Posts

Hal-hal yang Receh dan Kerap Diabaikan, Di Sanalah Ladang Subur untuk Menanam Kebaikan

Oleh Agustinus Ryanto

Hari-hari anak muda yang telah lulus kuliah dan bekerja tidak lagi seseru dulu. Meski tak semua anak muda merasa begitu, itulah yang kualami beberapa tahun ke belakang. Di umur yang masih muda ini aku sudah punya sakit lambung, dan jumlah temanku pun mulai menyusut seiring dengan banyak di antara mereka yang menikah atau merantau ke lain kota.

Tahun kemarin, untuk merayakan hari ulang tahunku, aku mentraktir diriku sendiri. “Beli burger vegan ah!” celetuk otakku. Burger ini ukurannya lumayan besar. Meskipun tidak ada daging hewani sama sekali, tapi menyantapnya sampai habis sungguh membuat perutku kenyang.

Setengah jam pasca tuntas memakan burger itu, aku merasa ada yang tidak beres dengan perutku. “Dung…dung…” suara kembung dan begah saat ditepuk. Meski kembung setelah makan adalah hal normal, tapi instingku merasa ini bukan kembung yang wajar… apalagi aku memang sejak 2019 aku mengidap gerd. Kutunggulah sampai beberapa jam ke depan, tapi kembungnya tidak hilang-hilang. Malahan, muncul rasa mual dan sesak. Napasku jadi pendek-pendek.

Sampai empat hari berselang, kembungnya tidak benar-benar hilang dan perasaanku selalu mual. Kuputuskan untuk menemui dokter spesialis langgananku.

“Hayo, kenapa lagi ini?” dokter ini sudah hafal denganku karena memang aku sering kontrol dengannya.

“Iya dok, ini, kemarin Kamis saya sesek di dada. Di tenggorokan banyak lendir. Terus perutnya kembung terus, gak enak,” tuturku mendetail sambil batuk. “Nah dok, ada batuk juga sih ini. Berasa banyak lendir tapi susah dikeluarin.”

“Jangan dipaksa. Jangan didehemin. Nanti takutnya luka tenggorokannya. Coba duduk sini.”

Di kursi yang mirip dengan kursi dokter gigi, alat seperti pistol air dengan ujung runcing dimasukkan ke mulutku. Di pucuknya ada kamera. Lalu muncullah citra isi tenggorokanku di monitor.

“Nah, ini radang. Bengkak laring kamu.”

“Kok bisa, dok?”

“Ini gara-gara lambung,” katanya. “Asam lambung kamu naik, jadi dinding kerongkonganmu itu memproduksi lendir untuk melindungi diri. Cuma lendirnya banyak, dan tenggorokanmu radang. Lendirnya jadi nyangkut, itu yang bikin sesak napas.”

“Lambung lagi lambung lagi,” gumamku. Sesi singkat di ruang praktik itu perlu ditebus dengan harga 200 ribu: 150 ribu untuk konsultasi dokter dan 50 ribu untuk endoskopi. Aku diberi resep empat obat. Total uang yang kukeluarkan hari itu 460 ribu. Angka yang cukup besar di tanggal yang hampir tua. Sialnya, bulan itu tidak ada anggaran yang kualokasikan untuk uang darurat.

Sepulang dari dokter, semua peristiwa di ruang praktik tadi kuceritakan pada kawan di grup WhatsApp yang isinya cuma tiga orang: aku, dan sebut saja Yos, dan Jon.

Yos menanggapi dengan serius. Jam sebelas malam, dia meneleponku dan mendoakanku. “Sembuh ya, udah jangan terlalu dipikirin. Nanti Sabtu pulang aja udah jangan di kosan, ketemu kita.” Tawaran yang menggiurkan, tapi kutolak lembut. “Iya pengen sih, tapi bulan depan aja deh.”

Berbeda dengan Yos, si Jon ini memang yang paling petakilan polahnya. “Lah mahal juga itu berobat. Memang gak bisa dicover asuransi?” tanyanya.

