Posts

PDKT Gak Cuma Tentang Hal-Hal yang Menyenangkan

Kalau ngomongin PDKT, banyak dari kita yang mungkin hanya ingin mengalami hal-hal menyenangkan saja. Padahal, masa-masa PDKT juga berisi hal-hal yang mungkin membingungkan, bahkan bisa jadi menyakitkan.

Masa PDKT tidaklah mudah. Tapi sebagai orang Kristen, kita tahu bahwa ketika menjalin hubungan dalam bentuk apa pun, Tuhan mau kita menunjukkan kasih (Matius 22:35-40) dan memperhatikan kepentingan sesama (FIlipi 2:3-4).

Jadi, mulailah hubungan dengan kasih seperti yang Tuhan bilang dan siapkanlah dirimu dengan baik 🤗

Artspace ini diterjemahkan dari  @ymi_today dan didesain oleh  @aspectswithabigail.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Apakah Kitab Imamat Masih Relevan Bagi Kita?

Oleh Cynthia Sentosa, Surabaya

Siapa di antara kalian yang sudah khatam atau tuntas membaca seluruh isi Alkitab dari Kejadian sampai Wahyu? 

Aku berikan dua jempolku untuk kalian yang sudah pernah membaca seluruh isi Alkitab! Tapi, terlepas kalian pernah khatam atau tidak, kalian pasti setidaknya pernah membaca kitab Imamat. Nah, ketika membaca kitab ini, apa yang kira-kira kalian pikirkan? 

Ketika membaca Imamat, di pikiranku terlintas sebuah pertanyaan: “untuk apa aku membaca aturan ibadah dan hari raya Perjanjian Lama? Kan sekarang sudah tidak dilakukan lagi.”

Rincian detail tentang aturan-aturan di kitab Imamat menunjukkan bahwa pada masa Perjanjian Lama ada hukuman mengerikan bagi mereka yang melanggar aturan ibadah atau hari raya karena pada masa itu ketidaktaatan dianggap sama dengan memberontak terhadap Allah yang suci dan kudus. Di kitab Perjanjian Baru, ketika Yesus sudah menjadi Juruselamat bagi manusia, mereka yang melawan dan membohongi Roh Kudus juga mendapat hukuman mengerikan seperti di kisah Ananias dan Safira. Tapi, kok di kehidupan sehari-hari kita tidak melihat hukuman instan seperti itu ya? Semisal ketika kita tidak hadir beribadah di gereja saat Paskah tapi malah jalan-jalan ke tempat wisata, kita tidak seketika dihukum, malah yang ada kita jadi senang karena liburan.

Pertanyaan-pertanyaan ini membuatku penasaran. Aku percaya bahwa seluruh isi Alkitab adalah firman Allah yang relevan bagi pendengarnya di segala masa. Namun di sisi lain, aku juga penasaran apakah kitab Imamat atau aturan-aturan lainnya yang tertulis di kitab lain masih relevan dengan masa sekarang atau tidak. Apakah kalian juga pernah penasaran sepertiku?

Aku akhirnya menemukan jawabannya di kitab Ibrani. Pada pasal 10 ayat 18 tertulis, “Jadi apabila untuk semuanya itu ada pengampunan, tidak perlu lagi dipersembahkan korban karena dosa. Sekarang, ketika pengampunan bagi semuanya itu telah tersedia, maka tidak diperlukan lagi kurban untuk menebus dosa. Tetapi di mana ada ampun, di situ tiada perlu lagi korban karena dosa.”

Dari ayat ini, tersurat bahwa aturan-aturan yang ada di kitab Imamat tidak perlu kita lakukan lagi karena kita sudah mendapat pengampunan dosa melalui kematian Yesus. Karya keselamatan Yesus di atas kayu salib mendamaikan relasi kita dengan Allah Bapa sehingga kita dapat langsung datang dan berkomunikasi dengan Tuhan tanpa harus melakukan berbagai aturan. Wah… berarti jawabannya kitab Imamat tidak relevan? Bukan seperti itu, kitab Imamat sejatinya tetap relevan hingga saat ini. 

Anugerah keselamatan dari Kristus kepada manusia inilah yang sebenarnya menjadi alasan mengapa kita harus mengetahui atau mengenal aturan ibadah dan hari raya di Perjanjian Lama. Tujuannya supaya kita paham mengapa keselamatan yang Yesus berikan itu benar-benar berharga dan diberikan kepada kita tanpa syarat. Tidak hanya itu, dengan kita tahu aturan-aturan serta respons para tokoh dalam Perjanjian Lama terhadap tiap detail aturan, akan menolong kita paham apa yang menjadi penyebab banyak orang saat itu—terutama para pemuka agama Yahudi—meminta Pontius Pilatus untuk menyalibkan Yesus. Ketatnya aturan membuat mereka cenderung mementingkan aspek legalitas. Pokoknya semua aturan ibadah itu harus benar-benar dilakukan tanpa cela, sampai-sampai dalam melakukannya mereka jadi kehilangan kasih. Dan, seperti kita dapat simak dalam Injil, orang-orang Farisi yang dikenal “saleh” itu lebih memilih segudang aturan daripada menerima kasih Yesus yang sebenarnya jauh lebih berharga dari apa yang mereka anggap penting itu.

Memang kita saat ini tidak lagi melakukan aturan-aturan Taurat karena Yesus Kristus telah menjadi “korban sempurna” untuk kita. Atas pengorbanan-Nya, kita menerima pengampunan tanpa harus memberikan korban penghapusan dosa di waktu-waktu tertentu, dan relasi kita dengan Tuhan pun telah dipulihkan. Kita dapat bertemu dan berbicara dengan Tuhan kapan pun dan di mana pun tanpa kita harus pergi ke bait Allah di Yerusalem atau melakukan ritual seperti memberi korban bakaran untuk dapat bertemu dengan-Nya. Namun, ini tidak berarti makna dari aturan ibadah dan hari raya dalam Perjanjian Lama—secara khusus kitab Imamat—tidak bisa kita terapkan maknanya di masa sekarang.

Aturan ibadah dan hari raya pada masa Perjanjian Lama diberikan Allah kepada manusia bukan tanpa maksud. Selain supaya manusia yang berdosa dapat bertemu dengan-Nya yang kudus, Taurat juga diberikan supaya manusia ketika melakukannya dapat mengingat akan kasih dan kuasa Tuhan yang telah menyelamatkan mereka dari penderitaan dan yang membawa mereka kepada “tanah yang baik”. Jadi, meskipun kita saat ini tidak melakukan segala aturan detail kitab Imamat lagi, kita tetap harus  melihat bahwa hukum-hukum tersebut sebagai tanda kasih Tuhan yang sudah menyelamatkan manusia dari penderitaan, dan membawa manusia kepada “tempat” yang menghadirkan sukacita. 

