Posts

Ketika Beban di Pundakmu Terasa Terlalu Berat

Oleh Bramantyo

“Brakkkkk!”, kereta api yang tengah melaju kencang menghantam sesuatu.

Bukan motor atau mobil yang ditabrak oleh kereta itu, melainkan sesosok manusia yang sengaja menabrakkan dirinya dengan cara bertengkurap di rel. Kisah pilu ini terjadi di kota Jogja, pada bulan Mei 2013. Tidak ditemukan identitas apa pun pada lokasi kejadian selain ciri-ciri fisik korban yang berkulit sawo matang dan disinyalir berusia sekitar 40 tahunan.

Barulah setelah aparat kepolisian melakukan investigasi, terungkap teka-teki siapa identitas korban dan mengapa dia nekat melakukan aksi tragis tersebut. Dia [korban] adalah ayah dari anak semata wayang, suami dari seorang istri, dan ketua panitia dari sebuah konser musik. Kesalahan komunikasi pada gelaran musik yang diketuainya membuatnya jadi bulan-bulanan dari banyak pihak yang melemparkan caci maki untuknya di media sosial. Konser musik akbar yang didamba berjalan mulus rupanya didera banyak masalah; mulai dari urusan promosi yang tak jalan, persoalan dana yang kurang, dan para artis yang akhirnya membatalkan partisipasi karena belum menerima honor. Sebagai ketua panitia, korban mencari cara untuk menutupi kekurangan uang. Dia berutang, tapi hasil utangan itu tidak cukup. Konser yang seharusnya berjalan dua hari, hanya jadi sehari. Pendapatan dari tiket masuk dan sponsor pun tetap tidak balik modal. Segala kemelut ini menghimpit pundaknya, dan bebannya menjadi terlampau berat ketika caci-maki dilemparkan padanya.

“Trimakasih atas sgala caci maki….ini gerakan.. Gerakan menuju Tuhan.. Salam,” tulis korban pada akun twitternya. Ini adalah status terakhirnya sebelum dia ditemukan tak lagi bernyawa.

* * *

Aku ingat kisah itu pernah kubaca di sebuah koran cetak. Pada tahun 2013, aku masih menjadi mahasiswa semester dua di kota Jogja, masa-masa yang banyak kuisi dengan terlibat di berbagai kepanitiaan kampus. Aku bergidik membaca kisah pilu itu. Aku tak dapat membayangkan betapa beratnya menjadi seorang ketua panitia yang dicap gagal menjalankan sebuah event. Bagi kita yang pernah terlibat dalam sebuah kepanitiaan, entah itu untuk acara festival di kampus, atau acara kebaktian Natal di gereja, kita mungkin setuju bahwa menjadi seseorang yang bertanggung jawab atas sebuah acara tidaklah mudah.

Jika beban untuk sebuah acara yang berlangsung dalam hitungan jam atau hari saja terasa berat, kita tidak menampik bahwa beban-beban hidup lainnya pun tak kalah berat. Malahan, ia harus ditanggung setiap hari dan kita tak tahu kapan dan di mana garis finishnya. Ketika studi kita terganggu karena kesulitan keuangan, ketika beban pekerjaan semakin membuat letih karena tuntutan yang semakin tinggi dari atasan, atau ketika segala impian dan harapan kita karam karena penyakit yang menggerogoti tubuh kita. Segala beban tersebut seringkali membuat pundak kita seolah remuk. Dan, pada banyak kasus pikiran kita meresponsnya dengan memunculkan gambaran solusi instan: mengakhiri kehidupan.

Data dari Bank Dunia mencatat pada 2016 kasus bunuh diri di Indonesia berada di angka 3,4 per seratus ribu populasi . Kasus-kasus ini bukanlah statistik semata, itu menyajikan pada kita sebuah realitas: bahwa kehidupan ini rentan. Siapa pun tidak kebal dari godaan untuk mengakhiri masalah secara instan. Aku pun pernah beberapa kali mengutarakan keinginan ini dalam tangisanku. Kehidupanku sebagai anak yang lahir di luar pernikahan sah, yang tak mendapat perhatian cukup dari orang tua seringkali membuatku dirundung kesepian. Aku beranggapan jika keluarga yang katanya orang terdekatku saja tidak peduli denganku, maka siapalah aku ini hingga aku perlu melanjutkan hidup.

Namun, syukur kepada Allah karena dalam momen terkelam sekalipun sejatinya Dia tidak pernah meninggalkan kita (Ibrani 13:5). Melalui berbagai kesempatan—rangkulan hangat dari seorang kawan yang tetiba mengajakku mengobrol, sapaan apa kabar dari teman lama, alunan musik yang lirik dan nadanya meneduhkan hati, atau dari pandanganku akan ciptaan Allah di sekelilingku yang dipelihara-Nya dengan cantik, meneguhkan kembali pondasi hatiku yang rapuh. Aku dan kamu, kita semua berharga dan dipelihara-Nya, sebagaimana Allah memelihara kehidupan pada burung-burung pipit di udara yang tidak menabur dan menuai. Bahkan, kita jauh melebihi daripada burung-burung itu. (Matius 6:26).