“Kaga bisa. Asuransi gua cuma bisa berlaku rawat inap. Kudu ngendog dulu di IGD minimal 6 jam.”

“Ya udah atuh lu ke RS, opname aja,” ketiknya datar tanpa emoticon apa pun.

“Pret..” balasku dengan agak kesal. Kok sakitnya orang dijadikan candaan. “Opname tuh ribet, gak gampang. Terus kerjaan gimana kalau sampai opname?”

“Wkwk” balasnya.

Aku tidak ada ekspektasi apa pun dari sesi curhat malam itu, terlebih ekspektasi kepada si Jon. Mereka membalas dan menyimak pun aku sudah senang. Jelang jam 12, aku tidur duluan.

Kira-kira tiga hari setelahnya, aku pergi ke ATM untuk menarik uang. Seingatku, jika kutarik uang hari ini saldonya harusnya di bawah 10 ribu. “Loh….kok ada segini?” Terhenyak aku. Kok saldonya jauh lebih besar dari perkiraan. Sudah kutarik kok tidak berkurang?

Kuingat-ingat apakah ada orang yang berutang lalu bayar diam-diam, rasanya tidak ada. Lalu kuceklah mutasi saldo selama seminggu ke belakang. Rupanya di malam saat aku curhat, si Jon mentransferku uang.

“Eh, lu kok transfer gua uang?” kutanya si Jon lewat WhatsApp.

“Uang apa? Gua gak tau,” jawabnya pura-pura.

Kutanya lagi, jawabannya tetap sama: “gak tau” tanpa tanda baca ataupun emoticon.

“Udah, ambil aja itu duitnya,” ketiknya lagi. “Nanti bayarnya 10 tahun lagi aja, kalau bisa bayar 10x lipat ya.”

“Ih, gak mau lah! Itu kalau elu salah transfer, gua mau transfer balik ya.”

“Nggak, itu buat elu. Terima aja.”

Dari lima bahasa kasih, temanku si Jon ini memang paling kurang di kata-kata. Dia sukanya ceplas-ceplos, tapi dia jadi orang yang tampil apa adanya, terutama dalam hal mengkritik orang lain. Karena kami telah berteman lebih dari dua puluh tahun, candaan-candaannya tak pernah lagi jadi soal yang membuatku tersinggung. Akan beda cerita jika aku baru mengenalnya kemarin sore, mungkin aku akan tersinggung dan berpikir kalau orang ini tak punya hati.

Hari itu, setelah aku pulang dari ATM untuk mengambil uang, aku merenungkan tindakan kasih yang dilakukan Si Jon. Karena harus berobat mendadak, uangku jadi berkurang dan ada pos-pos anggaran yang harus aku ubah alokasinya. Tetapi, melalui si Jon aku merasakan betapa Tuhan peduli padaku, dan Tuhan juga selalu punya cara untuk menolong umat-Nya.

Setiap kita punya cara yang berbeda dalam merespons cerita seseorang. Namun, pada hari ketika aku cuma sekadar curhat, si Jon belajar peka terhadap apa yang jadi persoalan di balik ceritaku—bahwa bulan itu aku sakit dan kekurangan dana. Curhatanku tidak dianggapnya enteng, meskipun saat itu dia mengetik guyonan yang kuanggap tak sensitif. Empatinya mewujud dalam tindakan. Dia tahu kalau dalam kisah persahabatan kami, akulah yang punya pendapatan paling rendah. Memang, uang yang kukeluarkan tidak membuatku jadi makan nasi hanya dengan garam dan kecap, tapi itu cukup menguras tabunganku yang bisa kupakai untuk banyak hal lain. Nominal uang yang ditransfernya adalah wujud ungkapan empati yang nyata.

