Posts

Untukmu yang Sedang Melewati Lorong Gelap

Oleh Yessica Anggi, Surabaya

Lorong gelap.

Itulah istilah yang kusematkan pada suatu masa ketika jalan hidupku terasa kelam. Aku pernah mengalami depresi, hilang tujuan hidup, dan kesepian. Aku tahu aku tidak bisa menyimpan semuanya sendirian, jadi kucoba untuk bercerita ke orang lain. Namun, saat itu bukannya dukungan yang kurasakan, malah penghakiman.

Kementrian Kesehatan mendefinisikan depresi sebagai sebuah penyakit yang ditandai dengan rasa sedih berkepanjangan dan kehilangan minat terhadap kegiatan-kegiatan yang biasanya dilakukan dengan senang hati. Secara sederhana, depresi dapat dikatakan gangguan kesehatan mental yang mempengaruhi perasaan, cara pikir, dan cara bertindak.

Pengalamanku dengan depresi terjadi sebagai dampak dari mengalami penolakan yang berujung kekecewaan, kegagalan dalam karier yang memaksaku memulai perjalananku dari awal lagi, juga kesepian. Aku pernah memiliki ekspektasi yang sangat tinggi buat hidupku. Aku harus jadi seperti teman-temanku yang pekerjaannya sudah lebih stabil. Soal hubungan pun aku mengatur diriku dengan ketat tanpa melihat sejauh mana kesiapan diriku. Ketika akhirnya aku terjatuh, mencari pertolongan dari orang lain terasa menakutkan karena aku takut respons mereka malah menambah rasa sakit di hati.

Sejak tahun 2022 aku bergumul dengan perasaan depresi ini, namun pelan-pelan Tuhan memberikan kedamaian hati. Dalam pekerjaanku sehari-hari di klinik perawatan pasien kanker, aku ditegur melalui cerita-cerita dari banyak pasien yang berobat. Mereka bertutur tentang beratnya perjuangan untuk bertahan dan tetap hidup. Ada seorang pasien yang bilang begini, “Aku tidak boleh nyerah, karena kehidupan yang diberikan kepadaku bukanlah kehidupan yang murah. Aku punya misi dan tugas yang belum selesai. Hidupku berharga.” Bukan hanya kata-kata itu saja yang membuatku tertegur, namun pasien itu juga mendonorkan kornea matanya! Salah satu tujuan hidupnya adalah dia ingin orang lain yang tidak bisa melihat dapat melihat indahnya dunia ini. Dengan mendonorkan korneanya, dia berharap walaupun nanti dia telah tiada, dia masih bisa menjadi berkat buat orang lain.

Cerita dan pertemuan dari orang-orang yang berjuang begitu hebat, yang tak cuma merasakan sakit di perasaannya, tapi juga di seluruh tubuh fisiknya menjadi cara Tuhan untuk membalut luka hatiku dan membuka pandanganku lebih luas. Adalah betul jika segala kepahitan hidup memaksaku masuk ke dalam lorong gelap yang panjang, tetapi imanku menolongku untuk tahu dan percaya bahwa lorong gelap itu tidak abadi. Di ujungnya, ada satu Sosok yang dalam terang-Nya menantiku untuk menikmati persekutuan erat dengan-Nya. Tuhan memberiku pemulihan meskipun semua masalah belum selesai. Saat ini aku telah bekerja kembali dan sesuai dengan janji-Nya, bila kemarin Tuhan menolongku, hari ini pun Dia akan menolong. 

Ada satu lagu yang liriknya menguatkanku.

Tuhan, Engkau memilihku
Sebelum ‘ku ada
Jemari-Mu yang menenunku
Serupa gambaran-Mu

Di saat “depresi”, pasti jalan yang kita lalui akan terasa seperti lorong gelap, namun lirik lagu itu mengajak kita untuk menyadari bahwa di balik kelamnya hidup, Tuhan merencanakan hidup yang indah dan baik buat kita. Tuhanlah yang memilihku untuk tujuan yang mulia sebelumku lahir.

Sekarang aku tahu bahwa ketika setiap orang dapat jatuh dalam depresi, kita dapat menyerahkan hidup kepada Sang Pemilik Hidup. Inilah keputusanku di tahun ini. Aku belajar untuk melepaskan kehendakku dan belajar bahwa kecewa, kesepian, dan sakit hati mungkin akan kembali kurasakan di masa depan, namun Tuhanlah yang pasti mengobatinya. Kadang kita dihancurkan untuk dibentuk kembali oleh-Nya.

Apabila hari ini ada di antara kamu yang sedang bersusah hati, aku berdoa agar Tuhan menolongmu dan memberimu damai sejahtera sebagaimana dulu Dia menolongku. Tuhanlah tempat yang tepat untuk kita datang dan menyerahkan semua beban kita.

God bless you!

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Aku, si Keong di Antara Macan

Minder, gak percaya diri… Mungkin kita pernah mengalaminya.

