Posts

Memaksimalkan Sukacita dengan Bersyukur

Oleh Ernest Martono, Jakarta

Karena sering menonton sebuah akun di Instagram mengenai mainan Transformer, aku pun mulai tertarik buat mengoleksi mainan. Padahal ini bukanlah hobiku sejak dulu. Namun, ketika memulai hobi baru ini, aku menemukan kesenangan di dalamnya. Awalnya dari satu mainan yang kubeli, sampai akhirnya aku mulai mempelajari lebih dalam tentang hobi ini. Aku jadi tahu brand yang mahal dan murah, ikut dalam event dan komunitasnya, hingga benar-benar mengatur tabungan untuk menambah koleksi mainan. Sekarang aku sudah membeli lebih dari 10 mainan yang didominasi oleh mainan bekas. Maklum, lebih ramah dompet. Selalu saja ada keinginan untuk menambah jumlah koleksi. Satu lagi tidak akan kenapa-kenapa.

Aku sadar akan jatuh dalam perencanaan keuangan yang buruk jika aku selalu menuruti keinginan untuk menambah jumlah koleksi. Namun, di sisi lain aku ingin menambah mainan baru. Bukan soal jumlahnya yang kurang, tapi aku sungguh suka dan mengapresiasi desain mainannya. Bukan juga karena aku tidak puas dengan mainan-mainan sebelumnya, hanya saja aku mau menambah dan memaksimalkan perasaan bahagia yang aku rasa. Selalu muncul mainan yang menggugah rasa kagum dan senangku.

Menyadari hal ini membuatku merenung. Aku yakin bukan aku saja yang mengalami hal seperti ini, orang lain juga pasti pernah mengalaminya. Keinginan untuk memaksimalkan kebahagiaan yang manusia alami tidak sesempit hanya sekedar menambah jumlah kepemilikan. Manusia juga berusaha mempertahankan rasa bahagia yang dia miliki. Sayangnya kebahagiaan di dunia ini bersifat sementara. Cepat layu dan ringan seperti debu tertiup.

Coba bayangkan jika kita pertama kali membeli barang yang begitu mahal dengan pendapatan sendiri. Setiap kali kita melihat benda itu ada perasaan bangga dan senang muncul dalam hati kita. Hanya saja, berapa lama perasaan itu akan bertahan? Apakah selalu ketika kita melihat barang itu hati kita akan bergembira? Lama kelamaan kita menjadi terbiasa dengan barang itu dan hati kita mulai merasa sepi. Kita mulai merindukan perasaan senang yang sama untuk terulang kembali dan prosesnya akan berputar di situ saja. Lantas, bagaimana kita bisa meresponi kesementaraan dunia ini dengan tepat?

Bagi sebagian orang, mereka tidak akan menyerah membiarkan rasa bahagia mengisi hatinya. Mereka akan bertualang mencari rangsangan agar hatinya terus bahagia. Melompat dari kesenangan yang satu ke kesenangan yang lain. Meskipun tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Tapi, menjadikan kesenangan sebagai tujuan hidup hanya membawa perasaan yang lebih kosong pada kita. Seolah-olah kita tiada kalau tidak merasa selalu senang. Tak jarang pula pengejaran akan kesenangan membawa hal-hal buruk terjadi pada kita. Dalam kasusku, tidak jarang seseorang jadi kesulitan memenuhi kebutuhan keluarga karena membeli mainan sebagai hobi. Ada harga yang harus dibayar agar kita merasa bahagia. Kalau begitu, mungkin yang perlu kita renungkan adalah kebahagiaan mana yang menjadi prioritas kita?

Ada juga yang terlalu keras menggenggam perasaan bahagia tersebut. Mereka berharap dunia ini stabil. Situasi dapat mudah dikuasai sehingga perubahan selalu dapat diantisipasi. Namun, dunia dengan banyak faktor yang terlibat di dalamnya, selalu punya cara untuk memberikan kejutan pada manusia. Tidak selalu kejutan-kejutan tersebut bersifat manis, terkadang pahit dan ingin kita buang jauh-jauh. Aku mulai belajar cara menyimpan mainan-mainan yang kubeli. Aku juga mulai terpikir memodali hobiku dengan peniup debu elektrik untuk membersihkan mainan-mainan koleksiku. Semua kulakukan agar mereka dapat bertahan lama dan tidak rusak karena kelalaianku. Sekali lagi, aku rasa itu adalah hal yang wajar dan bertanggung jawab. Hanya saja, cukup naif jika aku mengharapkan mainan tersebut akan bertahan sepanjang masa. Lagipula itu hanya sebuah mainan, tidak perlu kutukar dengan seluruh nyawa.

