Menulis adalah ekspresi rasa untuk bersyukur. Bagi Elleta yang sekarang tinggal di Yogyakarta, satu kasih karunia yang Tuhan berikan dalam hidupnya adalah ketika dia dapat menjadi berkat dari setiap tulisan yang dibuat. Hidup harus berdampak dimanapun dan bagi siapapun tanpa memandang apapun.

Posts

Sebuah Doa yang Mengubahkan Hatiku

Oleh Elleta Terti Gianina, Yogyakarta

Menjadi orang Kristen sejak lahir tidak menjamin bahwa aku dapat berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan. Sejak kecil sampai aku masuk kuliah, aku hanya berdoa sebagai kewajiban semata.

Ketika aku akan makan, aku berdoa, “Tuhan, aku mau makan berkati makanan ini, amin.”

Ketika aku akan bepergian dan jika orang tuaku mengingatkan, maka aku akan berdoa dengan cepat, “Tuhan, aku mau pergi. Lindungi aku. Terima kasih. Amin.”

Jika mengingat kembali doa-doaku dulu, rasanya berdoa itu sudah ada template-nya. Aku tidak perlu pusing merangkai kata dan secara otomatis kalimat singkat itu keluar dari mulutku. Aku hanya berpikir, “yang penting aku sudah laporan ke Tuhan dan orang tuaku tidak marah karena aku lupa berdoa”. Tapi, tanpa kusadari, cara doaku yang seperti itu lama-lama membuatku menganggap remeh doa itu sendiri. Bagiku, tanpa berdoa pun sebenarnya Tuhan sudah tahu dan Dia tidak akan marah padaku, sehingga inilah yang membuatku akhirnya acuh tak acuh dengan kehidupan doaku.

Hingga akhirnya, saat aku berumur 23 tahun aku dikecewakan oleh seseorang yang sangat berarti bagiku. Kejadian itu membuatku marah dan berujung menjadi dendam. Sulit rasanya untuk mengampuni saat itu. Selama satu tahun, aku tidak hidup dalam damai sejahtera. Aku tidak bisa tidur, menangis setiap hari, dan mencari pelarian lain sampai akhirnya aku merasa tidak berdaya.

Di tengah ketidakberdayaanku, rasanya aku ingin berdoa dan datang kepada Tuhan. Tapi, entah kenapa meski dulu aku bisa dengan mudah mengucap doa karena seperti ada template-nya, sekarang aku tidak bisa berdoa. Aku tidak tahu caranya berdoa. Bahkan untuk mengucapkan kata-katanya pun aku tidak mengerti. Rasanya asing untuk datang pada Tuhan Yesus.

Namun, kisahku tidak berhenti di situ. Tanpa aku sadari, Tuhan adalah Bapa yang baik, Bapa yang selalu menanti anak-Nya untuk kembali. Ketika aku merasa tidak mampu menghampiri-Nya, Tuhanlah yang terlebih dulu menghampiriku.

Tuhan memakai seorang sahabatku untuk mengingatkanku. Sahabatku berkata, “Yang kamu perlukan untuk berdoa hanyalah hatimu dan lututmu. Bahkan Tuhan menerima air matamu di hadapan-Nya.” Saat itu aku pun mencoba datang pada Tuhan.

Aku menangis sendirian di dalam kamar, menangis sampai rasanya aku tidak sanggup menahannya sendiri. Aku berlutut sambil melipat tanganku. Tidak ada yang aku tutupi di hadapan Tuhan. Selama beberapa saat aku tidak mengucapkan sepatah kata apa pun. Sampai akhirnya, ketika aku mulai berbicara, kalimat awal yang kuucapkan adalah, “Tuhan, aku mau mengampuni. Berikan aku hati untuk mengampuni, karena itu sulit dan menyakitkan.”