Melihat teman yang sudah mapan dalam banyak hal dan melihat diri sendiri yang rasanya “gitu-gitu aja”, seolah benar adanya kalau aku si keong di antara macan: aku berjalan lambat, sedangkan teman-temanku melaju cepat.

Sobat Muda, perjalanan hidup kita dengan orang lain pasti berbeda. Karena itu, hidup bukanlah tentang siapa yang paling cepat, melainkan suatu proses untuk kita belajar banyak hal dan menjalani hidup yang sesungguh-Nya di dalam Dia.

Jadi, jangan patah semangat yaa. Teruslah berproses. Tuhan melihat upayamu dan senantiasa menyertaimu 🤗

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

3 Tokoh Alkitab yang Berbuat Kesalahan, tetapi Dipulihkan

Seperti 3 tokoh Alkitab di atas yang pernah membuat kesalahan, kita pun pasti juga pernah membuat kesalahan.

Namun, terlepas dari kesalahan yang pernah kita lakukan, Tuhan tetap mengasihi kita. Dia senantiasa menyatakan kesetiaan-Nya ketika kita mengakui kesalahan kita dan kembali kepada-Nya. Dia juga senantiasa memulihkan kita menjadi baru.

Sobat Muda, apapun kesalahan yang telah kita perbuat, yuk mengakuinya di hadapan Tuhan. Percayalah, Dia terus mengasihimu dan Dia mampu membaharui kehidupanmu.

Artspace ini dibuat oleh @ya_mi_org dan @ymi_today

3 Fakta Indah tentang Imperfect Relationships

Kita tahu tak ada satupun relasi yang sempurna. Tapi, melalui ketidaksempurnaan itu, kita belajar tentang kasih dan bagaimana kita harus memelihara relasi itu.

Seperti Tuhan yang selalu mengasihi dan memelihara kita bagaimanapun diri kita, maukah kita juga mengasihi dan memelihara relasi dengan orang lain—siapapun itu?

Sobat Muda, yuk kasihi sesama seperti kasih Tuhan 🤗❤

Artspace ini ditulis oleh Raphael Zhang dan diterjemahkan dari @ymi_today.

Melalui Depresi, Aku Mengalami Anugerah Tuhan

Oleh Prillia Setiarini, Jakarta

Kira-kira sudah sepuluh tahun aku menjalani hari-hariku sebagai penyintas gangguan emosi manik-depresif. Aku ingat beberapa bulan sebelum psikiater mengeluarkan vonis tersebut, aku seringkali tercetus pemikiran untuk mengakhiri hidup. Saat itu aku masih menjalani rutinitasku sebagai mahasiswa. Namun, pemikiran-pemikiran yang negatif terus menghantuiku. Aku berpikir seakan tidak ada harapan buat masa depanku, dan aku juga kehilangan semua minat terhadap hobi-hobiku. Bahkan pada saat itu, aku merasa untuk bangun dari tempat tidur merupakan hal yang sangat berat.

Aku banyak berdiskusi dengan psikiaterku. Tentu saja aku ingin mengetahui mengapa aku mengalami hal seperti ini—mengapa pikiranku cenderung negatif dan aku seolah-olah tidak memiliki energi untuk bangun dari tidur. Psikiaterku menjelaskan dengan sabar. Gejala yang kualami mengindikasikan aku mengalami Bipolar, yang terdiri dari dua kata: “bi” yang berarti dua; dan “polar” yang berarti kutub. Ini bukan berarti penyintas bipolar memiliki dua kepribadian. Penyintas bipolar memiliki dua ‘kutub’ emosi yang berpindah sangat cepat atau bahkan mungkin mengalami dua ‘kutub’ emosi tersebut di saat yang bersamaan.

Secara sains apa yang aku alami disebabkan oleh genetik yang berarti keturunan, lingkungan yang mungkin membuat ada pencetusnya, atau lain sebagainya. Pada kasusku, penyebabnya merupakan kombinasi dari semuanya. Hanya saja, aku teringat satu hal yang benar-benar membuatku menjadi orang yang perfeksionis. Secara tidak langsung, sikap itu memengaruhiku dan menjadi alasan yang kuat mengapa aku begitu hilang harapan saat aku mengalami kegagalan.

Dari aku kecil, aku termasuk orang yang berprestasi. Aku dapat membuat daftar apa-apa saja yang sudah aku capai semenjak aku menginjak pra-sekolah. Hal ini terus memberi ‘makan’ ego yang aku miliki. Hingga suatu ketika, aku belajar Biologi di salah satu institut terbaik di Indonesia. Aku benar-benar merasa seperti ‘orang biasa’ tanpa prestasi saat bersekolah di sana. Aku mengalami yang aku maksud sebagai kegagalan. Aku dibawa ke psikiater pada saat pergantian semester dari semester 6 ke semester 7. Pada saat itu keluarga, teman-teman, dan rekan-rekan semuanya tidak mengerti mengapa aku bisa sampai divonis mengalami bipolar. Memang dari luar aku terlihat tidak apa-apa. Namun, di dalam hati aku merasa aku adalah orang gagal.

