Posts

Lebih Berharga daripada Emas dan Permata

Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu

Salah satu tema yang sangat mendesak untuk dibahas kita semua adalah tentang “nilai” manusia. Seberapa berharga manusia? Pertanyaan ini dapat menimbulkan beragam jawaban tergantung wawasan dunia yang dimiliki oleh penjawabnya. Jika disandingkan antara Bunda Teresa dengan pelaku human trafficking, aku yakin keduanya akan melontarkan jawaban yang berbeda, atau bahkan bertentangan.

Pada berbagai kesempatan ketika aku diminta untuk berbicara, aku berulang kali mengajukan pertanyaan ini dalam beberapa forum yang terdiri dari orang-orang dengan latar belakang berbeda. Beberapa dari mereka adalah mahasiswa, dosen, dokter, ibu rumah tangga, pengusaha, pekerja kantoran, bahkan pengangguran. Tentu saja, meskipun sulit sekali untuk menemukan keseragaman jawaban dari mereka terkait pertanyaan itu, namun mudah sekali ditebak, semuanya bersepakat bahwa manusia memang “bernilai tinggi”.

Tetapi masih dalam kesempatan-kesempatan yang sama itu, aku selalu memberikan pertanyaan lanjutan yang aku kira sangat tidak mungkin untuk kita abaikan, yaitu “mengapa manusia bernilai?” atau setidak-tidaknya mengapa banyak sekali orang bersepakat bahwa nilai manusia jauh lebih tinggi dari binatang? Dari atau di mana nilai itu didasarkan? Dan lagi-lagi, mereka bersepakat bahwa “pikiran” atau apa yang Alkitab sebut sebagai akal budi yang menjadi dasarnya. Jadi, manusia dianggap bernilai tinggi karena manusia mempunyai pikiran (yang tidak dimiliki oleh binatang). Setidaknya seingatku, itulah jawaban yang paling banyak aku temui, bahkan dari orang-orang Kristen.

Tetapi aku rasa, jika hanya pikiran yang menjadi jawaban kita terhadap dasar dari nilai manusia, kita masih punya pertanyaan-pertanyan pelik lain yang mesti diselesaikan. Bagaimana dengan mereka yang mempunyai masalah mental? Apakah nilai mereka sama dengan yang tidak punya masalah serupa?

Seperti yang kita ketahui bersama, masalah ini merupakan sesuatu yang sangat menyita perhatian kita dan menuntut keseriusan penanganan. Karena untuk penyebab dan jenisnya saja, kita dapat menemukan keberagaman. Juga untuk korbannya, semua dari kita bisa saja mengalaminya. Bahkan Alkitab dengan jujur mencatat Elia pernah mengalami tekanan mental yang begitu hebat hingga ia ingin segera mati saja (1 Raja-raja 19:4). Masalah mental adalah masalah universal yang membutuhkan perhatian yang tidak main-main. Terus terang saja, ketika aku menghadapi orang-orang dengan masalah seperti ini, aku membutuhkan pertolongan dari teman-teman yang berkutat di bidang kejiwaan (secara khusus mereka yang telah dihujani jutaan pengalaman). Itu sebabnya kita sungguh-sungguh membutuhkan pertolongan Tuhan agar Ia membangkitkan para psikolog dan psikiater berkualitas yang mau bekerja dengan tulus hati dan penuh kesabaran untuk kemuliaan-Nya.

Meskipun pembahasan kita ini terkait masalah mental, aku tidak akan menggeser sorotan utamaku yang tertuju pada nilai manusia. Apakah nilai kita berbeda-beda karena pikiran kita berbeda-beda? Bukankah bisa terjadi dalam sebuah komunitas masyarakat, ada satu orang yang hidup tenang dengan pikiran yang jarang ditimpa masalah, sedangkan satu yang lain terus-menerus mencari kesempatan untuk mengakhiri hidupnya karena tekanan yang begitu berat? Bukankah dalam satu keluarga, ada satu anak yang dilahirkan autis sedangkan satu yang lainnya tidak?

Ini merupakan bukti yang amat jelas (dan mungkin todongan serius kepada para penganut naturalisme dan materialisme) bahwa betapa rapuhnya jika nilai manusia disandarkan atau didasarkan pada pikiran semata. Secara esensial, pertanyaan-pertanyaannya masih sama. Jika hanya pikiran yang menjadi dasar nilai seseorang, siapakah yang lebih bernilai antara seorang Cendekiawan yang memperoleh gelar doktoral di usia yang masih belia dengan seorang pasien yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa sejak remaja? Jika hanya pikiran yang menjadi dasar nilai seseorang, kita mau pilih yang mana, yang Jenius atau yang Idiot? Jika hanya pikiran yang menjadi dasar nilai seseorang, kita lebih menghormati siapa, yang punya IQ di atas 140 atau dia yang sejak kecil sampai dewasa masih harus dibantu orang tuanya saat makan dan saat pergi ke kamar kecil?

Aku percaya, untuk menjawab pertanyaan ini dengan “utuh”, baik sains maupun filsafat harus mengaku berutang kepada Alkitab. Bahkan aku terlalu yakin kalau utang itu tidak akan mungkin dapat dilunasi. Selain penegasan penting tentang identitas manusia dalam kitab Kejadian, yakni bahwa manusia diciptakan menurut gambar Allah Sang Pencipta (Kejadian 1:27), Kekristenan dengan sangat jelas percaya bahwa engkau, aku, dan dia, si pintar dan si bodoh, si jenius dan si idiot, presiden dan pengemis, cendekiawan dan autis, yang bermental baja dan si tukang menangis, semuanya, semua kita bernilai karena kita dicintai sedemikian dalam oleh-Nya.

Memang pada saat dosa masuk ke dalam dunia, pikiran manusia telah tercemar (Roma 3:10-18). Ada anak yang dilahirkan dengan kemampuan berpikir yang kurang baik, ada orang yang mudah mengalami depresi, dan berbagai bentuk masalah mental lainnya. Tetapi salib di atas Kalvari menjadi saksi tentang harga mahal yang dibayar oleh Anak Allah yang mau datang dan mati bagi dunia ini (Yohanes 3:16). Sang Pemilik Semesta mau mati bagi dunia yang penuh dengan para pemilik masalah mental.

Sehingga secara sederhana aku dapat berkata dengan berani bahwa engkau, aku, dan dia berharga bukan hanya karena kita memiliki pikiran, melainkan karena kita dibayar dengan darah Kristus. Pikiran kita dan orang-orang yang kita sayangi sangat terbatas, bahkan mungkin beberapa di antaranya amat memprihatinkan dan membutuhkan pertolongan medis yang ketat. Tetapi jangan pernah lupa, kita Dia yang mulia rela terhina dan mau memberikan nyawa-Nya bagi kita. Jemaat Korintus yang hidupnya begitu amburadul pernah diingatkan oleh Paulus, bahwa mereka telah lunas dibeli (1 Korintus 6:20).