Saat itu, mengampuni dia yang telah menyakitiku adalah hal yang sulit untuk kulakukan. Namun, aku percaya jika aku mengizinkan Tuhan hadir dalam hidupku, maka aku dapat melakukannya. Kalimat doa itu aku ucapkan berkali-kali. Namun aku tidak merasa itu seperti sebuah template, aku merasa seperti sedang bercerita kepada Bapa, sampai aku lelah menangis dan akhirnya tertidur. Ketika aku bangun, aku merasakan ada sesuatu yang berbeda. Keadaan memang tidak berubah, tetapi ada damai sejahtera di dalam hatiku. Kesedihan yang semula memang masih ada, namun saat itu aku merasakan bahwa doa membuat hatiku tenang.

Doa yang sama kuucapkan, namun aku mengucapkannya dari hatiku. Aku rindu agar aku bisa mengampuni. Sampai akhirnya, saat aku berada di gereja, Tuhan berbicara padaku melalui firman-Nya dalam Yesaya 44:22 yang berkata, “Aku telah menghapus segala dosa pemberontakanmu seperti kabut diterbangkan angin dan segala dosamu seperti awan yang tertiup. Kembalilah kepada-Ku, sebab Aku telah menebus engkau!”

Aku percaya, kekuatan doa mampu mengubahkan segalanya. Bahkan ketika mengampuni kuanggap sebagai hal yang mustahil, nyatanya Tuhan memampukanku untuk melakukannya. Tak hanya itu, Tuhan pun menaruh kasih-Nya padaku agar aku pun dapat mengasihi orang lain.

Sahabatku, yang terpenting saat kita berdoa bukanlah kata-kata yang bagus, tetapi sikap hati yang benar dan murni untuk menghadap kepada-Nya. Jadilah diri sendiri di hadapan-Nya, tak usah ada satu pun hal yang ditutupi. Tuhan adalah Bapa dan sahabat bagi kita. Berbicaralah kepada-Nya selayaknya seorang anak kepada ayahnya, seperti seorang sahabat dengan sahabatnya. Tuhan tidak pernah jauh, Dia selalu ada dekat dengan kita.

Baca Juga:

Berkaca dari Injil Lukas, Inilah Caraku untuk Mengasihi Musuh

Mengasihi musuh adalah perintah Yesus buat kita. Namun, kuakui melakukannya tak semudah mempraktikkannya. Meski begitu, melalui Injil Lukas, aku diingatkan bahwa itu bukan hal yang mustahil. Aku bisa mengikuti teladan Yesus tersebut.

Tuhan Tidak Pernah Ingkar Janji, Dia Memelihara Keluargaku

Oleh Elleta Terti Gianina, Yogyakarta

Delapan tahun lalu keluargaku mengalami kesulitan ekonomi. Masalah demi masalah datang menghampiri kami, dan kami merasa berada di titik terendah dalam hidup. Ayahku kehilangan pekerjaan, kakakku tidak bekerja, sedangkan aku masih kuliah. Sampai akhirnya pada tahun 2014 kami mengalami situasi di mana kami tidak memiliki rumah. Kami menjual rumah tinggal kami yang berada di Bogor untuk menyambung hidup.

Setelah rumah itu laku terjual, keluargaku memutuskan pindah ke Yogya. Mereka menyusulku yang saat itu sedang menyelesaikan skripsi. Puji Tuhan karena saat itu saudara kami yang memiliki rumah yang sudah tidak dipakai memperbolehkan kami tinggal sementara di sana. Tapi, keluargaku merasa masalah belum selesai. Mereka ketakutan. Kalau suatu saat saudaraku tidak lagi mengizinkan kami tinggal di rumahnya, lalu kami harus tinggal di mana? Sebenarnya kami memiliki alternatif solusi lain yaitu pembagian warisan dari pihak keluarga ibuku yang berupa tanah di Bojonegoro, Jawa Timur. Tapi, sudah 8 tahun tanah itu tak laku terjual. Seandainya tanah itu laku, uangnya dapat kami gunakan kembali untuk membeli rumah.