Psikiater memberikanku terapi, yang salah satunya menggunakan metode medisinal alias pemberian obat. Aku diberikan beberapa obat seperti anti-depresan, anti-cemas, obat tidur, dan obat-obat lainnya yang mendukung aku agar bisa beraktifitas seperti semula. Aku juga pergi ke konselor di gereja untuk meminta bantuan. Dukungan doa sangat membantuku untuk pulih. Selain itu aku juga melakukan terapi mindfulness, meditasi Firman Tuhan, memperbaiki pola tidurku dan pola makanku. Semenjak itu aku menjalani pola hidup sehat baik secara fisik maupun rohani.

Perjalananku untuk pulih tidak seratus persen mulus. Ada satu hal yang membuatku sakit hati saat itu, yaitu ketika aku diharuskan untuk mengambil cuti kuliah. Tidak pernah terbayang olehku sebelumnya untuk mengundur kelulusanku hanya karena riwayat kesehatanku ini. Namun, aku benar-benar diingatkan melalui renungan akan Firman bahwa Tuhan tidak membiarkanku jauh dari-Nya dan bahwa aku tidak boleh memprioritaskan pencapaian-pencapaianku di atas segalanya. Ayat yang terus aku ingat pada saat aku menyadari akan hal ini diambil dari Keluaran 20:3: “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku.”

Setelah apa yang aku alami, aku sadar bahwa aku dulu orang yang begitu sombong. Dulu aku menjadikan pencapaian-pencapaianku sebagai pijakan; tempat di mana aku dapat menyandarkan identitas, latar belakang aku, dan harga diri, sehingga saat aku merasa gagal, aku merasa harga diriku sangat rendah. Padahal Tuhan tidak menginginkan hal-hal tersebut dialami oleh aku dan oleh kamu. Aku yakin Tuhan ingin kita menjadikan Dia sebagai batu penjuru dan prioritas utama di hidup kita.

Sampai sekarang aku masih belajar untuk menyerahkan hidupku sepenuhnya untuk Tuhan. Aku menyerahkan identitasku, pencapaian-pencapaian, masa lalu, masa kini, masa depan, harga diri, semuanya aku serahkan kepada Allah Bapa.

Aku yakin Ia akan menjamin semuanya. Aku juga yakin Ia akan menjamin hidup teman-teman juga. Apakah kamu juga mau menyerahkan hidupmu seutuhnya kepada Allah Bapa, sang Juruselamat?

Kekuatan Kita Sendiri Tidak Akan Mampu Mengubah Kita

Oleh Sofia Dorkas Pakpahan, Medan

“New year, new me.”

Istilah ini banyak disebut orang dalam menyambut tahun baru, biasanya muncul berbagai postingan media sosial. Begitu pun aku, rasanya kurang afdol kalau tidak ikutan tren juga. Kuperhatikan foto yang ingin kuposting. Tanda “kirim” belum juga aku klik. Entah mengapa, aku merasa kalau postingan itu kukirim, aku seakan membohongi diriku sendiri.

Sembari jariku masih memegang HP, aku menatap lekat foto itu dan bertanya dalam hati, “Apakah aku benar-benar sudah menjadi new me di tahun ini?”

Sulitnya menjadi “New Me”

Banyak orang berlomba-lomba menyebutkan berbagai resolusinya di awal tahun untuk menunjukkan bahwa mereka benar-benar ingin menjadi pribadi yang baru, namun resolusi tersebut tampak semakin hilang di bulan-bulan berikutnya dan akhirnya resolusi yang direncanakan sedemikian rupa di awal tahun pun gagal dilakukan. Tak dapat ditampik, namun kebanyakan orang Kristen juga mengalami hal yang sama. Ketika mengawali tahun yang baru dengan semangat resolusi yang menggebu-gebu namun akhirnya gagal untuk dilakukan. Mengapa? Kurasa alasan terbesarnya adalah karena kita tidak memiliki kekuatan untuk menggenapinya.

Tidak berbeda denganku yang juga mengalami hal yang sama. Salah satu resolusi yang ingin kulakukan bahkan dari tahun-tahun yang lalu yaitu ingin bisa menyelesaikan membaca seluruh pasal di Alkitab. Harusnya ini bisa dilakukan dengan mudah, hanya membaca tidak butuh waktu yang lama bukan? Namun, mengapa rasanya sangat sulit untuk dilakukan? Bahkan hingga sekarang aku sudah menginjak tahun yang baru, aku belum juga bisa menyelesaikan hingga Kitab Wahyu. Bagaimana mungkin aku bisa mengirim postingan dengan caption, “New Year New Me?