Hmm…sepertinya aku membuat kalian pusing. Coba aku berikan contoh ya.

Setiap kita ibadah di gereja, kita biasanya memberikan persembahan. Nah, apa sih tujuan dari persembahan? Tujuannya adalah sebagai bentuk ucapan syukur kita kepada Tuhan atas berkat dan kasih-Nya yang Ia berikan kepada kita. Tanpa kita mengerti tujuan dari persembahan, maka kita bisa saja menganggap persembahan sebagai sesi “memberikan sumbangan sukarela.”

Nah, sama halnya ketika kita melihat kitab Imamat. Ketika kita hanya membaca kita Imamat tanpa melihat tujuan penulisannya, maka kita hanya akan menemukan aturan ibadah dan hari raya yang sudah kuno dan tidak berlaku. Namun, apabila kita melihat kitab Imamat lebih dalam, maka kita akan melihat bahwa aturan-aturan itu sebenarnya diberikan karena Allah ingin dekat dengan umat-Nya. Tak cuma itu, segudang aturan ibadah itu sebenarnya bisa menjadi sarana bagi umat Tuhan untuk menanggapi anugerah yang Tuhan sudah berikan. 

Setelah menemukan bahwa ternyata kitab Imamat itu relevan di masa sekarang, lalu apa tanggapan kita atau respons kita terhadap kitab Imamat?

Jawabannya, kita sebaiknya tidak lagi melewatkan kitab Imamat atau kitab-kitab lainnya di Perjanjian Lama yang berbicara mengenai aturan beribadah ataupun peringatan hari raya. 

Meski detail-detail ritual di Perjanjian Lama tak lagi kita lakukan, tetapi makna di balik itu semua masih bisa kita terapkan dalam liturgi ibadah kita, baik itu dalam ibadah komunal hari Minggu, ataupun ibadah personal kita setiap hari. Semisal, ketika kita ada liturgi pengakuan dosa, persembahan, doa berkat, dan lain sebagainya mari kita tidak asal-asalan dalam mengikutinya. Ikuti tiap liturgi gereja dengan sikap hati bersyukur sebagai respons kita atas anugerah keselamatan yang sudah kita terima dari Tuhan. Kemudian, ketika kita merayakan atau memperingati hari raya Kristiani, mari melakukannya bukan hanya karena formalitas, namun kita sungguh-sungguh memaknai apa yang menjadi latar belakang dan maksud Allah dari peringatan tersebut.

Semoga dengan kita tahu relevansi kitab Imamat di masa sekarang, dapat memberi kita semangat untuk mau sungguh-sungguh lagi dalam beribadah kepada Tuhan. Amin.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Kataku vs Kata Tuhan

Apa yang kita pikirkan dan tanamkan dalam hati, lalu kita “luapkan”, dapat menggambarkan siapa kita bagi sesama, terlebih bagi Tuhan.

Yuk, sebelum bertutur kata maupun bertindak, selaraskan lebih dulu hati dan pikiran kita dengan firman Tuhan 😇

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Hidup Lebih dari Sekadar Angka dan Kata

Oleh Hendra Winarjo, Surabaya

Sebagai seorang hamba Tuhan yang melayani jemaat, tidak jarang aku mendengar beberapa cerita dari mereka yang saat ini bisa bertahan di tengah resesi ekonomi global seperti ini: “Kalau aku hitung-hitung pemasukanku dan pengeluaranku, itu sebetulnya minus. Tapi aneh, kok aku masih bisa bertahan, ya?” Ada lagi yang pernah berkata, “Kata orang kalau baru jadi agen properti 6 bulan awal belum tentu bisa closing. Bahkan kalau pun ada setidaknya cuma 1. Tapi, kok aku sudah lebih dari dua, ya?”

Sayangnya, tak jarang pula aku mendengar kisah-kisah yang sebaliknya. Ada yang menurut perhitungan akan menguntungkan, tapi realitanya berkata lain. Justru yang ada hanyalah kerugian. Ada juga yang menurut kata orang, atau prediksi para ahli di bidangnya bahwa semuanya akan berjalan baik-baik saja, tapi ternyata ujungnya tidak demikian. Beberapa waktu lalu aku juga baru saja kehilangan seorang kerabat yang menurut kata banyak orang dia sebetulnya akan baik-baik saja. Cukup dirawat, diobati, dan melakukan transfusi darah di rumah sakit, maka akan sembuh pada waktunya, demikian yang kudengar. Namun, setelah dua hari dirawat di rumah sakit, aku justru mendengar kabar yang sebaliknya. Tuhan ternyata punya rencana lain untuknya. Ia pun kini telah pergi ke pangkuan Bapa.

Kisah-kisah ini menuntunku pada satu pemikiran penting yang harus kita sadari bersama sebagai anak-anak Tuhan, bahwa hidup itu lebih dari sekadar angka dan kata. Lebih dari sekadar angka bicara soal kehidupan kita yang sulit untuk dihitung, dikalkulasi, dan diprediksikan. Sekalipun ada lagu gereja yang berjudul “Hitung Berkatmu,” tapi percayalah ada terlalu banyak berkat Tuhan yang sebetulnya luput dari perhitungan kita. Kita juga terbatas untuk bisa mengira-ngira segala sesuatu yang akan terjadi di masa depan.

Berkat Tuhan pun jauh lebih banyak daripada yang dapat kita hitung. Bayangkan, pernahkah kamu menghitung berapa banyak saturasi oksigen yang kamu hirup setiap hari? Pernahkah kamu menghitung keteraturan alam semesta, seperti gaya gravitasi yang memungkinkan adanya kehidupan di bumi ini sebagai berkat Tuhan? Atau, kita sudah terlalu lama hanya menikmatinya saja, tanpa pernah menghitungnya sebagai berkat Tuhan bagi kita? Tapi, sekali lagi, kalau pun kita menghitungnya, satu hal yang perlu kita sadari adalah Tuhan bekerja melampaui apa yang bisa kita hitung. Begitu juga dengan pergumulan dosa kita. Sudah berapa kali kita jatuh dan bangun di dalam dosa yang sama? Tapi anugerah Allah yang sama di dalam Kristus itu juga masih menopang kita untuk dapat bangkit lagi dan lagi melawan dosa.

Tidak hanya lebih angka, hidup juga lebih dari kata. Ketika hidup lebih dari sekadar kata, maka ini bicara soal kehidupan kita yang sulit untuk diatur dan diperkirakan. Ada berapa banyak orang yang hari ini punya berbagai teori, “kalau kamu lakukan X, maka kamu akan dapatkan Y.” Misalnya, aku pernah mendengar seorang yang berkata, “kalau kamu mau istrimu punya anak laki-laki, maka dia harus makan lebih banyak daging, daripada sayuran.” Pertanyaannya, apa jaminannya? Siapa kamu yang berteori seperti itu? Apakah teorimu cocok dengan kehendak Tuhan? Belum tentu, ‘kan?