Apa pun cara manusia untuk keluar dan mempertahankan kesenangan sementara di dunia ini akan gagal. Ironi sekali ada begitu banyak hal yang dapat membuat manusia senang, tapi sayang semuanya tidak bertahan lama. Kesementaraan ini bukan berarti manusia tidak boleh merasa senang dalam hidup. Namun, kita perlu senang dengan bijak.

“Aku tahu bahwa untuk mereka tak ada yang lebih baik dari pada bersuka-suka dan menikmati kesenangan dalam hidup mereka. Dan bahwa setiap orang dapat makan, minum dan menikmati kesenangan dalam segala jerih payahnya, itu juga adalah pemberian Allah” (Pengkhotbah 3:12–13).

Tuhan, lewat seorang pengkhotbah bijaksana, mengajarkan kepada kita untuk menikmati setiap pemberian dari-Nya. Kita tidak perlu menyiksa diri dengan menjauhi kesenangan. Nikmati setiap hal yang Tuhan izinkan untuk kita nikmati sekarang. Tidak perlu bersungut-sungut atau sampai kepahitan karena belum bisa menikmati hal-hal lain yang kita inginkan. Mungkin ke depan Tuhan akan izinkan kita untuk menikmatinya, tapi mungkin juga tidak. Bagian kita adalah menikmati setiap hal yang saat ini Tuhan beri. Kebahagiaan sementara yang kita rasakan dalam dunia ini hanya sebuah petunjuk jalan agar kita datang kepada Sang Pemberi Kebahagiaan. Petunjuk jalan bukanlah akhir destinasi, jadi kita tidak perlu berusaha mengumpulkan petunjuk jalan tapi lupa sampai pada tujuan.

Ada benarnya orang suka berkata kalau kita harus pintar-pintar bersyukur agar hidup terasa cukup. Dengan bersyukur atas setiap kesementaraan yang kita miliki, kita sedang melakukan hal yang tepat. Kita memakai kesementaraan dunia untuk sesuatu hal yang bersifat kekal. Menurutku itu adalah hal terbaik yang bisa kita lakukan untuk memaksimalkan rasa senang kita akan sesuatu, mengembalikan kembali rasa senang kita kepada Sang Pemberi. Tuhan bilang, kita perlu pintar-pintar berinvestasi. Di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada. Jika kita bersyukur dan memuji Tuhan atas setiap hal yang kita miliki, kita sedang menginvestasikan diri kita kepada sesuatu yang bersifat kekal. Relasi kita dengan Tuhan kekal adanya.

Sekarang setiap kali aku mengatur pose mainanku untuk dipajang, tidak bisa tidak bagiku untuk bersyukur. Aku mengagumi bentuk, warna, artikulasi gerak, dan gagasan desainer mainan tersebut. Aku benar-benar menikmatinya. Semua hal tersebut berasal dari Tuhan, Sang Pencipta. Namun, rasa bersyukur menolongku untuk berkata cukup, sehingga aku bisa menjadi cukup bijak untuk menguasai rasa kagumku agar tidak berlebihan dan membuat kantongku bolong.

Biarkan petunjuk jalan tetap jadi petunjuk jalan, dan berikan kepada Tuhan apa yang menjadi hak-Nya. Kekaguman kita akan kesenangan di dunia ini harus menolong kita untuk semakin kagum pada Tuhan.

Solusi Bagi yang Lemah Niat: Meminta Hati yang Baru

Oleh Ernest Martono, Jakarta

Bulan Januari sudah habis dan sudah berapa banyak janji yang gagal kita tepati?

Hampir setiap awal tahun kita membuat resolusi tapi, banyak yang gagal melakukannya. Kita frustasi menghadapi diri kita yang lemah niat. Kita berusaha mencari jalan keluar dan pertolongan. Kita mencari tutorial, membaca tips-tips, termasuk mendengarkan kata-kata motivator.

