Posts

Belajar Berserah pada Tuhan lewat Perubahan yang Terjadi di Luar Kendali

Oleh Elvira Sihotang, Balikpapan

Rifa menghitung jumlah partisipan yang sudah dikontaknya.

“Yes, ada 5!” Artinya dia sudah berhasil mencapai target harian dalam mencari partisipan penelitian untuk riset yang sedang dikerjakan kantornya.

Dialihkan lagi pandangannya pada list partisipan yang belum di kontaknya.

“1, 2, 5, 7, ini kontak besok aja, ini besoknya lagi. Aman berarti.”

Ia kemudian meneguk teh yang ada di depannya, sambil memperhatikan mobil berseliweran dari kaca yang membatasi.

Nanti profiling dari komunitas di media sosial ah, bisa banyak nih partisipan sampai riset selanjutnya,” pikir Rifa saat itu. Ia mulai mencoret-coret bukunya, dengan berbagai perhitungan yang hanya ia sendiri yang mengerti.

Namun, baru saja ia ingin terhanyut dalam rasa tenang bahwa partisipan penelitiannya sudah aman, ia dibangunkan oleh notifikasi yang kurang menyenangkan.

“Kak, maaf, jadwal saya boleh dipindah minggu depan gak ya? Saya lupa ada kuliah sore di jam 4.”

Seolah belum cukup, notifikasi lain muncul di layar ponselnya.

“Hi Rifa, sebenarnya aku ada rencana untuk keluar kota besok, jadi mau prepare dari sore ini. Kalau aku ikutnya di hari Jumat boleh?”

Rifa mendadak pusing. 5 partisipan hari ini berkurang drastis menjadi 3. Ia harus mencoba menghubungi daftar partisipan cadangan.

Kring!

Sorry mendadak Mba Rifa, hari ini kan jam 4 ya, tapi saya masih di jalan. Ban saya bocor dan ini masih di bengkel. Kemungkinan saya telat mba, mungkin baru nyampe jam 5 kurang 15 menit. Bisa gak Mba?”

Astaga! Apa-apaan nih, kok mereka seperti janjian? Walau partisipan terakhir tidak memindahkan hari, Rifa tetap saja pening dan perlu melakukan penyesuaian.

Ya Tuhan, tadi baru aja ngerasa aman, kok sekarang tiba-tiba hilang 3?

Cerita di atas adalah modifikasi dari apa yang sedang kurasakan akhir-akhir ini dalam pekerjaan. Perasaan yang cepat sekali berubah. Baru saja aku merasa senang karena mencapai target, tapi perasaan itu harus digantikan oleh rasa gelisah karena perubahan yang datang mendadak. Harusnya A jadi C, harusnya B jadi X. Lebih menyebalkannya, perubahan itu bahkan kadang terjadi dalam kurun waktu kurang dari 1 jam, sehingga aku harus cepat mempersiapkan alternatif lain.

Namun, perubahan yang terjadi cukup berulang ini dalam beberapa minggu memaksaku untuk belajar satu hal: perubahan adalah hal yang nyata, pergerakan adalah hal yang pasti.

Manusia selalu mengusahakan kestabilan dan tidak ada hal yang salah dengan itu, namun aku belajar, perubahan—yang di luar kontrol kita—bisa terjadi kapan saja, suka atau tidak suka.

Aku juga belajar untuk tidak berpuas diri pada usaha menstabilkan target, pekerjaan, atau apapun itu. Bergantung pada rasa nyaman atas usaha kita adalah hal yang sia-sia, karena kita tahu bahwa keberhasilan usaha kita pun adalah dengan seizin Tuhan.

Perasaan bangga yang melingkupiku karena merasa usahaku keren, dengan cepat berganti menjadi keluhan karena perubahan itu. Aku kembali tersadar bahwa keberhasilan mencapai target harusnya disambut dengan rendah hati karena Tuhan telah menyanggupkan kita, terlepas bahwa kita bekerja keras. Bukan berarti bangga tidak diperbolehkan, namun alangkah baiknya jika rasa bangga tersebut dilanjutkan dengan ucapan syukur.