Tuhan Yesus pun pernah dicobai oleh Iblis dengan teori “jika-maka” di padang gurun. Di antara ketiga teori sekaligus pencobaan itu, dalam Matius 4:9, misalnya, si Iblis berteori bahwa “semua itu (semua kerajaan dunia dengan kemegahannya) akan kuberikan kepada-Mu, jika Engkau sujud menyembah aku.” Pertanyaan yang sama bisa kita ajukan, apa jaminannya si Iblis akan memberikan semua itu pada Tuhan Yesus? Siapa dia untuk berteori begitu?

Pada kenyataannya, Tuhan Yesus tidak tunduk dan berusaha menyenangkan hati si Iblis dengan mengaplikasikan teori-teorinya. Kita semua tahu betul bahwa kisah pencobaan di padang gurun itu (Mat. 4:1-11 dan Luk. 4:1-13) justru menunjukkan bahwa bukan kata-kata Iblislah yang berkuasa, tapi kata-kata Tuhan. Setiap kali Tuhan Yesus menjawab Iblis, Ia selalu mengutip firman Tuhan (Mat. 4:4, 7, 10). Apa artinya? Kehidupan yang kita jalani memang betul lebih dari kata, tapi kata yang dimaksud ialah kata-kata manusia, termasuk kata-kata si jahat. Tidak ada satu pun kata-kata di dunia ini yang lebih berkuasa daripada kata-kata Tuhan. Karena itu, sangat aneh apabila selama hidup kita terus menuruti kata-kata orang, daripada kata-kata Tuhan.

Ketika kehidupan kita tunduk pada dua fakta, yaitu lebih dari angka dan lebih dari kata, maka itu artinya kita perlu menjalani hidup ini dengan penuh kerendahan hati. Jangan pernah berpikir kita bisa mengetahui semua yang akan terjadi di masa depan dengan pikiran kita sendiri. Bukankah sudah ada cukup banyak bukti yang acapkali bicara di luar perhitungan dan perkataan kita maupun orang lain?

Mari kita lebih andalkanlah Tuhan dan firman-Nya di dalam hidup ini. Aku berharap ketika kamu menemui jalan buntu dan seolah-olah tidak ada jalan keluar di dalam hidupmu, maka itu adalah ajakan untukmu untuk lebih percaya pada hati Tuhan dan hadirat-Nya. Sebab, sesungguhnya Tuhan sendiri pun bekerja melampaui angka dan kata, lebih dari yang dapat kita pikirkan dan perkatakan. Ia sudah pernah membuktikan itu ketika Ia merespons masalah dosa manusia, bukan hanya lewat kata-kata, tapi lewat aksi nyata di atas kayu salib. Kiranya Injil Kristus ini menolong kita untuk menjalani kehidupan kita yang serba tidak pasti seperti hari ini. Amin.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Jangan Ada Dosa di Balik Obrolan Serumu!

Oleh Jovita Hutanto, Jakarta

Kalau dulu ada ungkapan yang bilang, suka ngomongin orang, kayak perempuan aja sih!” Sekarang agaknya itu tidak lagi berlaku. Gosip alias ngomongin orang sejatinya tidak melekat hanya kepada kaum perempuan saja. Manusia dengan natur kedagingannya mudah tergoda pada gosip.

Secara sederhana gosip bisa kudefinisikan sebagai kita membicarakan orang yang sama-sama kita kenal, tapi orangnya tidak di situ dan tidak tahu juga kalau sedang diomongin. Ketika menuliskan artikel ini aku pun bukan orang yang telah merdeka sempurna dari bergosip karena jelas-jelas ada salah satu grup WA-ku yang judulnya “Gossip Girls”. Parahnya, akulah yang memberi nama grup itu! Memang itu cuma sekadar nama karena intensi utama grup itu bukanlah menggosip, melainkan untuk mempererat relasi kami. Grup itu pun tidak terlalu aktif karena kami lebih sering bertemu langsung.

Para sosiolog mengakui bahwa gosip menjadi mekanisme terbentuknya kontrol sosial dalam bermasyarakat. Tentunya kita sering mendengar kalimat seperti ini, “Hati-hati lu, nanti malah digosipin!” Dengan adanya konsep “gosip”, kita diingatkan adanya konsekuensi sosial untuk setiap perbuatan kita, sehingga secara tidak langsung konsep “gosip menggosip” ini mendorong manusia agar bermoral baik, atau jaim (jaga image) supaya tidak dijadikan bahan pembicaraan orang lain. Pada sisi negatifnya, gosip dapat menimbulkan perpecahan dan ketegangan sosial. Alkitab sendiri menentang gosip (Roma 1:29), namun memuji diskusi yang sifatnya membangun. 

Nah, jadi pertanyaannya: apakah mungkin kita sharing tanpa harus ngejulid? Bagaimana agar pembicaraan kita tidak menjadi dosa dalam keseharian kita?

Gosip atau diskusi?

Gosip atau diskusi? Rumitnya di sini. 

Namanya mengobrol, pasti ada kalanya membicarakan orang-orang yang kita kenal. Karena standar gosip itu bervariasi, mari kita sepakati dahulu konsep gosip yang kumaksud di sini, yaitu membicarakan orang lain di mana aku dan lawan bicaraku sama-sama kenal namun orang yang kita bicarakan tidak hadir dalam pembicaraan. Dan, umumnya isu-isu yang dibahas bersifat negatif. 

Pada kebanyakan kasusnya, gosip sering diawali dengan kongko bareng tapi malah akhirnya menambahkan asumsi-asumsi kosong yang belum benar faktanya. Supaya terhindar dari jeratan ini, saat kita masuk ke dalam circle yang agendanya sedang membedah perilaku buruk orang lain, kita bisa tanyakan ke diri sendiri dulu: apa motivasiku ikut pembicaraan ini? Apa tujuanku? Apakah karena aku peduli terhadap orang lain? Atau hanya karena kepo?

Dari sini kita dapat melihat perbedaan yang jelas. Jika tujuan pembicaraannya didasari oleh kepedulian dan kasih kita terhadap si orang yang kita bicarakan, kita pasti berusaha untuk mengerti alasan di balik perilakunya, dan yang terpenting adalah kita mau menjangkau mereka, bukan malah mengucilkan mereka dengan asumsi-asumsi yang negatif. Yang diutamakan oleh tim yang menjunjung sharing atau diskusi produktif adalah mencari solusi untuk membantu si dia yang jadi topik pembicaraan.

