Posts

Belajar dari 2 Sosok Perempuan yang Jadi Berkat bagi Bangsanya

Oleh Olive Bendon, Jakarta

Mama Yo gamang. Afghanistan bergejolak lagi. Rasa takut tentu saja mendera, namun semangat Mama Yo juga menyala-nyala—hmm .. mungkin sedikit nekat—dia ingin tetap melakukan perjalanan ke negara yang tak kunjung menemukan kesepakatan dalam menyelesaikan konflik dalam negerinya yang telah berlangsung bertahun-tahun itu. Bagi Mama Yo, ini kesempatan baik dapat membawa misi kemanusiaan dan membagikan pengalaman Indonesia dalam menangani isu perempuan dan anak kepada perempuan-perempuan Afghanistan. Namun, karena alasan keamanan, Kedutaan Besar Indonesia (KBRI) di Kabul memberi sinyal; Mama Yo tak usah datang!

Saat bersua presiden, Mama Yo menyampaikan keresahan hatinya. Mama Yo mendapat restu dan akhirnya berangkat memenuhi undangan Rani Ghani, Ibu Negara Afghanistan; menjadi pembicara utama dalam Symposium on the Role and Contribution of Afghanistan Women for Peace yang berlangsung pada pertengahan Mei 2017 lalu. Di satu wawancara dengan stasiun TV sepulang ke Indonesia, Mama Yo mengatakan kedatangannya ke Afghanistan merupakan kunjungan pejabat tinggi Indonesia pertama, perempuan pula setelah kunjungan Soekarno pada 1961. Di kesempatan lain Mama Yo juga mengatakan bahwa salah satu indikator majunya satu bangsa dapat dilihat kaum perempuannya yang berpikiran maju. Artinya perempuan merupakan pilar penting dan agen perubahan bagi suatu bangsa.

Mama Yo, sapaan akrab Yuliana Susana Yembise, adalah Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dalam Kabinet Kerja Jokowi di 2014-2019. Dirinya tak pernah bermimpi jika di perjalanan karirnya sebagai seorang akademisi, satu waktu akan dipanggil menghadap presiden dan diminta untuk mengepalai Kementerian PPPA. Posisi Mama Yo sebagai seorang menteri pun memberi angin segar bagi kebinekaan Indonesia. Mama Yo menjadi representasi dari orang Papua yang berdaya dan juga berkontribusi dalam membangun negeri.

Menyimak sedikit cerita perjalanan Mama Yo, membawa ingatanku pada kisah Ratu Ester dari Persia, satu dari sedikit tokoh perempuan berpengaruh dalam Alkitab yang perjalanan hidupnya dituliskan secara khusus dalam satu kitab di samping Rut.

Meski hidup dalam zaman dan kondisi yang berbeda, Mama Yo dan Ester memiliki kesamaan yang kuat: yakni mereka sama-sama perempuan. Dan, dari dua sosok ini kita dapat melihat bagaimana Allah bekerja memakai setiap hamba-Nya.

Tak diperhitungkan di mata manusia, tetapi dipilih Allah

Ester terpilih menjadi permaisuri menggantikan Ratu Wasti setelah melewati seleksi ketat—mungkin semacam beauty pageant di hari ini dengan mempertimbangkan brain, beauty, behavior—yang diikuti perempuan-perempuan muda yang elok parasnya dari semua daerah (dalam Ester 1:1 disebutkan ada 127 daerah di wilayah kekuasaan Ahasyweros yang meliputi India sampai Etiopia) dan memakan waktu panjang. Sebelum tampil di depan raja, mereka dikarantina selama 12 bulan di dalam Benteng Susan untuk menjalani perawatan tubuh. Ester mendapat jadwal bertemu raja setelah hampir 2 tahun dikarantina, yaitu di bulan kesepuluh di tahun ketujuh pemerintahan Ahasyweros. Di pertemuan pertama mereka, Ahasyweros langsung jatuh hati pada perempuan keturunan Yahudi dari suku Benyamin, anak yatim piatu yang dibesarkan oleh Mordekhai, saudara sepupunya itu dan memberinya mahkota kerajaan (Ester 2:17).