Di dalam keluargaku, aku adalah anak yang tidak terbuka dengan orang tuaku. Kalau ada masalah, biasanya aku akan menghindar. Aku tidak mau ambil pusing. Tapi, setelah keluargaku pindah ke Yogya, mau tidak mau aku pun jadi dekat dengan mereka dan aku merasa tidak nyaman dengan ketakutan-ketakutan yang mereka ungkapkan. Aku jadi ikut merasa takut kalau-kalau kami tak lagi memiliki tempat tinggal. Aku pun berpikir untuk mendapatkan pekerjaan supaya tidak menambah beban keluarga dan puji Tuhan aku pun mendapatkannya.

Setelah bekerja beberapa waktu, aku merasa kalau penghasilan dari pekerjaanku tidak cukup,. Aku pun dipenuhi pikiran untuk berusaha dengan tenagaku sendiri. Aku berpikir untuk bekerja di dua tempat, dari pagi sampai tengah malam supaya aku bisa mencicil rumah buat orang tuaku. Setelah selesai bekerja kantoran dari jam 8 sampai 5 sore, kupikir aku harus mencari pekerjaan part-time sampai malam hari.

Namun sejujurnya, aku merasa lelah dan tak sanggup. Aku merasa kecewa dengan orang tuaku dan juga dengan Tuhan, mengapa Dia mengizinkanku mengalami hal ini. Di samping bekerja siang malam, aku pun masih harus menyelesaikan skripsiku. Saat aku pulang, aku sering mendengar ayah dan ibuku berdoa bersama. Seharusnya aku merasa tertegur karena selama ini rasanya aku belum pernah benar-benar berdoa. Tapi, aku tidak mau terlalu memusingkannya. Aku bersikukuh kalau yang kubutuhkan adalah uang, dan untuk mendapatkannya aku perlu kerja gila-gilaan.

Sampai suatu ketika, Tuhan menegurku saat aku sedang saat teduh. Ada satu ayat yang menyentakku. “Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada TUHAN” (Yeremia 17:5). Saat itu aku menangis sendiri di kamar. Aku ingin menyerahkan beban berat di pundakku kepada Tuhan. Aku meminta ampun kepada-Nya lalu mendengarkan dan menyanyikan lagu yang berjudul “Walau Ku Tak Dapat Melihat”. Kemudian aku pun berdoa:

“Tuhan, entah kenapa aku percaya banget Tuhan bilang di hati aku kalo Tuhan sudah sediakan rumah. Walaupun aku gak lihat sekarang dan kayak gak ada tanda-tandanya, tapi aku percaya tanah yang di Bojonegoro akan segera terjual dan kita bisa beli rumah untuk tinggal. Tuhan gak akan biarin keluargaku kesusahan karena sebelumnya aku tahu Tuhan selalu melindungi kami bahkan saat masa tersulit.”

Saat itu aku merasakan kenyamanan seperti seorang anak yang sedang dipeluk oleh Bapanya. Aku sadar jika selama ini aku berjalan dengan kekuatanku sendiri. Aku terlalu mengkhawatirkan masalah-masalah di depanku hingga aku tidak bisa melihat betapa Tuhan memelihara keluargaku di tengah permasalahan ini. Kemudian aku pun merasa diingatkan akan pemeliharaan Tuhan di masa-masa sulit ini. Meski tak lagi memiliki rumah, namun Tuhan tetap sediakan rumah tinggal untuk kami di Yogya. Hanya, aku saja yang tidak menyadari ini sebagai berkat dan pertolongan dari-Nya.

Saat itu aku memutuskan untuk berdoa puasa. Dalam hatiku aku mau belajar percaya bahwa Tuhan akan menyediakan tempat tinggal buat kami sekeluarga. Walaupun aku belum melihat wujud nyatanya, tapi aku tetap percaya. Hingga akhirnya, di awal tahun 2018 ini ibuku memberitahuku bahwa tanah di Bojonegoro itu sudah terjual dengan harga yang diinginkan. Dalam hatiku, aku tak henti mengucap syukur. Ayahku mengingatkan kami untuk terus berdoa hingga proses penjualan tanah itu selesai dan kami dapat membeli rumah yang baru. Di waktu yang tepat, Tuhan menepati janji-Nya, bahwa Dia tahu apa yang keluargaku perlukan (Matius 6:8). Keluarga kami akhirnya dapat membeli rumah kembali di Bogor. Namun, karya Tuhan tidak berhenti sampai di situ. Melalui pergumulan ini, aku jadi lebih peduli keluargaku. Padahal, dulu aku adalah orang yang tidak mau tahu dengan urusan keluarga.

