sejatiku dan keindahan hidup yang tiada tara!

Bacaan Alkitab Setahun: Ulangan 23-25; Markus 14:1-26

Kupikir Menjadi Cantik dan Menarik Adalah Segalanya

Oleh Agnes Lee, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Thought I Needed To Be Beautiful

Aku dan rekan kerjaku sedang makan siang di dapur ketika kami melihat seorang rekan lainnya berjalan ke arah pintu sambil membawa tasnya.

“Mau pergi ke mana dia?” salah seorang rekanku bertanya.

Yang lain lalu menjawab, “Oh, dia cuti setengah hari buat nonton konser musik pop Korea. Dia punya tiket premium.”

“Wow,” aku menanggapi. “Dia sungguh-sungguh fans K-Pop!”

Peristiwa itu membuatku teringat kembali kenangan bertahun-tahun lalu, ketika aku masih seorang remaja. Waktu itu, aku sangat menikmati drama dan musik pop Korea. Aku bahkan mengidolakan beberapa selebriti. Mereka tampak memiliki segalanya yang aku inginkan—penampilan yang menarik dan popularitas.

Aku menghias binder sekolahku dengan foto-foto mereka. Aku menggunakan uang jajanku untuk membeli majalah atau koran yang memuat cerita dan foto tentang mereka. Aku dengan tekun menenggelamkan diriku dalam setiap detail kehidupan mereka. Kalau saja ada ujian tentang seberapa dalam aku mengenal dengan detail idola-idola itu, pasti aku akan lulus dengan nilai terbaik.

Namun, di samping mengagumi mereka, aku pun mulai membandingkan diriku dengan mereka. Semua selebriti yang aku sukai itu cantik dan langsing. Ketika aku melihat diriku di cermin, aku melihat diriku hanyalah seorang perempuan biasa. Aku merasa ada yang salah dengan penampilan wajahku. Tinggiku pun hanya 150 cm. Dan, aku tidak kurus.

Dengan segera aku mulai merasa tidak puas dengan diriku dan membenci tubuhku. Kupikir para selebriti itu terkenal dan disukai banyak orang karena penampilan mereka yang menarik.

Ketika aku membaca tulisan-tulisan tentang selebriti yang menjalankan program diet demi mendapatkan bentuk tubuh yang ideal, aku merasa perlu meniru mereka juga. Aku harus diet, membatasi asupan kaloriku. Banyak selebriti juga menjadi bintang iklan produk-produk diet dan pelangsing badan sekalipun tubuh mereka sebenarnya tidak gemuk. Selain itu, setiap kali ada selebriti yang berat badannya turun, media dan para penggemarnya segera menyuarakan rasa keprihatinan atas kesehatan para selebriti itu. Sepertinya para selebriti itu mendapatkan perhatian dan popularitas yang lebih besar ketika mereka melakukan diet—dan kupikir itu juga akan berlaku buatku kalau aku mengikuti jejak mereka.

Aku pun berubah jadi seorang yang percaya kalau tubuh langsing itu cantik. Kalau aku tidak bisa mengubah wajah atau tinggi badanku, aku bisa mengubah berat badanku. Jadi, meskipun berat badanku sudah menurun, aku tetap melakukan diet. Tapi, betapapun kerasnya aku berusaha, aku tidak pernah bisa menjadi seorang selebriti.

Selain itu, diet dengan mengurangi asupan kalori sering membuatku jadi merasa murung dan lesu. Ketika aku sudah bekerja, ketertarikanku pada dunia selebriti mulai menurun karena aku semakin sibuk. Tapi, aku masih terus melakukan dietku dan memperhatikan berat badanku.

Cara pandangku akhirnya berubah ketika aku mengenal Tuhan secara pribadi empat tahun lalu. Sebagai buah dari berbagai pencobaan yang kualami dalam keluargaku, aku mulai membaca firman Tuhan dengan tekun dan mendapatkan penghiburan di masa-masa sulit itu. Dan, karena aku begitu larut dalam firman Tuhan, obsesiku pada selebriti pun menjadi bagian dari masa laluku. Selama masa-masa inilah kebutuhan emosionalku dipenuhi oleh Tuhan dan akhirnya aku menemukan siapa diriku yang sejati di dalam Tuhan.

