Posts

Apakah Kesepian itu Dosa?

Oleh Neri Morris
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Is Loneliness A Sin?

Suatu hari aku berangkat kerja. Buku yang baru kuedit di malam sebelumnya muncul di pikiranku, aku berusaha memastikan lagi kalau apa yang kutulis di sana sudah benar secara biblikal. Jadi, kepada dua orang pendeta di ruanganku, aku mengajukan dua pertanyaan:

“Jika Taman Eden itu adalah representasi dari surga-”

“Iya, kah?” pendeta senior balik bertanya.

“Bukankah begitu?” jawabku.

“Apakah Taman Eden itu sungguh nyata?”

“Pertanyaan bagus, tapi mungkin ini lebih baik dijawab di sesi diskusi lain…dan untuk jawaban dari pertanyaan yang terakhir kuajukan, anggap saja Taman Eden itu nyata. Pertanyaanku ialah: jika Taman Eden sungguh nyata dan itu menjadi representasi dari surga, menjadi satu dengan Allah—apakah kesepian akan ada pula di surga karena itu ada di Taman Eden?”

Anak dari pendeta itu ikut menimpali, “Tidak, kesepian itu dosa.”

Aku terkejut, dan kutanya kembali, “Kok bisa?”

“Kesepian datang dari tempat di mana kamu mengalihkan pandanganmu dari Allah. Kamu tidak lagi bersandar pada-Nya,” jawab pendeta senior itu. “Pertanyaan sebenarnya adalah—apakah ada perbedaan antara menjadi sendiri dan merasa kesepian?” tambahnya lagi.

Pertanyaan ini membuatku berpikir.

Aku pernah menulis buku tentang masa lajang, dan di dalamnya aku meluangkan banyak waktu untuk bicara tentang kesepian, mengakui bahwa itu salah satu hal yang sering dialami oleh para lajang.

Tapi pemikiran baru yang menyatakan kesepian adalah dosa sungguh menggangguku. Aku bisa mengerti kenapa anak pendeta itu berkata demikian: apa pun yang menjauhkan kita dari Allah, yang menyebabkan kita meragukan Dia dan mencari kenyamanan di tempat lain, adalah dosa.

Tapi apakah merasa kesepian itu dosa? Atau, apakah dosa itu hanya berkaitan dengan apa yang kita lakukan untuk merespons kesepian itu? Dan, jika tidak baik bagi seorang pria atau wanita untuk sendiri, apakah dosa jika memang mereka memilih untuk hidup sendiri?

Kubukalah tab-tab di Google, dan kuketik, “Apakah kesepian itu dosa?”, dan kudapati kebanyakan artikel mengatakan kesepian bukanlah dosa. Aku sependapat dengan itu. Kesepian sejatinya adalah perasaan yang punya daya yang kuat. Kesepian adalah emosi yang bisa mendorong kita untuk mengambil aksi secara fisik. Kesepian itu tidak nyaman, menyakitkan, yang membuat kita melakukan sesuatu. Kupikir apa yang kita lakukanlah yang akan jadi titik penentunya.

Jika kesepian muncul dan menyelubungiku, aku punya banyak tempat untuk kupergi. Aku bisa pergi ke kafe, bioskop, rumah teman, nonton TV, dan sederet tempat lainnya. Di tempat-tempat itu aku akan menemukan sesuatu, seseorang, atau hal-hal lainnya yang bisa meringankan rasa sakit dari kesepian, dan untuk sementara waktu, aku tidak akan merasa sendirian.

Ada satu kata yang menjadi akar: sendirian.

Apakah kesepian dan menjadi sendiri itu dua hal berbeda?

Yesus sering memilih untuk sendiri. Dalam Matius 26:36-44, di malam sebelum penyaliban-Nya, Yesus pergi sendirian untuk berdoa, memohon pada Allah agar “kiranya cawan ini lalu daripada-Ku”. Ada pula momen-momen lain yang tertulis di Alkitab bahwa Yesus pergi untuk menyendiri, mencari pertolongan dan ketenangan dalam waktu-waktu teduh bersama Allah.