Aku menulis kesaksian ini bukan tentang bagaimana aku berdoa, meminta, dan Tuhan mengabulkan. Tapi, tentang hubunganku dengan Tuhan ketika aku ada di titik tersulit dalam kehidupan. Aku tahu bahwa Tuhan Yesus adalah Bapa yang selalu memberikan yang terbaik. Tapi, ketika masalah terjadi, aku seringkali menutup mataku dan memilih mengandalkan kekuatanku sendiri. Aku menjadi buta akan penyertaan Tuhan hingga akhirnya aku pun merasa kecewa dan menyalahkan Tuhan. Padahal, firman-Nya berkata bahwa pencobaan yang kualami adalah pencobaan biasa, yang tidak akan melebihi kekuatanku. Tuhan selalu memberikan jalan keluar untuk setiap masalah yang kualami (1 Korintus 10:13).

Tuhan mengajarkanku tentang apa arti iman percaya. Mungkin dunia menebarkan ketakutan kepadaku. Tapi, ketika aku tahu bahwa aku punya Tuhan yang penuh kasih, sekali-kali Dia tidak akan pernah meninggalkanku karena Dialah yang memelihara hidupku dan keluargaku. Melalui kesaksian ini, kiranya kita dapat percaya bahwa Tuhan Yesus itu selalu bersama dengan kita. Dia menyertai kita dan keluarga kita, sebab kita adalah anak-Nya dan Dialah Bapa kita yang baik.

“Sebab itu janganlah kamu takut, karena kamu lebih berharga dari pada banyak burung pipit” (Matius 10:31).

Baca Juga:

Ketika Aku Merasa Tidak Puas dengan Keluargaku

Aku iri melihat kehidupan keluarga lain yang tampaknya lebih hebat. Ingin rasanya aku mengganti keluargaku yang sekarang dengan keluarga yang lain. Hingga suatu hari, aku bertemu dengan teman-temanku, dan di sinilah Tuhan menegurku.

Pelajaran Berharga dari Skripsi yang Tak Kunjung Usai

Oleh Elleta Terti Gianina, Yogyakarta

Ketika aku masih menjadi mahasiswa tingkat akhir, aku menganggap skripsi sebagai momok yang begitu menakutkan. Tatkala teman-teman seangkatanku begitu bersemangat untuk segera lulus, aku malah membiarkan waktuku selama satu semester pertama terbuang percuma tanpa hasil apapun.

Waktu itu, di samping kuliah aku juga bekerja sebagai seorang copywriter di sebuah agensi iklan. Jam kerja yang padat setiap harinya membuatku tak memiliki cukup waktu untuk menyelesaikan skripsiku. Selain itu, masalah lain karena aku putus dari pacarku pun turut memperburuk keadaan. Aku jadi larut dalam kesedihan dan sibuk mencari pelarian bersama teman-temanku. Ketika ada waktu senggang, bukannya menyelesaikan skripsi, aku pergi pelayanan dengan mengajar anak-anak desa di Gunungkidul atau jalan-jalan bersama teman-temanku.

Keadaan itu berlangsung selama beberapa bulan hingga akhirnya aku sadar bahwa skripsiku yang tak kunjung usai ini menyedihkan hati keluargaku. Kedua orangtuaku ingin aku segera lulus. Selain itu, karena skripsiku yang tak kunjung usai, teman-temanku memintaku untuk berhenti mengajar anak-anak di Gunungkidul. Kata mereka, aku harus fokus terhadap tanggung jawabku untuk menuntaskan skripisku terlebih dahulu. Teguran ini membuatku sadar bahwa apa yang kulakukan selama ini bukanlah sesuatu yang terbaik untukku.