Cerita itu bukan satu-satunya yang menjadi bahan refleksi bahwa Tuhan memegang kendali akan hidupku. Ada juga beberapa cerita lain.

Tahun lalu menjelang Desember, aku mengira bahwa 2022 akan semakin normal dengan pembatasan sana-sini yang lebih minimal, namun tiba-tiba varian baru Omicron muncul dan membuat kepusingan baru. Pembatasan sana sini tetap dilanjutkan. Munculnya varian baru ini seolah-olah menentang harapan kumpul-kumpulnya manusia pasca pandemi. Mungkin ada pelajaran lain yang tetap harus kita cari.

Di cerita lain lagi, seorang jemaat di gerejaku tiba-tiba meninggal beberapa jam sebelum ia berangkat ke luar kota. Aku tidak mengetahui jelas kronologinya, namun ia ditemukan tidak sadarkan diri di kamarnya tanpa bukti yang jelas sebelum meninggal. Padahal berdasarkan keterangan, ia tidak memiliki riwayat penyakit jantung atau penyakit lain yang berpotensi mengalami serangan mendadak. Hampir semua jemaat kaget mendengar berita kepergian seorang jemaat ini. Ia adalah seorang pelayan Tuhan di gereja, memiliki keteladanan yang baik lewat keluarganya yang harmonis dan sifat suka membantu jemaat yang sedang dalam kesulitan.

Peristiwa ini masih membuatku suka menggumam “Kok bisa ya?” ketika aku sedang merenung. Aku tidak bisa menemukan jawabannya melainkan meyakini bahwa perubahan itu dekat dengan kita, dan mengajarkanku lagi bahwa kejadian-kejadian ini telah diatur oleh Tuhan dan kehidupan ini dikendalikan Tuhan. Jika sehelai rambut jatuh saja terjadi dengan seizin Tuhan, apalagi perkara besar tentang keinginan dan anganmu? Tentu Tuhan akan memperhatikannya satu per satu.

Hampir melewati 2 bulan di 2022, aku hanya ingin mengatakan bahwa apapun bisa terjadi jika Tuhan menginginkan dan semoga kita bisa sebaik-baiknya mengerti bahwa kita bisa mengusahakan yang terbaik dan berdoa agar Tuhan pun berkenan atas usaha kita.

Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan Tuhanlah yang terlaksana (Amsal 19:21).

5 Hal untuk Direnungkan Ketika Iri dengan Privilese Orang Lain

Oleh Elvira Sihotang, Balikpapan

Beberapa dari kita mungkin pernah membuka fitur “explore” Instagram dan menemukan wajah Maudy Ayunda di sana. Semua media rasanya tidak henti-henti mendaraskan pujian dan kalimat positif pada Maudy. Aku bahkan ingat percakapan dengan temanku di telepon:

“Astaga si Maudy. Dia udah lulus S2 aja, gelarnya udah nambah 2, gue masih di sini-sini aja.”

Kalimat itu berhasil membuat kami tertawa. Aku tahu walaupun masih ada sedikit keseriusan dalam diri temanku ketika mengucap kalimat itu, kalimat itu lebih banyak berisi candaan bercampur kesan “yaudahlah” bagi kami. Kami sepakat bahwa aku dan temanku berada pada lingkungan yang berbeda dengan Maudy.

Jika kita mencari tahu soal Maudy Ayunda, rasanya agak sulit untuk tidak terkonsumsi rasa iri dan overwhelming. Apa yang kurang? Maudy diberkati dengan banyak privilese. Keluarganya mampu secara finansial, memiliki ayah, ibu, dan adik yang suportif, networking yang oke, mengenyam pendidikan di institusi bergengsi sejak kecil, punya kecerdasan yang baik, mampu menunjukkan eksistensi di dunia hiburan, dan satu lagi: good looking.

Menelusuri segala hal tentang Maudy Ayunda memunculkan ragam emosi. Ada yang termotivasi dan ada yang kagum. Namun, ada juga yang merasa tidak berdaya dan merasa “kecil”—ingin seperti Maudy, tapi rasanya aku tidak ada apa-apanya. Bagaimana mungkin kuliah di Oxford?

