Posts

Keluarga Ya Kayak Gini …

Oleh: Sheila May

accepting-my-broken-family

Kesalahan terbesar dalam hidupku adalah menikahimu!” sangat sering aku mendengar kedua orangtuaku saling melontarkan kalimat itu sejak aku masih duduk di bangku TK. Pertengkaran bahkan baku hantam di antara mereka kerap terjadi tepat di depan mataku dan saudara-saudaraku. Hampir setiap hari kami harus menjadi penyambung lidah saat mereka perlu berkomunikasi satu sama lain. Ketika usiaku menginjak dua belas tahun, orangtuaku akhirnya memutuskan untuk pisah rumah.

Tidak usah dipedulikan. Itu urusan mereka.” Itulah pemikiran kanak-kanakku saat menghadapi ‘pisah rumah’ tersebut. Akan tetapi, seiring dengan bertambahnya usiaku, aku mulai menyadari, masalah ini lebih besar dari yang kupikirkan. Tidak mungkin bisa aku tidak peduli. Aku ada di dalamnya! Aku pun mulai frustasi.

“Keluarga” menjadi topik yang selalu kuhindari dalam perbincangan dengan teman-temanku. Aku berusaha menghapus kata itu dalam pikiranku. Suatu hari aku diajak pergi oleh keluarga temanku; kami naik mobil bersama. Mendengarkan mereka berbincang dan bercanda biasa, tiba-tiba perasaan yang hangat menyelimuti hatiku. Diam-diam aku menangis, entah mengapa. Aku merasa senang, sedih, sekaligus prihatin dengan diriku sendiri. Aku berkata kepada diriku sendiri, “Oh, kayak gini yang namanya keluarga…”

Kembali melihat kondisi keluargaku sendiri, aku merasa sangat kecewa. Aku marah! Aku membenci semua orang di dalam keluargaku, dan tidak berusaha menyembunyikan perasaanku itu. Aku memuntahkan semua pikiran dan emosiku kepada teman-temanku. Mereka mulai menjauhiku dan menganggapku sangat menyebalkan. Aku lelah hidup bersama keluargaku, tetapi aku juga tidak bisa ke mana-mana. Rasanya lama-lama aku bisa jadi gila!

Tiga tahun setelah orangtuaku berpisah, aku sangat tidak betah di rumah. Sering aku berjalan kaki pulang sekolah supaya tidak cepat tiba di rumah. Satu-satunya alasan aku pulang ke rumah adalah untuk tidur di malam hari. Suatu hari, seorang teman mengajakku pergi ke gerejanya. Segera saja aku menyambut ajakan itu. Alasan yang bagus untuk tidak berada rumah, begitulah pikirku. Beberapa waktu kemudian aku mendengar bahwa gereja itu akan mengadakan retret selama tiga hari. Wah, tiga hari tidak di rumah! Tanpa pikir panjang, aku langsung mendaftarkan diri.

Tiga hari itu membuat hidupku tidak pernah sama lagi. Di sanalah aku mengenal Allah yang menyelamatkanku. Aku menyadari keberdosaanku, dan pada saat yang bersamaan, menemukan pengampunan dan kasih yang dikaruniakan Allah kepadaku. Aku merasa sangat bersyukur.

Akan tetapi, tidak berarti hidupku lantas bebas dari masalah. Kembali ke rumah, aku masih menghadapi ‘peperangan’ yang sama setiap hari. Tidak serta merta aku menjadi anak yang baik, manis, dan taat. Aku masih bergumul dengan karakter yang telah terbentuk selama belasan tahun di dalam diriku. Aku tetap tidak terima dengan keadaan keluargaku.

Masa-masa itu sangat tidak mudah, namun Allah memegang tanganku dengan sabar ketika aku sering memberontak kepada-Nya. Saat aku akhirnya kehabisan tenaga dan duduk merenungkan kehidupan keluargaku yang berantakan, aku tersadar bahwa situasi semacam itu sebenarnya tidak hanya dihadapi oleh keluargaku. Semua keluarga tidak luput dari masalah, entah itu keluarga teman-temanku, tetanggaku, orang-orang beragama atau tidak beragama, bahkan para hamba Tuhan yang melayani penuh waktu. Aku bukan satu-satunya orang yang bergumul, banyak orang di sekitarku yang juga menghadapi ‘peperangan’ serupa, bahkan tidak jarang situasi mereka lebih buruk dariku. Apa yang kualami selama ini sesungguhnya menunjukkan realitas dari dunia yang sudah dalam dosa.

Aku pun tersadar, bukan aku yang memilih untuk dilahirkan di keluarga mana, Allah sendirilah yang memilihkannya untukku. Lalu apakah itu artinya Dia tidak mengasihiku? Dia yang telah mengaruniakan Yesus, Anak-Nya yang tunggal, menyerahkan nyawa-Nya untuk menyelamatkan jiwaku, bagaimana mungkin Dia tidak mengasihiku? Dia adalah Bapa yang baik, dan tentulah Dia punya tujuan dengan menempatkanku, putri-Nya, di sini, meski tujuan itu belum seluruhnya kumengerti. Hal terbaik yang bisa kulakukan bagi diriku sendiri adalah menerima sepenuhnya keadaan diriku dan keluarga yang disediakan Allah bagiku.

Berdamai dengan diri sendiri membuka mata hatiku. Tidak banyak yang berubah dari keluargaku dalam sepuluh tahun ini, tetapi jelas aku melihat banyak perubahan terjadi dalam diriku sendiri. Allah telah menggunakan kondisi keluargaku untuk membentukku. Aku belajar mengendalikan emosiku dalam situasi-situasi yang menyulut kemarahan. Aku belajar mengampuni meski tidak ada jaminan aku tidak akan disakiti lagi. Aku belajar mengasihi mereka yang menurutku tidak layak dikasihi.

Allah tidak mengubah situasi hidupku untuk mengubah hatiku. Dia membiarkanku mengalami apa artinya putus asa supaya aku dapat melihat-Nya sebagai satu-satunya harapan dalam hidupku. Dia terlalu baik untuk merencanakan yang jahat, dan terlalu bijaksana untuk berbuat salah. Dalam luka, Dia menyediakan kesembuhan, dalam tangis, Dia menyediakan penghiburan (2 Korintus 1:3-4). Dalam segala sesuatu, Dia punya tujuan (Roma 8:28-29). Dalam segala perkara, Dia memberi kekuatan (Filipi 4:13).

SinemaKaMu: Avengers, Age of Ultron — Mengapa Kita Menyukai Mereka?

Oleh: Devina Stephanie

SinemaKaMu-Avengers2015

Setelah berhasil dengan sekuel pertama “The Avengers”, Marvel Studios kembali menggarap sekuel kedua “Avengers: Age of Ultron”, yang diangkat dari komik Avengers dan disutradarai oleh Joss Whedon. Film ini meraih sukses besar dan menduduki peringkat pertama dalam daftar film terlaris pada awal Mei 2015. Tak bisa dimungkiri bahwa film yang berkisah tentang pahlawan super selalu digemari oleh semua kalangan. Mulai dari anak-anak, remaja, sampai orang dewasa. Mengapa?

Kupikir, selain memiliki tampang rupawan, kekuatan super para pahlawan itu juga layak menjadi dambaan, karena dalam kenyataannya, kita semua adalah manusia biasa yang sarat keterbatasan. Mungkin kita pernah berharap sosok para pahlawan super benar-benar ada di dunia ini—orang-orang yang berani mengambil risiko, menggunakan kekuatan mereka untuk melawan kejahatan yang mengancam orang banyak dan berupaya menciptakan dunia yang lebih baik. Mungkin kita pernah berandai-andai memiliki kemampuan super seperti mereka dan melakukan sesuatu yang berarti bagi komunitas kita.

Berita baiknya, sekalipun para pahlawan super hanya imajinasi manusia yang tidak benar-benar sanggup menyelamatkan, Alkitab memberitahu kita bahwa ada harapan bagi dunia ini. Akan datang waktunya dunia yang sarat dengan kejahatan ini diperbarui sepenuhnya (Wahyu 21:1-4). Kristus, Anak Domba Allah, Sang Pahlawan sejati, akan datang kembali dan membawa setiap orang yang percaya kepada-Nya masuk ke dalam dunia baru yang luar biasa baiknya (Wahyu 21-22). Pengharapan akan masa depan inilah yang dinubuatkan nabi Zefanya: “Tuhan Allahmu ada diantaramu sebagai pahlawan yang memberi kemenangan. Ia bergirang karena engkau dengan sukacita, Ia membaharui engkau dalam kasih-Nya, Ia bersorak-sorak karena engkau dengan sorak-sorai” (Zefanya 3:17).

Berita baiknya lagi, kita tak perlu menunggu datangnya kemampuan super untuk melakukan sesuatu yang berarti dalam hidup ini. Sebagai “kawan sekerja” dari Sang Pahlawan sejati, kita diperlengkapi dengan kemampuan yang berlain-lainan untuk mewujudkan misi-Nya di dunia ini (1 Korintus 12:11). Sumber kekuatan kita jauh lebih canggih daripada robot Iron Man dan lebih tangguh daripada perisai Captain America, sehingga kita dapat berkata seperti Rasul Paulus, “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” (Filipi 4:13). Pertanyaannya adalah: apakah kita mau menggunakan kemampuan-kemampuan kita untuk melakukan hal yang benar dan memberi kontribusi positif di mana Allah menempatkan kita?

Hal lain yang menurutku menarik dari film ini adalah kerjasama antar para pahlawan super. Perbedaan pendapat dan cara kerja nyaris memecah belah mereka, padahal untuk mengalahkan kejahatan, mereka seharusnya bersatu. Dalam kenyataan hidup sehari-hari, sebagai sesama anggota tubuh Kristus yang seharusnya bersatu menyatakan kehendak Allah di tengah dunia ini, bukankah kita juga sering menghadapi tantangan yang sama? Iblis kerap mengaburkan visi kita sehingga bukannya saling melengkapi dan bahu membahu mewartakan berita keselamatan, Gereja Tuhan malah saling merendahkan serta menjatuhkan.

Avengers sendiri bisa diartikan sebagai para penuntut balas (dari kata kerja “avenge”). Dan kupikir, kehadiran mereka mencerminkan kerinduan kita semua akan penegakan keadilan di dunia. Bedanya, jika para pahlawan super mengandalkan teknologi dan menghalalkan kekerasan untuk mewujudkannya, Alkitab mengajarkan kita sebaliknya. Sebagai umat Tuhan, kita dipanggil untuk hidup dalam kasih, dan mengandalkan Allah untuk membalas kejahatan pada waktu-Nya (Roma 12:19). Sekalipun kita hidup di dunia yang tidak ideal, kita tahu bahwa dunia yang lebih baik sudah disediakan bagi kita oleh Sang Pahlawan sejati, sebagaimana yang dijanjikan Tuhan dalam firman-Nya.