Dari pengalaman ini aku belajar mendengarkan ketika orang lain mengizinkanku untuk menjadi tempat curhat mereka. Setelahnya, aku juga belajar peka: pertolongan apakah yang bisa kuberikan? Aku berdoa lebih dulu memohon agar Tuhan memberiku hikmat mengenai pertolongan apa yang bisa kuberi. Namun, perlu digarisbawahi di sini bahwa peka tidak berarti kita memaksa untuk memberi pertolongan apabila keadaan tidak memungkinkan atau yang bersangkutan menolak untuk ditolong. Semisal, pada saat temanku cerita akan beratnya perjuangannya merawat orang tuanya di rumah sakit dia pasti lelah dan butuh makanan sehat, tapi dia juga tentu sibuk untuk mengurus banyak urusan. Jadi, ketika aku tergerak menolongnya aku bertanya, “Aku pengen kirim sesuatu buat kamu. Kira-kira kamu lagi butuh apa?” Temanku menjawab kalau dia ingin makanan sehat dan berserat karena tubuhnya lelah, tetapi siang itu dia masih sibuk mengurus urusan administrasi jadi tak memungkinkan untuk turun ke lobi dan menemui ojol. Makanan pun kukirim di malam hari. Dia menerima pemberian itu dengan senang hati.

Menolong dan ditolong adalah dua hal yang berkenan bagi Tuhan, yang sama-sama baik nilainya. Ditolong tidak berarti kita lebih buruk daripada yang menolong, sebab semua manusia setara di mata Allah dan tolong-menolong sejatinya tidak bicara soal status. Allah selalu menolong kita melalui berbagai cara, dan bahkan Dia peduli pada setiap hal kecil yang sejatinya kita butuhkan tapi kadang tak kita sadari. Ketika Elia diutus-Nya untuk menyampaikan nubuatan berupa kekeringan hebat, Allah memelihara Elia dengan memberinya air dari anak sungai dan burung gagak membawakan makanan untuknya (1 Raja-raja 17:4). Ketika Yunus terombang-ambing di lautan yang bergelora, Allah mengirim seekor ikan besar bukan untuk membunuh Yunus, tetapi menyelamatkannya sampai ia dimuntahkan pada keadaan laut yang lebih tenang (Yunus 1:17). Ketika sepasang pengantin kehabisan anggur pada pesta perkawinannya, Yesus pun menyatakan mukjizat-Nya dengan mengubah air menjadi anggur (Yohanes 2:1-11).

Kita semua adalah perpanjangan tangan-Nya untuk menolong orang lain. Saat kita memiliki sesuatu yang lebih—tak melulu soal uang—kita bisa membagikannya kepada mereka yang Tuhan letakkan namanya di hati kita.

Mengapa Film Joker Kali Ini Harus Kita Maknai dengan Serius?

Oleh Caleb Young
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why This Joker Should Be Taken Seriously
Gambar diambil dari Official Trailer

Joker, dibuat oleh Todd Philips dan dibintangi Joaquin Phoenix adalah film yang memicu banyak kritik dan komentar dari para penontonnya di seluruh dunia. Ada yang memuji performa maksimal Phoenix dalam menuturkan kisah saingan terberat Batman, namun ada pula yang menganggap film ini sebagai tayangan yang mengglorifikasi kekerasan dan membenarkan pembunuhan yang dilakukan oleh psikopat.

Saat menonton film Joker minggu ini, aku melihatnya sebagai sebuah film yang jauh lebih dalam dan rumit daripada kritik-kritik yang beredar. Film Joker ini pada beberapa bagiannya menceritakan betapa terbelahnya masyarakat kita, orang-orang yang bergulat dengan depresi, juga menunjukkan pada kita akan kehampaan dan ketidakberartian hidup yang mungkin juga dirasakan oleh kita. Film Joker menjadi semacam kisah peringatan yang bertutur tentang penjahat-penjahat yang bisa kita ciptakan ketika kasih, empati kepada sesama, dan kebenaran kita singkirkan dari kehidupan kita.

Apa yang Joker sesungguhnya bicarakan

Pada dasarnya, Joker adalah kisah awal dari sosok penjahat paling terkenal di serial DC Comic. Ada banyak versi lain dari sosok Joker yang dibintangi oleh Heath Ledger di film The Dark Knight yang menarik banyak perhatian.