Menguatkan kembali pundak yang didera beban terlampau berat sungguh bukanlah pekerjaan yang mudah. Itu upaya yang akan melibatkan derai air mata, dan bukan tidak mungkin pula keputusasaan selalu mengetuk hati kita. Tetapi ingatlah…

Ketika beban di pundakmu terasa terlalu berat, mungkin hati dan bibirmu enggan untuk mengakuinya. Mungkin kamu malah menghakimi kalau dirimu terlalu lemah untuk menanggung semua ini.

Ketika beban di pundakmu terasa terlalu berat, mungkin akan ada orang-orang yang tetap mencibirmu karena mereka tak melihat betapa panjang dan sulitnya perjalanan yang telah kamu tempuh.

Ketika beban di pundakmu terasa terlalu berat, mungkin air matamu akan menetes dan pandangan di depanmu tampak kelam. Kamu tak tahu bilamana permasalahan ini akan berujung.

Tetapi…

Ketika beban di pundakmu terasa terlalu berat, ingatlah kembali dengan perlahan bahwa ada Pundak lain yang turut menanggungnya bersamamu. Ingatlah bahwa di atas pundak itu pernah tertanggung segala cela dan hina yang seharusnya mengantar seluruh umat manusia kepada kebinasaan.

Ketika beban di pundakmu terasa terlalu berat, ingatlah kembali dengan perlahan bahwa ada janji mulia yang dianugerahkan kepadamu. Bahwasannya segala penderitaan yang kamu alami akan mendatangkan bagimu kemuliaan kekal.

Ketika beban di pundakmu terasa terlalu berat, ingatlah kembali dengan perlahan bahwa Dia yang turut menanggung bebanmu, berkuasa untuk membalut luka-luka hatimu dan meneguhkan kembali langkahmu yang gontai. Dia mungkin tidak mengubah keadaan dengan sekejap, pun melenyapkan segala beban itu, tetapi dalam tuntunan-Nya, Dia akan membawamu menang sampai ke garis akhir.

Aku berdoa, kiranya dalam perjalanan berat yang kamu lalui, kamu senantiasa dapat merasakan kehadiran Allah yang memelihara. Bersama Dialah, perjalananmu akan mengantarmu kepada tujuan yang telah Dia tetapkan untukmu.

Tuhan memberkatimu.

Baca Juga:

Kasih yang Melukai

Banyak dari kita beranggapan bahwa wajah yang ceria mencerminkan kehidupan yang mudah. Namun, dibalik senyuman terlebar pun, setiap orang punya cerita. Aku berharap setelah membaca ini, kita semua dapat menjadi pribadi yang lebih memiliki empati terhadap orang lain.

5 Hal yang Menolongku Mengatasi Stres

Penulis: Hans Anthony

5-Ways-To-Deal-With-StressPhoto credit: Nathan Congleton via Foter.com / CC BY-NC-SA

Masalah adalah tanda adanya suatu kehidupan.
Problems are a sign of life.

Mungkin kita pernah mendengar ungkapan tersebut. Selama kita hidup, masalah pasti selalu ada. Satu-satunya kondisi yang membebaskan kita dari masalah adalah saat kita sudah mati.

Masalah yang datang bertubi-tubi kerap membuat kita kehilangan fokus dan kehabisan energi. Hidup menjadi kacau. Kita tidak tahu harus berbuat apa. Kita menjadi stres. Lalu, bagaimana?

Pengalaman mengajarkan saya, minimal ada 5 hal yang dapat kita lakukan:

1. Berdoa

Kedengaran klise? Sebagai orang Kristen, kita tahu bahwa doa adalah sarana kita berkomunikasi dengan Tuhan. Ketika masalah datang dan stres menyerang, kita sering diingatkan untuk berdoa dan meminta pertolongan Tuhan. Namun, apakah kita sungguh-sungguh melakukannya? Bukankah seringkali kita tidak mencari Tuhan terlebih dulu, melainkan berusaha mencari jalan keluar sendiri atau mencari orang lain yang mungkin bisa membantu kita?

Ada pengalaman di tahun 2012 yang selalu saya ingat. Saat itu saya menghadapi situasi dalam bisnis yang membuat saya sangat stres. Perusahaan saya harus membayar denda sekitar 100 juta rupiah karena ada kesalahan dalam menghitung nilai pajak ketika kami mengimpor barang. Padahal waktu itu perusahaan saya baru berusia dua tahun dan masih sangat membutuhkan banyak modal untuk bisa berjalan.