Kesabaran Ester diuji saat harus meninggalkan kenyamanannya dan menjalani karantina di Susan. Jika kita coba bayangkan, tentulah apa yang Ester jalani tidak mudah. Ester, seorang Yahudi, harus tinggal di tengah bangsa lain. Namun, Ester selalu mengingat dan mengikuti nasihat Mordekhai untuk menjaga martabat bangsanya. Seorang hamba yang rendah hati dan menurut apa yang dikatakan oleh sida-sida raja; membuat orang yang melihatnya, mengasihi dirinya (Ester 2:15).

Kisah Ester menegaskan kembali pada kita bahwa Allah memilih seseorang untuk menjadi alat-Nya bukan berdasarkan standar manusia, tetapi berdasarkan hikmat dan kebijaksanaan-Nya. Dan, Ester pun taat menjalani tugas dan tanggung jawabnya. Seandainya saja Ester memberontak, mungkin nasib bangsanya akan berakhir tragis.

Bagaimana dengan kita? Apakah kita merasa bukan orang yang dipilih Tuhan untuk membawa kebaikan bagi bangsa kita?

Kita mungkin bukan orang besar, bukan pejabat, atau bukan orang terkenal, tetapi itu bukanlah alasan bagi kita untuk berkecil hati. Tindakan kecil kita bisa memberi dampak yang berarti, minimal untuk orang-orang di sekeliling kita.

Hal paling mudah yang bisa kita lakukan untuk berkontribusi bagi bangsa kita pada masa kini adalah dengan taat pada anjuran pemerintah untuk menekan laju pertambahan kasus Covid-19.

Bijaksana dalam bertindak

Ester mengetahui rencana jahat Haman, pembesar kerajaan yang ingin memusnahkan orang-orang Yahudi yang ada di kerajaan Persia dari pesan yang disampaikan Mordekhai padanya lewat pelayan istana. Kalau saja Ester tak bijak menyikapi setiap informasi yang diterimanya, bisa jadi Ester akan memanfaatkan posisinya sebagai ratu untuk bertindak. Bukankah dirinya kesayangan raja dan apapun yang dimintanya akan dituruti Ahasyweros? (Ester 5:6).

Sekalipun Ester risau pun ingin menyelamatkan kaumnya, Ester tak tergesa-gesa untuk melaporkan Haman. Ester pasti marah pada Haman. Tapi Ester tenang dan menjaga pikirannya tetap bersikap adil pada ketidaknyamanan yang terjadi di sekelilingnya. Dan itu menuntun Ester pada keputusan besar; bertanya lebih dulu pada Tuhan serta mengajak semua orang Yahudi juga pelayannya berpuasa dan berdoa untuknya sebelum ia mendatangi istana raja walau ia tahu hukuman bagi orang yang menghadap raja tanpa dipanggil adalah mati (Ester 4:16 – 5:1). Lalu ketika bertemu raja, Ester tak langsung menyampaikan apa yang sedang terjadi. Ia malah memberikan undangan makan siang dan meminta Ahasyweros mengajak serta Haman ke jamuan makan tersebut. Di acara makan siang itulah Ester “menelanjangi” Haman sehingga mendapatkan ganjaran hukuman mati di tempat yang disiapkan untuk menggantung Mordekhai.

Bagiku, apa yang diperbuat Ester itu keren. Pada zaman itu, ketika belum ada telepon, pesan hanya bisa disampaikan dari mulut ke mulut. Salah tangkap atau salah paham bisa sangat wajar terjadi. Atau, jika sang pembawa pesan adalah orang yang cepat panas hati, tidak sabaran, atau tidak suka pada Ester, bisa saja informasi itu akan bocor ke mana-mana.

Bagaimana dengan kita? Kita hidup di zaman yang jauh lebih maju daripada Ester. Ketika menerima informasi, apakah kita mencernanya dengan bijak atau buru-buru larut ke dalam emosi?