Seberharga itulah kita. Jauh lebih mahal dari permata dan emas.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Ketika Hidup Ditilik oleh Firman: Perenunganku tentang Reformasi Gereja

Hari ini 503 tahun silam terjadi peristiwa Reformasi. Bagi kita yang hidup di abad ke-21, pencapaian tokoh-tokoh Reformasi yang mengguncangkan dunia merupakan sesuatu yang hebat dan kelihatannya berada di luar jangkauan kita.

“Mungkinkah Allah bekerja melalui diriku di masa sekarang?”

Wanita untuk Kemuliaan Allah

Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu

Dalam dunia yang penuh dengan kasus penyelewengan hak hidup seorang manusia, kita semua, orang Kristen, secara khusus mereka yang kaum wanita, menginginkan emansipasi (pembebasan dari perbudakan). Tak satupun dari semua wanita yang pernah berbincang denganku menginginkan dirinya dianggap rendah derajatnya oleh orang lain. Mirisnya, sejarah telah dengan sangat jelas mengisahkan bagaimana para wanita selama ini sering dianggap sebagai objek yang terus disalahgunakan. Dan yang lebih menyakitkan lagi adalah, semua itu dianggap wajar oleh masyarakat dan budaya kita.

Aku punya banyak teman wanita yang telah diperlakukan dengan tidak pantas dan tidak adil bahkan oleh orang terdekat mereka. Beberapa tahun yang lalu, di suatu hari yang tidak kusangka-sangka, salah seorang teman wanita menghubungiku dan menyampaikan sesuatu yang menyesakkan dada. Ia katakan bahwa telah dinodai berkali-kali. Dan yang lebih memilukan hatiku adalah ketika ia memilih untuk diam dan tidak melaporkannya kepada pihak berwajib. Ia punya beberapa pertimbangan. Salah satunya adalah ia takut ditinggalkan dan direndahkan oleh orang lain, termasuk kekasihnya. Aku memang punya pemikiran lain dan mendorongnya untuk bertindak tegas. Namun di akhir percakapan kami, dengan hati terluka bagai disayat-sayat dengan pisau tajam, aku tetap menghormati keputusannya itu.

Aku tahu, meski dengan kasus yang berbeda, ada banyak wanita yang merasakan tekanan yang sama. Aku tahu begitu banyak air mata kaum wanita yang tercurah di tempat gelap dan sepi yang menuntut keadilan. Mereka semua haus akan kasih sayang dan menginginkan rasa hormat. Mereka tahu mereka mempunyai “nilai” yang tak boleh diabaikan begitu saja. Dan mereka benar. Mereka memang pantas dihormati sebagaimana Allah menetapkan memberikan mereka hak untuk itu.

Dalam kondisi yang telah rusak dan tercemar dengan segala jenis perendahan harkat yang menimpa kaum wanita, Yesus Kristus secara mengejutkan, menjungkirbalikan anggapan umum yang telah mendarah-daging pada masyarakat kuno abad pertama. Pada saat Ia bangkit dari kematian-Nya, saksi pertama dari kisah yang mengguncangkan sejarah itu adalah Maria Magdalena, seorang wanita. Mengapa bukan tokoh yang dianggap penting seperti Petrus, Yohanes, Yakobus, atau murid pria lainnya? Mengapa saksi pertama dari mukjizat yang amat besar, yang telah mengubah seluruh peradaban ini adalah seorang wanita, yang saat itu kesaksiannya dianggap tak berguna dalam pengadilan? Bahkan bagi orang Yahudi, ada doa mereka yang berbunyi: “Kami bersyukur, ya Tuhan Raja semesta alam, karena Tuhan telah menjadikan kami laki-laki dan bukan perempuan”.

Dapat dibayangkan “kepedihan jiwa” seorang wanita, apalagi mereka yang telah hidup dalam kebangkrutan moral, jika mendengarkan teriakan doa seperti itu. Apabila seorang wanita yang telah hidup bersahaja dan mati-matian menjaga kehormatan saja dapat dihancurkan oleh doa semacam itu, bagaimana dengan para wanita yang punya masa lalu kelam? Bagaimana terpukulnya seorang wanita yang selama hidupnya telah terlanjur mengambil begitu banyak pilihan keliru yang sudah menyeretnya penyesalan yang amat dalam?

Apakah para pria berbeban memikirkan semua ini dengan kesungguhan hati? Tentu saja! Ada jutaan ayah yang berjuang mati-matian untuk membela putri mereka. Ada jutaan suami yang bahkan rela kehilangan segalanya untuk istri mereka. Dan semua itu benar-benar dapat membuat hati meleleh. Tetapi dengan berani aku menjamin bahwa tidak ada yang dapat menandingi kasih sayang yang meluap-luap dan keseriusan menggebu-gebu seperti yang dimiliki seorang pria dari Nazaret bernama Yesus Kristus, Tuhan kita, kepada semua wanita di manapun berada. Ia tahu persis keterpurukan banyak wanita dan mengenal baik sensitivitas hati mereka. Ia memandang jauh ke dalam sanubari mereka.

Kembali pada kebangkitan Kristus. Bukankah peristiwa penting ini harus pertama-tama disaksikan oleh seorang yang juga penting? Jawabannya ya! Karena Maria memang penting. Lebih dari itu, karena wanita amat berharga bagi Allah.

Coba mundur beberapa langkah dan renungkan ketika Allah yang tiada batas, yang berkuasa atas dunia ini, yang menggantungkan milyaran bintang di angkasa, mau datang ke dalam dunia melalui rahim seorang perempuan muda bernama Maria. Dalam kedaulatan-Nya yang sempurna, Allah telah menetapkan tunangan Yusuf ini untuk mengambil bagian dalam proses penyelamatan seluruh umat manusia. Semua itu memang sepenuhnya adalah inisiatif dan pekerjaan Allah, yang tanpa kehendak dan kuasa-Nya tak mungkin untuk terlaksana. Tujuan-Nya memang tidak bergantung pada manusia manapun. Tetapi jangan pernah lupakan sebuah fakta mengagumkan ini: Allah memilih gender yang dianggap lemah untuk Ia hadir dalam dunia. Dengan kuasa-Nya Ia memilih seorang wanita dan memakainya untuk karya agung ini. Ia mau mengingatkan semua pria di manapun berada, dalam segala bentuk budaya, bahwa wanita benar-benar berharga di mata-Nya.