Logisnya, makin besar masalah yang kita hadapi, makin cepat kita akan datang kepada Tuhan, bukan? Namun, selama berhari-hari saya berusaha mencari jalan keluar sendiri. Saya berpikir keras bagaimana caranya untuk tidak membayar denda sebesar itu. Dan, usaha saya berakhir tanpa hasil.

Alkitab sudah memberitahu kita untuk menyerahkan segala kekuatiran kita kepada Tuhan, Pribadi yang sanggup memelihara kita (Mazmur 55:22). Alkitab juga mengajar kita untuk tidak kuatir, tetapi menyatakan segala keinginan kita dalam doa kepada Allah (Filipi 4:6). Tetapi mungkin, kita tidak terlalu yakin Allah akan mempedulikan kita. Ada begitu banyak masalah di dunia ini dan ada begitu banyak orang yang membawa permohonan mereka kepada Tuhan. Akankah Tuhan mendengarkan doa saya? Seandainya pun Dia sungguh mendengarkan, jalan keluar apa yang bisa Dia berikan? Daripada berdoa, lebih baik kita melakukan sesuatu yang lain.

Tuhan mengizinkan saya mengalami masalah yang sangat besar supaya saya bisa belajar berdoa. Saya datang kepada Tuhan dalam keputusasaan saya, mengakui betapa saya sangat terbatas dan memohon Tuhan membuka pikiran saya untuk bisa menemukan jalan keluar. Setelah berdoa, saya merasa beban saya diangkat, saya menjadi jauh lebih tenang dan damai. Benar bahwa ketika kita berserah kepada Tuhan, Dia akan menggantikan rasa frustrasi kita dengan damai sejahtera-Nya yang melampaui segala akal (Filipi 4:7). Masalah saya masih ada, tetapi saya tidak lagi dilumpuhkan oleh stres karena saya tahu, saya tidak sendirian menghadapi masalah itu.

2. Mencari komunitas yang membangun

Lingkungan di sekitar kita akan sangat mempengaruhi cara kita menghadapi masalah. Jika kita dikelilingi teman-teman yang optimis, kita akan menjadi lebih positif dalam menyikapi suatu masalah. Namun, jika kita lebih sering berkumpul dengan teman-teman yang melihat berbagai hal secara negatif, cepat atau lambat kita pun akan mudah kecewa dan kehilangan semangat.

Saya bersyukur memiliki teman-teman seiman yang memiliki sikap positif dalam hidup, orang-orang yang bisa saya ajak bicara saat menghadapi hari-hari yang penuh masalah. Meskipun mereka bukan orang-orang yang ahli dan bisa memberi solusi soal pajak, mereka memberi banyak dorongan semangat dan mendukung saya dalam doa-doa mereka. Dengan membagikan masalah yang sedang saya hadapi kepada mereka, saya sendiri mulai melihat situasi saya dari perspektif yang berbeda. Tingkat stres saya berkurang drastis.

Untuk mengatasi stres, carilah komunitas yang punya komitmen untuk saling membangun. Beradalah di tengah orang-orang yang mengasihi Tuhan dan punya kerinduan untuk bertumbuh serupa Kristus. Dalam komunitas yang demikian, kita dapat saling menolong dan menopang satu sama lain (Pengkhotbah 4:9-10; Amsal 18:24).

3. Mengucap syukur

Ada sebuah kalimat bijak yang mungkin sering kita dengar: “Do not tell God how big your problem is, but tell your problem how big your God is”. Jangan hanya mengeluh kepada Tuhan tentang betapa besarnya masalahmu, hadapilah masalahmu dengan mengingat betapa besarnya Tuhanmu. Saat kita hanya berfokus kepada masalah-masalah kita, kemungkinan besar kita akan merasa stres dan kewalahan.

Namun, saat saya datang kepada Tuhan dalam doa dan berada di sekeliling teman-teman yang mengasihi Tuhan, saya jadi menyadari betapa saya memiliki begitu banyak alasan untuk mengucap syukur. Pelajaran penting dalam bisnis ini diizinkan Tuhan saya alami ketika perusahaan saya masih kecil. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya bila masalah tersebut baru saya alami saat perusahaan saya sudah besar. Bukan saja saya harus membayar denda dalam jumlah yang jauh lebih fantastis, para karyawan saya (beserta keluarga mereka) juga pasti akan terkena imbasnya .