Yesaya 43:7 mengingatkanku bahwa aku diciptakan untuk kemuliaan Tuhan. Tujuan dari kehadiranku di dunia ini adalah untuk kemuliaan-Nya! Aku mungkin tidak rupawan seperti selebriti, atau paling pintar, atau paling baik dalam semua yang kulakukan. Tapi, itu tidak penting, sebab tujuan hidupku ditemukan dalam Kristus.

Aku juga belajar dari 1 Korintus 6:19-20 bahwa tubuh ini adalah bait Roh Kudus. Aku bukanlah milikku sendiri, dan tubuhku adalah kepunyaan Tuhan. Aku harus merawat tubuhku baik-baik sebab itu adalah kediaman Tuhan. Ini berarti tujuanku menjaga pola makan adalah untuk membuat tubuhku tetap sehat.

Lambat laun, aku belajar menerima penampilan diriku, karena aku tahu bahwa Tuhan menciptakanku dengan sangat baik. Tuhan tidak membandingkanku dengan selebriti. Kenyataannya, Dia begitu mengasihiku hingga tidak ada satu hal pun yang bisa memisahkanku dari kasih-Nya (Roma 8:35)!

Ketika baru-baru ini aku membaca tulisan tentang meningkatnya jumlah kasus bunuh diri di antara para bintang K-Pop, aku dapat membayangkan bagaimana kegelapan yang mereka hadapi—perbandingan tanpa akhir, tekanan industri, kritik-kritik di media sosial. Mungkin mereka pun sebenarnya tidak ingin untuk mengakhiri kehidupan mereka.

Tapi aku juga teringat sebuah lagu Sekolah Mingguku dulu yang liriknya berkata, “Bersama Kristus kita bisa tersenyum dalam badai, tersenyum dalam badai.” Lagu ini mengingatkanku bahwa di dalam masa-masa kelam kita, kita dapat berseru kepada Tuhan yang tidak pernah meninggalkan kita untuk menghadapi pergumulan seorang diri. Tuhan akan mengubah kegelapan kita menjadi terang (Yesaya 42:16). Seandainya saja para bintang K-Pop itu mengetahui betapa Tuhan mencintai dan menyayangi mereka, mungkin mengakhiri hidup tidak akan jadi pilihan mereka.

Membanding-bandingkan diri adalah hal yang mengerikan. Itu membuatku sengsara selama masa remajaku dan menghalangiku untuk memenuhi tujuan Allah dalam hidupku. Sekarang aku menyadari bahwa para selebriti yang dulu sangat aku kagumi suatu saat nanti pasti akan menjadi tua. Penampilan fisik mereka yang mengagumkan akan memudar. Tapi tujuan Tuhan untuk kita memiliki nilai yang kekal. Perhatian dan kasih sayang yang aku cari tidak berasal dari penampilanku, tetapi hanya ditemukan di dalam Kristus.

Alih-alih terobsesi pada selebriti dan kecantikan fisik, sekarang aku berusaha menggunakan waktuku dengan bijaksana. Aku membaca firman Tuhan dengan sepenuh hati supaya aku dapat terus belajar lebih mengenal Dia. Pengejaranku juga telah berubah, dari lagu-lagu populer kepada lagu-lagu yang berisi puji-pujian kepada Tuhan. Tuhan adalah penghiburan dan sukacitaku yang luar biasa di hari-hari tergelapku, dan sukacita dari Tuhanlah yang akan terus menjadi kekuatan dan perisaku selamanya (Mazmur 28:7). Hatiku menemukan penghiburan di dalam Dia.

Baca Juga:

Di Tengah Patah Hati Hebat yang Kualami, Tuhan Memulihkanku

Karena penyakit tumor yang menyerangku di usia 20 tahun, hubunganku dengan pacarku pun terguncang hingga akhirnya kami putus. Aku patah hati dan begitu kecewa. Namun, Tuhan tidak tinggal diam. Dia menolongku dan memulihkanku.