Tapi, apakah Yesus pernah merasa kesepian?

Mungkin tidak pada saat Dia melayani, tapi aku pikir satu momen ketika Dia merasakan pedihnya kesepian adalah ketika Dia tergantung di kayu salib, Allah memalingkan wajah-Nya. “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Yesus berseru (Matius 27:45-46). Namun, meskipun dilanda kesepian hebat, Yesus tetap memenuhi kehendak Bapa.

“Mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Yesus berseru. Di momen ini kita melihat Allah meninggalkan Yesus supaya kita tidak pernah lagi mengalami bagaimana pedihnya terpisah dari Allah.

Tapi sekarang, kita masih saja merasa kesepian.

Aku tinggal sendirian. Hari-hariku menyenangkan, tapi ada malam-malam ketika aku pulang setelah hari yang melelahkan dan aku hanya ingin ada seseorang duduk di sebelahku dan berkata, “Semua akan baik-baik saja.” Hidup sendirian berarti aku tidak mungkin pulang ke rumah dan mendapati ada seseorang yang akan memperlakukanku demikian ketika aku membutuhkan penguatan.

Apa yang kulakukan dengan kesepianku di momen-momen seperti itu?

Jawabanku, apa yang kulakukan akan menentukan apakah kesepian itu dosa atau tidak.

Jika kamu memikirkan tentang kesepian, itu adalah perasaan yang sama dengan perasaan lainnya yang juga kita rasakan. Contohnya, “Apa yang aku lakukan dengan marah/cemburu/frustrasi/sedih/penolakan di saat perasaan itu terasa sungguh menusuk?” Bagaimana kamu menjawab pertanyaan itu akan menentukan apakah hasilnya dosa atau tidak.

Merasa marah pada dasarnya tidaklah buruk, Allah menunjukkan kemarahan-Nya dalam Alkitab pada beberapa momen. Marah versi Allah adalah marah yang benar, dan Dia pun menciptakan kita untuk dapat merasakan marah. Allah mengizinkan kita untuk merasa marah, sebagaimana Dia juga mengizinkan kita untuk merasakan kasih.

Intinya adalah, emosi apa pun yang kita rasakan dapat mendorong kita kepada Kristus, yang telah berjanji tidak akan pernah meninggalkan kita (Ulangan 31:6, Ibrani 13:5). Apa yang kita lakukan dalam merespons emosi itulah yang menentukan apakah itu akan menjadi dosa atau tidak.

Ketika aku merasakan sejumput kesepian, aku melakukan sesuatu yang kusuka. Aku pergi ke teman-temanku atau menikmati alam. Opsi pergi ke alam menolongku terhubung dengan Allah dan mengingatkanku akan kebaikan dan kebesaran-Nya, bahwa aku tidak pernah sendirian. Allah hadir dalam rupa Roh, tapi juga dalam keindahan-keindahan yang Dia izinkan mengelilingiku.

Bagaimana denganmu? Apa yang kamu lakukan untuk merespons perasaan kesepianmu?


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Ketika Sulit Tidur Mengingatkanku akan Kesetiaan Tuhan

3 minggu berkutat dengan insomnia membuatku bergumul. Aku baru bisa tidur pulas sekitar jam 3 atau 5 subuh meskipun aku sudah mendengar musik, membaca, atau melupakan kepenatan sepanjang hari yang kualami.

3 Hal yang Kupelajari Ketika Aku Mengalami Frustasi Spiritual

Oleh Olyvia Hulda, Sidoarjo

Ketika kali pertama kamu mengenal Tuhan Yesus, masih ingatkah kamu bagaimana perasaanmu? Mungkin kamu merasa senang, rasa selalu ingin dekat dengan Tuhan, serta kerinduan untuk menghidupi pertobatanmu sangat kuat. Rasa-rasanya kita ingin selalu berbuat baik dan hidup berkenan pada-Nya.