Kita semua mungkin tidak terlahir dengan privilese seperti yang didapatkan oleh para selebriti. Ketika aku kuliah Psikologi, dosenku pernah menyoroti berbagai penelitian yang mengatakan walau impian untuk “mengubah nasib keluarga” dan “meningkatkan perekonomian” terdengar sangat manis dan keren, hasil observasi di berbagai negara menunjukkan bahwa peningkatan yang terjadi dari kondisi ekonomi sekarang dengan di masa depan hanya sedikit. Banyak juga yang menunjukkan rata-rata sama. Arti singkatnya adalah: Kalau sekarang kamu berada pada keluarga menengah, paling-paling kamu juga masih berada pada keluarga menengah di masa depan atau paling tidak dengan segala usahamu, kamu mampu berada pada menengah ke atas. Jadi, untuk mencapai keluarga kalangan sangat atas adalah ketidakmungkinan ya?

Tentu tidak, kita berbicara kemungkinan. Dari seluruh partisipan penelitian, mereka yang berhasil untuk sampai pada tingkat atas sekali jika sebelumnya berasal dari keluarga menengah atau bahkan menengah kebawah jumlahnya sedikit. Minoritas. Aku tidak mencoba untuk menurunkan atau bahkan memberikan motivasi padamu, namun pada masa-masa aku mulai menyerah karena merasakan privilese terbatas, ada beberapa hal terkait privilese yang kurenungkan dan mulai kutemukan jawabannya ketika aku membaca Alkitab.

1. Tuhan tidak memberikan talenta yang sama pada setiap orang

Pernahkah kamu melihat seseorang yang tampaknya unggul di semua bidang dan kamu melihat dirimu yang hanya terampil di 1 bidang? Pertanyaan yang wajar sekali. Mudah bagi kita untuk bertanya kenapa aku tidak sejago A, kenapa aku tak sekreatif B, dan lain-lain. Walaupun ini pertanyaan yang wajar, Tuhan mengajak kita untuk menemukan alasannya dalam Matius 25:14-30. Nas ini bercerita tentang pembagian talenta. Seorang mendapatkan 5, seorang mendapatkan 2, dan seorang lainnya mendapatkan 1. Terdapat satu pasal yang mengatakan bahwa pembagian tersebut adalah menurut kesanggupan orang yang akan menerima. Tapi aku tidak akan berfokus banyak ke hal tersebut, melainkan hal yang satu ini: Tuan dalam cerita itu tidak peduli akan jumlah talenta hambanya. Ia tidak lebih sayang pada hamba dengan 5 talenta daripada hamba 2 talenta. Sikapnya netral saja di awal. Ia lebih memperhatikan bagaimana usaha hamba tersebut dalam menjalankan talenta yang diberikan. Hamba dengan 5 dan 2 talenta kembali dengan beroleh laba yang sebanding, sementara hamba yang memiliki 1 talenta malah menyembunyikan talentanya dalam lubang tanah. Sesedikit apapun talenta yang kau rasakan Tuhan berikan padamu, tak apa. Tuhan tetap menghargaimu. Jauh lebih penting untuk meminta hikmat Tuhan agar mampu mengembangkannya dengan baik. Tidak sulit bagi Tuhan jika Ia mau menambah talenta yang lain kepadamu ketika Ia melihat engkau mampu mengembangkan talenta yang sudah ada dengan baik.

2. Tuhan tidak menuntut kita untuk hidup di rumah tingkat tiga dan memiliki saham berlembar-lembar

Aku pernah secara langsung mengetik “Apakah Tuhan memintaku untuk menjadi kaya” pada Google saking merasa bingung. Sayang, tidak ada jawaban pasti. Tuhan tidak menentang keinginanmu menjadi kaya, tapi pertanyaannya untuk apa?