Emosi kita berjalan mengikuti apa yang kita pikirkan. Butuh keberanian besar dan hati yang luas untuk menentang ketidakadilan, dan semua itu berawal dari pikiran (Filipi 4:4-8). Pengkhobah 3:1,7 menulis segala sesuatu ada waktunya .. ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara. Ester pun tahu untuk bertindak tepat pada waktu-Nya, dia harus fokus pada kehendak-Nya.

Segala pencapaian Ester tak akan terjadi apabila dia tidak melekat pada Allah. Oleh pertolongan Allah, Ester mampu melakukan hal-hal besar yang tak pernah dia pikirkan sebelumnya.

Pertanyaan bagi kita di masa kini: maukan kita melangkah seperti Ester dengan melekatkan diri pada Allah lewat doa dan berpuasa?

Baca Juga:

Belajar Dari Rasa Kehilangan

Ketika kakak rohaniku dipanggil Tuhan, aku merasa sangat kehilangan. Rasanya seperti ‘kehilangan pegangan dalam melayani Tuhan.

Belajar dari Nehemia dan Ester: Mencintai Bangsa melalui Doa dan Tindakan

Oleh Dorkas Febria Krisprianugraha, Karanganyar

Seberapa greget kamu mencintai Indonesia?

Ketika mendengar pertanyaan itu, mungkin kamu akan menjawab dengan berbagai kalimat ala generasi millenial yang akhir-akhir ini sedang hits. Tapi, benarkah kamu segreget itu dalam mencintai Indonesia? Atau, jangan-jangan nama Indonesia tidak masuk dalam daftar sesuatu yang kamu cintai?

Jika bicara soal mencintai bangsa, ada dua tokoh Alkitab yang dikenal karena kecintaannya pada bangsanya, mereka ialah Nehemia dan Ester. Nehemia berpuasa, berdoa sambil menangis, dan berkabung ketika mendengar berita kalau tembok Yerusalem telah terbongkar dan pintu-pintu gerbangnya telah terbakar (Nehemia 1:1-11). Ester berpuasa ketika akan menghadap Raja Ahasyweros setelah mendapat kabar dari Mordekhai bahwa Haman akan membinasakan orang Yahudi (Ester 4:15-17). Tidak berhenti hanya berdoa dan berpuasa, dalam Kitab Nehemia dan Kitab Ester juga diceritakan bagaimana mereka melakukan tindakan nyat sebagai upaya untuk menyelamatkan dan memulihkan bangsa mereka. Ya, mereka membuktikan seberapa besar rasa cinta mereka kepada bangsanya.

Bagaimana dengan kita?

Berdoa untuk Indonesia adalah hal yang baik, yang memang seharusnya kita lakukan. Namun, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apa yang kita lakukan setelah itu? Banyak cara yang bisa kita lakukan untuk mennjukkan rasa cinta kita kepada indonesia, misalnya melalui profesi kita dalam bidang politik, pemerintahan, ekonomi, maupun pendidikan; atau melalui prestasi kita yang mengharumkan nama Indonesia; atau bisa dengan cara yang sederhana yaitu dengan menggunakan hak dan melaksanakan kewajiban kita sebagai warga negara Indonesia secara seimbang. Salah satu hak yang diberikan kepada warga negara Indonesia adalah hak memilih dalam Pemilu. Setelah mendengar kalimat itu, mungkin sebagian kita ada yang berpendapat, “kalau itu hak, berarti itu terserah kita dong mau menggunakan hak itu atau tidak.”

Namun, benarkah demikian?

Coba bayangkan apa yang terjadi ketika semua warga negara Indonesia berpendapat seperti itu dan akhirnya memilih untuk tidak menggunakan hak itu. Bisa jadi negara kita malah mengalami kekacauan. Ketika mencoba merenungkan hal ini, aku memiliki pendapat secara pribadi bahwa memilih dalam Pemilu adalah hak kita sebagai warga negara, dan menggunakan hak pilih itu adalah suatu kewajiban.