Kita tentu telah melihat bagaimana Ester/Hadasa dipakai oleh Allah untuk menyelamatkan orang-orang Yahudi. Kita juga tahu bagaimana Allah bekerja melalui keberanian Debora (Hakim-Hakim 4-5). Kita terkagum-kagum ketika Rut dipelihara oleh Allah. Hati kita meleleh saat mendapati kisah Yesus memperlakukan wanita Samaria yang letih dan haus dengan penuh kasih sayang (Yohanes 4). Kita tak berhenti terpana dengan kelembutan hati-Nya saat Ia membela seorang wanita berdosa di rumah Simon orang Farisi (Lukas 7). Dan begitu banyak kisah lain lagi.

Maka jika Allah dapat memakai para wanita dengan berbagai layar belakang dan masa lalu yang berbeda untuk kemuliaan nama-Nya seperti yang dicatat oleh Kitab Suci, maka Allah yang sama pula akan memakai semua wanita yang mau hidup bagi-Nya. Apa pun pekerjaanmu, baik sebagai ibu rumah tangga, pengusaha, pegawai, guru, mahasiswa, ataupun yang lain, biarlah engkau bekerja dengan cara-Nya untuk kemuliaan-Nya. Apa pun latar belakangmu, baik seorang wanita muda yang kurang berpengalaman atau mungkin seorang janda yang harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupmu, semuanya ada dalam pengawasan Allah. Bahkan untuk para wanita yang punya masa lalu kelam, bangkitlah dan hapus air matamu, berseru kepada-Nya dan pandang ke Salib itu dan berkatalah dengan lemah lembut “Aku Wanita, dan Aku Beharga”.

Yesus Kristus telah mati bagimu, Para Wanita untuk kemuliaan Allah. Hiduplah bagi-Nya.

Baca Juga:

Di Mana Kita Bisa Mengetahui Pimpinan Tuhan?

Sering sekali kita merasa bahwa Tuhan telah memimpin kita karena kita melihat kesan-kesan baik yang bisa kita terima. Tapi, pernahkah kita menyelidiki sungguh kah kesan yang baik itu pasti menunjukkan ke situlah jalan yang harus kita ambil?

Buatlah Pilihan untuk Melakukan Perkara Surgawi

Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu

Jika kamu pernah mengemudi sebuah motor, apalagi dengan kecepatan yang cukup tinggi, kamu tentu tahu bahwa hanya dengan satu kesalahan pilihan saja, sesuatu yang fatal dapat segera terjadi.

Hidup adalah pilihan, dan setiap pilihan yang kita ambil selalu memiliki konsekuensi yang harus kita tanggung.

Makanan apa yang kita makan? Pakaian seperti apa yang kita kenakan? Bagaimana cara kita tidur? Jika keputusan yang kita pilih terhadap hal-hal yang terlihat kecil seperti itu saja mengandung sebuah risiko yang serius jika diabaikan. Bagaimana dengan pilihanmu terkait sebuah profesi yang menantimu di masa depan?

Kita hidup dalam budaya yang cenderung mengagung-agungkan apa yang terlihat oleh mata dan mengabaikan apa yang ada di baliknya. Itu sebabnya di negara kita—jika tidak selalu—mungkin banyak kita temui orang tua yang lebih menginginkan anaknya bekerja untuk sebuah instansi yang “mewajibkan” pekerjanya menggunakan pakaian rapi. Mereka ingin anaknya terlihat “terhormat” dalam pandangan masyarakat umum.

Aku punya seorang teman yang dianggap remeh oleh orang lain termasuk beberapa keluarganya karena ia adalah seorang peternak yang selalu tampil kotor dengan pakaian khas ala gembala. Ejekan demi ejekan ia terima dari mereka yang tidak sadar bahwa temanku itu punya penghasilan pribadi yang berkali-kali lipat dari para pekerja berdasi yang aroma bajunya wangi. Tapi, aku juga punya banyak teman—baik pria maupun wanita—yang senang sekali menjalin hubungan serius dengan orang-orang berparas menawan tanpa menyelidiki karakternya. Mereka lupa bahwa kecantikan bukan melulu soal wajah dan tubuh.

Aku sama sekali tidak bermaksud untuk membanding-bandingkan jenis pekerjaan orang dan mencari-cari kelemahannya. Aku juga tidak bermaksud untuk menjadi hakim atas baik buruknya sebuah selera akan pasangan hidup. Aku hanya sedang memastikan kita benar-benar menyadari bahwa kita sedang “menari” di dalam dunia yang menomorduakan atau bahkan menutup mata terhadap sesuatu yang “tak nampak”. Inilah yang membuat begitu banyak tipuan, yang mungkin kelak akan berujung pada penyesalan.

Di dalam mengambil sebuah pilihan, apa pun itu, ingatlah bahwa semuanya memiliki dampak yang signifikan dalam hidup kita, cepat atau lambat. Itu sebabnya sebagai seorang anak Tuhan berhati-hatilah dalam memilih.

Perhatikanlah apa motivasimu memilih sesuatu dan caramu menjalaninya. Rasul Paulus mengatakan, “Karena itu, kalau kamu dibangkitkan bersama dengan Kristus, carilah perkara yang di atas, di mana Kristus ada, duduk di sebelah kanan Allah” (Kolose 3:1). Di sini Paulus sedang mengingatkan kepada jemaat Kolose untuk menyadari identitas mereka. Mereka adalah orang-orang yang telah dibangkitkan bersama Kristus. Dengan kata lain, mereka adalah warga kerajaan surga yang harus mencari perkara-perkara surgawi. Setiap pilihan dan keputusan yang mereka ambil serta setiap tindakan yang mereka jalankan harus sejalan dengan Kristus yang telah memberikan keselamatan dan status baru kepada mereka, yaitu anak-anak Allah. Demikian jugalah kita yang percaya kepada-Nya.

Sebagai orang-orang yang telah dibayar dengan darah Kristus, apa saja yang akan kita pilih dan bagaimana kita menjalaninya nanti, kita sama sekali tidak boleh melupakan tujuan dan cara kita adalah memuliakan Allah.

Jangan khawatir hanya pada apa yang terlihat oleh mata, karena dalam pengertian tertentu tidak ada yang “sekuler” dalam kekristenan. Jangan berpikir bahwa dengan menjadi seorang pengkhotbah, pemimpin pujian, ketua pemuda, dan semacamnya adalah sesuatu yang disebut “perkara di atas” atau “perkara surgawi” sedangkan menjadi seorang penjual kue, pilot, buruh bangunan dan sebagainya merupakan apa yang disebut “perkara di bumi” atau “perkara duniawi”.

Seperti yang telah aku singgung pada bagian awal, itu adalah pemikiran keliru yang tidak komprehensif. Fakta sedihnya ada beberapa orang yang berkhotbah dan memimpin pujian supaya dipuji-puji orang. Tetapi ada banyak sekali pula orang-orang yang mau menjual kue, menjadi pilot, bahkan buruh bangunan untuk melayani orang lain. Yang manakah perkara di atas dan yang manakah perkara di bumi? Sangat mudah ditebak bukan?