Demikian juga dengan aku. Ketika aku menerima Tuhan, pengampunan dari-Nya membuatku bersemangat untuk menghidupi kehidupanku yang baru. Aku menerapkan beberapa disiplin rohani secara teratur, hingga akhirnya aku merasa rohaniku sudah cukup kuat dan aku berhasil meninggalkan dosaku yang lama.

Namun, seiring berjalannya waktu, berbagai persoalan dan rintangan pun datang memengaruhi. Terlebih di situasi pandemi Covid-19 ini sangat memengaruhi spiritualitasku. Kurangnya pertemuan ibadah dan interaksi yang intens dengan sesama orang percaya, serta dampak dari pandemi dalam pekerjaan membuatku frustasi, baik secara mental maupun spiritual. Godaan pun sungguh kuat untuk kembali kepada kehidupan yang lama sebelum bertobat.

Awalnya aku pikir aku cukup kuat untuk melawan godaan. Menerapkan disiplin rohani (berdoa teratur, saat teduh, berkumpul dan berdoa) dan juga menjauhi sumber dosa, menurutku itu sudah cukup untuk meneguhkan pertobatan. Namun semenjak pandemi, godaan itu semakin kuat dan pada akhirnya, aku kembali jatuh. Berbagai komik dan novel yang dapat diakses dengan mudahnya membuatku asyik dengan dunia sendiri, sehingga membuatku terbayang-bayang akan jalan ceritanya, sampai aku melupakan jam-jam doaku. Apalagi platform komik yang kubaca menawarkan bacaan gratis setiap harinya. Aku pun akhirnya enggan untuk datang kepada-Nya, dan lebih menikmati bacaanku yang lebih menarik ketimbang Alkitab dan artikel saat teduh.

Firman Tuhan dari 1 Yohanes 1:9 sungguh menguatkanku, bahwa Tuhan selalu mengampuni segala dosa-dosaku, saat aku mengakuinya di hadapan-Nya. Namun, perasaan frustasi akan kegagalanku dalam pertobatan malah membuatku semakin menjauhi-Nya. Perasaan takut, sungkan dan khilaf membaur menjadi satu. Perasaan berulang inilah yang membuatku semakin depresi dalam spiritualku.

Suatu hari, aku membaca sebuah nats di 1 Korintus 10:12, bahwa siapa yang menyangka bahwa Ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh. Roh Kudus dengan sangat jelas mengingatkanku melalui ayat ini, bahwa aku pun harus selalu waspada terhadap diriku sendiri, sekalipun nampaknya aku berhasil menjalankan pertobatanku. Ya, waspada terhadap segala godaan di luar ekspetasi, yang membuatku jatuh kembali.

Aku bersyukur, di tengah situasi yang depresi, pengampunan dan kehadiran Tuhan selalu nyata dalam doaku. Dalam doa, Tuhan juga mengingatkanku, agar tetap berkomunikasi secara intens dengan orang percaya, dan juga memohon mereka untuk mendoakanku di tengah situasi pandemi ini. Intinya, untuk menghadapi pergumulan dosa ini, aku memerlukan orang lain untuk mendoakan dan mendengarkan keluh kesahku dengan tulus.

Sebagai orang yang terbiasa melayani orang lain, aku sedikit gengsi apabila aku yang malah dilayani. Namun, sekali lagi Roh Kudus mengajarkan kepadaku melalui kitab Galatia 6:2 untuk “Bertolong-tolonglah menanggung bebanmu, demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.”

Rasul Paulus mengajarkan bahwa kita perlu berbagi beban kepada orang percaya, agar kita dapat memenuhi hukum Kristus. Aku belajar untuk membuka diri untuk bercerita dan mengakui pergumulanku akan dosa ini.