Cara menjadi “New Me”

Jika ditanya apakah aku tidak berkomitmen sehingga aku gagal menyelesaikan resolusiku, tentu aku memiliki komitmen. Bahkan komitmen itu sudah kubangun sejak aku menetapkan resolusiku. Tetapi benar kata orang, mengucapkan memang mudah, tetapi bertahan untuk melakukan komitmen itulah yang sulit.

Saat pertama kali menetapkan resolusi, aku selalu membuat notes kecil untuk mengingatkanku setiap hari untuk membaca satu per satu ayat di Alkitab. Namun, kesibukan kuliah membuatku perlahan melupakan resolusiku dan tidak lagi melakukannya. Ini menunjukkan bahwa ternyata komitmen saja belum tentu membuat kita berhasil melaksanakan resolusi kita. Satu hal yang akhirnya kusadari, selama ini aku hanya mengandalkan kekuatanku sendiri dan melupakan bahwa sesungguhnya hanya Tuhanlah yang mampu membantu dan memberi kekuatan pada kita. Mungkin terlihat sederhana, namun hal yang kita pikir kecil itu pun akan sulit kita lakukan seandainya kita tidak bersandar dan menyerahkannya kepada Tuhan.

Kisah perubahan hidup yang dialami Daud adalah contoh yang baik untuk kita terapkan. Kita tahu bahwa Daud pernah berdosa di hadapan Tuhan dengan melakukan zinah. Atas perbuatannya itu, Daud pun lantas menyesal. Dalam Mazmur 51:12 dia berseru, “Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh!”.

Ada sesuatu yang menarik yang bisa kita gali dari seruan Daud. Perhatikan, dalam seruan itu Daud tidak mengucap janji untuk menjadi lebih baik di masa depan. Yang Daud lakukan adalah berbalik pada Tuhan dan belas kasih-Nya. Daud secara lugas meminta Tuhan untuk memperbaharui hatinya, menjadikannya pribadi yang baru. Tuhan tak hanya mampu mengampuni, tetapi Dia juga mengubahkan hati seseorang menjadi murni. Daud mungkin akan terus gagal dalam upayanya berbalik dari dosa jika dia hanya bersandar hanya pada kekuatannya sendiri.

Lebih lanjut, Filipi 4:13 yang ditulis oleh Paulus pun meneguhkan kita bahwa segala perkara dapat kita tanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan pada kita.

Kekuatan untuk menjadi “New Me” hanya didapat dari Allah saja. Resolusi kita bisa berhasil hanya jika kita mengandalkan Allah dan berkomitmen total untuk melakukannya.

Aku sangat menyesali tindakanku yang karena kesibukan kuliah akhirnya aku mengabaikan apa yang sudah aku tekadkan dari awal, bahkan aku melupakan untuk meminta pertolongan dari Tuhan dan terus mengandalkan diri sendiri sehingga resolusi yang kubangun sejak awal berakhir gagal.

Namun sekarang, setelah sekian menit berlalu dengan memandangi handphone yang saat ini kupegang, akhirnya dengan penuh berani aku menekan tombol “kirim” dan postinganku dengan caption “New Year New Me” pun terunggah. Aku memutuskan, jika di tahun 2022 aku belum berhasil menyelesaikan membaca Alkitab hingga akhir, maka di tahun 2023 ini aku akan menyelesaikannya. Begitu pun dengan resolusiku yang lainnya. Tidak lupa aku juga menyerahkan keputusanku ini kepada Tuhan, memohon agar Dia memperbaharui hatiku. Aku percaya, Tuhan pasti akan membantuku. Walaupun akan ada hambatan menanti yang kita tidak tahu itu apa, namun selagi kita selalu bersandar pada Tuhan, maka Tuhan akan membantu menggapai apa yang kita inginkan.

Bagaimana denganmu? Apa resolusimu tahun ini? Apapun itu, mulailah tahun ini dengan kebiasaan baru sebagai “Pribadi yang baru” di dalam Tuhan. Hanya dalam Tuhan sajalah kita mampu mewujudkan segala resolusi yang kita inginkan dan menjadi seseorang yang baru, seperti istilah “New year new me”.

Imanku Bertumbuh dari Balik Kegagalan

Oleh Abyasat Tandirura, Toraja

Aku bersyukur terlahir sebagai seorang anak petani yang kerap merasakan pasang surut kehidupan yang tak mudah tetapi terus dilakoni agar tetap menjadi harapan demi keberlangsungan hidup itu sendiri. Ketika musim menanam padi hendak dimulai, aku menyaksikan langsung bagaimana proses yang dilakukan oleh para petani yang dimulai dari pesemaian bibit hingga memperoleh hasil akhir yakni tuaian padi.