Beratus-ratus tahun sebelum Yesus dilahirkan di Betlehem, Ezra, Nehemia dan bangsa Israel diizinkan pulang ke tanah mereka setelah diangkut oleh bangsa Babilonia. Ketika mereka tiba di kampung halaman mereka, dibangunlah tembok Bait Allah oleh pimpinan Nehemia sang “insinyur”. Ezra sang imam mengajarkan kembali Taurat yang mungkin telah banyak dilupakan oleh bangsa ini semasa di pembuangan.

Di antara keduanya (Ezra dan Nehemia), siapa yang sedang melakukan perkara surgawi?

Apakah hanya Ezra karena ia yang mengajarkan Taurat? Apakah tembok Bait Allah yang dibangun oleh Nehemia bukan untuk kemuliaan Allah? Tentu tidak! Mereka berdua sedang melakukan perkara surgawi karena mereka memilih mengerjakan sesuatu sesuai dengan keahlian dan keterampilan mereka agar nama Tuhan dimuliakan. Allah memberikan keterampilan dan bakat yang berbeda-beda kepada setiap kita agar supaya kita saling melengkapi satu sama lain.

Coba bayangkan jika semua orang Israel yang pulang dari pembuangan hanya sibuk membangun Bait Allah dan temboknya. Taurat akan diabaikan. Sebaliknya, coba bayangkan jika Ezra dan Nehemia bersama mengajarkan Taurat dan membiarkan Bait Allah dan temboknya tidak dibangun.

Dalam konteks kita saat ini, aku sungguh tidak dapat membayangkan apabila semua orang (Kristen) menjadi pendeta, entah siapa yang akan membantu persalinan ibu hamil? Kita perlu orang Kristen yang mau menjadi bidan untuk kemuliaan Tuhan! Kita perlu dokter yang mau melayani Allah dan sesamanya! Dunia ini butuh orang-orang yang mau hidup dan mati bagi Kristus.

Jadi jika kamu mau memilih segala sesuatu untuk masa depanmu, entah itu pendidikanmu, pekerjaaanmu, pasangan hidupmu, terlebih dahulu engkau harus bertanya, “Apakah pilihan ini dapat menjadi perkara di atas bagiku? Apakah aku melakukannya untuk Kristus?”

Jangan lupa meminta nasihat dari orang-orang yang hidup dalam Tuhan.

Baca Juga:

Tuhan Lebih Tahu Sedalam-dalamnya Kita

Memilih berjalan bersama Tuhan dan mengikuti semua kehendak-Nya adalah pilihan yang harus kita ambil. Kadang kita tidak tahu apa rencana Tuhan atas hidup kita, padahal sebenarnya yang lebih tahu sedalam-dalamnya hidup kita adalah Tuhan, bukan diri kita sendiri.

Perjumpaan dengan-Nya, Mengubah Segalanya

Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu

Bertahun-tahun lalu hiduplah seorang remaja yang sikapnya kasar dan tak punya tujuan hidup. Dia bukan hanya sering membentak dan menghina orang tuanya, dia bahkan tidak percaya kepada Tuhan. Ketika masih SMA, dia terkenal karena suka mengejek kepercayaan teman-temannya. Dia pernah juga menantang gurunya dengan cara yang tidak sopan untuk membuktikan keberadaan Tuhan. Tak heran, dengan sikap demikian, dia seringkali mendengar kalimat keluhan bernada putus asa dari orang-orang di sekitarnya.

“Mau jadi apa anak ini?”

“Kelihatannya dia akan jadi seorang penjahat.”

“Tidak ada harapan untuk manusia seperti ini.”

Itulah beberapa “ramalan” yang paling santer mampir di telinga remaja itu. Tahukah kamu siapa dia? Akulah sang remaja itu.

Tak seorang pun menyangka, Tuhan yang selama bertahun-tahun kuhina menjadi Tuhan yang kini aku layani. Banyak orang terheran-heran, menggelengkan kepala seolah tak percaya ketika melihatku berdiri di sebuah mimbar dan berbicara tentang kasih Tuhan Yesus dan kuasa-Nya yang mampu mengubahkan manusia.

Begitulah kehidupan, penuh dengan kejutan. Manusia bisa menduga-duga, namun Allah mengetahui dengan jelas dan pasti masa depan seseorang.

Aku tidak akan menceritakan detail kisahku, namun seperti yang terjadi padaku, itu jugalah yang terjadi kepada seseorang bernama Paulus. Dahulu, Paulus adalah seorang yang membenci Yesus dan pengikut-Nya. Paulus adalah teror yang amat mengerikan bagi jemaat Tuhan. Mereka menghindari dan menjauhinya. Sebelum berjumpa dengan Tuhan Yesus seperti dikisahkan di Kisah Para Rasul 9, siapa yang menyangka Saulus akan menjadi salah satu pemberita Injil yang paling berani? Siapa yang mengira dia akan menjadi penulis kitab terbanyak dalam Perjanjian Baru?

Mungkin atas apa yang telah dilakukannya, Paulus bisa disebut sebagai “mantan penjahat”, sebuah istilah yang hari ini masih sering disematkan orang padaku. Jujur, mendengarnya membuatku malu dan menangis. Tapi, di balik semua itu, aku juga bersyukur karena saat ini aku dapat dengan yakin berteriak nyaring bahwa, “Tidak ada seorang pun yang terlalu kotor dan hancur yang tidak bisa diubahkan oleh Allah.”

Rasul Paulus, St. Agustinus, dan banyak lagi tokoh lainnya telah menjadi bukti nyata. Perjumpaan dengan Kristus sungguh-sungguh dapat mengubahkan siapa saja. Aku tidak berkata, setelah aku mengenalnya, aku lalu menjadi sempurna. Sama sekali tidak. Rasul Paulus pun tidak sempurna, apalagi aku. Aku berulang kali jatuh dan gagal. Tetapi, aku bisa bangkit. Bukan karena aku hebat, tetapi karena perjumpaanku dengan-Nya itu telah menyadarkanku bahwa aku berharga di mata-Nya. Jika Dia mau mati bagiku, maka aku mau hidup bagi-Nya. Dan dengan segala keterbatasanku, Dia terus memperbaharuiku hari demi hari dan menyembuhkan luka masa laluku. Itu jugalah yang akan terjadi padamu jika kamu mau menerima-Nya sebagai satu-satunya Tuhan dan Penyelamat pribadimu.