Tahun 2019 akan menjadi salah satu tahun yang tercatat dalam sejarah Indonesia. Berbagai pihak sibuk menyambut pesta demokrasi yang akan dilaksanakan pada tanggal 17 April 2019, baik sebagai calon yang akan dipilih, tim sukses, maupun para pendukung calon. Bagaimana dengan kamu?

Belajar dari kisah Nehemia dan Ester, bagaimana sih seharusnya sikap kita dalam menyambut Pemilu 2019 sebagai bentuk rasa cinta kita kepada Indonesia?

1. Menyadari menggunakan hak pilih adalah kesempatan untuk berbuat sesuatu bagi Indonesia

Ketika mendengar bahwa tembok Yerusalem telah terbongkar dan pintu gerbangnya terbakar, Nehemia bisa saja memilih untuk tidak mempedulikannya karena posisinya sebagai juru minuman raja tidak membuatnya memiliki kewajiban untuk membangun kembali tembok itu.

Mungkin Nehemia sebelumnya tidak pernah berpikir bahwa posisinya sebagai juru minuman raja akan membuka jalannya untuk memulihkan bangsanya (Nehemia 2). Namun, Nehemia memilih berbuat sesuatu untuk bangsanya. Demikian juga Ester, ketika berada di posisi sebagai ratu, bisa saja Ester memilih untuk tidak peduli denagn berita yang dia dengar bahwa Haman sedang merencanakan pembinasaan orang-orang Yahudi. Namun, Ester memilih untuk melalukan sesuatu bagi bangsanya bahkan ketika hal itu dapat membahayakan nyawanya (Ester 4:16). Ya, Tuhan menempatkan Nehemia dan Ester pada posisi masing-masing untuk berbuat sesuatu bagi bangsanya.

Kita memang tidak bisa memilih di negara mana kita dilahirkan, tetapi kita bisa memilih untuk berbuat sesuatu bagi bangsa kita, atau berdiam.

Hak untuk memilih adalah hak istimewa kita sebagai warga negara Indonesia, karena hanya benar-benar warga negara Indonesia saja yang mendapatkan hak itu. Kita mungkin sering mendengar banyak warga negara asing berkata, “I Love Indonesia”, namun tak peduli seberapa besar cinta mereka kepada Indonesia, mereka tetap tidak mendapatkan hak pilih ini.

Jadi, gunakanlah hak pilihmu sebagai kesempatan untuk berbuat sesuatu bagi Indonesia.

2. Menyiapkan strategi

Cinta Nehemia dan Ester terhadap bangsanya bukanlah cinta buta yang bertindak tanpa pertimbangan. Mereka tidak gegabah namun mereka menyusun strategi ketika akan berbuat sesuatu bagi bangsanya. Sebelum melakukan pembangunan tembok Yerusalem, terlebih dahulu Nehemia menyelidiki kondisi-kondisi tembok-tembok Yerusalem yang sudah terbongkar (Nehemia 2:11-20), dan Ester sebelum menghadap Raja Ahasyweros, dia juga menyusun strategi. Hal ini terlihat dari bagaimana cara Ester mengadakan perjamuan bagi raja dan Haman (Ester 5:1-8). Demikian juga ketika kita ingin menggunakan hak pilih kita untuk menunjukkan rasa cinta kita terhadap Indonesia.

Terlepas siapa kandidat pilihan kita, kita tetap membutuhkan strategi. Menggunakan hak pilih lebih dari sekadar hanya datang ke TPS dan mencoblos kertas yang berisi nama-nama calon presiden dan legislatif. Menggunakan hak pilih juga harus disertai banyak pertimbangan. Tidak cukup hanya berdasarkan “apa kata orang” dalam menentukan pilihan kita. Kita perlu mengamati dan menyelidiki dari berbagai sumber yang terpercaya. Banyak cara yang dapat kita lakukan, mulai dari mencari portofolio atau rekam jejak calon tersebut, mengikuti siaran debat terbuka di televisi, juga menimbang-nimbang visi dan misi serta program kerja mereka kelak.