Saat kita ikut-ikutan bergosip, ada kalanya kita jadi pendengar pasif, bukan si sumber berita ataupun pembawa acara. Namun, Alkitab tetap menyatakan bahwa kita juga sama berdosanya karena ikut mendengar walau tidak berpartisipasi (Amsal 17:4). Jika ini situasi yang kita hadapi, maka mungkin yang kita dapat lakukan adalah mengalihkan arah pembicaraan menjadi lebih positif dan konstruktif. Misalnya dengan bertanya, “Apakah kamu sudah berdiskusi dengan dia mengenai masalah ini?” Kita juga bisa memberikan rasa simpati terhadap mereka yang sedang dibicarakan. Anggaplah kita sedang membela teman baik atau saudara kita sendiri, kita pasti akan berusaha mendorong orang lain untuk berpikir objektif. 

Rasul Paulus mendefinisikan gosip sebagai dosa yang serius, dan mengaitkannya sebagai perbuatan dosa yang dilakukan dengan maksud jahat, rasa dengki/iri hati, berbohong (Roma 1:29; 2 Korintus 12:19). Tapi… ada tapinya nih man-teman… Tapi di sisi lain, Alkitab sendiri mendorong adanya diskusi yang terbuka (Kis 4: 14-15) atau community openness (1 Yoh 1:7 ; Gal 6:2). 

Apa itu community openness? Community openness depart diartikan sebagai komunitas yang saling terbuka. Terbuka di sini mengartikan sebuah kejujuran ya, bukan kebocoran. Menjaga kerahasiaan di antara anggota sebuah komunitas itu sangat penting, karena di situlah kita sebagai satu tubuh Kristus membangun kepercayaan dan keterbukaan. Sebagai orang Kristen, kita diajarkan untuk terbuka terhadap sesama kita, dan membudidayakan kepercayaaan terhadap saudara kita dalam Kristus. Di dalam komunitas inilah, kita dan anggota kita seharusnya merasa aman bercerita dan saling memberikan masukan yang positif tanpa menghakimi. Kalau gosip menciptakan lingkungan yang membuat anggotanya khawatir akan menjadi topik gosip berikutnya, community openness sebaliknya mewadahi kita sebuah komunitas yang anggotanya nyaman dan aman membagikan bebannya dan mendapatkan input yang membangun serta saling membantu. Kalau dipikir-pikir penerapan community openness ini memang jauh lebih sehat, karena meminimalisir yang namanya asumsi kosong atau negatif karena kita dapat mendengar dari berbagai belah pihak dan mungkin dari orangnya langsung.

Nah! Jadi good news-nya, buat kita yang super kepo ini, kita boleh lanjut kepo guys, asalkan penerapannya adalah community openness yang Alkitab sudah ajarkan ya gengs. Keponya tahu batas juga ya, dan harus didasari ketulusan hati. Mantap kan?!

Mungkin, nantinya akan ada kasus khusus di mana kita perlu menentukan seberapa besar anggota yang perlu mengetahui permasalahannya dan apa perlu mengikutsertakan seorang yang lebih senior dan bijak, itu semua tergantung pada isu dan permasalahanya. Apa yang aku sampaikan hanyalah ajaran secara garis besar dari para tokoh Alkitab.

Nah, sudah jelas dong bedanya gosip dan diskusi. Kalau sudah tahu, tinggal pilihannya di tangan kita; apakah kita mau membudidayakan komunikasi yang sifatnya membangun atau malah menjatuhkan orang lain? 

Sebagai orang Kristen, perbuatan yang paling benar jika kita masuk ke dalam aktivitas menggosip, kita membawa pembicaraan yang hawanya gosip menjadi obrolan yang membuahkan solusi bagaimana kita dapat merangkul sesama kita. Dan tentunya, seluruh pertanyaan dan pernyataan yang telah kutuliskan di atas juga berlaku untukku sendiri, si kepo yang juga member dari grup WA berjudul gossip girls, hahaha!

Mengapa Kita Harus Melaraskan Hati dan Pikiran Kita

Oleh Raphael Zhang

Artikel ini diterjemahkan dari bahasa Inggris: Why We Must Engage Both Mind and Heart

Ketika baru percaya Tuhan, aku diajari bahwa kita tidak bisa mengandalkan perasaan. Aku belajar bahwa Tuhan tetap mengasihiku bahkan ketika aku tidak merasakan kasih-Nya—seperti halnya kursi yang sebenarnya menopang berat badanku meskipun aku tidak merasa seperti itu.

Aku diingatkan bahwa perasaanku tidaklah menentukan suatu kenyataan, dan perasaan juga tidak boleh mengatur apa yang harus kulakukan. Untuk berdoa, aku tidak perlu menunggu sampai aku merasa ingin berdoa untuk melakukannya; aku harus berdoa karena itu seturut dengan kehendak Tuhan.

Meski aku mencoba untuk selalu mengingat hal ini, tapi ternyata sulit untuk melawan perasaanku sendiri. Ada saat-saat ketika aku harus pergi ke gereja atau kelompok kecil, tapi hati kecilku merasa enggan, bahkan berkeluh-kesah kepada Tuhan. Meskipun secara lahiriah aku patuh, tapi aku tidak merasakan sukacita dalam hati.

Dari sanalah aku menyadari bahwa: selalu bertindak sesuai dengan pikiran tanpa melibatkan perasaan bukanlah kebiasaan yang sehat.

Yesus pun memanggil kita untuk mengasihi Allah dengan segenap hati, pikiran, jiwa, dan kekuatan kita (Lukas 10:27). Hati dan pikiran kita harus sama-sama dilibatkan dalam mengasihi-Nya. Melibatkan salah satu tanpa yang lainnya adalah tindakan yang kurang bijaksana.

Tapi, bagaimana jika hati dan pikiran kita tidak sejalan? Tuhan mengajarkanku beberapa hal yang membantuku melihat bahwa hati dan pikiran tidak harus selalu menjadi sebuah pertarungan terus menerus, tetapi keduanya bisa senantiasa saling mempengaruhi.

Dengarkanlah perasaan kita

Tuhan menunjukkan bahwa meskipun perasaanku tidak selalu dapat diandalkan, bukan berarti aku mengabaikannya. Meskipun perasaanku mungkin tidak selalu mengatakan yang sebenarnya, tapi perasaan itu memberi tahu sesuatu tentang diriku sendiri.