Namun, inilah kali pertama Joker difilmkan tanpa kehadiran sosok Batman. Penulis ceritanya, Todd Philips dan Scott Silver menggunakan kesempatan ini untuk menciptakan gambaran tentang kehidupan Joker sesungguhnya—menunjukkan pada kita sesosok orang sakit mental seperti Arthur yang dapat berubah menjadi pembunuh kriminal.

Ada tiga tahapan yang kuamati tentang bagaimana Arthur bertransformasi menjadi Joker. Setiap tahapan ini memunculkan pertanyaan yang berbicara kepada kita hari ini.

1. Apakah kita punya andil dalam menciptakan penjahat?

Salah satu tema kunci dari film Joker adalah perpecahan dalam masyarakat dan kenyataan bahwa kita cenderung menjelek-jelekkan mereka yang tidak kita mengerti. Dalam kasus Arthur Fleck, film ini menunjukkan Arthur berdandan sebagai badut untuk mewujudkan mimpinya menjadi seorang komedian. Arthur bergumul dengan sakit mental yang kemungkinan besar didapatnya dari kekejaman yang diterimanya sewaktu kecil dan setiap leluconnya tidak diapresiasi di semua tempat pertunjukkan yang dia kunjungi.

Beberapa kali ditunjukkan di film, Arthur dirisak, baik secara verbal maupun fisik oleh orang-orang yang berasal dari beragam strata sosial, mulai dari sekelompok anak-anak, tiga profesional muda, hingga oleh seorang pembawa acara profesional yang diperankan oleh Robert de Niro. Setiap perlakuan buruk yang diterima Arthur mendorongnya untuk terluka lebih dalam.

Dalam kasus Arthur, pengalaman-pengalaman buruknya membawa dia kepada kekerasan. Cerita ini sejatinya tidaklah asing. Jika kita melihat berita internasional di televisi atau media sosial, kita mengetahui pernah ada penembakan massal yang terjadi di beberapa tempat di dunia. Film Joker menunjukkan fenomena nyata tersebut dan menantang para penontonnya untuk bertanya, apakah kita punya andil dalam menciptakan penjahat di dunia? Apakah empati dan pengertian kita yang kurang terhadap mereka yang berbeda dari kita mendorong kita untuk mengolok-ngolok atau merendahkan mereka? Atau, apakah kita seperti masyarakat kota Gotham yang yang tidak peduli terhadap perisakan yang terjadi di sekitar kita?

Buatku pribadi, sebagai seorang pengikut Yesus, apakah aku gagal menunjukkan kasih kepada orang-orang yang tak kukenal dan membiarkan mereka hidup tanpa kasih dan perasaan dihargai? Jika ada orang-orang yang sungguh peduli dalam kehidupan Arthur, mungkinkan dia tidak akan berubah menjadi Joker?

2. Apakah kita menyembunyikan pergumulan kita di balik kebahagiaan palsu?

Sebagai badut dan komedian, Arthur punya mimpi untuk membuat semua orang berbahagia, tapi dia mengakui kalau dia tidak pernah merasa bahagia satu hari pun dalam hidupnya. Arthur malah “menggunakan wajah bahagia” untuk menyembunyikan kesedihan yang dirasakannya.

Salah satu akibat dari penyakit mentalnya adalah Arthur bisa tertawa tak terkendali di situasi yang sebenarnya dia tidak ingin tertawa. Salah satu bagian yang menyayat hati adalah ketika Arthur di suatu malam terduduk di sofa. Dia tertawa histeris dan air matanya menetes, menunjukkan depresi yang telah sangat akut menyerangnya.

Penggambaran akan depresi ini begitu menantangku. Meskipun aku sendiri belum pernah merasakan depresi yang mendalam, aku terpikir berapa banyak orang-orang di sekitarku yang mencoba memasang wajah bahagia di balik pergumulan hebat yang mereka alami?