Setiap kita punya kelemahan dan kekurangan. Di antara kita, ada yang punya bercak-bercak masa lalu yang kelam, bahkan sangat memalukan dan mungkin tergolong menjijikkan. Kita pernah bertindak ceroboh dan memilih hal konyol yang akhirnya mencelakai kita. Kita pernah melakukan kesalahan yang sama berulang-ulang. Mungkin sempat terpikir di benak kita, bahwa sudah terlambat bagi kita untuk memperbaiki semua yang rusak yang telah terjadi di masa lalu. Mungkin orang lain telah memasang stigma “hitam” atas diri kita. Mungkin sebuah julukan buruk telah mereka gantungkan di leher kita. Lalu dengan mengingat semuanya itu, kecewalah kita dan harapan kita pun meleleh bak lilin yang terbakar.

Kita lupa, bahwa terlepas dari segala perlakuan dan pandangan dunia atas segala kegagalan kita, ada satu kasih yang tak terbatas yang sepanjang hari berdiri menunggu di depan pintu hati kita. Jari jemari-Nya tak lelah mengetok pintu itu. Dia menanti dengan kesabaran yang tak terukur namun disertai kerinduan yang besar. Dialah Yesus Kristus. Dialah Tuhan yang pernah berkata kepada jemaat di Laodikia:

“Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah! Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok; jikalau ada orang yang mendengar suara-Ku dan mebukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya dan Aku makan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama dengan Aku” (Wahyu 3:19).

Cobalah diam sebentar. Dengarkan suara-Nya. Dia tepat berada di depan pintu hatimu. Suara ketokan-Nya semakin keras. Suara lembut-Nya memanggil namamu berkali-kali. Pergilah temui Dia.

Perjumpaanmu dengan-Nya akan mengubah segalanya.

Baca Juga:

Melihat Jelas Batas Antara Hidup dan Mati, Ini Kisahku Menjadi Perawat di Masa Pandemi Covid-19

Aku bertugas di ICU. Bersama timku kami merawat pasien-pasien yang terindikasi COVID-19. Pandemi virus corona ini hadir secara nyata di tengah kita, namun kita pun yakin bahwa Tuhan turut berkarya di tengah-tengah pandemi ini.

Penderitaan yang Membingungkan dan Yesus yang Kukenal

Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu

Kita hidup dalam dunia yang telah berteman akrab dengan penderitaan. Ketika dosa masuk ke dalam dunia ini, dimulailah konsekuensi yang saat ini kita tanggung. Ada derai air mata kepedihan, jerit kesakitan, dan berbagai luka kehancuran.

Ketika persoalan hidup seolah lebih banyak dari pasir di laut, kita masih bisa bersyukur karena firman Tuhan terus tersedia, menjadi pegangan yang kokoh dan tak tergoyahkan. Tetapi, jika kita harus bersikap jujur, bukankah kita tetap dibingungkan oleh pertanyaan hidup seputar penderitaan? Di satu sisi kita tahu Allah itu baik, tetapi di satu sisi yang lain, bertumpuklah pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk di pikiran dan mungkin pula menggores hati.

Mengapa Allah yang baik mengizinkan penderitaan terjadi pada kita semua? Itulah inti semua pertanyaan kita.

Suatu kali seorang teman yang kukasihi datang kepadaku dan bercerita tentang kehidupannya yang berat. Dia dan keluarganya telah melayani Tuhan cukup lama. Di suatu malam yang disertai guyuran hujan, dia dengan nada pelan dan gaya bicaranya yang lembut mengisahkan bagaimana dia dan keluarganya harus melewati masa sulit terkait kehidupan ekonomi yang sangat memprihatinkan. Temanku itu seorang yang suka menolong. Sudah banyak orang yang menerima kebaikannya. Tetapi, suatu kali dia dirugikan oleh seorang yang telah dianggapnya sebagai keluarga. Akibatnya, mereka bergumul untuk biaya hidup sehari-hari. Kondisi keuangan yang berada pada titik nadir membuat kebutuhan dasar keluarganya susah dibeli. Aku berusaha tidak ikut menangis ketika mendengarkan cerita pilunya.

Sejujurnya aku kaget dengan keputusannya menceritakan sebuah hal yang benar-benar sangat pribadi itu. Tetapi aku memahami perasaannya. Dia tak mampu menanggungnya sendiri. Sebagai seorang pria yang merasa gagal bertanggungjawab atas istri yang dicintainya, dia membutuhkan tempat berkeluh kesah. Setelah percakapan emosional itu, dalam kebingungan aku bertanya, “Di manakah Engkau Tuhan? Mengapa Engkau mengizinkan mereka yang mengasihi-Mu mengalami penderitaan-penderitaan seberat ini?”

Pemahaman kita tentang kebaikan Allah

Sebagai orang percaya kita berkali-kali diajarkan tentang kebaikan Allah. Aku rasa pemahaman itu telah lama masuk dalam daftar utama pengetahuan kita. Bahkan mungkin sejak kita berada di sekolah Minggu, inilah yang paling sering disampaikan oleh para pengajar. Tetapi, mengapa Allah yang baik itu mengizinkan penderitaan, bahkan yang sangat berat, terjadi kepada kita anak-anak-Nya? Betapa hancurnya kehilangan seorang yang dicintai, divonis penyakit mematikan, melihat orang tersayang terkapar tak berdaya, dan dikhianati orang yang dipercaya. Semua itu benar-benar menyesakkan dada, juga menimbulkan jutaan pertanyaan membingungkan yang tak mungkin diabaikan begitu saja. Kita menantikan jawaban atasnya.

Tetapi sebelum masuk dan membahas masalah ini lebih jauh, aku berharap kita bersepakat dan mengakui satu hal terlebih dahulu. Meskipun tidak pada semua kasus, faktanya ada juga banyak penderitaan yang terjadi pada kita karena kecerobohan dan kelalaian kita sendiri. Dalam keadaan seperti ini kita harus dengan rendah hati mengakui kesalahan kita di hadapan Allah dan meminta-Nya agar menolong kita berubah menjadi lebih baik. Maafkan aku untuk memberikan contoh ini, namun kita yang tidak suka menjaga kesehatan dan yang senang berkendara dengan ugal-ugalan, lalu mendapat akibat buruk, tidak layak mempersalahkan orang lain, termasuk Allah. Karena sering kali kita yang menancapkan banyak pedang di hati Allah lalu menuduh-Nya jahat padahal hati kita tergores oleh pisau kecil yang kita pegang sendiri.

Tetapi bagaimana jika kasusnya lain? Bagaimana jika kita telah berusaha hidup benar tetapi masih tetap dihantam oleh gelombang penderitaan? Apakah itu adil? Jika kanker menyerang tubuh seorang seperti Adolf Hitler yang telah merenggut lebih dari sepuluh juta nyawa manusia demi ambisinya yang jahat, aku rasa banyak dari kita yang tidak akan merasa heran. Menanggapinya, mungkin kita dengan ketus akan berkata, “itu sebuah karma”.

Untuk membantu kita mendalami persoalan yang tidak mudah ini, sebenarnya kita bisa melihat ada begitu berlimpah tokoh hebat dalam Alkitab yang hidupnya dipenuhi dengan penderitaan. Dari kisah dan kesaksian mereka semua kita bisa melihat cara kerja dan karakter Allah. Karena aku yakin kehidupan mereka masing-masing akan membawa kita pada kesimpulan yang sama. Salah satunya Ayub. Dia bukan orang jahat. Kitab Ayub memberikan keterangan tentangnya membuat kita kagum. Ayub adalah orang saleh. Tetapi dia mengalami penderitaan hebat.

Namun dalam tulisan ini, aku tidak akan mengajak kita semua untuk membedah kisah Ayub atau tokoh lain dalam kitab Perjanjian Lama. Aku hanya akan membawa kita untuk secara khusus mengarahkan lampu sorot kepada kehidupan seorang rasul bernama Paulus dengan melihat sedikit perkataan dalam sebuah suratnya, kemudian mengaitkannya dengan sebuah peristiwa sejarah yang paling penting yang telah mengubah peradaban dunia, yaitu salib Yesus Kristus.

Dalam suratnya kepada Timotius yang merupakan seorang anak rohani yang dikasihinya, Paulus memberikan dorongan dan penghiburan yang memang sangat dibutuhkan di masa-masa sulit itu. Pada saat itu, menjadi orang Kristen sama saja dengan membawa diri pada bahaya-bahaya yang serius. Paulus bahkan sudah lebih dulu mengalaminya. Mengetahui bahwa sang murid juga nantinya akan menghadapi semuanya itu, Paulus tidak tinggal diam. Dia mengirimkan surat keduanya untuk Timotius. Demikian penggalan tulisannya:

“Itulah sebabnya aku menderita semuanya ini, tetapi aku tidak malu; karena aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa yang telah dipercayakan-Nya kepadaku hingga pada hari Tuhan” (2 Timotius 1:12).

Seperti yang kita tahu, Paulus adalah seorang yang sangat akrab dengan penderitaan. Semenjak dia “ditangkap” oleh Tuhan dalam perjalanan ke Damsyik dan memutuskan untuk melayani-Nya, dia mulai berteman dekat dengan kepedihan. Dia kelaparan, kedinginan, dianiaya, dan dipenjarakan karena Kristus. Sampai di sini, aku yakin—sama seperti kita dan para tokoh Alkitab lainnya—Paulus karena keterbatasannya mungkin tidak dapat memahami secara utuh maksud dan rencana Tuhan. Namun dalam suratnya itu, dia berkata bahwa dia tahu kepada siapa dia percaya.

Mari perhatikan dengan cermat perkataannya. Ketika ia berkata, “Aku tahu kepada siapa aku percaya”, dia sedang menegaskan pengenalannya akan sosok yang dia sebutkan, yaitu Yesus Kristus.

Mengapa hal ini menjadi penting? Karena poin inilah yang dapat membawa kita pada kelegaan.

Seperti yang telah sedikit aku singgung sebelumnya, dalam kehidupan kita seringkali pertanyaan-pertanyaan yang sulit muncul dan membelenggu kita. Kita tak bisa memahami rencana Allah dalam hidup kita secara utuh dan jelas. Ada banyak hal yang tersembunyi, dan keterbatasan kita seakan membuat kita tak berdaya hingga menjadi berpasrah diri dengan wajah lesu dan kecewa. Tetapi, beruntunglah kita karena pengenalan yang benar akan Yesus Kristus yang akan memberikan pijakan yang tak dapat menggoyahkan kaki kita. Inilah yang Paulus ingin agar kita lakukan, yakni mengenal siapa yang kita percayai. Walaupun mengetahui atau mengenal siapa yang kita percaya tidak lantas melenyapkan deretan pertanyaan membingungkan yang ada di kepala kita, namun itu akan menentukan cara kita melihat sesuatu dengan lebih baik.

Biarkan sebuah cerita pendek ini membantu menjelaskan hal ini.

Ada sebuah pasangan suami istri yang memiliki seorang bayi kecil yang cantik. Di suatu pagi sang istri mendapatkan tugas untuk membeli makanan bagi bayi mereka dan sang suami mendapat tugas untuk menjaga bayi itu di rumah. Tetapi setelah berjam-jam meninggalkan rumah, si istri tak kunjung kembali. Bayi kecil yang mulai menangis kelaparan mulai membuat sang ayah menjadi cemas, khawatir, dan marah. Dia khawatir dengan bayinya yang kelaparan itu. Dia marah dengan istri yang tak tahu ada di mana. Dia cemas dan menimbun banyak pertanyaan di kepalanya. Dengan wajah kesal dia mulai bergumam, “di mana wanita ini?”

Meskipun ada begitu banyak dugaan, dia tidak dapat memastikan keberadaan istrinya saat itu. Dia benar-benar tidak tahu. Tetapi teringatlah dia pada satu hal. Dia tahu siapa istrinya. Dia kenal siapa istrinya. Istrinya adalah seorang yang telah “meninggalkan” keluarganya demi menikah dengannya dan merawat dia dengan kasih sayang. Istrinya adalah seorang yang telah mempertaruhkan nyawanya pada saat melahirkan bayi mereka itu. Berkali-kali dia melihat istrinya memaksakan diri, melawan kantuk, untuk bangun di tengah malam, menggantikan popok, membuatkan susu, dan menyanyikan lagu dengan suaranya yang jelek itu demi menidurkan bayi yang dikasihi itu. Semuanya dilakukan dengan ketulusan dan tanpa keluhan, bahkan di saat istrinya sedang sakit. Sang suami tahu persis, istrinya mencintai bayi itu, bahkan melebihi nyawanya sendiri.

Tetapi kembali terbesit pertanyaan menjengkelkan itu. “Mengapa istriku belum kembali?” Dia tidak tahu! Tetapi ada satu hal yang dia tahu. Dia tahu dan mengenal baik siapa istrinya. Untuk semua yang pernah istrinya lakukan bagi bayi mereka, untuk segala kesetiaan dan pengorbanan yang tak kecil, dia yakin tak mungkin istrinya mau mencelakakan bayi itu. Lalu mengapa istrinya belum kembali? Ada di mana dia?” Jawabannya adalah “Tidak tahu!” Tetapi sekali lagi ada suara dari lubuk hati paling dalam yang berbisik dalam batinnya, “Untuk semua yang telah istriku lakukan bagi aku dan anakku, aku tahu siapa istriku! Aku tahu dia punya alasan.” Tetapi apa alasannya? “Aku tidak tahu! Tapi aku tahu dan aku kenal siapa dia.”

Sama seperti sang suami yang tidak mengetahui dengan pasti keberadaan istrinya, kita juga mungkin tidak memahami bagaimana cara Allah bekerja. Kita tidak mengerti mengapa Dia mengizinkan kita mengalami luka yang sedemikian menyakitkan. Kita benar-benar tidak tahu. Kita dibingungkan dengan sederet pertanyaan “mengapa”. Mengapa ini, mengapa itu, mengapa aku begini, mengapa terjadi begitu? Mengapa orang lain yang mendapatkannya padahal aku yang telah melakukan lebih baik? Mengapa bukan orang jahat itu yang menanggung semua beban ini? Begitulah keadaannya. Tetapi jika satu dari pertanyaan sulit itu dijawab, muncul lagi pertanyaan membingungkan lainnya. Terus-menerus begitu.

Lalu di mana kita harus berhenti? Mari menjawab satu pertanyaan penting ini:

Tahukah kita siapa Yesus Kristus? Jawaban atas pertanyaan ini mungkin tidak melenyapkan pertanyaan-pertanyaan membingungkan sebelumnya. Tetapi aku percaya jawaban itu akan menjadi seperti air segar yang tercurah dari langit di tengah terik yang kering. Yesus Kristus adalah Pribadi Allah yang meninggalkan surga yang mulia dan memilih lahir di palungan sebuah kandang domba untukmu dan untukku. Dia ditelanjangi dan diludahi oleh mereka yang dikasihi-Nya. Tangan yang dikasihi-Nyalah yang menancapkan paku ke dalam tangan dan kaki-Nya. Dia yang tak bersalah bersedia mati bagi kita yang selalu menyakiti hati-Nya.

Apakah masuk akal jika Pribadi yang pernah terhina seperti itu, Pribadi yang menyerahkan nyawa-Nya supaya kita menerima pengampunan dan jaminan keselamatan, Pribadi yang membuktikan cinta tanpa syarat bagi kita, berniat mencelakai kita? Tidak mungkin!

Lalu mengapa Dia mengizinkan semua kepedihan ini menimpa kita? Aku tidak tahu! Tetapi aku tahu siapa Dia! Sama seperti Paulus berkata, aku juga akan mengatakan hal yang sama, “Aku tahu kepada siapa aku percaya”.

Allah yang aku percaya adalah Allah yang telah mengorbankan diri-Nya demi aku. Ia mencintai aku. Aku kenal siapa Dia. Dia adalah Allah yang punya rencana indah bagi anak-anak yang dikasihi-Nya.

Hari ini, saat ini, aku tidak memahami cara kerja-Nya. Aku dibingungkan dengan keputusan-keputusan-Nya. Tapi imanku tidak goyah. Tidak akan pernah. Karena aku tahu kepada siapa aku percaya!

Dia adalah Allah yang bisa dipercaya dan diandalkan. Dialah yang berkata kepada Yeremia, “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.” (Yeremia 29:11).

Tuhan Yesus memberkati kita. Amin

(Segala kelemahan dari tulisan ini berasal dariku, berkatnya berasal dari Dia)

Baca Juga:

Mengalami Kehadiran Allah Ketika Menghadapi Bullying

Teman-temanku menuduh dan menjulukiku sebagai “tukang ngadu”, akibatnya aku dijauhi dan dirundung secara mental dan fisik. Masa-masa sekolah jadi momen yang menyakitkan. Namun, Tuhan menolongku melalui masa-masa ini.

Karena Cinta-Nya, Tuhan Menjawab “Ya” dan “Tidak” Atas Doa Kita

Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu

Mengimani sesuatu dengan sungguh-sungguh tidak lantas membuat apa yang diimani itu menjadi benar. Hal ini jugalah yang terjadi ketika kita berdoa. Kita tahu berdoa adalah kebutuhan setiap orang percaya. Kita yang percaya pada Yesus Kristus “dituntut” oleh-Nya untuk berdoa.

Bisa dikatakan fondasi hidup kita sebagai orang Kristen dalam menghadapi tantangan adalah berdoa. Kupikir ini bukanlah rahasia bagi kita. Kalau pun rahasia, ini rahasia yang sudah lama bocor. Mungkin kita adalah orang yang selalu mengawali atau menutup hari dengan doa. Atau, mungkin pula kita merupakan bagian dari kelompok doa. Kita berdoa dengan yakin. Kita berdoa dengan iman. Namun, kita merasa doa itu tidak ada dampaknya.

Aku sering berbincang tentang doa dengan beberapa orang yang wajah dan nada bicaranya memancarkan kepedihan hati. Mereka kecewa dengan doa. Salah satu orang yang sangat dekat denganku mengatakan hal yang mengejutkanku, “Aku tidak akan lagi berdoa karena doa hanya menipu perasaan manusia.”

Aku tahu latar belakang keluarganya, sehingga tak mungkin aku tidak bersimpati. Aku memahami perasaannya. Dia bekerja mencari nafkah sedemikian keras, meninggalkan istri dan anaknya, menahan dingin dan lapar di daerah pertambangan emas yang bahkan membahayakan nyawanya, dan menyerahkan semua itu dalam doanya kepada Tuhan.

Namun, dia tidak mendapatkan hasil apa pun. Malahan, setelah bertahun-tahun berjuang dan tanpa hasil, dia kembali ke rumah dan mendapati keluarganya telah berantakan akibat ketidakmampuannya memenuhi kebutuhan. Istrinya pun sakit dan dia tak bisa berbuat apa-apa. Aku tak bisa menahan tangis saat memandang ia berbicara dengan suara terbata-bata karena menahan air mata.

Selama ini aku mengenalnya sebagai seorang pria yang tegas dan kuat, setidaknya sebelum momen itu muncul. Mendengarkan jeritan hati dari kasus-kasus semacam itu benar-benar dapat meruntuhkan hati pendengar yang lebih keras dari tembok Yerikho sekalipun. Dan, siapa lagi yang dapat kita andalkan selain Allah sendiri?

Tentu saja kita tahu persis Allah tidak pernah membohongi kita. Dia mengirimkan bagi kita Alkitab yang bisa dipercaya. Yesus memberikan pesan yang sangat sederhana namun kuat ketika Dia berkata: “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu” (Matius 7:7).

Ada tiga bagian yang harus kita cermati dari perkataan Yesus ini: minta, cari, ketok.

  • Yang pertama: “mintalah”

Meminta berarti kita menempatkan diri kita sebagai pihak yang rendah dan membutuhkan. Kita pasti tidak membusungkan dada pada saat kita meminta atau memohon sesuatu dari orang lain.

Selain itu, kita pun tentu tidak akan meminta sesuatu pada seseorang yang kita tahu persis tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi permintaan kita. Contohnya, aku tidak akan minta uang sejumlah 500 milyar pada ibuku karena aku tahu jumlah tabungannya. Tetapi, jika ada penjual cilok di tanggal tua yang lewat di depan rumah kami dan aku meminta ibuku membelikannya bagiku seharga 5 ribu, aku yakin dia sanggup. Dengan demikian, aku melihat inilah cara Tuhan Yesus mengajarkan kita supaya kita merendahkan diri di hadapan Allah dan menaruh penuh kepercayaan kepada-Nya. Kita diajar untuk percaya bahwa Allah pemilik dunia ini bisa diandalkan.

  • Yang kedua: “carilah”

Allah tidak melemparkan uang dari langit. Bukan karena Dia tidak sanggup, tetapi karena Dia mau manusia berusaha dan bekerja. Yesus adalah Allah yang bertindak dengan turun ke bumi memberikan teladan supaya kita mengikuti cara-Nya. Allah tahu, memenuhi kebutuhan manusia yang tahunya hanya meminta akan mencelakakannya. Manusia akan jadi pemalas dan bermental kerupuk. Kasih sayang Allah yang besar itu membuat-Nya melatih anak-anak-Nya supaya mau bertindak aktif sebagai pemberani.

  • Yang ketiga: “ketoklah”

Setelah poin pertama dan kedua, Yesus kemudian berkata “ketoklah”. Dapat dipastikan kita semua pernah bertamu ke rumah orang lain dan tentunya kita tidak akan masuk secara diam-diam. Kita mengetok pintu, kecuali mungkin kita punya tujuan lain. Pada saat mengetok, kita menunggu. Jika belum ada jawaban, kita mengetok lagi, bukan? Kita mengetoknya berkali-kali, mungkin dengan semangat yang berlipat-lipat.

Aku yakin, di sini Yesus sedang mengajar kita untuk bertekun. Bertekun dalam apa? Bertekun dalam dua langkah sebelumnya: berdoa dan bekerja. Paulus juga mengingatkan kita untuk hal yang sama ketika dia meminta jemaat Roma untuk bertekun dalam doa (Roma 12:12).

Lantas, dengan mengikuti pola dalam ayat ini, apakah doa kita, setiap orang percaya, pasti dijawab oleh Tuhan? Meskipun penjelasannya terdengar sedikit filosofis, kita harus merenungkan satu hal penting bahwa “Allah tidak pernah tidak menjawab doa orang percaya”. Artinya, Dia selalu menjawab doa kita. Benarkah? Mungkin banyak dari kita akn berdiri dari tempat duduk kita dan menginterupsi, “lalu mengapa, apa yang salah dengan doaku? (padahal 3 langkah tadi telah aku lakukan). Mengapa Allah tidak menjawabnya?”

Sekali lagi, aku katakan bahwa Allah terus menjawab doa kita. Persoalannya adalah, apakah kita mendengar suara-Nya atau tidak? Persoalannya adalah apakah kita menerima jawaban-Nya atau tidak. Karena sering sekali Allah telah menjawab “Tidak” kepada doa kita, tapi kita menuduh Allah tidak menjawab karena kita ngotot bukan jawaban “tidak” yang kita inginkan. Yang kita inginkan adalah jawaban “Iya!” dari Allah. Ketika kita meminta sesuatu, bahkan yang berpotensi mencelakakan kita, Allah berkata “Tidak, anak-Ku”. Allah sudah menjawab, bukan? Kitalah yang tak mau dengan jawaban-Nya.

Menjawab dengan dan karena cinta

Masih pada pasal yang sama, pada ayat 9 dan 10, Yesus membawa sebuah gambaran yang amat menarik dan cukup “merakyat”. Adakah orang tua yang memberi batu kepada anak yang meminta roti? Ini pertanyaan retoris. Tidak perlu jawaban. Seandainya aku dipaksa menjawab, aku akan berteriak “tidak” sebanyak tujuh kali. Seakan sangat mudah untuk dipahami, sebenarnya perkataan ini juga sangat mudah diselewengkan.

Berdasarkan ayat ini, banyak dari kita yang membangun dasar berpikir kita menjadi seperti ini: “Jika aku minta roti kepada Allah, maka Dia akan memberi roti.” Padahal, ayatnya tidak berkata begitu. Yesus tidak berkata bahwa kalau minta roti pasti diberi roti. Perhatikan kembali ayatnya. Yesus berkata bahwa kalau minta roti, tidak mungkin diberi batu. Artinya, Allah akan memberikan yang terbaik kepada kita. Karena seringkali apa yang kita sangka roti, ternyata adalah batu. Yang kita pikir madu, ternyata adalah racun. Itu terjadi karena kita seperti anak kecil yang tergila-gila akan keinginan kita.

Jika ada anak kecil berusia 3 tahun meminta pisau untuk bermain, apakah kita yang menyayanginya akan memberinya? Bayangkan jika anak itu menangis dan mulai membenci kita, apakah kita akan berubah pikiran dan memberinya pisau itu? Tetap tidak! Mengapa? Karena kita menyayanginya. Itulah risiko yang Allah ambil. Dia dibenci karena ketidakpahaman kita pada karakter-Nya yang kudus dan keputusan-Nya yang benar. Ada banyak hal yang tidak diberikan Allah karena sayang-Nya pada kita. Ketika Allah memberi, Dia memberi dengan cinta. Ketika Allah tidak memberi, itu pun karena cinta. Itu sebabnya, jika aku harus memberikan sebuah definisi pendek, maka aku akan mengatakan bahwa doa adalah “menyatakan ucapan syukur dan kerinduan/keinginan hati kita kepada Allah, meminta-Nya mengoreksi keinginan kita jika keinginan itu salah, meminta-Nya memberi pengertian dan kekuatan akan keputusan-Nya”.

Itu sebabnya, ketika permohonan Paulus tidak dikabulkan saat dia berseru kepada Allah agar duri dalam dagingnya disingkirkan, Paulus tidak menjadi kecewa (2 Korintus 12:7). Karena Paulus mengerti bahwa ketika Allah menjawab tidak, Allah mungkin tidak memberi roti yang dimintanya, namun Allah pasti memberi sesuatu yang jauh lebih baik dari roti itu.

Tahun berlalu dan aku mulai memahami bahwa doa itu bukan sekadar tempat kita berbicara, tetapi juga Allah berbicara. Dia membentuk kepribadian kita dengan jawaban “iya” dan “tidak” terhadap doa kita, sama seperti seorang bapa kepada anaknya.

Keyakinan kita bukan terletak pada apa yang kita minta, melainkan kepada Dia yang kita mintai adalah Allah yang baik, dan lebih dari semua itu, Dia Allah yang benar.

Tuhan Yesus memberkati.

Baca Juga:

Jawaban Doa yang Tak Terduga

Jika doaku dikabulkan Tuhan sesuai dengan apa yang kuinginkan, tentu aku merasa senang. Namun, ada sebuah peristiwa dalam hidup yang bagiku unik. Tuhan menjawab doaku lebih baik dari yang kuharapkan, tapi aku malah tidak bersukacita karenanya.