Sejujurnya, aku sangat tidak terbiasa terbuka dengan orang lain perihal pergumulan dosaku. Namun aku belajar untuk terbuka walaupun rasa malu menghantuiku, dan meminta petunjuk Tuhan agar aku dapat terbuka dengan orang yang tepat. Bersyukur, Tuhan mengingatkanku kepada beberapa saudara seiman yang bersedia mendengar dan mendoakan pergumulanku. Puji Tuhan, berkat doa mereka, aku pun kembali bangkit seperti awal mulanya, dan spiritualitasku mulai kembali pulih seperti sedia kala.

Pengalaman frustasi secara spiritual ini membuatku belajar akan beberapa hal. Pertama, keberhasilan kita akan pertobatan kita bukan didasarkan semata pada kehebatan diri kita, tetapi Roh Kudus yang berkarya ketika kita sungguh-sungguh menyerahkan diri untuk tidak lagi tunduk di bawah kuasa dosa. Sebagus apapun disiplin rohani yang kita terapkan, namun bila kita tidak pernah meminta Roh Kudus untuk menolong kita untuk menerapkannya, maka kemungkinan besar kita dapat jatuh ke dalam dosa yang lebih besar lagi, atau ada godaan tak terduga di luar sana yang membuat kita kembali jatuh. Dan juga, pertobatan yang sejati juga bukan karena perasaan cinta yang menggebu-gebu, tetapi karena anugerah Allah atas kita.

Kedua, aku belajar bahwa mengaku dosa dan kelemahan ini baik untuk kesehatan spiritual. Mengaku diri lemah dan tak berdaya adalah caraku untuk berlatih merendahkan hati, serta terlindung dari dosa kesombongan. Tak hanya itu, aku pun belajar akan kuasa Tuhan dalam dosa dan kelemahanku. Saat aku belajar mengakui dosaku, di situlah aku merasakan kasih dan anugerah-Nya, dan dimampukan untuk bangkit kembali dari rasa frustasiku.

Ketiga, kita tidak pernah sendirian! Selain ada Tuhan, ada pula teman-teman seiman yang dapat menolong kita. Melalui pengalaman frustasiku, aku belajar untuk mempercayakan diri kepada mereka, dan memohon doa mereka. Bila kita merasa takut untuk bercerita, kita bisa memohon pertolongan Tuhan agar diberi keberanian dan kerendahan hati untuk mau terbuka kepada rekan kita, serta berdoa juga meminta hikmat agar kita dapat bercerita kepada orang yang tepat: menerima cerita kita, memberi masukan tanpa menghakimi, peduli, dan punya hati yang suka mendoakan orang lain.

Di masa sulit ini, marilah kita bersama-sama saling tolong-menolong, saling mendukung satu dengan yang lain, dan juga memberi nasihat/masukan berlandaskan kasih antara satu dengan yang lain. Kiranya kita semua dapat merasakan anugerahNya di tengah kesulitan ini.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Membuka Luka Lama untuk Menerima Pemulihan

Perasaan sepi dan sendiri membuatku merasa tertolak. Aku pikir akulah sumber semua masalah, aku tidak layak dan tidak pantas. Semua cara kulakukan agar aku diterima oleh pertemanan di sekitarku, tetapi upaya itu hanya membuatku lelah dan terjebak dalam depresi.

Sia-Siakah Kita Bersabar?

Hari ke-27 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Sia-Siakah Kita Bersabar?

Baca: Yakobus 5:7-11

5:7 Karena itu, saudara-saudara, bersabarlah sampai kepada kedatangan Tuhan! Sesungguhnya petani menantikan hasil yang berharga dari tanahnya dan ia sabar sampai telah turun hujan musim gugur dan hujan musim semi.

5:8 Kamu juga harus bersabar dan harus meneguhkan hatimu, karena kedatangan Tuhan sudah dekat!

5:9 Saudara-saudara, janganlah kamu bersungut-sungut dan saling mempersalahkan, supaya kamu jangan dihukum. Sesungguhnya Hakim telah berdiri di ambang pintu.