Apakah ada orang-orang, seperti Arthur, yang ingin membuat orang lain tertawa tapi dirinya sendiri tercabik oleh depresi? Apa yang bisa kulakukan atau kukatan supaya mereka tahu kalau ada seseorang yang sesungguhnya bersedia untuk berjalan bersama mereka? Atau, apakah aku terlau egois dengan waktu dan energiku sendiri alih-alih menolong mereka yang bergumul dengan depresi?

3. Apakah hidup ini sebuah tragedi, komedi, atau…?

Salah satu kutipan yang paling kuingat adalah ketika Arthur berubah menjadi sosok Joker si pembunuh. Dia berbicara kepada ibunya yang juga menderita sakit mental. Arthur berkata,”Aku pernah berpikir hidupku adalah sebuah tragedi. Tapi sekarang, aku menyadari hidupku adalah komedi.” Pemahaman ini menjadi tahap akhir yang mengubah Arthur menjadi Joker sepenuhnya.

Kutipan ini berbicara kepada budaya dan masyarakat kita saat ini. Ada banyak berita buruk dan hal-hal negatif tentang masa depan yang membuat kita merasa tak berdaya dan tak punya tujuan, seperti Joker yang pernah berpikir bahwa keseluruhan hidup kita dapat dilihat sebagai sebuah tragedi. Tapi, di sisi lain, mungkin kita lebih mudah melihat kehidupan sebagai komedi ketika kita menganggap kematian, kerusakan, dan kekacauan sebagai sesuatu yang layak ditertawakan.

Jika seandainya Arthur pernah melihat atau mengetahui bahwa ada cara lain untuk melihat eksistensi hidupnya di dunia. Bukan sebagai tragedi atau komedi, tetapi sebagai kisah kasih. Sebuah kisah kasih antara kita dengan Bapa Surgawi. Dalam Joker, tampak jelas bahwa Arthur Fleck, sama seperti kita, mencoba untuk dimengerti, dihargai, dan dikasihi oleh seseorang.

Bagian penting dalam film Joker adalah ketika Arthur mencari tahu ayah kandungnya dan berusaha mengerti mengapa dia ditinggalkan begitu saja. Ketika Arthur bertemu seseorang yang mungkin adalah ayah kandungnya, dia tidak menginginkan uang. Arthur hanya ingin sebuah pelukan. Jika seandainya Arthur mengetahui bahwa Bapa Surgawi, Seseorang yang selalu menantinya dengan tangan terbuka, mungkinkah kisah ini menjadi berbeda?

Ketika film Joker tidak menyajikan akhir yang bahagia, tidak demikian seharusnya dengan hidup kita. Joker adalah tantangan bagi kita orang percaya untuk memohon kepada Roh Kudus untuk membimbing kita kepada ‘Arthur Fleck-Arthur Fleck’ yang ada di dunia dan memberi tahu mereka bahwa kehidupan bukanlah sebuah tragedi ataupun komedi. Hidup ini adalah sebuah kisah kasih dan undanglah mereka untuk masuk ke dalam kisah tersebut.

Setelah Jarrid Wilson Bunuh Diri: Ke Mana Kita Melangkah Selanjutnya?

Oleh Josiah Kennealy
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Losing Jarrid Wilson: Where Do We Go From Here?
Foto diambil dari akun Instagram Jarrid

Jarrid Wilson adalah seorang pendeta di Amerika Serikat. Dia juga melayani sebagai advokat kesehatan mental. Pada 9 September 2019 dia mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.

Beberapa tahun lalu, aku dan Jarrid Wilson diundang ke acara yang sama dan setelah acara itu usai, kami jadi berteman. Kami mengobrol lewat chat dan saling mendukung satu sama lain. Karena kami sama-sama melayani sebagai pendeta, kami punya banyak kesamaan. Setiap interaksi dengannya selalu membangkitkan semangat.