Terlepas dari serangkaian proses sampai padi siap dituai, ada satu hal yang menarik perhatianku hingga menjadi sebuah perenungan bagiku ketika aku memaknai kegagalan dalam perspektif iman. Aku memperhatikan terkadang benih padi yang disemaikan ayahku serta para petani lainnya, ada yang bertumbuh dengan sempurna, bertumbuh sebagian, hingga ada pula yang gagal tumbuh sama sekali. Padahal, semua padi itu berasal dari benih yang sama dan melalui proses persemaian yang sama. Namun, ternyata tidak sedikit benih yang tidak layak dijadikan bibit padi siap tanam.

Seperti benih padi yang gagal tumbuh, kegagalan juga menghampiri hidupku. Akan tetapi, jika benih padi yang gagal tumbuh itu tidak ada lagi artinya sebab tidak akan pernah menghasilkan tuaian baru, maka lain halnya dengan kegagalanku. Kegagalanku justru sungguh berarti dan memberiku harapan baru.

Bagaimana aku memaknai kegagalanku, sehingga menjadi pondasi yang kuat untuk menjalani hari-hariku baik sekarang pun di masa menjelang? Iman seperti apa yang membuatku teguh di tengah kesukaran hidup untuk berjuang mendapatkan pekerjaan yang baru? Melalui tulisan ini, Aku berharap kiranya kita semua tetap teguh beriman dan tidak hilang harapan untuk setiap perjuangan yang sedang berlangsung.

Awal September kemarin, menjadi perjuangan pertamaku untuk mendapatkan pekerjaan baru pasca resign dari tempat kerja sebelumnya. Dengan semangat yang membara, aku membulatkan tekad untuk mengikuti serangkaian proses seleksi pegawai yayasan pada salah satu perguruan tinggi swasta yang cukup jauh dari tempat tinggalku. Aku sungguh bersemangat mempersiapkan sejumlah berkas. Demi pekerjaan ini, aku menempuh perjalanan lintas kabupaten agar bisa memenuhi persyaratan administratif.

Aku bersemangat dan melakukan yang terbaik yang bisa kulakukan karena satu hal. Jika aku bisa mendapat pekerjaan ini, aku bisa tetap menunaikan tanggung jawab pelayananku di gereja tempatku berjemaat. Aku yakin motivasiku ini selaras dengan firman Tuhan, karena aku tahu bahwa bekerja juga adalah wujud pelayanan. Aku sungguh ingin melayani Tuhan di tempat kerjaku, juga di gereja, agar hidupku bisa berbuah seperti yang diserukan oleh rasul Paulus: “Tetapi jika aku harus hidup di dunia, itu berarti bagiku bekerja memberi buah” (Filipi 1:22b).

Akan tetapi, untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak.

Lagi, namaku tidak tertera dalam daftar pengumuman hasil akhir tes. Padahal, aku dan beberapa temanku berpendapat bahwa soal yang diujikan tidaklah sesulit soal-soal setingkat rekruitmen BUMN atau seleksi CPNS. Lagipula, beberapa materi yang telah kupelajari selama 2 minggu sangat membantuku dalam menjawab sejumlah soal yang diujikan. Bahkan, sesi wawancara pun berjalan dengan lancar.

Kuakui, perjuangan yang berawal dengan penuh semangat tetapi berujung pada kegagalan ini, membuatku berkecil hati. Aku telah kehilangan pekerjaan saat memutuskan untuk memilih resign karena SK kontrak kerjaku tak lagi diperpanjang, juga agar aku bisa mencari pekerjaan baru dengan upah kerja yang jauh lebih baik.

Perasaan khawatir juga melintas di benakku. Aku takut tidak punya penghasilan, sementara hidup menuntut banyak kebutuhan. Aku takut kesehatan mentalku terganggu, bila aku terlalu lama menganggur.

Aku teringat pada kisah kegagalan serupa yang telah menerpaku setahun lalu bahkan pada tahun-tahun sebelumnya. Sejujurnya, secara fisik aku lelah tak berdaya tatkala meratapi kegagalan-kegagalan tersebut. Aku berpikir, mungkinkah kegagalan kali ini adalah kesalahanku atau mungkin nasibku selalu sial? Kendati demikian, ada satu hal yang memampukanku berdiri teguh sejauh ini yakni iman.

Bagi Tuhan, tak ada yang mustahil. Hati kecilku menyerukan dengan lantang kata-kata ini. Seruan iman dan pengharapan ini seakan menyulap hatiku yang dingin menjadi hangat merekah. Seperti judul tulisanku “Imanku Bertumbuh dari Balik Kegagalan, aku bertanya pada diriku: andaikata iman itu bisa dihitung atau bisa berwujud benda, apakah imanku hanya sebiji benih padi saja? Tidak sebulir, apalagi segenggam? Jika benar ia hanya sebiji benih padi saja, apakah ia benar-benar bertumbuh dengan baik sehingga olehnya kelak terbit harapan baru yakni tuaian benih-benih padi bernas?

Kitab Ibrani 11:1 menuliskan dengan jelas bahwa: Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.

