Posts

Ketika Label Pakaian Menentukan Identitas Diri

Oleh Edwin Petrus

Aku bukan seorang pecinta fesyen. Aku jarang mengikuti perkembangan tren dari dunia busana. Tidak jarang, teman-temanku menganggapku ketinggalan zaman dalam gaya berpakaian. Namun, pada bulan Juli hingga Agustus 2022, atensiku seakan dipaksa untuk terarah kepada aksi dari anak-anak muda yang melakukan peragaan busana di jalanan kota Jakarta. Aku menjadi sangat penasaran dengan Citayam Fashion Week, sebagaimana mereka menamai kegiatan ini.

Citayam Fashion Week diinisiasi oleh sekelompok kawula muda yang sengaja datang dari kawasan penyangga ibukota: Citayam, Bojong Gede, Depok, hingga Tangerang. Dengan pakaian nyentrik, mereka menyeberangi jalan dan berpose seperti para model yang berlenggak lenggok di atas catwalk pada acara-acara peragaan busana internasional. Sontak, aksi mereka menarik perhatian dari mata-mata yang lalu lalang. Ditambah lagi, rekaman yang diunggah ke media sosial dengan cepat memviralkan peragaan busana jalanan ini.

Terlepas dari pro dan kontra yang timbul pasca Citayam Fashion Week menjadi buah bibir dari masyarakat +62, aku sangat tertarik dengan analisis dari beberapa pakar ilmu sosial yang meneliti fenomena ini. Ternyata, Citayam Fashion Week adalah sebuah aksi spontan dari anak-anak muda yang ingin mengekspresikan diri melalui tren berbusana yang ada. Para remaja ini memperlihatkan kepada kita bahwa mereka juga bisa tampil trendi dan unik, walaupun mereka tidak mengenakan produk-produk fesyen dari merek-merek ternama.

Sekarang, Citayam Fashion Week mungkin tidak lagi seheboh hari itu. Namun, kisah sukses dari Citayam Fashion Week telah membuatku sampai pada satu kesimpulan, yaitu: “modis itu tidak mahal.” Sebelumnya, aku adalah pecinta dari merek-merek tertentu ketika membeli produk fesyen. Aku rela menabung lebih lama dan mengurangi pengeluaran di bidang yang lain demi membeli pakaian dari merek yang aku senangi. Namun, Citayam Fashion Week sungguh membukakan pikiranku bahwa berpenampilan modis itu bukan hal yang mustahil dengan budget yang irit.

Ditambah lagi, aku mulai menyadari bahwa sebenarnya aku juga sudah semakin tertarik dan lebih berani untuk membeli baju maupun celana yang diproduksi oleh industri fesyen skala kecil yang menjajakan produk mereka di portal-portal belanja online. Awalnya, aku sempat ragu untuk memasukkan produk-produk mereka ke keranjang belanjaanku. Benakku bertanya-tanya tentang kualitas kain hingga jahitan dari toko-toko yang namanya belum seharum merek-merek yang sudah tenar.

Akhirnya, karena alasan murah dan banyak pembeli sebelumnya yang memberikan rating dan komentar yang baik, aku pun menyelesaikan transaksiku. Ketika belanjaanku sampai di rumah, aku merasa sangat senang karena aku bisa mendapatkan produk fesyen yang berkualitas dengan harga yang ekonomis. Sejak saat itu, aku mulai meyakini kalau aku tidak mesti mengeluarkan banyak uang untuk bisa berpenampilan yang kekinian.

Kawan, tahukah kamu? Ketika kita mencintai produk-produk Indonesia, ternyata kita justru juga mengalami pertumbuhan yang baik di atas rata-rata dunia, yakni di atas lima. Dengan demikian, kita sedang turut mendukung percepatan dari pemulihan ekonomi bangsa. Di saat kondisi ekonomi dunia sedang terpuruk akibat pandemi Covid-19 dan perang antara Rusia dan Ukraina, kita patut bersyukur jika ekonomi Indonesia tumbuh di atas lima persen. Kita bisa ikut ambil andil dalam menjaga kestabilan dari akselerasi ini jika kita bangga untuk membeli produk fesyen karya anak bangsa.

Di sisi lain, ketika aku merenungkan hal ini, aku juga ditegur oleh tulisan rasul Paulus dalam Galatia 6:14, “Tetapi aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia.”

Ternyata, selama ini aku masih membangun prestise diri melalui merek fesyen yang menempel di tubuhku. Aku justru merasa rendah diri ketika tidak ada logo merek terkenal dari baju, celana, maupun sepatu yang aku pakai. Padahal, aku bisa bermegah pada salib Kristus yang oleh-Nya aku beroleh pengampunan atas dosa-dosaku dan hidup yang baru. Sebagai anak-anak Tuhan, kita hanya perlu berbangga dengan salib Kristus yang sanggup mentransformasi diri kita menjadi pribadi yang menampilkan kemuliaan Allah.

Kawan, ketika aku mengatakan “modis itu tidak mahal,” aku bukan sedang menentang merek-merek fesyen ternama. Aku juga tidak sedang mengatakan kalau orang-orang Kristen tidak boleh tampil modis dengan mengenakan merek-merek tertentu. Namun, jangan sampai kita meletakkan kebanggaan dan identitas diri hanya pada label pakaian. Nilai diri kita jauh lebih berharga daripada harga sebuah merek fesyen karena Kristus telah menggunakan nyawa-Nya untuk menebus kita.

Aku mengajak kawan-kawan untuk selalu mempertimbangkan terlebih dahulu kegunaan dari produk fesyen yang akan kita beli, seperti nasihat dari rasul Paulus: “Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. “Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun (1 Korintus 10:23).

Jangan sampai kita memaksakan diri untuk tampil trendi dengan mengorbankan banyak uang. Jangan sampai kita juga memaksakan diri untuk mengikuti fesyen terkini hanya karena ingin membuktikan diri, apalagi membangun identitas diri berdasarkan apa yang kita pakai.

Modis itu tidak mahal. Sebab bagiku, tampil modis bukanlah bicara tentang apa yang aku pakai atau hal-hal fisik yang terlihat dari luar, tetapi bicara tentang apa yang telah Kristus kerjakan bagiku. Modis itu tidak butuh modal yang banyak, hanya butuh modal percaya dan menghidupi karya salib Kristus.