5:10 Saudara-saudara, turutilah teladan penderitaan dan kesabaran para nabi yang telah berbicara demi nama Tuhan.

5:11 Sesungguhnya kami menyebut mereka berbahagia, yaitu mereka yang telah bertekun; kamu telah mendengar tentang ketekunan Ayub dan kamu telah tahu apa yang pada akhirnya disediakan Tuhan baginya, karena Tuhan maha penyayang dan penuh belas kasihan.

Sia-Siakah Kita Bersabar?

Aku merasa cukup sudah. Hatiku sangat berat memikirkan hal-hal yang menyakitkan ini. Untuk apa terus membawa rasa sakitku dalam doa jika tidak ada yang akan segera berubah?

Tuhan telah memintaku membawa rasa sakitku kepada-Nya daripada menekannya atau berusaha mengatasinya sendiri dengan cara yang tidak sehat. Saat aku melakukannya, kehadiran Tuhan yang memberi ketenangan terkadang bisa kurasakan begitu nyata. Adakalanya Tuhan juga menunjukkan cara pandang atau pemikiran baru terhadap situasi yang aku hadapi.

Namun malam itu, tidak ada yang terjadi. Aku merasa diliputi oleh kesia-siaan. Rasa sakit itu masih di sana. Aku masih merasa terluka.

Di tengah rasa putus asa dan frustrasi, Tuhan mengingatkanku pada Yakobus 5:7-8 yang berkata, “Karena itu, saudara-saudara, bersabarlah sampai kepada kedatangan Tuhan! Sesungguhnya petani menantikan hasil yang berharga dari tanahnya dan ia sabar sampai telah turun hujan musim gugur dan hujan musim semi. Kamu juga harus bersabar dan harus meneguhkan hatimu, karena kedatangan Tuhan sudah dekat!

Tuhan menunjukkan kepadaku bahwa ketika para petani menabur, hujan tidak langsung datang. Si petani harus menanti turunnya hujan untuk menyirami tanah itu. Hujan musim gugur dan hujan musim semi hanya akan datang pada waktu tertentu, tidak setiap saat.

Pada intinya, kesabaran adalah salah satu karakter yang dibentuk dalam proses menantikan Tuhan dan mempercayai waktu-Nya. Kita belajar untuk tidak menjadi gelisah karena hasil yang tidak segera terlihat.

Yakobus mengingatkan bahwa kita tidak perlu menanti dalam ketidakpastian. Titik akhirnya jelas adalah “kedatangan Tuhan” (ayat 7-8) yang “sudah dekat” (ayat 8). Ada dua pengertian yang aku dapatkan dari ayat ini. Pertama, dalam kedaulatan-Nya, Tuhan berkuasa untuk datang melakukan sesuatu dalam situasi yang sedang kita hadapi di dunia ini. Kedua, bila Tuhan memilih tidak melakukannya, sudah pasti, di akhir sejarah dunia ini Dia akan “menghapus segala air mata” dari mata kita (Wahyu 21:4a). Sebagai orang-orang Kristen, kita semua sangat menantikan waktunya “tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu” (Wahyu 21:4b).

Apa yang kita tabur sekarang dengan air mata itu ibarat benih-benih kecil, tidak ada artinya dibandingkan dengan panen sukacita yang melimpah—karena “hasil yang berharga” dari tanah yang ditabur (ayat 7) Tuhan akan membuat kita menuai hasilnya. Karena di dalam Kristus, Dia akan membawa kita menuai hasil. Di dalam Kristus, “penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, jauh lebih besar dari pada penderitaan kami. Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal” (2 Korintus 4:17-18).

Bagian Alkitab ini mengakui bahwa menanti-nantikan Tuhan untuk menyembuhkan rasa sakit kita dapat membuat kita gelisah dan tidak bahagia. Namun, bagian ini juga mengingatkan kita: “Saudara-saudara, janganlah kamu bersungut-sungut dan saling mempersalahkan, supaya kamu jangan dihukum. Sesungguhnya Hakim telah berdiri di ambang pintu” (ayat 9).