Hari Senin malam beberapa minggu sebelumnya, kami baru saja mengobrol lewat chat. Dia menutup diskusi kami dengan berkata, “Aku mengasihimu”. Setelahnya aku menulis di Twitter tentang bagaimana dia dan rekan-rekanku lainnya memberkati media sosial dan menjadikan dunia di sekitar mereka lebih baik. Dia membalas tweetku, “Aku mengasihimu”.

Itu adalah kata-kata terakhir yang dia kicaukan di Twitter.

Mengetahui fakta yang terjadi beberapa jam setelah kami berdiskusi membawaku ke dalam kesedihan, syok, kebingungan, dan tidak percaya.

Jarrid WIlson, seorang suami dari istri yang cantik dan ayah dari dua anak lelaki, seorang pendeta yang dikenal baik, penulis, rekan dari banyak orang, mengakhiri hidupnya dengan tiba-tiba dan tragis.

Seminggu belakangan ini aku tidak banyak berkata-kata, pun aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Saat aku menulis tulisan ini, aku merasa tidak memenuhi syarat untuk menuliskan sesuatu yang berharga, tetapi aku mau mencoba untuk memendarkan cahaya dan berbagi harapan.

Aku pun seorang pendeta, dan aku pernah mendatangi seorang konselor untuk kesehatan mental dan emosi. Aku juga pernah mendatangi dokter tulang untuk mengobati sakit tulang belakangku. Setelah kematian bunuh diri pamanku, aku menderita sakit kepala selama tiga tahun. Aku tahu benar rasa sakit yang tak terlihat dari luar namun begitu nyata di dalam—ini tidak ada bedanya dengan depresi.

Jadi, ke mana kita melangkah setelah ini?

Marilah kita jujur. Kita sebagai gereja tidak bisa berdiam di sini lebih lama lagi. Seiring aku bergulat dengan berita tragis kematian Jarrid, inilah beberapa refleksi yang kudapat selama seminggu ini. Kita perlu beranjak dan melangkah:

Dari menghindar ke mengatasi

Bukanlah hal yang baik bahwa 800 ribu orang setiap tahunnya meninggal karena bunuh diri (data dari WHO). Di antara remaja dan dewasa muda, bunuh diri adalah salah satu penyebab kematian terbanyak dan ini seharusnya tidak dapat kita terima.

Tapi, membicarakan kesehatan mental di gereja seringkali dianggap tabu, dihindari, dan disalah mengerti. Ayo katakan selamat tinggal pada anggapan ini. Secara individu maupun kelompok, kita sebaiknya memiliki kemauan untuk memulai percakapan atas isu-isu yang rentan, seperti yang Jarrid lakukan.

Melakukan ini bisa diwujudkan dalam banyak cara, tetapi sebagai langkah awal kita perlu menyadari “It’s okay” untuk membicarakannya. Mungkin tidak ada seorang pun yang memberimu izin untuk mengatakan kalau kamu sedang tidak baik-baik saja, tapi aku mau kamu tahu bahwa sama sekali tidaklah bermasalah untuk jujur akan keadaanmu. Kamu mungkin akan diberondong banyak pertanyaan—tentunya. Tapi, tidaklah masalah pula untuk mengakui kalau kita tidak punya jawaban untuk semua pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang hidup.

Kita perlu berkhotbah lebih banyak tentang kekhawatiran, kesehatan mental, dan depresi; kita perlu membicarakannya di dalam kelompok kecil, pertemuan pemuda; atau di obrolan santai sambil minum kopi atau teh dan membagikan bagaimana perjuangan kita pada seorang teman. Alkitab punya cerita, pedoman, dan jawaban mengenai hal-hal ini. Kita bisa bersandar dan membahas topik-topik di dalamnya.

Seiring kita mulai membiasakan diri berdiskusi tentang kesehatan mental dan kesejahteraan hidup secara utuh, kamu akan melihat bahwa kamu bukanlah satu-satunya orang yang berjuang. Ada banyak orang yang juga menghadapi kekhawatiran, depresi, dan pikiran-pikiran gelap. Dan, bagian dari rancangan Allah bagi gereja adalah untuk saling mendukung satu sama lain dan menolong di masa-masa sulit.