Akhirnya, saat kuliahku memasuki semester ke-9, aku mulai menjalani bimbingan skripsi. Setiap kali usai bertemu dosen, aku membawa begitu banyak berkas revisi dan mengerjakannya di kafe dekat kampus. Revisi demi revisi itu membuatku ingin menangis dan aku pun mengeluh pada Tuhan. “Tuhan, kenapa gini sih. Aku capek. Kok skripsi aja harus kayak gini, banyak dramanya.”

Suatu ketika, saat aku sedang mengerjakan skripsi, secara tidak sengaja ponselku memutar lagu “Semua Baik”. Ketikan jari-jariku di keyboard terhenti sejenak. Penggalan lirik lagu ini membuatku merenung.

Dari semula telah Kau tetapkan
Hidupku dalam tangan-Mu, dalam rencana-Mu Tuhan
Rencana indah telah Kau siapkan
Bagi masa depanku yang penuh harapan

Lagu ini menegurku. Selama ini aku hanya mengandalkan diri sendiri dalam menghadapi tiap masalah yang kualami. Aku lupa bahwa Tuhan sesungguhnya menjanjikan masa depan yang penuh harapan buatku, seperti firman-Nya yang berkata bahwa Dia merancangkan damai sejahtera, bukan rancangan kecelakaan (Yeremia 29:11). Hanya saja, aku tidak mau mempercayai-Nya dan memilih caraku sendiri.

Sepulang dari kafe, aku berdoa pada Tuhan, memohon supaya Dia boleh menyertai dan memberkati proses pengerjaan skripsiku. Aku sadar bahwa doaku hanya akan jadi pepesan kosong jika aku tidak melakukan langkah nyata. Jadi, sejak saat itu aku mulai menyusun strategi membagi waktu antara pekerjaan, pelayanan, dan skripsiku. Setiap harinya aku tetap harus bekerja hingga jam 10 malam. Kemudian, mulai jam 11 malam hingga subuh, aku akan mengerjakan skripsi. Aktivitas ini memang membuat tenagaku terkuras. Namun, aku berdoa dan percaya bahwa Tuhan yang akan memberiku kekuatan untuk menyelesaikan semua ini. Ketika aku merasa lelah, aku mengingat apa yang pemazmur tuliskan: “Serahkanlah hidupmu kepada Tuhan dan percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak; Ia akan memunculkan kebenaranmu seperti terang, dan hakmu seperti siang” (Mazmur 37:5-6).

Akhirnya, setelah beberapa bulan berlalu, di semester ke-10 Tuhan menganugerahiku hasil yang memuaskan. Skripsiku selesai dan setelah menempuh ujian aku pun dinyatakan lulus sebagai seorang sarjana. Aku begitu bersyukur karena pertolongan Tuhan datang tepat pada waktunya.

Dari pengalamanku bergumul dengan skripsi, ada pelajaran berharga yang aku ingin bagikan kepada teman-teman. Ketika masalah menghampiri kita, yang harus kita lakukan bukanlah mengandalkan diri sendiri, tetapi andalkanlah Tuhan. Hanya bersama Tuhan sajalah kita mampu melewati setiap rintangan dan tantangan dalam hidup ini. Firman Tuhan dalam Yeremia 17:5 berkata: “Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh daripada Tuhan.”

Apakah hari ini kamu sedang bergumul karena skripsi atau masalahmu yang lain seolah tak kunjung usai? Berdoalah kepada-Nya, janganlah putus semangat, dan tetap lakukan bagianmu dengan sebaik-baiknya.

Baca Juga:

5 Hal Tentang Masturbasi yang Perlu Kamu Ketahui

Aku pernah terjerat dalam dosa seksual berupa masturbasi. Waktu aku masih kecil, tanganku tidak sengaja menyentuh bagian vital tubuhku dan sejak saat itu aku merasa ketagihan. Namun, Tuhan menyadarkanku bahwa perilaku ini adalah dosa. Seiring dengan perjalananku untuk pulih, inilah 5 hal yang ingin aku bagikan kepadamu.