Kebanyakan dari self-help tersebut mendorong kita untuk berjuang lebih keras. Pasang banyak strategi: pakai pengingat, tulis di catatan, cicil target, dan masih banyak lagi. Namun, entah kenapa masih banyak target yang meleset. Banyak yang mengusulkan untuk menemukan driving force. Namun, seperti apa wujud kekuatan tersebut? Bagaimana mendapatkannya?

Sewaktu aku melihat resolusi yang tersebar di sosial media, ada kesamaan dengan resolusi dengan yang kubuat. Aku mulai bertanya resolusi apa yang harus dibuat oleh orang percaya? Jangan-jangan resolusi yang kubuat tidak ada bedanya dengan apa yang dunia cari. Mendapatkan pekerjaan yang lebih bagus, menikah, mendapatkan pendapatan lebih banyak, mengurangi berat badan, tidak lagi mau datang terlambat, itu semua adalah hal baik hanya saja semua itu pun dicari juga oleh orang-orang yang tidak mengenal Allah.

Lantas bagaimana seharusnya orang percaya membuat resolusi?

Di tahun 2022 lalu ada sebuah kejadian viral, seorang nenek ditendang oleh anak-anak sekolah. Banyak pihak merespons ini, tapi ada satu komentar seorang podcaster yang menarik perhatianku. “Karena semakin banyak anak-anak kayak gitu, semakin kecil saingan kamu untuk menjadi orang sukses,” demikian komentarnya. Aku mulai berpikir, kalau seandainya menendang seorang nenek akan diganjar hadiah sebesar 1 milyar, akankah orang akan melakukannya? Apakah tidak menendang seorang nenek hanya agar menjadi orang sukses? Aku rasa ada alasan yang lebih baik daripada sekedar menjadi orang sukses.

Namun, sayangnya ketika kita membuat resolusi, kebanyakan dari kita membangun gambaran ideal serupa dunia. Banyak motivator yang mendorong kita untuk menjadi orang sukses, tapi itu bukan segalanya. Gambaran ideal yang kita kejar tersebut berasal dari keinginan hati kita. Keinginan inilah yang memberi kita motivasi untuk membuat resolusi dan mengerjakannya. Masalahnya adalah hati kita telah dinodai oleh dosa, sehingga perbuatan yang sekalipun terlihat baik dapat dimotivasi oleh keinginan egois. Lihat saja contoh di atas tadi. Mengapa tidak menendang seorang nenek? Karena tindakan seperti itu menghalangi saya menjadi orang sukses. Jadi sebenarnya yang dikejar adalah sebuah pamrih kesuksesan.

Jarang sekali kita memiliki resolusi untuk memiliki hati dan keinginan yang baru, keinginan yang telah dikuduskan Tuhan. Kalau kita mau jujur, sebenarnya kita tidak mau punya keinginan sama seperti yang Tuhan inginkan. Hati kita begitu lemah dan mandul untuk mengikuti keinginan hati Tuhan. Dosa telah melumpuhkannya. Oleh sebab itu Tuhan berjanji:

“Aku akan memberikan mereka hati yang lain dan roh yang baru di dalam batin mereka; juga Aku akan menjauhkan dari tubuh mereka hati yang keras dan memberikan mereka hati yang taat” (Yehezkiel 11:19).

Ayat ini merupakan sebuah penghiburan bagi kita. Hati yang baru bukanlah sebuah hal yang harus kita usahakan. Itu adalah sebuah pemberian dari Tuhan. Tangan Tuhan sendiri yang akan mengusahakannya untuk kita. Kita dibentuk Tuhan menjadi manusia yang baru dengan keinginan-keinginan yang baru. Ini adalah identitas kita. Bagian kita adalah menghidupi manusia baru tersebut.

“Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang” (2 Korintus 5:17).

Jadi ketika kita menuliskan resolusi di tahun ini coba tanyakan sebagai seorang manusia baru, apa yang seharusnya aku inginkan? Apa yang seharusnya aku kejar? Apakah resolusi yang aku buat sesuai dengan gambaran manusia baru atau justru sama persis dengan yang dunia tawarkan?

Menuliskan resolusi bukan hanya sekadar menuliskan janji. Dari janji yang kita buat itulah kita bisa tau apa yang paling kita rindukan ada di dalam hidup kita. Apa yang paling kita cari dan berharga untuk hidup kita. Semoga kita bisa terus teliti memperhatikan isi hati kita dan mengarahkannya sesuai dengan keinginan Tuhan.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