Posts

Cerpen: Ira dan Nathan

Oleh Meili Ainun

“Maaf, kami tidak bisa menerima anak ibu. Persyaratan untuk masuk kelas 1 adalah anak sudah dapat membaca dan berhitung dengan lancar. Anak ibu tidak memenuhi persyaratan kami.”

“Tentu. Tentu saja kami menerima anak ibu dengan senang hati. Biaya sekolah per bulan tiga juta rupiah. Ditambah biaya makan, buku, kegiatan sekitar dua juta rupiah. Total biaya per bulan adalah lima juta rupiah.”

“Hasil tes anak ibu tidak memenuhi syarat untuk masuk kelas 1. Kami mohon maaf. Demi kebaikan anak ibu, kami menyarankan agar dia masuk ke sekolah khusus yang lebih sesuai dengan kemampuannya.”

***

Berbagai pesan yang disampaikan oleh beberapa sekolah kembali terngiang dalam pikiran Ira.

“Lagi-lagi penolakan.. Dan biayanya.. Oh, apa yang harus kulakukan? Apa yang harus mama lakukan, Nathan?”

Nathan yang sedang bermain Lego langsung menoleh dan tersenyum mendengar namanya dipanggil.

Ira tersenyum kembali pada Nathan. “Yuk, kita tidur.”

Di tepi tempat tidur, Ira berlutut bersama Nathan. Dengan wajah serius, Nathan memejamkan matanya menunggu Ira berdoa.

“Tuhan yang baik, terima kasih untuk hari ini. Terima kasih Tuhan menjaga Nathan. Terima kasih untuk makanan yang kami makan. Terima kasih untuk tubuh yang sehat. Tuhan, tolong kami menemukan sekolah untuk Nathan. Sekarang kami mau tidur, tolong jaga kami ya Tuhan. Dalam nama Tuhan Yesus, kami berdoa. Amin.”

Nathan menyahut dengan bersemangat. “Amin. Sekarang cerita.”

“Nathan mau dengar cerita apa?”

“Daud.”

Ira duduk di atas tempat tidur, mengambil Alkitab anak-anak, membuka halaman tertentu, dan membiarkan Nathan memegang Alkitab itu. Lalu Ira mulai membacakan cerita Daud melawan Goliat. Mata Nathan terlihat antusias melihat gambar-gambar yang ada.

“Tuhan hebat!” begitu komentar yang biasanya Nathan ucapkan tiap kali Ira selesai membaca cerita.

“Ya, Tuhan hebat. Mama sayang kamu,” sahut Ira memeluk Nathan.

“Nathan sayang mama,” kata Nathan.

Setelah memastikan Nathan tertidur, Ira duduk di ruang tamu dengan perasaan sedih.. Ira menutup wajah dengan kedua tangannya.

“Apa yang harus kulakukan? Hanya sekolah ini yang mau menerima Nathan. Tetapi lima juta sebulan? Darimana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu?”

Sejak kematian Hendri, suaminya akibat kecelakaan lalu lintas pada awal tahun, tidak banyak pilihan kerja yang bisa diambil Ira karena Nathan harus selalu dijaga dan tidak dapat ditinggal tanpa pengawasan. Maka, Ira memilih bekerja sebagai agen asuransi karena jam kerja yang fleksibel. Bila Ira harus bertemu dengan klien di luar, Nathan dititipkan sebentar kepada tetangga sebelah yang bersedia menjaganya. Tidak ada anggota keluarga yang lain yang dapat memberikan bantuan karena Ira anak tunggal dan kedua orang tuanya sudah meninggal sedangkan orang tua Hendri sudah lanjut usia dan tinggal di kota yang berbeda.

Namun penghasilan sebagai agen asuransi tidak menentu, dan tabungan yang dimilikinya tidak banyak, hanya cukup memenuhi kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Ira bersyukur dia dapat tinggal di rumah yang cukup layak tanpa harus dibebani dengan cicilan rumah. Tetapi biaya pendidikan Nathan yang tidak sedikit membuat Ira resah. “Tuhan, apa yang harus kulakukan?”

Setiap hari diawali dengan rutinitas yang sama. Ira akan membangunkan Nathan pada jam yang sama, mengawasinya saat mandi karena Nathan sedang belajar mandi sendiri, lalu mereka makan pagi bersama-sama. Ira bersyukur Nathan mau makan apa saja yang disajikannya sekalipun sangat sederhana seperti bubur.

Kemudian waktu belajar pun dimulai. Bagi Ira, waktu belajar adalah waktu yang penuh tantangan. Ira tahu Nathan tidak begitu suka belajar. Ira berusaha mencari cara agar waktu belajar menjadi waktu yang menyenangkan bagi Nathan, namun Ira tahu dirinya bukan seorang yang sabar dan kreatif. Dan Nathan mudah sekali bosan.

“Nathan, ini huruf apa?” Ira menunjuk huruf A pada poster abjad yang ditaruhnya di meja.

Nathan menjawab dengan bangga. “A.”

Ira tersenyum dan memuji Nathan. “Bagus. Sekarang ini huruf apa?”

“B”, sahut Nathan dengan cepat.

“Bagus. Sekarang ini huruf apa?”