Jadi, jika aku merasakan adanya penolakan bahkan ketika aku berada di tengah keluarga dan teman-teman yang penuh kasih, aku tidak akan langsung berpikir bahwa mereka benar-benar menolakku. Aku justru akan bertanya pada diriku sendiri, “Mengapa aku merasa seperti ini?” Aku akan mencari pertolongan Tuhan untuk mengungkap lebih dalam penyebab yang membuatku merasa seperti itu. Setelah aku mengenali beberapa hal yang mungkin menyebabkan perasaan itu, aku akan meminta Tuhan untuk menghibur dan menyembuhkanku, dan untuk menunjukkan kebenaran-Nya tentang diriku dan juga keadaan tersebut. Dia mungkin akan mengingatkanku, seperti yang pernah Dia lakukan di masa lalu, bahwa Dia telah menerimaku (Roma 15:7) sebagai anak yang dikasihi-Nya (1 Yohanes 3:1). Dan Dia mungkin menunjukkan kepadaku bahwa aku salah memahami situasi atau maksud orang lain.

Mengolah perasaanku bersama Tuhan dapat membantuku untuk menerapkan kebenaran-Nya pada diri sendiri. Jika aku terluka oleh sesuatu, Tuhan dapat membalut lukaku (Mazmur 147:3). Jika dasar masalahnya adalah perilaku yang berdosa, Dia dapat menunjukkan kesalahanku, sehingga aku dapat mengakui dosaku kepada-Nya dan bertobat.

Dengan menggali lebih dalam tentang apa yang kita rasakan, kita dapat menerima penghiburan dari Tuhan atau penyucian dari dosa. Pikiran kita dapat menggunakan kebenaran yang diungkapkan oleh Tuhan untuk menyelaraskan perasaan kita lebih dekat kepada-Nya dan kebenaran-Nya.

Menghargai Apa yang Benar

Meski perasaan itu penting, bukan berarti kita harus dikendalikan olehnya. Ketika aku masih muda, aku berpikir bahwa perasaanku akan selalu menguasai tindakanku. Jika aku merasa ingin melakukan sesuatu, akan sangat sulit bagiku untuk tidak melakukannya. Aku bahkan percaya bahwa tidak ada yang bisa kulakukan untuk mengubah perasaanku itu.

Hingga suatu hari Tuhan berbicara kepadaku melalui Matius 6:21: “Di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.” Dia mengingatkanku bahwa ayat tersebut tidak mengatakan, “Di mana hatimu berada, di situ juga hartamu berada”—yang berarti apa yang aku cintai bergantung pada apa yang aku rasakan—dan jika aku tidak merasa seperti itu, maka aku tidak bisa mencintainya.

Namun, yang sebenarnya Tuhan katakan dalam ayat tersebut adalah: apa yang sengaja kupilih untuk kuhargai pada akhirnya akan dihargai juga oleh hatiku. Hal ini sangat menguatkanku karena berarti aku tidak harus menyerah begitu saja pada perasaanku!

Sebagai contoh, dulu aku tidak suka berdoa atau membaca Firman. Lalu aku meminta Tuhan menolongku agar mau menghargai apa pun yang menjadi kerinduan hati-Nya. Jadi, dengan pertolongan Tuhan, aku mulai berdoa dan membaca Firman sebagai caraku menghargai hal-hal tersebut, terlepas dari apakah aku ingin melakukannya atau tidak. Seiring waktu, hatiku mulai mengikutinya. Saat ini, aku lebih suka berdoa dan membaca Firman Tuhan daripada sebelumnya. Melalui hal ini, aku belajar bahwa apa yang kupilih untuk kuhargai dengan tindakanku dapat memengaruhi apa yang kuhargai dalam perasaan hatiku.

Ada hal yang sering dikatakan oleh pendetaku yang juga kualami sendiri: “Ketika kamu melihat apa yang Allah lihat, kamu akan melakukan seperti yang Allah lakukan. Namun terkadang, kamu harus melakukan apa yang Allah katakan sebelum kamu dapat melihat apa yang Dia lihat.”

Ketika hatiku tidak selaras dengan isi hati Tuhan, aku sangat bersyukur karena Dia telah memberiku pikiran yang dapat menggerakkan hatiku untuk lebih memilih jalan-Nya. Aku tidak harus lebih dulu merasa setuju atau menghargai apa yang Dia katakan sebelum aku dapat mematuhi-Nya. Sebaliknya, Tuhan menunjukkan kepadaku bahwa—terlepas dari apa yang aku rasakan—ketika aku memilih untuk melakukan apa yang Dia katakan dan menghargai apa yang Dia mau kuhargai, aku ditolong untuk melihat apa yang Dia lihat, sehingga aku dapat menghargai apa yang Dia taruh di dalam hatiku.

Milikilah Pikiran yang Benar untuk Mempengaruhi Perasaan

Pada akhirnya, kita juga dapat mempengaruhi emosi kita dengan memiliki pikiran yang benar. Aku pernah mendengar sebuah kutipan yang berbunyi, “Kamu bukanlah seperti yang kamu pikirkan, tetapi kamu akan menjadi seperti yang kamu pikirkan.”  Pepatah lain menjelaskannya seperti ini:

Perhatikan pikiranmu, karena akan terwujud dalam perkataan.

Perhatikan perkataanmu, karena akan terbukti dalam perbuatan.

Perhatikan perbuatanmu, karena akan terbentuk menjadi kebiasaan.

Perhatikan kebiasaanmu, karena akan terpatri dalam karakter.

Perhatikan karaktermu, karena itulah yang membentuk masa depanmu.

Hal ini, bagiku, mendasari kebenaran tentang bagaimana pikiran kita memainkan peran utama dalam menentukan jati diri yang kita miliki dan corak kehidupan yang kita jalani. Inilah sebabnya mengapa Alkitab memerintahkan kita untuk “menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus” (2 Korintus 10:5).

Hal ini membantuku untuk lebih menghargai mengapa Firman Tuhan menasihati kita untuk memikirkan segala yang benar, mulia, adil, suci, manis, sedap didengar, baik, dan patut dipuji (Filipi 4:8)—dan tidak ada yang lebih baik dan lebih patut dipuji daripada Tuhan dan Firman, kehendak, dan jalan-Nya. Jika hal-hal ini yang lebih sering kita pikirkan, otak kita tidak hanya akan menyimpannya, tetapi pikiran-pikiran itu juga akan mempengaruhi hati kita, dan pada akhirnya, hidup kita.

Dalam keinginanku untuk mengasihi Allah, aku ingin mengasihi Dia dengan hati sekaligus pikiranku. Pendeta dan teolog Amerika, Timothy Keller, berkata, “Hati kita sungguh telah dimurnikan ketika apa yang harus Anda lakukan dan apa yang ingin Anda lakukan itu sama—kesenangan dan kewajiban menjadi hal yang sama.” 