Tentukan pilihan kita berdasarkan apa yang kita pahami dan yakini, bukan hanya berdasarkan apa kata orang.

3. Menginvestasikan waktu

Nehemia memberikan waktunya, dia bangun di malam hari untuk menyelidiki keadaan tembok Yerusalem (Nehemia 2:3). Ester berpuasa selama tiga hari tidak makan dan minum, dan tentulah dalam masa puasa itu Ester menggunakan waktunya untuk memikirkan bagaimana cara membongkar rencana jahat Haman.

Tidak ada istilah membuang-buang waktu untuk berbuat sesuatu bagi bangsa kita. Dalam proses sebelum menentukan pilihan, kita bisa menginvestasikan waktu kita untuk mulai membaca informasi-informasi terpercaya atau mendengarkan debat yang diselenggarakan langsung oleh KPU. Dan, di hari Pemilu dilaksanakan kita bisa memberikan waktu kita untuk datang ke TPS dan menggunakan hak pilih kita.

Banyak aktivitas lain yang mungkin lebih menarik untuk dilakukan di tanggal 17 April 2019, terlebih hari-hari itu kan menjadi long-weekend yang membuat banyak orang memilih untuk berlibur dibandingkan dengan datang ke TPS dan menggunakan hak pilih. Namun, percayalah bahwa waktu yang kita berikan untuk memilih dalam Pemilu tidak akan terbuang sia-sia.

4. Tetap waspada

Hoax menjadi kata yang semakin populer dalam masa-masa menjelang Pemilu dan inilah yang menjadi salah satu ancaman kita dan patut kita waspadai. Pemulihan suatu bangsa tidak selalu disukai oleh semua pihak. Sanbalat dan Tobia menentang pembangunan tembok Yerusalem, bahkan mengolok-ngoloknya (Nehemia 4). Bahkan, setelah tembok Yerusalem berhasil dibangun kembali, Sanbalat dan Tobia berusaha untuk membunuh Nehemia (Nehemia 6). Ya, akan banyak pihak yang lebih berfokus pada kepentingan pribadinya sehingga apa yang mereka lakukan buka sebagai upaya untuk berbuat sesuat bagi bangsa Indonesia, tetapi bagaimana kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan dapat terpenuhi. Itulah yang harus kita waspadai, jangan mudah dipengaruhi.

5. Tetaplah berdoa

Lebih dari tekad dan ancaman yang ada, Nehemia tetap menjadikan doa sebagai hal yang utama (Nehemia 1, Nehemia 4:9). Nehemia mengadukan semua yang dia alami kepada Tuhan. Ada banyak hal yang mungkin bisa terjadi selama masa-masa menjelang bahkan sesudah Pemilu berlangsung. Tetap berdoa menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan dalam menyambut Pesta Demokrasi 2019. Berdoalah, biar hanya kehendak Tuhan yang terjadi dalam Pemilu 2019.

Itulah hal-hal yang bisa kita lakukan untuk menyambut Pemilu 2019. Jadilah bagian dalam sejarah Indonesia dan gunakan hak pilihmu sebagai kesempatan bagi generasi millenial untuk menujukkan seberapa greget kita mencinti Indonesia. Tuhan memilihmu untuk berbuat sesuatu bagi bangsa ini, kalau bukan kamu, siapa lagi?

* * *

Sobat muda, pesta demokrasi akan segera kita laksanakan, marilah kita mengambil waktu sejenak untuk berdoa buat bangsa kita, Indonesia. Share artikel juga video di bawah ini dan ajaklah teman-temanmu untuk bersama-sama berdoa.

Baca Juga:

Menegur, Sulit tapi Baik untuk Dilakukan

Menegur orang lain merupakan hal yang sangat sulit untuk kulakukan. Aku takut pada risiko yang mengikutinya—ditolak dan dijauhi oleh orang yang kutegur. Aku tidak siap menghadapi hal itu. Aku gelisah. Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, apakah aku menyampaikan teguranku dengan cara yang salah hingga temanku jadi sakit hati? Apakah aku terlalu berlebihan?