Nathan diam dan menoleh memperhatikan mainan Lego yang terletak di pojok.

“Nathan. Ini huruf apa?” tanya Ira kembali dengan penekanan pada suaranya.

Nathan menatap Ira dan menjawab, “A.”

“Tidak, ini bukan A. Yang ini huruf A. Ini bukan A. Ini huruf apa?” tanya Ira dengan panik.

“A,” jawab Nathan dengan keras.

“Bukan. Ini bukan huruf A. Ini huruf C. Ayo ingat, ini apa? C,” jelas Ira dengan nada suara kesal.

Nathan diam dan kembali memperhatikan mainan Lego.

“Nathan. Anak pintar. Ayo, belajar. Ingat ya, ini huruf A. Yang ini B, yang ini C. Sekarang coba ulangi lagi,” kata Ira sambil berusaha sabar.

“A. A. A. A. A,” teriak Nathan sambil berlari mengambil mainan Lego kesayangannya.

“Nathan, kembali ke sini. Kita belum selesai belajar,” Ira membentak dengan suara keras.

Nathan diam saja dan sibuk memainkan Lego di lantai.

“Mama bilang kita belum selesai belajar. Kalau kamu seperti ini terus, kamu tidak bisa pergi ke sekolah. Nathan, kamu dengar mama?” Ira menatap Nathan dengan marah.

Suara terisak-isak Nathan segera terdengar. Tubuh kecilnya tergoncang sedikit.

“Maaf…maafkan mama, Nathan. Mama tidak bermaksud marah padamu. Tetapi Nathan harus belajar. Oh…apa yang harus kita lakukan, Nathan?” Ira memeluk Nathan sambil menangis.

Ira menyadari dirinya kadang keras pada Nathan. Dia ingin memastikan agar Narhan dapat tumbuh sama seperti anak-anak lain. Ira tahu Nathan lahir dalam kondisi yang khusus. Nathan telah dibawa bertemu dengan beberapa psikolog dan mereka mengatakan hal yang sama. Nathan adalah penyandang Disabilitas Intelektual ringan dengan tingkat IQ 70. Hal itu membuat Nathan mengalami kesulitan kognitif. Meskipun umurnya sudah menginjak usia 7 tahun, Nathan baru mengenal beberapa huruf dan angka. Perlu waktu yang cukup lama bagi Nathan untuk mengingat sebuah huruf maupun angka. Ira tahu Nathan mampu hanya dia butuh waktu yang lebih lama dibanding anak-anak lain.

Ira sempat menyalahkan dirinya karena kondisi Nathan. Dia berpikir apakah dirinya penyebab Nathan lahir dalam kondisi itu. Para psikolog menyakinkan Ira bahwa tidak ada suatu penyebab pasti dalam kasus ini. Ada banyak faktor penyebab dan berbagai kemungkinan yang terjadi, sehingga tidak ada gunanya menyalahkan diri sendiri.

Meskipun Nathan kadang menyulitkan, namun Ira tahu dia tidak dapat hidup tanpa Nathan. Melihat Nathan tersenyum mampu membuat hati Ira merasa lebih baik. Mendengar Nathan bernyanyi lagu-lagu Sekolah Minggu kadang membuat Ira berpikir Nathan sama seperti anak-anak lain. Nathan memang suka bernyanyi dan paling senang bila hari Minggu tiba. Karena hari itu Nathan akan ikut Sekolah Minggu. Nathan bahkan memiliki pakaian khusus yang dia hanya pakai di hari Minggu.

Di Sekolah Minggu, Nathan akan duduk bersama anak-anak lain. Bernyanyi dengan suaranya yang enak didengar. Bertepuk tangan dengan gembira. Tersenyum lebar setiap waktu. Ira yang mengintip di pintu akan tersenyum juga. “Nathan yang manis,” begitu Ira menyebut Nathan.

Namun, hati Ira menjadi miris melihat Nathan yang duduk dengan tatapan mata kosong karena tidak mengerti apa yang sedang diceritakan guru Sekolah Minggu. Dan selesai Sekolah Minggu dimana anak-anak lain berlari dan bermain bersama, Nathan akan duduk sendirian bermain Lego. Kadang ada guru Sekolah Minggu yang menemaninnya, tetapi lebih sering dia sendirian. Ira sampai pernah meminta seorang anak untuk mau menemani Nathan setiap kali Sekolah Minggu selesai. Anak itu bersedia melakukannya tetapi hanya beberapa kali karena Nathan tidak bisa diajak ngobrol, dia tidak mengerti percakapan yang berlangsung. Pembicaraan mereka tidak nyambung. Maka Nathan akan kembali sendirian.

Adakalanya Ira ingin menyerah dengan keadaan Nathan apalagi jika Ira memikirkan apa yang harus Nathan hadapi bila sudah dewasa nanti. Namun di saat-saat Ira merasa dirinya tidak akan sanggup lagi bertahan, ada Firman Tuhan yang selalu menguatkannya. Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu. (1 Petrus 5:7). Ira tahu dirinya dapat bergantung kepada Tuhan karena Dia adalah Tuhan yang setia dan pemelihara hidup. Meski Ira tidak selalu dapat mengerti rencana Tuhan terhadap dirinya dan Nathan, namun Ira percaya Tuhan tidak pernah salah. Nathan hadir dalam hidupnya bukanlah kesalahan. Seperti nama Nathan (Nathaniel) yang berarti anugerah Tuhan, bagi Ira, Nathan adalah anugerah Tuhan yang diberikan dalam hidupnya..