Haruskah Aku Keluar dari Pekerjaan Ini, Tuhan?

haruskah-aku-keluar-dari-pekerjaan-tuhan

Oleh Elleta Terti Gianina, Yogyakarta

Tekanan ekonomi memaksaku untuk bekerja sembari berkuliah. Aku mengambil kuliah Jurusan Periklanan, dan waktu itu sedang dalam proses menyelesaikan skripsi yang sempat tertunda beberapa semester. Namun, aku juga perlu mencari uang sendiri untuk membayar kuliahku. Jadilah aku bekerja menjadi seorang copywriter di sebuah agensi iklan di Yogyakarta.

Awalnya, aku merasa nyaman dengan pekerjaan baruku ini. Sebagai seorang copywriter, tugasku adalah membuat konsep atau cerita sebuah iklan, dan mewujudkannya hingga iklan tersebut ditayangkan. Pekerjaan ini cocok dengan hobiku menulis dan membuat cerita. Selain itu, setiap karyawan bebas memakai pakaian apapun, datang jam berapapun, dan berpikir sekreatif mungkin untuk menciptakan sebuah karya. Lingkungan kerjanya juga mengasyikkan, seperti dalam sebuah rumah bersama dengan rekan-rekan kerja yang penuh canda. Tak ada kegelisahan apapun yang kurasakan saat itu.

Namun, keadaan berubah setelah tiga bulan aku bekerja. Deadline pekerjaan yang harus kuselesaikan membuatku hampir setiap hari harus bekerja hingga lebih dari 15 jam. Tidak jarang aku harus menginap di kantor untuk menyelesaikan pekerjaanku bersama timku, atau aku harus berdinas ke luar kota untuk melakukan shooting iklan atau bertemu dengan klien. Tekanan pekerjaan yang berat ini membuatku merasa kehilangan sebagian hidupku.

Sebagian besar waktuku tersita untuk pekerjaan. Aku tidak punya waktu lagi untuk menyelesaikan skripsiku. Hubunganku dengan teman-teman kuliahku juga menjadi renggang karena aku jadi sering membatalkan janji bertemu dengan mereka karena aku harus menyelesaikan pekerjaanku. Pelayananku juga menjadi terganggu karena tidak jarang aku masih harus masuk kantor di hari Sabtu dan Minggu. Tidak hanya itu, waktuku bersama keluarga, kesehatanku, dan hubunganku dengan Tuhan pun jadi semakin buruk karena kesibukanku bekerja.

Aku merasa lelah dan hatiku tidak tenang. Karena pekerjaanku, aku seringkali tidak bisa memenuhi komitmen pelayananku untuk mengajar di Gunungkidul setiap hari Sabtu. Aku juga tidak mempunyai waktu untuk bersaat teduh.

Aku kemudian menceritakan pergumulanku ini dengan teman pelayananku. Dia mengatakan mungkin sebaiknya aku keluar dari pekerjaan itu, tapi sebelum membuat keputusan, tanyalah dahulu kepada Tuhan apa yang Dia kehendaki untuk aku perbuat. Sebuah nasihat yang amat bijak.

Di satu sisi, aku ingin keluar dari pekerjaan ini. Tapi di sisi lain, ada banyak kekhawatiran yang berkecamuk dalam pikirkanku. Bagaimana jika nanti aku tidak dapat kerja setelah keluar dari sini? Aku harus kerja apa? Bagaimana aku dapat membayar uang kuliahku? Aku malas untuk melamar sana-sini dan melakukan tes kerja lagi. Namun, nasihat temanku mendorongku untuk membawa semua pergumulan itu di hadapan Tuhan. Tuhan mengingatkanku dengan sebuah pertanyaan yang muncul di dalam hatiku, “Apa yang kamu cari di dalam hidupmu?”