Kita semua setuju bahwa berkat yang berlimpah bisa membuat kita beribadah dengan maksimal. Namun, yang aku tahu adalah kita bukan milik kita sendiri dan kita tidak hidup untuk diri kita sendiri. Contoh nyatanya adalah Tuhan Yesus sendiri. Ia datang ke bumi bukan untuk merasakan kenikmatan duniawi. Ia rela datang dari singgasana-Nya yang nyaman untuk menyelamatkan kita manusia, yang terlampau sering menyakiti hati Tuhan. Kalau Tuhan datang pada zaman kita, Ia tidak datang untuk mencari tahu sensasi bermain golf, menikmati makan di restoran bintang lima dan lain-lain. Pun kutemukan dalam Alkitab, sebagai seorang Anak Allah, Ia tidak bergaul dengan kaum bangsawan saat ada di dunia. Ia seringkali datang menghampiri orang berdosa, menyapa orang sakit, dan berkunjung ke rumah orang yang dianggap hina.

Poinnya adalah Ia meninggalkan diri-Nya yang berada dalam kelimpahan di samping Bapa, semata-mata untuk memenuhi tujuan Bapa bagi kita: menyelamatkan kita. Ia pun tidak mengagungkan statusnya sebagai Anak Allah. Sebagai puncaknya, Ia mati di kayu salib untuk membayar lunas dosa-dosa kita sehingga kita bisa menikmati hubungan baru dengan Allah. Ia merendah dalam kekayaannya, memberikan kita teladan bahwa yang menyenangkan Tuhan bukanlah tentang seberapa kaya dan seberapa berhasil kita mengumpulkan prestasi, pencapaian, gebrakan, dsb, namun seberapa kita mau menggunakan apa saja yang kita punya untuk menjalani hidup yang berkenan kepada-Nya.

3. Tuhan tidak ingin kita menjadi biasa-biasa saja

Dalam segala sesuatu yang kita lakukan, lakukanlah itu seperti kita melakukannya untuk Tuhan. Walau misalnya kita hanya punya 1 talenta, bukan berarti kita berpikir “Ah, gausah terima tugas yang ini deh, aku kan cuma jago di bidang A, kalau disini tidak jago”.

Jika ada kesempatan datang menghampiri dan hal itu dapat memberikan kita kesempatan untuk bertumbuh, cobalah untuk menjalaninya. Ketika kita menjalaninya pun, usahakanlah yang terbaik. Walau hasil akhir penting, Tuhan pun menghargai segala usaha yang kita buat untuk menjadikan pekerjaan itu baik di mata Tuhan.

4. Kita bisa mengusahakan privilese

Privilese bagi kebanyakan orang mungkin berkisar pada kemampuan finansial, daerah tempat tinggal, dan hal materiil lainnya. Hal-hal tersebut memang menguntungkan. Namun,sebelum terlalu terpaku pada urusan finansial, masih banyak hal-hal penting yang bisa dipersiapkan, terutama kesiapan mental calon orang tua. Kesiapan mental yang baik meliputi cara pengasuhan yang tepat di setiap usia anak, kemampuan mengelola emosi, dan cara penyelesaian masalah ketika keluarga mengalami masalah. Hal ini nantinya dapat berdampak pada kepribadian anak dan juga membentuk pandangannya akan keluarga, lingkungan lainnya, dan bahkan iman.

Pernah suatu ketika aku diceritakan oleh seorang pendeta. Beliau berkata bahwa dalam pengamatannya selama bertahun-tahun melayani, ada keluarga-keluarga yang mengasuh anak dengan cara otoriter, yang nantinya akan cenderung menghasilkan anak yang memandang bahwa Tuhan adalah Tuhan yang selalu penuh perhitungan pada manusia. Contohnya seperti memandang jika setiap kesusahan yang dihadapi adalah hukuman dari Tuhan untuk membuat kita menderita. Hal ini tidak benar. Ibrani 12: 1-13 mengatakan bahwa walau kita mendapat ganjaran dari perbuatan kita, sesungguhnya ganjaran itu atas dasar kasih Tuhan agar kita mau merubah perilaku sesuai dengan yang berkenan pada Tuhan.

Jika kamu sedang berupaya meningkatkan pendapatan, selain tidak lupa membekali diri dengan pengelolaan finansial, jangan lupakan langkah untuk mengasah “pengendalian diri”, sehingga jika suatu saat usahamu terus membuahkan hasil dan semakin sukses, kamu tidak dibutakan dan jatuh dalam kerakusan. Seimbangkan privilese dunia yang kamu usahakan dengan tetap mengejar buah-buah roh terbentuk dalam dirimu. Kalau lupa buah-buah roh ada apa saja, langsung buka Galatia 5:22-26 ya!