Ketika diri kita merasa gelisah, takut, atau bergumul dengan cara lain saat menghadapi masalah yang sulit untuk waktu yang lama, kita bisa saja melampiaskan rasa sakit kita dan meluapkan rasa frustrasi kita kepada orang lain. Perasaan itu bisa keluar sebagai rasa iri atau cemburu kepada orang-orang yang menurut kita memiliki hidup lebih baik dari kita. Mungkin juga kita akan tergoda untuk menjadi tidak sabaran atau mudah tersinggung oleh orang lain saat kita berusaha mengatasi perasaan dalam batin kita.

Kita harus menjaga agar cara kita menghadapi situasi sulit tidak menyebabkan kita menaburkan pertikaian dalam hubungan-hubungan kita. Sikap yang “bersungut-sungut” dan menyalahkan saudara-saudara kita, tidaklah menyenangkan Tuhan.

Sebaliknya, kita harus bertekun dalam perjalanan kita sama seperti para nabi Perjanjian Lama. Yakobus mengajar kita, “Saudara-saudara, turutilah teladan penderitaan dan kesabaran para nabi yang telah berbicara demi nama Tuhan. Sesungguhnya kami menyebut mereka berbahagia, yaitu mereka yang telah bertekun” (ayat 10-11a). Bisa bertekun melewati penderitaan adalah sebuah berkat, karena pada akhirnya ketekunan itu akan menghasilkan pengharapan yang tahan uji dalam kasih Tuhan kepada kita (Roma 5:3-5).

Terakhir, Yakobus juga memberitahu kita betapa pentingnya mengingat kehadiran Tuhan yang menyertai kita saat kita bertekun. Ia mengingatkan bagaimana Tuhan datang untuk Ayub, dan bahwa Tuhan itu ada di pihak kita: “Sesungguhnya kami menyebut mereka berbahagia, yaitu mereka yang telah bertekun; kamu telah mendengar tentang ketekunan Ayub dan kamu telah tahu apa yang pada akhirnya disediakan Tuhan baginya, karena Tuhan maha penyayang dan penuh belas kasihan” (ayat 11).

Karena Tuhan itu penuh belas kasihan dan rahmat, kita dapat sepenuhnya percaya bahwa Dia berkuasa untuk campur tangan dalam kesulitan yang harus kita hadapi dengan cara yang akan membawa kita menuai sukacita.

Yang perlu kita lakukan adalah bertekun mempercayai hati-Nya untuk kita, dan menantikan Dia menolong kita. —Raphael Zhang, Singapura

Handlettering oleh Robby Kurniawan
Photo credit: Ian Tan

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Dalam bidang kehidupan mana saja kamu mengalami kesulitan? Apa yang telah menolongmu untuk lebih sabar menantikan Tuhan dalam bidang-bidang kehidupan tersebut?

2. Apakah cara kamu menantikan Tuhan memunculkan ketegangan atau gesekan dalam hubunganmu dengan orang lain? Jika ya, apa saja yang bisa kamu lakukan secara berbeda?

3. Dalam menghadapi penderitaan, apakah kamu percaya bahwa Tuhan itu ada di pihakmu dan Dia akan datang untuk menolong, sama seperti yang dilakukan-Nya untuk Ayub? Jika kamu ragu, apa yang menurutmu dapat menolongmu untuk memahami karakter Tuhan sebagaimana yang diajarkan Kitab Suci?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Raphael Zhang, Singapura | Raphael suka membaca dan menulis, dan dua aktivitas ini dia gunakan sebagai sarana untuk terhubung dengan firman Tuhan. Sejak Raphael dipulihkan oleh Tuhan dari kehancurannya, Raphael bersemangat untuk menolong orang lain agar dapat dipulihkan juga oleh Tuhan yang begitu mengasihi manusia. Raphael juga tergila-gila pada keju, tetapi cinta terbesarnya tetaplah Yesus.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus