Berdamai Dengan Perasaan Rendah Diri
Oleh Jessica Tanoesoedibjo, Jakarta
Satu hal yang sering menjadi pergumulanku secara pribadi adalah kecenderunganku untuk minder dan rendah diri. Mungkin hal ini adalah hal yang ironis, karena sepertinya di mata orang, hidupku baik-baik saja. Tuhan telah memberi aku keluarga yang baik, pekerjaan yang stabil, dan dalam ukuran dunia, memang aku hidup dalam kecukupan, dan bahkan kelimpahan.
Dari usia dini aku selalu merasakan pressure untuk menjadi orang yang sempurna. Sewaktu aku masih di Sekolah Minggu, aku memiliki ketakutan yang tidak wajar tentang neraka. Karena Alkitab pun menuntut kita untuk sempurna, karena Tuhan sendiri sempurna (Matius 5:48). Mungkin karena aku adalah anak tengah dari lima bersaudara—banyak orang berkata bahwa anak tengah cenderung memiliki “middle child syndrome” atau keinginan untuk dianggap. Atau mungkin ada unsur bullying yang pernah aku alami ketika duduk di bangku SMP. Apapun itu, selalu ada keinginan untuk menyenangkan orang tua, diterima di komunitas, dan menjalin hubungan yang baik dengan semua orang. Dan selalu–hal ini membuat aku merasa bahwa diriku adalah “kurang”.
Banyak orang berkata, “jangan minder!” “Itu hanya masalah mindset.” Namun, apa yang kita rasakan, tidak dapat kita abaikan begitu saja. Nasihat seperti ini, walaupun mungkin diucapkan dengan maksud yang baik, kadang malah tidak membantu. Karena kalau kita jujur, mau sekeras apapun kita mendorong diri, sesungguhnya, kepercayaan diri bukanlah hal yang bisa di buat-buat.
Supaya Aku Jangan Meninggikan Diri
Memang, ada perbedaan di antara kerendahan hati dan kerendahan diri. Alkitab mengajarkan kita untuk rendah hati, dan bukan rendah diri, karena sesungguhnya, manusia telah diciptakan segambar dan serupa dengan Allah (Kejadian 1:27). Namun, kerendahan diri bukanlah sesuatu yang dapat kita ubah dalam sekejap. Setidaknya, selama ini, perubahan tersebut bukanlah hal yang mudah bagi diriku. Walaupun mungkin setelah sekian lama tentunya aku mengalami pertumbuhan, kecenderungan untuk jatuh dalam unhealthy self-image seringkali masih ada.
Suatu bagian Firman yang menguatkan bagiku adalah 2 Korintus 12, di mana kita diceritakan tentang suatu kelemahan yang Paulus miliki. Ia menulis,
Dan supaya aku jangan meninggikan diri karena penyataan-penyataan yang luar biasa itu, maka aku diberi suatu duri di dalam dagingku, yaitu seorang utusan Iblis untuk menggocoh aku, supaya aku jangan meninggikan diri. 8 Tentang hal itu aku sudah tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya utusan Iblis itu mundur dari padaku (ayat 7).
Kita tidak pernah diberitahu apakah sesungguhnya ‘duri’ tersebut yang menjadi suatu gangguan dan halangan bagi Paulus, namun kita diceritakan betapa sang rasul telah berdoa pada Tuhan untuk mengambil duri tersebut darinya. Akan tetapi, dalam keluhannya pun, ia menyatakan suatu kebenaran, yaitu, bahwa duri tersebut ada “supaya aku jangan meninggikan diri.”
Satu hal yang aku syukuri dalam kecenderunganku untuk rendah diri adalah peringatan yang sangat nyata akan kelemahanku dan ketergantunganku kepada Tuhan. Banyak orang memikir bahwa cara untuk mendorong orang lain untuk menjadi percaya diri adalah untuk membanjiri mereka dengan pujian. Tentu, kita boleh memuji dan mengapresiasi orang lain. Namun, jika berlebihan, sanjungan dapat memupuki bibit keangkuhan yang ada dalam hati setiap manusia–keangkuhan yang ada di awal mula, ketika Adam dan Hawa menginginkan otonomi, dan menyangkal dependensi mereka terhadap Tuhan.
Dalam Kelemahan, Kuasa-Nya Sempurna
Mengakui kelemahan kita bukan berarti kita menjadi orang-orang yang pesimis dan tanpa harapan. Orang Kristen tidak seharusnya merasa terkalahkan ataupun putus asa. Karena sesungguhnya, Kristus telah menang atas dunia.
Namun, kemenangan Kristus bukan berarti tiba-tiba kita tidak lagi dihadapi oleh kekurangan dan kelemahan. Sayangnya kebiasaan kita dalam komunitas Kristen adalah untuk mengucap syukur kepada Tuhan dan memberikan kesaksian, hanya ketika ada hal-hal yang ‘layak’ untuk dibagikan. Seperti mengalami suatu mujizat atau terobosan yang tak terduga.
Sebaliknya kita melihat bahwa dalam kelemahannya, Paulus datang kepada Tuhan, sebagai seorang yang mengakui ketergantungannya pada-Nya. Dan Tuhan pun menjawabnya:
Tetapi jawab Tuhan kepadaku: ”Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. 10 Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat (ayat 9).
Satu hal yang menjadi penghiburan dan kekuatan bagiku, sewaktu-waktu aku jatuh dalam pemikiran-pemikiran yang tidak sehat tentang diriku sendiri (atau, unhealthy self-image) adalah Kebenaran Kekristenan yang paling mendasar. Bahwa identitasku tidak tergantung pada apa yang aku miliki, apa yang aku dapat bawa, ataupun pada pemikiranku tentang diriku sendiri. Identitasku sebagai anak Allah telah diberikan secara cuma-cuma oleh Tuhan yang telah membeliku dengan darah-Nya yang mahal.
Dalam Kebenaran inilah, aku percaya. Dan maka dari itu, karena Kebenaran ini, aku dapat bermegah atas kelemahanku, bahkan kerendahan diriku.
Yesus, Sang Raja Yang Merendahkan Diri-Nya Untuk Melayani Kita
Tuhan sendiri mencontohkan hal ini. Meskipun Ia adalah Raja segala raja, Ia datang ke dunia sebagai Bayi di palungan. Walaupun Ia adalah Tuhan, Ia tumbuh sebagai seorang manusia selama tiga puluh tahun dalam keterampilan pekerjaan ayah-Nya, seorang tukang kayu. Ketika Ia memulai pelayanan-Nya, banyak orang ingin menjadikan-Nya sebagai Raja. Tapi tidak lama kemudian, Ia dicemooh dan dihina, bahkan sampai kematian-Nya di atas kayu salib.
Yesus, Tuhan yang sempurna, merendahkan diri-Nya agar Ia dapat melayani kita, manusia yang angkuh. Ia tidak menuntut kesempurnaan dari kita, melainkan, mengasihi kita bahkan dalam segala kelemahan, agar kita dapat berseru kepada-Nya, sang Juruselamat. Dan karena Ia telah menjubahkan kita dengan kesempurnaan-Nya, kita dapat menjalankan hari-hari kita dengan setia, mengetahui bahwa bahkan dalam kelemahan kita, kasih Karunia Tuhan selalu ada.
Kamu diberkati oleh artikel ini?
Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!
3 Hal yang Kupelajari Ketika Aku Mengalami Frustasi Spiritual
Perasaan frustasi akan kegagalanku dalam pertobatan malah membuatku semakin menjauhi-Nya. Perasaan takut, sungkan dan khilaf membaur menjadi satu. Perasaan berulang inilah yang membuatku semakin depresi dalam spiritualku.