Dalam perjalanan kita untuk membiarkan Tuhan semakin memurnikan hati kita, aku senang Tuhan memberi kita berbagai cara agar hati dan pikiran kita dapat terus saling mempengaruhi, sehingga kita dapat mengasihi Tuhan sepenuhnya. Dia benar-benar layak untuk kita cintai dengan segenap keberadaan kita—karena Dialah yang pertama kali mengasihi kita dengan segenap hati, pikiran, jiwa, dan kekuatan-Nya.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Ketika Ayat yang Terasa Hebat dan Menginspirasi… Sebenarnya Berarti Lain

Oleh Leslie Koh, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When A Great, Comforting Verse… Actually Meant Something Else

Di negaraku ada kebijakan wajib militer bagi setiap pemuda pada rentang usia tertentu. Dan, di sinilah kisahku dimulai, ketika aku meninggalkan rutinitas biasaku untuk mengabdi sebagai wajib militer. 

Di minggu-minggu pertama pelatihan militer dasar, setiap malam saking lelahnya aku akan langsung terlelap dalam hitungan menit. Aku hampir tidak bisa membaca satu atau dua ayat singkat dari Alkitab kecil yang kubawa, ataupun sekadar berdoa singkat (salah satunya supaya wamil ini cepat berlalu!). 

Suatu malam, ketika aku secara acak saja membuka Alkitab, aku menemukan Roma 8:18. Ayat ini membuatku menangis sembari juga memberi penghiburan yang sungguh aku butuhkan. “Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.” Wow! Pikirku saat itu, pengalaman mengerikanku tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang Tuhan sediakan buatku. 

Bisa kukatakan, ayat itu masih menjadi salah satu ayat favoritku dalam Alkitab. Siapa yang tidak ingin diingatkan bahwa tidak peduli seberapa susahnya penderitaan kita saat ini, ada sesuatu yang jauh lebih baik dan menyenangkan yang sedang menanti kita?

Tapi… mungkin rasul Paulus tidak memikirkan ‘penderitaan’ seorang remaja yang secara fisik tidaklah sehat namun terus ‘dipaksa’ hingga menjadi bugar.

Kalau kamu membaca bagian selanjutnya dari Roma 8, kamu akan melihat bahwa pergumulan utama yang dihadapi oleh orang-orang Kristen di Roma adalah dampak dosa dalam kehidupan mereka. Mereka berjuang untuk menjalani hidup kudus dalam menghadapi pencobaan dan kelemahan rohani mereka, atau penderitaan yang diakibatkan dari cara hidup orang lain yang berdosa. Penderitaan mereka adalah karena iman mereka kepada Kristus. 

Mereka tidak menderita karena mereka menjalani gaya hidup yang nyaman, malas-malasan, atau karena tuntutan wajib militer di mana mereka harus melakukan push-up 8 kali, berlari sejauh 2,4km dalam waktu kurang dari 10 menit… atau berjalan lurus tanpa tersandung kaki sendiri.  

Namun demikian, aku tidak dapat menyangkal bahwa Roma 8:18 masih berbicara kepadaku dan menguatkanku hingga saat ini, meskipun pada awalnya aku memahaminya sedikit di luar konteks. Hal ini terkadang membuatku bertanya-tanya: Bukannya harusnya aku tidak mendapat penghiburan atau kekuatan di ayat ini atau ayat lain kalau aku memang tidak paham konteksnya, ya? 

Memahami Alkitab dengan benar

Sepertinya sudah menjadi hal yang biasa untuk mengatakan bahwa kita perlu menafsirkan, memahami, dan mengaplikasikan Firman Tuhan dengan benar, yaitu sesuai konteksnya. Namun, Alkitab sering kali dikutip secara salah lebih banyak dari yang kamu bayangkan. Coba cari di Google “Ayat-ayat Alkitab yang sering salah kutip” dan kamu mungkin akan terkejut dengan apa yang kamu lihat.

Sebagai contoh, Roma 8:28 – “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” – sering kali digunakan untuk menghibur seseorang yang tampaknya mengalami kesulitan, atau yang sedang mengalami masalah besar dalam hidupnya. “Jangan khawatir,” ayat ini seolah-olah mengatakan, “Tuhan akan membawa kebaikan dari situasi ini.”

Tetapi ayat ini sebenarnya dikatakan dalam konteks hidup oleh Roh. Paulus berbicara tentang kita yang sedang belajar untuk menjadi serupa dengan Yesus, dan perubahan inilah yang sedang Allah kerjakan untuk “kebaikan” kita.

Ada beberapa jebakan yang jelas terlihat ketika kita salah memahami ayat-ayat tertentu atau membacanya di luar konteks.

Misalnya, jika kita melihat Roma 8:28 sebagai janji bahwa Allah akan menyelamatkan kita dari situasi yang buruk atau mengubahnya menjadi situasi yang baik, kita mungkin akan kecewa jika Dia tidak melakukannya. Lebih buruk lagi, kita bahkan mungkin marah atau kecewa kepada-Nya, karena berpikir bahwa Dia tidak memenuhi apa yang kita harapkan.

Yeremia 29:11 mungkin memberi kita harapan (palsu) yang sama, jika kita melihatnya sebagai janji yang ditujukan untuk semua pengikut Tuhan. Kita mungkin melewatkan fakta bahwa ini adalah janji yang diberikan secara khusus kepada bangsa Israel (yang saat itu masih menderita di pengasingan karena ketidaktaatan mereka), dan mulai menyalahkan Tuhan jika hidup tidak berjalan dengan baik.

Jadi… apakah ini berarti aku tidak boleh berpegang pada ingatan tentang bagaimana Tuhan menghiburku melalui Roma 8:18?

Atau lebih buruk lagi, apakah ini berarti bahwa aku telah salah mendengar Tuhan, dan Dia sebenarnya tidak menghibur aku?

Jawabannya, aku percaya, tidak.

Firman Tuhan, Firman yang Hidup

Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa Firman Tuhan itu mutlak dan lengkap. Yesus sendiri mengatakan bahwa “satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi” (Matius 5:18).

Pada saat yang sama, tidak seperti buku-buku lainnya, Firman Tuhan adalah firman yang hidup. Firman Allah bukanlah sekadar kata-kata yang dicetak di atas kertas (atau diterbitkan secara digital). Seperti yang dikatakan dalam Ibrani 4:12: “Firman Allah hidup dan kuat.”

Sebagai contoh, kita semua dipanggil untuk melayani Tuhan dan memberitakan Injil—itu adalah bagian yang mutlak. Namun, seseorang mungkin menerima dorongan khusus untuk berbicara kepada orang tertentu tentang Allah pada saat tertentu—membuktikan bahwa Firman-Nya yang hidup dapat menyentuh dan menginspirasi kita secara berbeda pada waktu yang berbeda, dalam situasi yang berbeda.