Perlukah Orang Kristen Mengejar Kebebasan Finansial?

Oleh Rachel Lee
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: klik di sini

“Capek kerja dari pagi sampai malam? Daftar kursus gratis ini dan belajarlah bagaimana menjadi bos!”

“Kekurangan uang? Chat saya, dan saya akan mengajari Anda mendapatkan uang dengan mudah.”

“Belum mulai berinvestasi? Anda belum terlambat! Ayo bergabung sekarang dengan tim kami!”

“Tahukah Anda apa itu kebebasan finansial? Itu adalah kondisi di mana Anda tak perlu lagi bekerja karena uanglah yang bekerja buat Anda! Mau tahu caranya? Kontak saya sekarang juga.”

***

Setiap kali aku masuk ke media sosialku, aku menemukan banyak iklan seperti di atas, di mana-mana! Setelah melihat banyak iklan itu, ada lagi iklan yang bilang begini:

“Kalau kamu punya uang, tidak hanya kamu punya lebih banyak pilihan; kamu bisa berkata ‘tidak’ pada hal-hal yang tak kamu suka”, atau

“Berjuanglah sekarang, dan dirimu di masa depan akan berterima kasih.”

Aku merasa tergelitik dan bertanya-tanya bagaimana aku bisa menambah hartaku. Melihat bagaimana bisnis dan investasi teman-temanku berjalan baik, aku merasa tak puas dengan posisi finansialku. Aku juga ingin meraih lebih banyak uang supaya aku bisa melunasi cicilan, dan membawa keluargaku jalan-jalan keliling dunia. Jadi, aku pun mulai mencari-cari kesempatan berbisnis secara daring.

Sebenarnya ini bukanlah hal baru buatku. Di tahun 2016, ketika aku masih mahasiswa, aku pernah menulis artikel tentang keinginanku untuk mendapat uang. Artikel itu ditulis saat aku tidak punya pendapatan, tapi sekarang setelah aku bekerja dan punya pemasukan yang stabil, aku masih ingin meraih lebih. Jadi aku bertanya-tanya: apakah ini karena aku kurang puas?

Ketika aku merenungkan motivasiku, aku sadar kalau aku ingin meraih kebebasan finansial bukan supaya aku bisa hidup mewah. Malah, harapanku adalah dengan punya kemampuan finansial yang lebih besar, aku bisa menaikkan taraf hidup keluargaku lebih baik. Plus, kalau semisal aku terpanggil untuk melakukan mission-trip entah ke mana, aku bisa membayarnya tanpa khawatir. Semua motivasi ini terlihat rasional kan?

Jadi, sebagai orang Kristen, aku sungguh bisa mengejar kebebasan finansial kan?

Berangkat dari dua pertanyaan itu, aku membuka Alkitabku untuk mencari tahu apa yang Allah ingin katakan terkait dengan kekayaan. Kutemukan beberapa penemuanku. Kuharap apa yang kupelajari juga menolongmu untuk menemukan jawaban.

Berdasarkan sebuah artikel di koran, ada sekitar dua ribu ayat di Alkitab tentang uang. Tapi, hanya sekitar 500 yang berbicara tentang doa dan iman. Bisa dikatakan, masalah tentang uang tidak boleh diabaikan.

Pada dasarnya, uang itu bersifat netral. Baik atau buruknya tergantung dari orang yang menggunakannya. Uang bukanlah akar segala kejahatan, cinta akan uanglah yang jadi akar segala kejahatan (1 Timotius 6:10). Kapan pun Alkitab berbicara tentang uang, Alkitab juga berbicara tentang bagaimana orang memandang dan menggunakannya.

Inilah tiga hal yang harus selalu kita ingat ketika kita membahas soal relasi kita dengan uang:

1. Ingatlah bahwa uang itu diberikan oleh Tuhan

Pertama, kita harus menyadari bahwa segala sesuatu, termasuk uang, berasal dari Allah. Salomo yang dipenuhi kebijaksanaan dan kekayaan pernah berkata, “Setiap orang yang dikaruniai Allah kekayaan dan harta benda dan kuasa untuk menikmatinya, untuk menerima bahagianya, dan untuk bersukacita dalam jerih payahnya—juga itupun karunia Allah” (Pengkhotbah 5:19).

Namun, kita harus memahami bahwa karunia Allah itu tidak hanya ada saat kita kaya, tapi juga saat kita miskin. Ketika Ayub kehilangan anak, harta, dan kekayaannya, dia masih bisa berkata, “TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!” (Ayub 1:21). Pernyataan Ayub menunjukkan bahwa Allah jauh lebih besar daripada pengejarannya akan kemakmuran dan kedamaian. Iman Ayub adalah teladan bagi kita.

Marilah kita percaya bahwa Allah akan menyediakan apa pun yang kita butuhkan, dan kita perlu bersyukur atas apa yang ada pada kita.