5. Tuhan juga memakai orang yang biasa-biasa saja dan mereka yang kerap dipertanyakan

Ditarik lebih jauh, Yesus memiliki nenek moyang bernama Rahab, seorang perempuan yang diceritakan Alkitab sebagai perempuan sundal. Bangsa Israel keluar dari Mesir dengan tuntunan Musa, seseorang yang tidak pandai berbicara. Tuhan mengabulkan doa Sarah, seorang yang dianggap sudah mandul dan secara ilmu pengetahuan punya kemungkinan sangat kecil untuk mengandung. Tuhan memakai Daud, seorang gembala domba bertubuh kecil tanpa peralatan senjata lengkap. Siapakah ia dibandingkan Goliat? Apakah Tuhan memandang mereka sebelah mata seperti orang-orang disekitar Maria, Sara, dan Daud? Tidak, Tuhan memperhatikan mereka baik-baik, secara utuh dan dekat. Namun terkadang kita bertanya mengapa Tuhan tidak kasihan dan mengubah keadaan kita? Aku menemukan jawabannya. Tuhan sesungguhnya ingin yang terbaik pada kita, namun Tuhan pun menginginkan hubungan dua arah yang seimbang. Tuhan juga mau kita datang mengungkapkan apa yang kau rasakan. Tuhan mau Engkau meminta tolong pada-Nya, dan ketika Engkau meminta Tuhan mengubahkan, mungkin sudah saatnya pun engkau berubah. Tuhan memilih mereka yang mau hidup benar dan taat kepada-Nya.Tuhan memilih mereka yang rela diubahkan menurut cara Tuhan.

Di tengah maraknya informasi tentang privilese yang tersebar di media sosial, kadang kekalutan datang menghampiri: 100 juta pertama, apartemen di wilayah terkenal, biaya pertemanan, dan publik figur yang kerap melihatkan saldo rekening. Dalam kekalutan itu, ingatlah bahwa kita memiliki Alkitab sebagai panduan hidup. Di dalamnya sudah tertera bagaimana Tuhan memberikan contoh untuk kita harus hidup.

Privilese duniawi memang nyata, namun kita punya Tuhan yang berkuasa atas isi dunia ini. Menutup artikel ini, izinkan aku mengajakmu membaca dan merenungkan secara pribadi ayat alkitab dalam Matius 7:7-11, Ibrani 13:5, Matius 19:26, dan Matius 6:33.

Semoga kita semua bisa mengejar hal-hal yang menyukakan hati Tuhan!

Baca Juga:

3 Alasan Mengapa Orang Kristen Harus Terlibat Memperjuangkan Keadilan Sosial

“Gak bisa lah mengusahakan keadilan di dunia ini.”

Setujukah kamu dengan pernyataan itu?

Yuk jelajahi topik menarik ini lewat artikel yang ditulis oleh Lidya Corry.

Pendeta yang Tidak Aku Sukai

Oleh Elvira Sihotang, Balikpapan

Hari itu hari Rabu. Jam sudah menunjukkan pukul 17.35 ketika aku selesai melakukan suatu kegiatan dan tengah memikirkan apakah aku akan ke gereja atau tidak. Ibadah dimulai pukul 18.00 dan sejujurnya, aku masih ingin beristirahat sebentar lagi.

Kuizinkan diriku mengambil waktu 5 menit untuk istirahat sambil berpikir apakah aku perlu ke gereja atau tidak. Sebenarnya ada pilihan mengikuti ibadah secara virtual namun aku sudah melihat realitanya. Berkali-kali kalimat “Ah nanti ibadah virtual aja deh” berujung pada telat mengikuti atau bahkan tidak mengikuti sama sekali. Maka kuputuskan saja bahwa pada ibadah-ibadah berikutnya, baik hari Rabu maupun hari Minggu, aku akan mengikuti ibadah secara luring di gereja.

Tekad itu tampak kuat di awal-awal namun segera berubah ketika aku tahu pendeta yang akan melayani saat ibadah nanti. “Yah, Pdt. X”, ungkap hati kecilku saat itu.