Kamu mungkin pernah memiliki pengalaman ketika ayat yang sama menyentuh atau menginspirasimu secara berbeda pada waktu yang berbeda. Aku pernah mencoret atau menstabilo ayat-ayat di Alkitabku ketika ayat itu menyentuh hatiku, tapi bertahun-tahun setelahnya ketika aku melihat hasil coretan itu aku malah bertanya, “Kok ayat ini kayaknya perlu aku stabiloin lagi ya?” 

Karena Allah berhubungan dengan kita masing-masing secara unik dan berbeda, apakah Dia akan mengizinkan kebenaran Alkitab menyentuh kita dengan cara yang berbeda dari pembacaan atau penafsiran yang biasa? Aku percaya demikian. Mungkinkah Dia menggunakan sebuah ayat untuk menghibur, menguatkan, atau menginspirasi kita, bahkan jika ayat tersebut sedikit menyimpang dari konteks aslinya? Aku juga percaya demikian.

Kebutuhan akan kebijaksanaan dan kepekaan untuk membedakan

Tidak diragukan lagi, ada risiko ketika kita memegang pemahaman ini. Itulah sebabnya beberapa orang Kristen percaya bahwa kita semua harus mengaplikasikan ayat-ayat dalam konteks yang sebenarnya. Mereka waspada terhadap gagasan bahwa Tuhan memberi kita petunjuk khusus melalui ayat tertentu, karena hal itu dapat membuat kita menyimpulkan hal-hal seperti, “Oh, Tuhan baru saja menyuruhku berganti pekerjaan, karena petunjuk dari ayat Alkitab ini,” padahal belum tentu demikian.

Dan itulah sebabnya, aku percaya, kita perlu berhati-hati ketika mengaplikasikan Alkitab pada situasi tertentu yang kita hadapi. Ketajaman atau kebijaksanaan dalam memahami suatu ayat membutuhkan hikmat ilahi dan pemahaman akan prinsip-prinsip yang menjadi inti dari dorongan Roh Kudus. Yang penting, kita harus ingat bahwa Firman Allah tidak akan pernah bertentangan dengan diri-Nya sendiri—Allah tidak akan membingungkan kita melalui Firman-Nya sendiri.

Kita juga perlu berhati-hati ketika membagikan pengalaman pribadi kita tentang Alkitab dan tentang Allah yang berbicara secara pribadi kepada kita, baik di media sosial maupun secara langsung. “Beginilah ayat X berbicara kepada aku pada saat ini” tidak selalu bisa diterjemahkan sebagai “Inilah arti ayat X bagi kita semua.”

Seorang teman yang dewasa secara rohani akan memahami pentingnya bagaimana Roh Kudus mendorong kita melalui ayat tertentu atau memberi kita wawasan pribadi tentang kebenaran tertentu. Namun, seseorang yang kurang dewasa, mungkin percaya bahwa inilah yang dimaksud oleh ayat tersebut, dan menerapkannya pada dirinya sendiri.

Menjaga keseimbangan

Kamu mungkin berpikir, “Ngapain sih yang kayak begini dipusingin banget?” Apakah kita harus menanggapi segala sesuatu dengan sangat serius, sehingga kita perlu kroscek berkali-kali bahkan ketika kita dalam situasi santai membagikan ayat Alkitab kepada teman yang membutuhkan?

Tentu saja, kita dapat mengambil tindakan yang lebay, dan lupa bahwa Firman Tuhan adalah firman yang hidup yang dapat menyentuh hati dan kehidupan dengan cara yang tidak dapat kita bayangkan.

Namun, mungkin kita dapat memohon hikmat Ilahi sebelum memahami suatu ayat, dan setidaknya berhenti sejenak sebelum menekan tombol “kirim” atau “posting” untuk bertanya pada diri sendiri: Apakah ini yang sebenarnya dikatakan Alkitab kepada semua pembaca? Atau hanya buat aku? 

Bagaimanapun juga, sama seperti kita ingin teman-teman kita merasa terhibur dan terinspirasi, kita juga ingin teman-teman kita mendapatkan pengenalan yang lebih dalam akan Allah dan Firman-Nya.

Jadi, mengapa tidak membagikan sebuah ayat yang dapat mereka pegang dan ambil hikmahnya, bukan hanya untuk saat itu saja, tetapi juga untuk seumur hidup mereka?

Mengapa tidak menolong mereka untuk menumbuhkan pemahaman yang lebih mendalam tentang Firman Tuhan, sehingga mereka dapat melihat Alkitab sebagai sumber kebenaran yang kekal dan luar biasa, dan bukan hanya sebagai kata-kata motivasi?

Bagaimana dengan ayat-ayat penghiburan dan motivasi yang telah kamu soroti dalam Alkitabmu atau kamu tuliskan dalam jurnal?

Jika kamu merasa terhibur atau dikuatkan oleh ayat-ayat tersebut, maka aku percaya bahwa Allah memang memaksudkan ayat-ayat itu untukmu. Namun, saat kamu membacanya lagi dengan perspektif yang baru, kamu harus tetap mengingat konteks aslinya, dan mempertimbangkan gambaran yang lebih besar yang diungkapkan Firman Tuhan kepada kita. (Dan pikirkanlah dengan matang apakah akan meneruskannya kepada teman atau tidak).

Dan itulah mengapa aku menyimpan Roma 8:18 untuk diriku sendiri selama bertahun-tahun, sampai sekarang. Aku tahu untuk apa Paulus memaksudkannya ketika dia menulisnya, tetapi untuk makna khususnya, aku tahu itu untukku.

Beberapa hal yang dapat kamu lakukan

Tidak yakin bagaimana atau di mana harus mulai memeriksa konteks ayat favoritmu? Cobalah tafsiran-tafsiran dan sumber-sumber Alkitab online ini. Ini tidak lengkap, tetapi kamu bisa mendapatkan gambarannya.(Versi yang lebih komprehensif umumnya tersedia dalam bahasa Inggris). 

https://www.studylight.org/commentary.html

www.gotquestions.org

Kamu juga dapat membaca berbagai versi dari ayat yang sama, untuk membantumu mengumpulkan gagasan yang lebih komprehensif tentang apa yang mungkin dimaksud oleh suatu ayat.

Meskipun Alkitab memberikan kita ayat-ayat motivasi, sejatinya Alkitab lebih dari itu. Alkitab adalah sebuah kisah pengharapan yang kekal, yang diceritakan melalui kehidupan, kematian, dan kebangkitan Juruselamat yang ingin memberi kita penghiburan, kekuatan, dan pengharapan yang sejati—bukan hanya dalam keputusan atau situasi tertentu, tetapi juga dalam kehidupan yang akan datang.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

6 Tanda Kalau Ada yang Salah dalam Relasi Kita Sama Tuhan

Sobat Muda, memiliki relasi dengan Tuhan itu penting. Namun, apakah selama ini kita sudah membangun relasi yang benar dengan Tuhan?