Aku belajar lebih dalam tentang iman dan kegagalan yang kualami ini. Aku yakin sepenuhnya bahwa saat kita hidup beriman, tidak berarti kita tidak lagi mengalami kegagalan dan bila kita mengalami kegagalan, bukan berarti kita tidak beriman. Iman menjadi dasar dari setiap pengharapan kita. Andaikata aku tahu sebelumnya bahwa aku tidak lolos, untuk apa aku rela berlelah-lelah mengikuti serangkaian seleksi itu? Aku menyadari bahwa meski hatiku gundah gulana karena gagal mendapatkan pekerjaan, Tuhan tetap mengasihiku dengan membangkitkan dan menyegarkan kembali imanku.

Kegagalan ini sungguh membuat imanku bertumbuh.

Betapa tidak, aku belajar bahwa bukan soal besar kecilnya iman yang kita miliki, tetapi bagaimana kita menghidupi iman itu; apakah kita tetap percaya dan taat. Aku percaya bahwa rancangan-Nya jauh lebih baik daripada keinginanku. Aku yakin bahwa Ia tetap setia pada janji-Nya tentang rancangan masa depan yang penuh damai sejahtera. Aku perlu taat sepenuhnya kepada-Nya ke mana saja Ia membawaku dan memberiku pekerjaan baru kelak.

Kini, dengan sukacita aku mau mengatakan bahwa bukan perkara lolos atau tidak melainkan bagaimana iman yang kumiliki itu—bahkan bila hanya sebiji benih padi—makin bertumbuh dengan baik, makin membawaku pada rancangan dan tujuan-Nya semata sehingga aku tidak harus meratapi kegagalanku dan tidak perlu berkecil hati. Senada dengan iman, aku teringat akan perkataan Yesus kepada murid-murid-Nya tentang Iman sebesar biji sesawi.

“…Sebab Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana,-maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu” (Matius 17:20).

Ketika gagal, aku bersyukur bahwa Tuhan tidak hanya membangkitkan dan menyegarkan kembali imanku, tetapi juga Ia menerbitkan harapan baru bagiku untuk terus berjuang dan tidak menyerah hingga suatu waktu aku mendapatkan pekerjaan baru. Harapan itu diteguhkan oleh firman-Nya: “Lihat, Aku telah melukiskan engkau di telapak tangan-Ku; tembok-tembokmu tetap di ruang mata-Ku” (Yesaya 49 : 16)

Sekarang, aku sungguh mengimani bahwa pengharapan dan iman percaya kita, pun ketaatan kita kepada-Nya, akan memandu dan membuat kita sampai pada tujuan, tidak hanya kesuksesan tetapi juga kemuliaan kekal. Aku pun mengerti bahwa kegagalan bukanlah kesalahan melainkan sebuah momen yang menolong kita untuk bersyukur dalam segala hal, sekaligus menumbuhkan iman dan pengharapan kita jauh melebihi dari semua hal yang kasat mata. Kiranya, hari demi hari iman kita terus bertumbuh dari Firman-Nya.

Kepada semua teman-temanku yang mengalami kegagalan sepertiku, aku mau berkata bahwa janganlah terlalu larut dalam kesedihan dan kekecewaan sebab ketika kita hidup di dunia, pencapaian kesuksesan bukanlah prioritas utama. Lebih daripada kesuksesan duniawi, sejatinya aku dan kamu sedang berjuang menghidupi iman di dalam Kristus untuk mencapai tujuan akhir yaitu hidup kekal bersama-Nya selamanya di sorga kelak.

Terpujilah Tuhan

Waktu Badai Kelam Datang, Ingatlah Bahwa Itu Pasti Akan Berakhir

Oleh Sofia Dorkas Pakpahan, Medan

“Si ambis”

Julukan itu disematkan buatku. Akar katanya berasal dari “ambisi”, yang artinya keinginan yang besar untuk memperoleh sesuatu. Aku tidak menolak julukan itu karena memang teman-teman mengenalku sebagai sosok mahasiswa yang giat belajar agar proses perkuliahanku dapat berjalan maksimal. Tapi… julukan itu menjadi beban buatku. Mereka sering mengandalkanku dalam urusan akademik karena dianggap pintar dan aku pun berusaha keras supaya julukan si ‘ambis’ yang mereka sematkan itu memang mengantarku pada nilai terbaik.

Namun, di akhir masa kuliah rupanya ekpektasiku tidak sesuai dengan realita. Nilai-nilai di tiap mata kuliah tidak sesuai harapanku. Malahan, teman-teman yang kupikir nilainya akan lebih rendah dariku malah meraih lebih baik. Aku pun berkecil hati. Rasanya julukan ‘si ambis’ tidak pantas kudapatkan karena hasil yang kuterima tidaklah maksimal.

Perasaan gagal dan kecewa memenuhi pikiranku dan aku kehilangan mood untuk beraktivitas. Suatu ketika, saat aku sedang berdiam diri di rumah, hujan turun dengan derasnya membuat mood-ku makin tidak bagus. Aku bergumam kesal. Ketika malam tiba, aku diam saja di kamar.