Pernah mengalami kondisi yang sama sepertiku? Aku adalah orang yang motivasi ke gerejanya bisa berubah karena faktor luar, seperti pendeta yang akan melayani, jam ibadah, akan ada siapa saja di gereja, dan lain-lain. Dulu aku merasa bahwa pertimbangan-pertimbangan ini tidak salah. Aku merasa kadang firman Tuhan yang dibawakan oleh pendeta tertentu kurang mampu kupahami, atau kurang masuk dalam pemahamanku. Dengan kata lain, membosankan. Tidak ada selera humornya. Tidak seru, dan kata-kata lain yang serupa.

Dalam perenungan itu, aku merasakan dua suara: suara untuk pergi ke gereja dan suara negosiasi untuk ibadah di rumah. Toh, kamu capek. Emang bisa bersiap-siap dalam waktu 20 menit lagi, padahal belum juga mandi? Memang enak ya persiapan dalam waktu sedikit? Bukannya gak baik ya El, terburu-buru ke gereja? Kalaupun ke gereja juga, memang bakal sesuai ekspektasi ya?

Sebanyak itu suara yang muncul dan sebanyak itulah aku mulai merasa aku menuruti ego-ku. Aku telah mengalami suatu yang serupa di minggu-minggu kemarin dan rasanya tidak ada yang kudapat dengan mengikuti egoku. Oh, ada. Aku mendapatkan kesenangan sejenak. Tidak perlu buru-buru mandi, bisa main HP dulu, dan sebagainya.

Di segala suara-suara yang lebih banyak mendorongku untuk tidak ke gereja, aku memohon agar Tuhan memberikan jawaban atas situasi yang kuhadapi. Aku memohon pada Tuhan untuk memberikan suatu kesadaran akan apa yang kupertanyakan ini. Lalu aku menyadari suatu hal yang sebenarnya sudah sering muncul di situasi serupa di masa yang lalu. Setiap ada niat untuk tidak pergi ke gereja atau beribadah pada jam yang lain, selalu ada suara yang berkata, “Masa ke gereja karena lihat pendeta? Kamu ke gereja untuk bertemu Tuhan atau untuk mengagumi pendeta?” Suara itu kubalas dengan pikiranku yang bertanya:

“Tapi kalau pendeta nya gak bisa menjelaskan dengan baik firman pada hari itu, ga dapat juga dong pesannya. Sia-sia gak sih…”

Yang menurutku, kembali dijawab oleh Roh kudus dalam hatiku dengan, “Tuhan sendiri yang akan membuatmu mengerti, Tuhan yang membuat otakmu berjalan dan memahami maksud Firman Tuhan dengan baik.”

Suara itu terdengar tegas dan menegur. Saat aku mendapatkan kesadaran itu, aku merasakan bahwa pengertian itu rasanya ada dalam Alkitab. Aku tidak mencarinya pada hari itu, dan sampai pada tulisan ini kuketik, aku akhirnya mencoba mengeksplorasi perkataan yang pernah disampaikan kepadaku itu. Dalam 2 Timotius 2:7, dikatakan:

“Perhatikanlah apa yang kukatakan; Tuhan akan memberi kepadamu pengertian dalam segala sesuatu.”

Dalam rasa sadar itu, aku pun segera mandi dan bersiap, secepat mungkin. Aku akhirnya siap pada 17.50, waktu yang sejujurnya membuatku memprediksi bahwa aku akan telat tiba di gereja. Namun, aku sudah setengah perjalanan, aku sudah mendapat kesadaran. Maka kuputuskan untuk pergi dan berharap yang terbaik. Jika memungkinkan, semoga bisa kutempuh dalam waktu 10 menit, walaupun aku sudah sering mengukur bahwa biasanya perjalananku dari rumah ke gereja memakan waktu 15 menit.

* * *

Aku tiba di gereja dan mengintip bahwa ibadah sudah dimulai dan aku mengecek HP-ku. Pukul 18.05. Telat, tapi aku sudah mengantisipasinya. Untungnya, jemaat sedang dalam posisi berdoa ketika aku masuk. Sesudahnya, aku mengikuti ibadah seperti biasa, bernyanyi dan berdoa, sebelum akhirnya Pendeta mengambil ahli mimbar untuk berkhotbah.