Dari mengurung diri ke membuka diri

Survey terbaru dari lembaga riset Barna menunjukkan mayoritas pendeta tidak punya seseorang yang bisa mereka panggil sebagai teman. Baru beberapa minggu lalu, Barna Group juga memublikasikan riset tentang anak muda. Hanya sepertiga dari manusia yang berusia 18-35 tahun (dari berbagai negara) mengetahui bahwa ada seseorang yang sesungguhnya peduli akan mereka. Artinya, 66 persen orang dewasa muda tidak menyadari kalau mereka dipedulikan dan dikasihi.

Iblis ingin orang Kristen percaya kebohongan bahwa mereka adalah satu-satunya orang yang berjuang dan pemikiran ini ujung-ujungnya akan membawa seseorang pada keadaan mengurung diri. Kita perlu memberi tahu orang-orang di sekitar kita bahwa mereka sungguh berarti buat kita. Kita bisa memulainya dengan mengirimi chat, ataupun menelepon seseorang yang kita kasihi dan bertanya apakah ada sesuatu yang butuh ditolong darinya. Memberi diri untuk mendengar dan hadir adalah hal terbesar yang bisa dipersembahkan seorang teman. Pendetamu juga butuh dorongan dan doa darimu, lebih daripada yang kamu bayangkan.

Tergabung dan terhubung ke dalam komunitas gereja lokal dan memiliki pertemanan yang saleh tidak menyembuhkan segalanya, tetapi itu pasti menolongmu mengatasi kesendirian. Tuhan menciptakan Hawa untuk Adam karena sejak semula Tuhan berkata tidaklah baik apabila manusia itu hidup seorang diri saja (Kejadian 2:18)! Tuhan Yesus pun hidup bersama 12 murid-Nya selama tiga tahun. Gereja mula-mula di Kisah Para Rasul bertambah banyak anggotanya karena setiap orang ingin menjadi bagian dari komunitas yang saling berbagi ini, komunitas yang tumbuh bersama, makan bersama, berdoa bersama, mempelajari Alkitab dan membagikan kebaikan dengan saling memperhatikan (Kisah Para Rasul 2:42-47).

Ayo ambil langkah untuk terhubung dengan teman atau komunitasmu hari ini!

Dari putus asa ke harapan

Tuhan tidak pernah meninggalkanmu, meskipun kamu tidak merasakan kehadiran-Nya. Kamu tidak pernah ditelantarkan sendirian. Lihatlah ke atas bukit-bukit, di sanalah datang pertolonganmu yang berasal dari Yesus. Tuhan Yesus dekat kepada mereka yang patah hati. Dia akan mengusap setiap air mata. Kamu dapat bersandar dan percaya kepada janji-janji-Nya.

Aku pernah putus asa, tetapi Tuhan mengangkat pandanganku. Dia mengubah kesedihan terbesarku menjadi sukacita. Dia membuang kekecewaanku dan menggantinya dengan damai yang baru. Aku masih dalam perjalanan, aku masih berproses. Aku percaya dengan segenap hatiku harapanku ada selama aku ada bersama dengan Yesus, seperti yang Yohanes 15 katakan.

Selama seminggu, pasal ini menolongku mengalami pemulihan, pertolongan, dan harapan. Yesus mengajarkan, “Barangsiapa tidak tinggal di dalam Aku, ia dibuang ke luar seperti ranting dan menjadi kering, kemudian dikumpulkan orang dan dicampakkan ke dalam api lalu dibakar” (Yohanes 15:6). Buatku, dan buat setiap kita, ini adalah janji: kita tidak bisa melakukan apa-apa di luar Yesus. Namun, jika kita terhubung selalu dengan-Nya, kita bisa dan akan melakukan banyak hal.

Bersandar pada Yesus, orang yang kita kasihi, komunitas orang saleh dan sumber-sumber daya lain yang bermanfaat adalah langkah-langkap penting yang kita butuhkan untuk kita melewati hari-hari kita.