William James, seorang filsuf dan psikolog Amerika pernah berkata, “Senjata terbesar melawan stres adalah kemampuan kita memilih apa yang akan kita pikirkan.” Saya memilih untuk mengubah fokus pikiran saya dari “apa” (masalah-masalah saya) kepada “Siapa” (Tuhan). Hasilnya? Ternyata di tengah situasi yang berat sekalipun kita dapat menghitung berkat. Tuhan menghendaki kita untuk mengucap syukur dalam segala hal, tidak hanya pada saat semua berjalan lancar, tetapi juga pada saat kita mengalami banyak tekanan hidup (1 Tesalonika 5:18).

4. Melihat masalah dari perspektif Tuhan

Sebagai manusia yang pengertiannya terbatas, seringkali kita membuat kesimpulan-kesimpulan yang keliru atas situasi yang kita hadapi. Catatan Alkitab tentang 12 pengintai selalu mengingatkan aku betapa pentingnya melihat berbagai hal dalam hidup ini dari perspektif Tuhan. Ketika kesepuluh pengintai melaporkan tentang kota-kota berkubu, orang-orang raksasa, dan berbagai halangan besar untuk memasuki tanah Kanaan, bangsa Israel pun menyimpulkan bahwa Tuhan hendak membiarkan mereka celaka dan tidak ada lagi harapan bagi mereka (Bilangan 14:2-4). Namun, kedua pengintai lainnya, Yosua dan Kaleb, melihat situasi yang ada dari perspektif yang sangat berbeda. Mereka melihat kebaikan Tuhan yang memberikan mereka negeri yang luar biasa baiknya, dan mereka memiliki keyakinan penuh bahwa Tuhan berkuasa melindungi mereka (Bilangan 14:7-9).

Daripada membiarkan diri dikuasai oleh stres dan rasa putus asa, saya belajar untuk bertanya, “Apa yang Tuhan ingin lakukan di dalam dan melalui saya dengan mengizinkan masalah ini terjadi?” Saya sendiri mengalami bagaimana masalah membentuk saya menjadi pribadi yang memiliki karakter lebih baik, lebih tegar, lebih bijak, juga lebih teliti dalam bekerja. Saya belajar bagaimana menjadi seorang pengusaha yang baik, yang menjalankan bisnis menurut kebenaran-Nya.

5. Belajar dari proses yang dijalani

Menyerahkan segala kekuatiran kita kepada Tuhan tidak berarti kita menjadi orang yang pasif dan ceroboh. Jika kita tidak belajar dari proses yang kita alami, dengan mudah kita akan kembali stres (mungkin dalam kadar yang lebih tinggi) saat kita menghadapi masalah yang serupa.

Kembali pada cerita tadi, saya akhirnya memutuskan untuk belajar lebih banyak tentang aturan penghitungan pajak. Tanpa disangka, saya menemukan sebuah artikel di internet yang menjelaskan tentang pajak barang impor. Melalui artikel itu saya menemukan peraturan pemerintah yang menyatakan bahwa cara saya menghitung pajak sudah benar. Keesokan harinya saya langsung menunjukkan artikel tersebut kepada konsultan pajak saya. Beliau kemudian mengatakan bahwa artikel itu benar dan atas dasar peraturan yang ada, saya tidak perlu membayar denda sepeser pun. Puji Tuhan!

Ketika Tuhan mengizinkan anak-anak-Nya menghadapi masalah, Dia berjanji bahwa masalah-masalah itu tidak akan melampaui kekuatan kita, dan Dia sendiri akan menyediakan jalan keluar sehingga kita dapat menanggungnya (1 Korintus 10:13). Bila kita memenuhi pikiran kita dengan janji-janji Tuhan, stres tidak akan lagi mendapat tempat di sana. Kita akan dapat menerima situasi yang ada dengan ucapan syukur dan terbuka untuk belajar, karena kita tahu bahwa Tuhan dapat memakai segala sesuatu untuk membentuk anak-anak-Nya makin serupa dengan-Nya. Dia bahkan akan mempersiapkan kita untuk hal-hal yang lebih besar! Ingatlah bagaimana Yusuf ditempa selama 13 tahun penuh kesulitan, sebelum ia diangkat sebagai orang nomor dua yang paling berkuasa di seluruh Mesir. Ingatlah bagaimana iman Daniel diuji habis-habisan saat bekerja di bawah pemerintahan raja-raja yang tidak mengenal Tuhan, sebelum akhirnya ia diberi kedudukan tinggi melebihi para pejabat lainnya di dalam kerajaan.

Selama kita masih hidup, bisa dipastikan masalah akan datang, dan kita akan mengalami berbagai episode stres. Tetapi, kita tidak perlu menjadi tawar hati. Kita dapat mengatasi stres dengan bergantung kepada Tuhan dan memegang erat janji-janji-Nya. Kita dapat meminta nasihat teman-teman seiman dan mengubah fokus pikiran kita. Kita dapat mengisi pikiran kita dengan ucapan syukur dan mengarahkan pandangan kita pada apa yang ingin Tuhan ajarkan kepada kita!