“Tok…tok,” suara pintu diketuk.

Ibuku masuk ke dalam kamarku dan mengajakku keluar rumah. Sebenarnya aku enggan keluar kamar, tapi supaya tidak memperpanjang percakapan aku menyetujuinya.

Di halam rumah, ibu mengajakku bercerita. “Nak, coba kamu lihat ke atas, apa yang kamu lihat?”

Aku tak tahu mau menjawab apa sebab langit malam itu tidak ada bedanya dengan langit di hari-hari yang lalu. Langit ya tetap langit, aku membatin. “Biasa saja, tidak ada yang istimewa,” jawabku.

Ibuku tersenyum dan menanggapiku dengan pertanyaan lagi. “Coba kamu lihat, ada bulan dan banyak bintang. Apa kamu tahu mengapa mereka jadi kelihatan sangat indah?”

Aku menggeleng.

“Karena langitnya gelap, Nak. Apa kamu sadar, bulan dan bintang memerlukan langit yang gelap agar sinarnya tampak? Dan dengan begitu mereka akan jadi terlihat sangat indah di langit malam.”

Aku agak terkejut. Aku tak pernah memikirkan benda-benda langit dengan sesentimentil itu. Ibuku masih belum berhenti bercerita, dia kembali berkata, “Sama seperti hujan yang turun sore tadi, jika kamu menunggu sebentar maka kamu akan lihat pelangi yang indah sehabis hujan turun. Apa kamu tahu kenapa pelangi itu sangat indah? Karena ia muncul dengan aneka warna di atas langit yang berwarna kelam kelabu. Bulan di langit malam dan pelangi sehabis hujan itu sama seperti kehidupan kita, Nak.”

Aku tak menanggapi ucapan-ucapan ibu. Aku tertegun, lalu teringat akan hal-hal yang membuatku sedih: perasaan gagalku. Saat kurenungkan lebih dalam, sebenarnya kegagalan yang kualami adalah hal alami yang terjadi dalam hidup. Yang namanya hidup pastilah ada kegagalan. Jika tidak pernah gagal maka aku tidak akan pernah maju. Lagipula, Tuhan sendiri pun telah berjanji bahwa sekalipun kita mengalami kegagalan atau hal-hal berat dalam hidup, Dia tidak akan meninggalkan kita. Tuhan selalu ada untuk menolong dan menopang kita agar kita selalu bangkit bersama-Nya (Mazmur 37:23-24).

Percakapan dengan ibuku pelan-pelan melembutkan hatiku dan menggantikan awan kelam dalam pikiranku dengan seberkas cahaya. Kegagalan dan kesulitan sering terasa seperti penderitaan yang tidak akan ada habisnya. Kehadirannya pun ibarat hujan lebat yang tak peduli akan turun di tanah mana. Namun, hujan tak selamanya turun. Ada waktunya untuk berhenti. Ada pelangi sehabis hujan, seperti lirik lagu yang tak asing kita dengar: seperti pelangi sehabis hujan, itulah janji setia-Mu Tuhan. Kadang memang dibutuhkan ‘kegelapan’ ataupun ‘badai’ agar kita bisa bersinar dan melihat pelangi.

Nilai-nilai yang kuraih bukanlah acuan untuk menunjukkan bahwa aku seorang yang pintar atau tidak, juga bukan penentu mutlak akan kesuksesanku di masa depan. Namun, bukan berarti itu semua tidak penting dan kita bisa menjalani studi asal-asalan. Prestasi akademik adalah buah dari perjuangan kita dan seharusnya kita bangga dan bersyukur apabila kita berjuang dengan sungguh-sungguh, bukannya kecil hati dan mengerdilkan segala usaha kita.

Sifat rajinku juga mungkin kepintaran yang orang-orang lain sering sematkan padaku adalah anugerah dari Tuhan yang seharusnya tidak membuatku tinggi hati dan menganggap rendah orang lain atau mengharapkan mereka memperoleh hasil yang lebih jelek dariku.

Kegagalan dan perenunganku menatap benda-benda langit malam itu membukakan wawasan imanku yang baru sekaligus meneguhkanku bahwa segala kelebihan dan kekuranganku adalah hal baik yang Tuhan berikan dalam hidupku dan aku dipanggil-Nya untuk memberitakan Injil, menyebarkan berkat Tuhan bagi orang lain dalam hidup sehari-hari.

Meskipun prestasi akademikku tidak sesuai harapanku, ini bukanlah akhir hidupku. Aku dapat belajar lebih rendah hati menerimanya sembari melakukan evaluasi diri untuk memperbaiki apa yang salah dalam diriku. Meraih nilai terbaik akan kulakukan bukan sebagai ajang untuk pamer atau memenuhi ambisi diriku semata, tetapi sebagai wujud syukurku memaksimalkan kesempatan studi yang Tuhan izinkan buatku.