Dan akhirnya, aku ingin mengatakan hal ini:

Kepada Jarrid – Aku mengasihimu. Aku berharap seandainya aku bisa membalas pesanmu lebih cepat dan kita bisa mengobrol lebih lama. Aku amat sedih atas keputusan yang kamu buat. Aku mendoakan keluargamu. Aku mengingatmu lewat suaramu untuk orang-orang yang putus asa, rekan-rekanmu, kasihmu kepada Tuhan, keluarga, dan semua orang. Kami menghormatimu dengan mengenakan jubah kepemimpinan yang telah kamu bawa dengan baik untuk sekian lama. Terima kasih atas keberanianmu mengungkapkan perjuanganmu.

Kepada Juli dan anak-anak lelakinya – Kami sangat mengasihimu. Belasungkawa, doa, dan dukungan kami ada untukmu dan keluargamu. Kami ada di sini untukmu. Aku percaya Yesus akan memeliharamu. Aku mendoakan kiranya damai, kekuatan, dan anugerah ada bersamamu sekalian.

Kepada orang-orang yang mengenal Jarrid – aku menerima banyak pesan dan telepon dari teman-teman yang juga mengeal Jarrid. Pertemanan jadi begitu nyata ketika kita bisa berdiskusi sambil ngopi ataupun mengobrol lewat chat. Seiring kita menghadapi duka kehilangan ini, kiranya kita bisa lebih dekat daripada sebelumnya.

Kepada para pendeta – kamu membutuhkan hobimu, teman-temanmu, istirahat dari teknologi. Kamu mengotbahkan tentang pentingnya komunitas, dan sekaranglah waktunya untuk menghidupi itu. Mengakui jika kamu perlu pergi menemui dokter, therapis, atau konselor Kristen bukanlah dosa dan itu bukanlah tanda kelemahan—itu keberanian. Yesus dideskripsikan sebagai seorang muda dalam Lukas 2:52. “Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia”. Artinya, Yesus bertumbuh secara mental, fisik, spiritual, juga relasi-Nya dengan orang lain. Marilah kita mengejar kesehatan, kesejahteraan, istirahat, dan keutuhan di setiap area kehidupan kita.

Kepada setiap orang – kita semua akan menghadapi masa-masa sulit, tetapi selalu ada pertolongan, selalu ada pemulihan, dan tentunya juga harapan. Bertahanlah, ada harapan yang besar. Dalam kehidupan selalu ada naik dan turun, gunung dan lembah, gurun dan oase, badai dan ketenangan.

Kamu perlu mengetahui bahwa kamu tidak sendirian di dalam setiap momen-momen hidupmu. Yesus berkata dalam Yohanes 16:33, “Semuanya itu Kukatakan kepadau, supaya kamu beroleh damai sejahtera dalam Aku. Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatmu, Aku telah mengalahkan dunia”. Marilah kita sepakat untuk menolong satu sama lain tiba di level pemahaman yang baru ketika kita membicarakan kesehatan mental. Bunuh diri tidak pernah menjadi jawaban.

Doaku adalah kita semua bisa lebih berani membicarakan topik tentang kesehatan mental dan kita mampu melihat orang-orang dengan pandangan yang berbeda. Tidak peduli seberapa baik penampilan orang di luarnya, mungkin saja ada sesuatu yang mereka gumulkan di dalam. Izinkan mereka yang paling dekat dengan kita mengetahui betapa kita mengasihi mereka, dan betapa mereka berarti buat kita tak peduli apapun musim yang sedang mereka hadapi.

Ayo kita tunjukkan kasih dan empati kita.

Baca Juga:

Menghidupi Kepemimpinan dalam “Tubuh Kristus”

Sobat muda, bagaimanakah sistem kepemimpinan di gerejamu? Di artikel ini, teman kita, Ari Setiawan mengajak kita untuk menyelediki model kepemimpinan apa sih yang sesuai dengan teladan Yesus. Yuk kita simak artikelnya.