Berikut ada 6 tanda—yang perlu kita perhatikan—kalau ada yang salah dalam relasi kita sama Tuhan.

Artspace ini diterjemahkan dari YMI

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Bekal untuk Masa Depan

Oleh Bintang Lony Vera

Aku bersyukur, Tuhan menyediakan tempat untukku bertumbuh. Sejak awal masa perkuliahan, aku bergabung dalam sebuah kelompok kecil. Di sana, aku ditolong untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan kampus. Setiap semester, kakak rohaniku, Kak Ana, sering sekali membagikan buku-buku bacaan, yang dapat aku gunakan untuk membantuku mencerna materi kuliah. Teman-teman kelompok kecilku, Kristin, Wira, Rugun, Yohana, dan Ibeth, bersama mereka, aku bisa membagikan pergumulan dan bersama-sama mengikuti Persekutuan Mahasiswa Kristen.

Kelompok kecil juga menjadi teman yang mendampingi pertumbuhan rohaniku lewat pembacaan dan pendalaman Alkitab, padahal sebelumnya aku bukanlah orang yang gemar mendalami Alkitab. Kalaupun aku membukanya, Alkitab itu hanya kubaca. Di kelompok kecil inilah baru aku mendalami langkah-langkah praktis yang membuatku memahami firman Tuhan. Dari pemahaman yang baik, aku bisa lebih mudah untuk mengaplikasikannya.

Bertahun-tahun setelahnya, aku tidak menyangka kalau pengalamanku bertumbuh melalui pengenalan akan firman Tuhan menolongku untuk memperlengkapi orang lain, generasi yang lebih muda.

Aku bekerja sebagai seorang guru di sekolah yang dinaungi oleh sebuah yayasan Katolik. Meskipun peserta didikku berasal dari berbagai latar belakang agama yang berbeda, mereka mengikuti program belajar dan kegiatan siswa yang berlandaskan nilai-nilai iman Kristiani. Salah satunya adalah pada pagi hari jam 07.30 WIB, setiap kelas akan berkumpul di ruang virtual untuk membaca renungan harian. Sebelum pandemi, kami juga melakukannya sebelum kegiatan pembelajaran dimulai, namun hanya dengan membaca buku renungan yang telah disediakan dari sekolah. Momen belajar daring yang dilakukan semenjak Maret 2020 ternyata memberikan kami kesempatan lebih.

Dibantu ketua kelas dan wakilnya, aku membuat jadwal, sehingga mereka dapat memimpin renungan harian secara bergantian. Pemimpin renungan bertugas membagikan tautan Zoom, sesaat sebelum renungan dimulai. Setelah berkumpul di ruang virtual, biasanya kami akan mendengarkan sebuah lagu pujian. Kemudian, pemimpin membacakan perikop dan renungan hari itu bagi kami semua. Setelah membaca perikop, kami dapat melakukan pendalaman Alkitab. Kebetulan, situs tersebut juga memuat pertanyaan, games, dan proyek ketaatan yang bisa digunakan untuk semakin memahami Firman Tuhan.

Misalnya, pada Renungan Harian 5 November 2021, saat itu perikop bacaan kami diambil dari Kejadian 18:16-33, tentang Abraham yang sedang tawar-menawar dengan Tuhan, agar Tuhan berbelas kasihan kepada Sodom dan Gomora.

Renungan hari itu dipenuhi pertanyaan-pertanyaan, seperti: Siapakah yang berjalan bersama dengan Abraham dalam bacaan hari ini? (Kejadian 18:1,16) Apa rencana Tuhan pada Sodom dan Gomora? (Kejadian 18:20) Mengapa Tuhan hendak menghancurkan Sodom dan Gomora? (Kejadian 18:20) Apakah Abraham diam saja mendengar rencana Tuhan itu? (Ayat 23-33). Pertanyaan yang dimuat juga disertai ayat yang dapat membantu untuk menjawab.

Aku mengira, anak-anak akan kebingungan, karena harus membaca kembali ayat-ayat penunjuk berulang kali, lalu menjawab pertanyaan. Sebaliknya, mereka cukup antusias.

Perikop tersebut menceritakan bagaimana Abraham berulang kali melakukan tawar-menawar dengan Tuhan, agar Sodom dan Gomora tidak dihukum. Beberapa dari mereka tampak penasaran dan heran, mengetahui bahwa Tuhan dapat sedekat itu dengan Abraham, bahkan Tuhan mau mengampuni Sodom dan Gomora, jika ada sejumlah kecil orang yang masih berbakti pada-Nya. Saat mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan yang ada, aku melihat mereka semakin memahami bahwa Tuhan dapat mengampuni, dan di saat yang sama, bersikap adil untuk mendidik manusia. Aku menyadari, saat itu Tuhan sedang bekerja bagi anak-anak peserta didikku. Dia sedang menyatakan diri-Nya, melalui pendalaman Alkitab yang kami lakukan.

Pada akhir bacaan, akan ada tugas atau proyek ketaatan. Hari itu, proyek ketaatan kami adalah mendoakan orang-orang di sekitar, agar tidak mendukakan hati Tuhan, tidak melakukan kesalahan yang sama, seperti yang dilakukan oleh penduduk Sodom dan Gomora. Kebiasaan ini kami lakukan setiap hari Senin sampai Jumat, sebelum kegiatan belajar dimulai. Aku merasakan dampak dari pendalaman Alkitab secara langsung. Mereka jadi lebih aktif belajar dan tidak malu bertanya, karena sudah terbiasa dengan diskusi. Kemampuan mengobservasi informasi dan menginterpretasi pesan dari sebuah bacaan yang dimiliki anak-anak juga semakin meningkat. Mereka bertumbuh semakin cerdas dan cermat melalui pendalaman Alkitab.

Pengalamanku ini membuatku terkagum. Aku percaya kebiasaan menggali Alkitab ini dapat menjadi bekal terbaik bagi anak-anak untuk menyongsong masa depan. Sebab, segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian, tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik (2 Korintus 3:16-17).

Dengan Firman Tuhan yang dibaca, dipahami, dan dilakukan, dapat memperlengkapi mereka dan juga aku dalam melakukan pekerjaan baik yang Tuhan percayakan.

Bagaimana denganmu? Sudahkah kamu membaca, merenungkan, dan mengaplikasikan nilai-nilai firman Tuhan dalam hidupmu?