Satu kesadaran masuk lagi, “Kalau mau mendengar khotbah, posisikan dirimu seperti gelas yang kosong. Kamu sering gak ngerti karena apa yang dikatakan oleh Pendeta sering kamu pertanyakan dengan pengetahuan yang sudah kamu miliki.”

Aku kemudian mencoba mengikutinya. Gelas kosong. Tidak ada isinya dan siap untuk diisi.

Tahu apa yang terjadi?

Rasanya seperti click. Pendeta yang sebelumnya menurutku tidak memiliki gaya yang baik dalam menyampaikan pesan di Alkitab mengeluarkan setiap kata per kata yang kubutuhkan pada hari itu, menguatkanku, memberikan pemahaman baru atas persoalan yang saat itu tengah kuhadapi, dan bahkan menyadarkanku akan hal-hal yang selama ini tidak kusadari atau coba kusangkal.

Benar kalau beberapa kali, ada beberapa menit di pertengahan khotbah ketika kata-kata pendeta itu terlewat, aku merasa hampir tenggelam lagi dalam pikiranku. Namun, karena aku memposisikan diriku sebagai gelas yang kosong, aku dengan lebih mudah kembali fokus pada khotbah dan tidak bertanya-tanya atas apa yang sudah aku ketahui sebelumnya tentang topik yang dikhotbahkan oleh Pendeta itu.

Sampai pada khotbah ditutup dan tiba waktunya hampir pulang, aku menggumamkan ucapan terima kasih pada Tuhan sambil sedikit menangis, percaya bahwa keputusanku untuk datang ke gereja pada saat itu adalah satu keputusan baru yang benar.

Beberapa minggu belakangan, hidupku terasa seperti terguncang akibat keputusan yang salah. Tidak satu hari terlewat tanpa aku mempertanyakan bahwa apakah Tuhan kecewa padaku, apakah aku masih mendapat kesempatan kedua, dan hal-hal bernada frustrasi lainnya. Hingga aku pun kadang bertanya apa aku masih bisa memutuskan dengan benar untuk hal-hal yang ada di depanku? Karena jujur, keputusan salah yang kadang masih aku sesali terasa besar dan aku takut itu berdampak besar padaku, dalam hal negatif tentunya.

Perjalananku berdamai dengan penyesalan mungkin akan kuceritakan di lain waktu, tapi saat itu, saat aku selesai ibadah dan keluar dari gereja, aku merasakan ketenangan—semacam campuran perasaan tenang, berserah, dan kekuatan untuk melangkah ke depan.

Pengalamanku ini tentu dapat menjadi momen refleksi bagi teman-teman semua. Aku belajar bahwa mengasihi dan menghormati Tuhan itu sangat luas. Dulu aku kira hal itu sebatas pada bersikap baik dan sopan pada keluarga, teman sekitar, dan orang-orang yang kelihatannya ‘kecil’. Namun, lewat pendeta yang tidak jadi pilihan prioritasku ketika aku datang ke gereja, mengasihi Tuhan juga berarti menghargai, tidak memandang remeh seseorang yang sudah ditunjuk Tuhan. Percayalah, setiap orang, yang bahkan rasanya tidak kita anggap penting, bisa mengajarkan hal yang baik jika diperkenan Tuhan. Sama seperti pendeta itu yang khotbahnya menolongku di tengah pergumulan.

Dan tentu, ujilah niatmu. Jika pada awalnya aku ingin beribadah untuk bertemu Tuhan dalam kondisi yang layak (tidak terdistraksi oleh notifikasi HP, tidak sambil jalan-jalan dan mendengarkan khotbah sambil ngemil ketika ibadah online), maka satu pengecoh seperti pemikiran akan siapa pendeta yang melayani, seharusnya tidak menjadi masalah untukku.

Baca Juga:

Cerpen: Kapan Nikah?

”Coba pegang kepalaku! Panas, kan? Lis, bayangin! Aku harus menghadiri 6 pernikahan tahun ini. Bayangkan minimal 6 kali. Sepertinya semua orang menikah.