Dalam sukses ataupun gagal, Tuhan senantiasa menolong dan menyertai kita. Kita tidak sendirian, kita selalu bisa memilih untuk bangkit bersama Tuhan.

Ketika Pekerjaanku Menjadi Tempat Tuhan Memproses Hidupku (Bagian 2)

Oleh Cana

“Wah, setelah 3 tahun tidak bekerja akhirnya aku dapat pekerjaan! Aku senang kegirangan karena namaku muncul di pengumuman final CPNS 2021.”

Sekitar tahun 2019, tepat tiga tahun yang lalu aku menulis artikel pertamaku di WarungSaTeKaMu dengan judul “Ketika Pekerjaanku Menjadi Tempat Tuhan Memproses Hidupku”. Jika menengok di masa itu, sungguh sulit untuk menerima semua hal yang tak sesuai harapan. Aku yang saat itu bekerja di sebuah universitas swasta ternama terpaksa tidak bisa mengajar hingga akhirnya bekerja dengan posisi staf administrasi. Aku sungguh merasa tertolak dan sempat berpikir mengakhiri hidup. Setahun kemudian, kontrak kerjaku pun tak dilanjutkan oleh pihak kampus. Aku pengangguran dan tak terasa tiga tahun sudah aku tidak bekerja pada suatu instansi atau lembaga (meskipun sekarang aku telah jadi ibu rumah tangga). Selama itu juga aku terus bergumul dan merenungkan apakah Tuhan akan memberikan kesempatan lagi untuk dapat bekerja? Dan apakah aku memang dipanggil bekerja sebagai dosen?

Melalui pengalaman sebelumnya yang sungguh sangat tidak mudah dilewati, Tuhan mengajariku tentang nilai diri yang sejati dan sebuah sikap rendah hati. Dengan latar belakang pendidikanku dan segala pencapaian yang telah aku peroleh, aku merasa sangat bernilai dan berharga. Bahkan saat diterima di universitas ternama ini aku merasa sangat bangga dengan diriku… namun Tuhan sungguh baik karena Dia memproses dan mengajariku bahwa nilai diriku tidaklah ditentukan dari pekerjaanku.

Perjalanan karierku mengharuskanku mengalami jatuh bangun dan penuh dengan air mata. Namun, dari sinilah aku belajar bahwa nilai diri yang sejati tidak seharusnya dilekatkan pada sebuah prestasi atau posisi. Sebelumnya, pekerjaan bagiku adalah sebuah prestasi dan pencapaian. Jika aku memiliki posisi di pekerjaan yang bagus maka aku merasa berharga, bernilai dan berguna. Akan tetapi, jika tidak maka sebaliknya—aku akan merasa tertolak. Melalui proses itu, aku belajar bahwa pekerjaan seharusnya dipandang sebagai sebuah “kendaraan” untuk membantu kita sampai ke tujuan yaitu melakukan visi atau panggilan-Nya bagi kita.

Aku pun akhirnya mengerti bahwa pekerjaan seharusnya bisa dipandang sebagai sebuah anugerah (pemberian dari Tuhan) sehingga aku tak perlu merasa minder atau super. Minder karena merasa tidak mampu dan tak layak mendapatkan pekerjaan ini atau super karena merasa sangat mampu dan arogan. Status pekerjaan nyatanya adalah sebuah kondisi yang bisa sangat mudah berubah dan dinamis. Mungkin karena pergantian atasan atau kondisi pandemi seperti sekarang ini. Jadi sudah selayaknya kita tidak melekatkan nilai diri kita padanya.

Setelah lama tidak bekerja, aku memberanikan diri untuk melamar sebagai dosen CPNS 2021. Tahapan dan seleksi demi seleksi kulalui. Tentu masih diwarnai dengan perasaan yang pesimis dan tak berani berharap banyak. Namun aku mencoba untuk berusaha semaksimal mungkin menggunakan waktu yang ada untuk belajar dan berserah pada-Nya. Pengumuman final pun keluar dan namaku adalah salah satu yang muncul.

Sungguh aku merasa terkejut, tak percaya, bingung, bersyukur dan senang. Aku tidak pernah membayangkan sebelumnya bisa menjadi salah satu peserta yang diterima di seleksi CPNS kali ini. Mengingat sudah tiga kali aku mencoba tes CPNS, namun berakhir gagal. Namun, kali ini aku diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk memiliki “kendaraan” agar bisa berjalan menuju panggilan-Nya bagiku—untuk mengajar orang lain, menanamkan nilai-nilai kehidupan yang sejalan dengan firman-Nya bagi peserta didik. Dengan pekerjaan di tempat baru ini pun, aku ingin terus belajar pada-Nya tentang nilai diri yang sejati dan rendah hati. Dan seperti yang dikatakan dalam firman-Nya “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan” (Matius 11:29).