2. Kita hanyalah pengelola uang

Ketika kita menyadari bahwa uang berasal dari Allah, kita dapat menempatkan diri pada posisi yang benar—sebagai pelayan Allah. Karena Dia telah memberi kita uang, maka kita harus mengelolanya.

Pemahaman ini membawa kita pada pengelolaan keuangan. Pendapatan kita dapat dibagi ke dalam dua kelompok: aktif dan pasif.

A. Pendapatan aktif—uang yang kita raih dari bekerja:

1 Timotius 5:18 berkata “Setiap orang yang bekerja patut mendapat upahnya.” Mendapatkan upah yang layak dari instansi tempat kita bekerja adalah hak kita. Ayat ini juga mengingatkan orang-orang Kristen yang merupakan para pemilik usaha akan kewajiban untuk membayar pekerjanya dengan upah yang sesuai.

Alkitab tidak menentang usaha sampingan, tapi ada cara-cara yang ditentang Allah seperti: penyuapan (Mikha 3:11), warisan yang diminta terlalu cepat (Amsal 20:21), pencurian, kebohongan, dusta (Imamat 19:11).

B. Pendapatan pasif—uang mendapatkan uang:

Matius 25:14-30 menceritakan perumpamaan tentang seorang tuan yang memberikan hamba-hambanya masing-masing lima, dua, dan satu talenta. Orang-orang biasanya memahami perumpamaan ini sebagai pengingat bagi kita untuk menggunakan talenta dan kemampuan kita bagi Tuhan. Tapi, aku percaya pada prinsipnya perumpamaan ini juga jadi pengingat yang baik tentang uang: kita harus memperlakukan dengan serius uang yang Tuhan telah berikan buat kita–dengan menggunakan cara-cara bijak untuk meningkatkan nilainya. Entah itu dengan menabung di bank atau di instrumen investasi.

Allah tidak menilai uang lebih berharga daripada kita, atau pun Dia menjadikan uang sebagai tolok ukur kasih-Nya bagi kita. Dia berkenan apabila kita secara efektif menggunakan apa yang Dia telah percayakan bagi kita. Saat kita bersyukur pada-Nya atas pemberian-Nya, kita juga harus belajar untuk mengelolanya dengan baik sebagaimana kita mengembangkan talenta dan kemampuan kita.

3. Belajarlah mengelola uang tanpa bersifat serakah

Ketika kita mengelola keuangan pada jalur yang benar, hasilnya bisa saja jauh melampaui apa yang kita harapkan. Manajemen yang baik bisa menolong kita meraih lebih banyak uang, yang juga menuntut energi lebih untuk mengelolanya. Namun, berhati-hatilah agar kita tak kehilangan pandangan kita akan Allah. Atau, jangan pula karena kita gagal mengelola uang dengan baik lantas kita pun menyalahkan-Nya.

Sifat tamak atau serakah muncul ketika kita memaknai uang lebih besar daripada kasih kita pada Tuhan. Uang lalu menjadi tuan kita, sedangkan Tuhan menjadi pelayan ketika kita berpikir bahwa Dia berkewajiban untuk menambah harta kekayaan kita.

Jika kita ingin tahu apakah kita telah jadi orang yang serakah atau tidak, secara sederhana kita dapat melihat bagaimana sikap kita terhadap persembahan. Persembahan adalah cara yang baik untuk menguji siapakah pemilik uang itu.

Jika kita merasa uang itu adalah milik kita karena kita yang meraihnya, dan memberikan persembahan bagi rumah Tuhan tidak akan menambah uang itu, maka persembahan meskipun cuma seribu rupiah pun tidak akan terasa baik buat kita. Tapi, jika kita mampu memberi dengan sukacita, itu menyenangkan Tuhan. “Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita” (2 Korintus 9:7).

Sejalan dengan tiga poinku, aku merumuskan definisi baru dari ‘kebebasan finansial’ buatku sendiri:

1. Aku bisa bebas memuji Tuhan untuk segala kepunyaanku yang adalah kepunyaan-Nya.

2. Aku bisa bebas bekerja untuk memuliakan-Nya dan berani berkata ‘tidak’ untuk cara-cara yang tidak menyenangkan hati-Nya.

3. Aku bisa bebas mempersembahkan segalanya bagi Tuhan: dengan sukacita memberikan uang yang dipercayakan-Nya untuk membangun kerajaan-Nya.

Yohanes 8:32 berkata, “…dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” Terlepas dari apakah aku bisa memenuhi kebebasan finansial berdasar standar dunia, aku tahu apabila aku mengejar kebenaran Allah, aku akan memperoleh kebebasan sejati yang berasal dari-Nya: untuk hidup dalam naungan kasih dan anugerah-Nya, tidak lagi terikat pada dosa, dan mampu menolak godaan keuangan dan menolak untuk melakukan hal-hal yang tidak berkenan pada-Nya.

Sesegera Mungkin, Buatlah Rencana Keuanganmu!

Oleh Ari Setiawan, Yogyakarta

Tahun 2020 sudah memasuki bulan kedua, tapi rasanya belumlah terlambat untuk bicara soal resolusi.

Dalam peribadatan tutup tahun serta awal tahun, gereja pun kerap menyuarakan pentingnya membuat resolusi. Namun, sadar atau tidak, gereja cenderung menekankan agar umat Kristen memiliki resolusi yang berfokus pada ritual peribadatan Kristiani. Contohnya, umat Kristen harus baca Alkitab setahun penuh di tahun yang baru, harus ikut satu pelayanan, dan lain-lain.

Tentu bukan hal yang salah untuk mengingatkan ritual yang terjadi dalam “altar,” tetapi gereja juga tidak boleh abai pada hal yang terjadi di “latar,” yaitu hal-hal yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, ada beberapa gereja yang merasa mendiskusikan seks, relasi, dan uang, adalah hal yang tabu. Padahal, nyatanya manusia kerap menghadapi permasalahan pada tiga topik tersebut.

Bicara soal uang, apakah kamu sudah melakukan perencanaan finansialmu sepanjang tahun ini?

Pentingnya apa sih?

Sebagai pelajar maupun pekerja, kita mungkin pernah atau kerap mengalami kondisi bangkrut—kondisi di mana kita kehilangan financial resources, alias bokek. Pada akhir bulan, biasanya orang tua kita mengirimkan uang bulanan, atau para pekerja mendapatkan gaji, tapi tak berselang lama, minggu kedua di bulan berikutnya isi dompet menipis. Dan ketika uang habis, mungkin ada dari kita yang ikut kegiatan gereja yang ada makan-makannya, ikut doa puasa (yang mungkin landasannya bukanlah pertobatan), kita pun minta uang ke orang tua, dan yang paling buruk ialah berutang kepada teman atau lewat pinjaman online.

Bukankah pengaturan keuangan yang buruk bisa mengindikasikan bahwa kita belum bertanggung jawab atas berkat materiil yang Tuhan titipkan bagi kita?

Perumpamaan tentang talenta, dalam Matius 25:14-30 maupun perumpamaan tentang uang Mina dalam Lukas 19:12-27 bisa menjadi asumsi bahwa Tuhan menuntut kita untuk bertanggung jawab atas hal-hal yang Dia titipkan pada kita. Talenta dan Mina, dalam beberapa perspektif teologi dapat diartikan sebagai karunia Roh, soft skill di mana Tuhan ingin menghasilkan jiwa-jiwa baru yang percaya pada-Nya. Namun, berkat materiil juga merupakan berkat yang tak bisa diabaikan, karena perihal keuangan juga berdampak langsung dalam kehidupan di masa kini. Maka, seharusnyalah seorang pelajar mampu mengelola kiriman bulanan yang dikirim oleh orang tua; begitu pun seorang pekerja harus mampu mengelola pendapatan yang dia terima.

Tantangan yang kita hadapi dalam mempertanggungjawabkan berkat materiil adalah gaya hidup masa kini yang impulsif dan konsumtif. Kita bisa membeli banyak hal lewat ragam aplikasi di gawai, mulai dari makanan, pakaian, barang elektronik, dan banyak lainnya. Hal-hal yang awalnya tidak terlalu diinginkan lambat laun jadi kebutuhan. Semisal harus beli boba atau kopi tiap hari. Fasilitas kredit pun makin mudah kita dapatkan, baik pinjaman kredit online maupun fitur pay later.

Lantas, bagaimana caranya agar kita bisa merancang kehidupan finansial dengan baik?

Kuncinya adalah mencatat, agar kita bisa mengukur dan menghitung pengeluaran serta pendapatan dengan tepat. Kita bisa mendapatkan banyak aplikasi maupun program perihal merancang finansial di gawai kita. Kita juga bisa melakukannya dengan secarik kertas, yang dibagi menjadi dua kolom. Sisi kiri untuk pemasukan, sisi kanan untuk menulis pengeluaran. Dalam proses penulisan tersebut, kita bisa mulai dengan mengurutkan informasi nominal yang pasti dan stabil dari yang paling atas. Contohnya, pada sisi kiri, kita mencatat pemasukan berupa kiriman dari orang tua, gaji bulanan, atau pendapatan lainnya yang bersifat stabil; dan di bawahnya kita bisa melanjutkan dengan pemasukan yang fluktuatif, seperti hasil dari kerja sambilan.

Hal yang sama juga bisa diterapkan pada sisi kanan, untuk menuliskan pengeluaran. Dari atas kita menuliskan pengeluaran yang sifatnya wajib dan pasti, misal bayar uang kuliah, bayar uang kos, persepuluhan, bayar cicilan. Pada bagian bawahnya kita bisa mencatat pengeluaran yang sifatnya alokasi seperti kebutuhan pengembangan diri, kebutuhan entertainment. Kita pun bisa melanjutkan dengan menulis pengeluaran untuk biaya saving yang dialokasikan untuk investasi dan tabungan.

Tentu secara teoritis tampaknya mudah, tapi perlu usaha keras untuk mempraktikkan pencatatan keuangan ini. Sebagai umat Kristen, kita perlu melandasi perancangan finansial dengan pemahaman bahwa melalui harta tersebut, kita dapat memuliakan nama Tuhan, seperti tertulis dalam Amsal 3:9, “Muliakanlah TUHAN dengan hartamu dan dengan hasil pertama dari segala penghasilanmu.”

Dalam usaha memuliakan Tuhan melalui berkat materiil yang kita miliki, tentunya dengan perencanaan yang matang pula, seperti tertulis dalam Lukas 14:28, “Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuh menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu?”

Selamat menikmati 2020 dengan resolusi finansial yang baik, kawan!

*Tulisan ini diadaptasi dari wawancara dengan Fenny Sutandi, seorang bankir dan Certified Financial Planner. Dapat didengarkan melalui podcast di sini.

Baca Juga:

Nafsu dalam Pacaran: Dosa Terselubung yang Tidak Kita Bicarakan

Selama masa-masa pacaran, kami bergumul dengan dosa yang amat kami sesali. Hanya teman yang paling dekat dan pemimpin di gereja kami yang tahu akan dosa itu: hawa nafsu. Ketika akhirnya kami mengalami konsekuensi dosa, barulah kami sadar dan bertekad untuk berbalik.

Bekerja Layaknya Seorang Atlet

Oleh Dian, Surabaya

Aku bekerja sebagai guru. Di bulan April 2019, aku mendapatkan keputusan dari atasanku bahwa kontrak kerjaku tidak dilanjutkan lagi. Berita yang membuatku hopeless dan cukup gelisah. Teman-temanku yang mengetahui kabar ini pun sempat tidak percaya dan menyarankanku untuk bertanya lagi. Tetapi, nyatanya memang keputusan itu tidak bisa dibatalkan. Ada teman juga yang memberikan beberapa informasi lowongan pekerjaan untukku. Beberapa lowongan sudah aku daftarkan dan tak kunjung dapat balasan juga.

Hari demi hari, beberapa teman bersimpati atas kejadian ini. Tapi tak jarang, aku bilang ke teman-temanku, “Tidak apa-apa, aku bisa cari pekerjaan lain”. Tapi itu hanya ketenangan semu untuk menutupi kekecewaanku. Apalagi, kondisiku bukanlah seorang bujang, yang bekerja untuk diri sendiri. Aku punya istri yang sedang mengandung. Tentu masalah finansial memenuhi pemikiranku. Meskipun aku hafal ayat 1 Petrus 5:7 “Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia memelihara yang kamu”, namun tetap saja itu tidak mampu membuat tidurku nyenyak. Apakah aku tidak bisa mengimani ayat ini? Aku juga tidak bisa menjawabnya, karena kenyataannya aku susah untuk tidur atas kekhawatiranku ini. Di sisi lain ayat ini mengatakan Tuhan akan memelihara hidupku.

Selama bekerja memang aku nampak cuek di sekitarku, aku hanya berpikir apa yang bisa kukerjakan dan tidak memikirkan yang lain. Aku juga tidak berpikir terhadap penilaian orang terhadap pekerjaanku dan apa yang kulakukan. Selama siswaku mengerti dan memahami tujuanku mengajar, itu sudah cukup. Tapi bagi atasanku itu tidak cukup untuk melanjutkan karierku bekerja di situ. Di sisi lain, beliau mungkin memiliki pertimbangan yang tidak bisa aku prediksi. Aku menghargai itu, tetapi aku cukup sulit menerima konsekuensi dari keputusannya, karena penghasilanku akan berkurang. Dengan kondisiku sekarang, aku sudah menghitung detail bahwa kemampuan finansialku tidak mampu memenuhi kebutuhan persalinan istriku dan biaya setelahnya.

Lantas apa solusinya? Utang.

Aku memikirkan kata itu untuk memenuhi semua kebutuhan keluargaku, tetapi istriku menolaknya. Ia mengingatkan bahwa kami harus menghindari utang, karena itu akan memberatkan kami dalam melunasinya. Ia selalu memintaku untuk apply pekerjaan. Aku bilang kepadanya, “mending aku kerja jadi marketing aja ya? Gak apa-apa tekanan tinggi, tetapi setidaknya bisa mengejar target finansial kita.”

Ia pun tidak mengizinkan, karena itu bukan background-ku dan kesenanganku. “Percuma kalau kamu bekerja cuma targetnya finansial”, katanya.

“Coba dulu kamu masukkan lamaran di beberapa sekolah,” tambahnya.

Bulan Juli 2019

Bulan ini ada sebuah kelegaan bagiku karena aku mendapatkan pekerjaan baru. Aku bekerja di salah satu sekolah swasta di Surabaya, meskipun sekolah ini hanya memberikan masa orientasi kerja selama 3 bulan. Ini pun membuatku berpikir, “Ternyata Tuhan masih memperhatikanku, meskipun aku sulit menaruhkan kekhawatiranku kepada-Nya”.

Apakah kekhawatiranku sudah hilang? Tidak. Aku masih khawatir apakah aku mendapatkan kesempatan bekerja setelah masa orientasi. Kekhawatiran ini membuatku sangat berhati-hati dalam bekerja. Aku mengusahakan tidak cuek terhadap orang lain, mencoba mencari tahu penilaian orang terhadapku itu seperti apa. Sehingga, secara tidak sadar aku membuat image sesuai apa yang diinginkan oleh rekan kerja, terutama atasan. Berbeda dengan pekerjaanku sebelumnya, yang tidak memedulikan omongan orang lain.

Aku bertanya kepada partner kerjaku, “Apa kriteria atau syarat supaya kontrak kerjanya lanjut di sini?”

“Ngapain dipikirkan, Pak. Yang penting kerja bener, untuk urusan dilanjut atau enggak. Itu gak usah dipikir. Aku dulu seperti itu,” Jawabnya.

Jawabannya menamparku sejenak. Jawabannya mengingatkanku bahwa aku bekerja bukan untuk dilihat oleh orang lain baik, tapi bagaimana memberi pengaruh baik. Jelas, aku sudah kehilangan esensi dan visi dalam bekerja. Aku sudah takut kehilangan pekerjaanku, bahkan hidup matiku seakan-akan hanya bergantung kepada pekerjaanku itu. Meskipun aku bisa beralasan bahwa itu untuk memenuhi kebutuhan istriku dan kelahiran anakku. Itu nampaknya bukan diinginkan Tuhan yang telah memberikan dan mempercayakan pekerjaan itu kepadaku. Pikiranku melintir menjadi 180 derajat, dari “apa yang bisa kuberikan dari pekerjaan” menjadi “apa yang bisa kudapatkan dari pekerjaanku”.

Ternyata orang bekerja itu ibarat seorang atlet yang bertanding. Meskipun ribuan penonton memberikan ejekan, hinaan, pujian, semangat atau komentar lain terhadap atlet yang bertanding, atlet yang baik pasti tidak terpengaruh oleh seluruh komentar penonton melainkan fokus pada tujuan dalam pertandingan, yaitu menang dengan sportif, respect dan penuh semangat. Walapun atlet itu mengalami kekalahan, ia pasti akan berlatih lebih keras lagi untuk mencapai tujuan kemenangan tersebut. Begitu juga pekerja yang baik adalah pekerja yang tidak terpengaruh oleh penilaian orang lain, melainkan menjaga fokus terhadap tujuan dalam pekerjaan. Apalagi tujuan yang ia bawa sejalan dengan tujuan Tuhan. Aku pun masih mengusahakannya, meskipun jatuh bangun dan rasa kecewa serta was-was masih aku rasakan. Tapi setidaknya aku mencoba belajar menjadi atlet yang baik. Jika masih kalah aku untuk melatihnya lagi.

Baca Juga:

Setelah Jarrid Wilson Bunuh Diri: Ke Mana Kita Melangkah Selanjutnya?

Data WHO menunjukkan ada 800 ribu orang setiap tahunnya meninggal karena bunuh diri. Kita tidak bisa diam saja menanggapi isu ini. Kita perlu beranjak dan melangkah.

Aku Menemukan Kepuasan di Tengah Keterbatasan Keuangan

Oleh Agnes Lee, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Found Contentment In My Financial Limitation
Foto oleh Andrew Koay dan Joyce Lim

Di suatu hari Minggu di gereja, keponakanku yang berumur lima tahun dan keluarganya duduk di barisan kursi di depanku. Tiba-tiba, dia berbalik dan bertanya polos, “Tante Agnes, hari ini kamu ke gereja naik apa?”

Aku menjawabnya pelan, “Naik kereta.”

“Kenapa Tante tidak punya mobil? Papaku punya.”

Pertanyaan itu menyentakku. Apakah aku akan bilang kalau aku tidak mampu membeli mobil?

Aku tidak mau terkesan miskin, jadi akhirnya aku menjawab lagi, “Mobil itu bukan satu-satunya alat transportasi kok.” Aku tidak yakin apakah keponakanku mengerti, lalu ibunya menyuruhnya diam dan dia pun kembali mengikuti kebaktian.

Pertanyaan tentang mobil itu menggantung di benakku. Sekalipun memiliki mobil bisa membuat keluargaku lebih mudah dan nyaman kalau pergi tamasya—terutama dengan putra kecilku—suamiku dan aku tidak mampu membeli mobil itu.

Selama beberapa waktu, aku membenci fakta bahwa baik aku dan suamiku hanyalah pekerja yang mendapatkan gaji rata-rata, penghasilan kami hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap bulan. Itu tidak adil. Mengapa Tuhan menahan kami dari kebebasan finansial dan hal-hal baik lainnya? Bukankah Dia berkata bahwa Dia akan memberikan yang baik (Matius 7:11) dan apa yang diinginkan hati kita (Mazmur 37:4)?

Namun, seiring aku semakin mengenal Tuhan lebih baik, aku menyadari bahwa sesungguhnya Tuhanlah harta terbesar yang pernah kumiliki. Aku lebih memilih untuk kehilangan semua kekayaan duniawiku daripada kehilangan pandanganku akan Tuhan dan keselamatan daripada-Nya.

Penghiburan Tuhan jauh lebih berharga daripada kekayaan

Ketika aku masih mudah dan lajang, aku menikmati kebebasan finansial. Aku suka berbelanja dan makan makanan enak. Kapan pun aku merasa stres karena bekerja, hal-hal itulah yang aku raih untuk mengalihkanku dari masalah-masalahku. Kupikir aku telah mengatasi masalahku dengan baik, dan setelah sedikit bersenang-senang, untuk sementara aku akan merasa lebih baik lalu aku pun melanjutkan hidupku.

Meskipun aku datang ke gereja, aku tidak membuka Alkitab untuk mencari penghiburan. Mungkin memiliki kebebasan finansial dan hidup nyaman membuatku merasa puas. Mungkin hatiku terlalu keras untuk mengizinkan firman Tuhan bertumbuh dalamku dan menolongku dewasa dalam iman. Seperti benih yang jatuh di antara semak berduri dalam perumpamaan tentang seorang penabur, hatiku terhimpit oleh kekhawatiran dunia (Matius 13:22).

Tapi empat tahun lalu, aku mengalami masa-masa yang berat dalam pernikahanku. Berbelanja, makan makanan enak, dan berapa pun jumlah uang tidak dapat menyelesaikan pertengkaran keluarga kami. Aku tidak bisa melihat jalan keluar. Di titik inilah kemudian Tuhan mengarahkanku kembali kepada firman-Nya.

Meskipun situasiku memburuk hari lepas hari, aku menemukan penghiburan dan damai dalam firman Tuhan bahkan saat aku sudah merasa tak berdaya lagi. Aku sadar bahwa Tuhan adalah yang sesungguhnya aku butuhkan. Seiring aku menanti dan meletakkan harapanku pada Tuhan, Dia menolongku dan suamiku untuk mengatasi masalah pernikahan kami.

Semangatku kepada Tuhan terus bertumbuh dan aku semakin rajin membaca Alkitab. Cara pandangku mengenai kekayaan pun mulai berubah. Aku tidak lagi melihatnya sebagai jawaban atas masalahku. Aku sadar bahwa Tuhan adalah satu-satunya sumber penghiburanku di saat-saat sulit. Oleh karena itu, aku bisa merasa puas dalam segala situasi, entah itu kaya atau miskin, karena keselamatanku tidak bergantung pada kekayaanku.

Namun, setelah aku dan suamiku berdamai, aku harus berkontribusi lebih untuk menanggung pengeluaran keluarga, dan kami pun lebih ketat dalam mengatur keuangan. Persembahan persepuluhan jadi sesuatu yang menguji iman kami, tapi Tuhan terus menunjukkan pemeliharaan dan anugerah-Nya. Dan yang paling penting, Tuhan mengajariku apa artinya berjalan dengan iman percaya dan bukan dengan pandangan sendiri (2 Korintus 5:7).

Terlepas dari pendapatan kami, kami punya tanggung jawab untuk mengelola keuangan kami dengan baik. Ketika aku masih sekolah, aku pernah diminta untuk menggalang dana untuk sebuah organisasi amal. Waktu itu aku belum jadi orang percaya, tapi aku memberikan sejumlah uang dari uang sakuku karena aku ingin menyenangkan guruku. Setelah itu, hatiku sakit karena uang yang kuberikan itu seharusnya bisa kugunakan untuk membeli sesuatu buat diriku. Meski aku bisa memberikan sejumlah uang, hatiku tidak tulus.

Hidup dalam kepuasan

Sekarang aku telah menjadi orang Kristen dan jauh lebih mengerti tentang apa artinya memberi untuk Tuhan. Aku tertantang untuk memberi lebih banyak lagi dan dengan hati yang tulus. Seperti yang tertulis dalam Matius 19:28-30, jika kita menanggalkan segala kenyamanan duniawi untuk mengikut Tuhan, kemudian pada hari di mana segalanya diciptakan baru, kita akan mendapatkan lebih banyak dan mewarisi kehidupan yang kekal. Inilah yang mengingatkanku untuk tidak hanya mencari kenyamanan yang sementara, tetapi untuk hidup dan memberi dengan perspektif kekekalan.

Tapi, selama aku aku masih tinggal di bumi ini, aku tidak terhindar dari godaan. Ketika aku melihat orang lain bisa membeli apapun yang mereka mau, aku masih bisa merasa sedikit iri. Karena aku bekerja di pusat bisnis, aku sering melihat orang-orang mengendarai mobil-mobil mewah. Kadang aku berharap bisa jadi seperti mereka. Tapi, ketika aku menyerahkan segala keinginanku pada Tuhan, aku sadar bahwa rencana-Nya untuk masing-masing kita itu berbeda. Dia membuat beberapa orang kaya, dan beberapa lainnya mendapat penghasilan rata-rata sepertiku. Tapi, terlepas dari status keuangan kita, selama kita memilih untuk menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat, Tuhan memanggil kita sebagai anak-anak-Nya.

Ketika aku mengetahui hal ini, aku merasa puas dengan keuanganku yang terbatas. Seperti Paulus, aku tahu rahasia untuk merasa puas dalam setiap situasi, entah itu dalam saat-saat kenyang atau lapar (Filipi 4:12). Aku dapat selalu bersyukur pada Tuhan karena Dia selalu memelihara dan memenuhi semua yang kubutuhkan (Matius 6:26).

Baca Juga:

Nenekku dan perempuan Nepal

Ketika berada di Nepal dulu, seorang perempuan mengatakan padaku dan temanku bahwa dia akan percaya Yesus kalau dia tidak perlu bekerja lagi. Waktu itu aku tak tahu harus menjawab apa, tapi kini, melalui teladan nenekku aku tahu bagaimana seharusnya aku merespons perempuan Nepal itu.