Aku tidak pernah memikirkan pertanyaan itu sebelumnya. Apa yang aku cari di dalam hidupku? Saat itu, aku tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Aku kembali berdoa kepada Tuhan, dan aku merasakan Tuhan menguatkan hatiku untuk keluar dari pekerjaan itu.

Aku meminta Tuhan untuk memberitahuku waktu yang tepat untuk meninggalkan pekerjaanku, dan jika Tuhan memberikanku pekerjaan baru, aku memohon kepada-Nya agar kiranya pekerjaan itu dapat membuatku semakin dekat dengan-Nya dan aku dapat mempermuliakan nama-Nya di tengah lingkungan pekerjaanku. Namun, jika aku belum diizinkan untuk mendapatkan pekerjaan baru, biarlah Tuhan yang menjaga hidupku dan mencukupkannya. Firman-Nya dalam Matius 6:25 berikut ini menguatkanku, “Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?”

Akhirnya, setelah sekitar 3 bulan bergumul, aku memutuskan untuk keluar dari pekerjaanku di akhir bulan Januari 2017, tepat setelah 2 tahun aku bekerja di sana. Saat aku membuat keputusan itu, aku tidak tahu bagaimana masa depanku, tetapi aku percaya Tuhan akan menyediakan yang terbaik bagiku, dan aku berserah kepada-Nya.

Menjelang aku keluar dari pekerjaanku, aku mulai mencari pekerjaan baru di sebuah portal kerja online. Aku menemukan satu perusahaan engineering yang membutuhkan seorang copywriter. Ada banyak pertanyaan yang muncul di benakku: Untuk apa seorang copywriter di perusahaan engineering? Apa yang dikerjakan? Apakah aku melamar saja meskipun mereka mencari karyawan dengan 5 tahun pengalaman? Aku menyertakan Tuhan dan berdoa di dalam mengambil keputusan. Akhirnya, aku melamar di perusahaan engineering itu dan mengikuti tes tertulis dan wawancara. Saat itu, aku masih bekerja di perusahaanku yang lama.

Tak lama kemudian, aku mendapatkan kabar melalui e-mail bahwa aku diterima di perusahaan engineering tersebut. Aku bersyukur, namun juga bimbang. Aku takut jika waktu kerja, lingkungan, dan pekerjaannya tidak sesuai dengan yang aku inginkan. Aku kembali berdoa kepada Tuhan, dan Tuhan kembali menjawab doaku. Aku dapat mulai bekerja di perusahaan yang baru itu tepat di tanggal 1 Februari. Tuhan tidak membiarkanku menganggur satu haripun! Dan di tempat kerja yang baru ini, waktu kerjaku tidak mengganggu pelayanan dan saat teduhku.

Meskipun perusahaanku bukanlah perusahaan yang besar, tetapi di dalamnya aku menemukan banyak orang yang hebat dan mencintai Tuhan Yesus. Aku juga dapat berbagi hidup dan menceritakan tentang kebaikan Tuhan bersama rekan-rekan kerjaku. Tuhan menjawab doaku agar aku dapat mempermuliakan Dia di tengah lingkungan pekerjaanku, dan Dia mengizinkanku membuat sebuah persekutuan di kantor, meskipun saat ini baru beranggotakan 3 orang. Aku sungguh bersyukur kepada Tuhan karena Dia menjawab doa-doaku.

Melalui pengalamanku ini, aku belajar untuk menyertakan Tuhan di setiap langkah pekerjaanku, dan belajar untuk percaya kepada-Nya di tengah segala pergumulan hidupku.

“Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari” (Matius 6:33-34).

Baca Juga:

Ketika Hal-hal Kecil Menjerat Kita dalam Dosa

Seringkali ketika dihadapkan dengan kesulitan, kita berjuang dengan susah payah dan penuh kewaspadaan. Tapi, bagaimana dengan keadaan yang biasa-biasa saja? Apakah kita tetap waspada supaya tidak terjatuh ke dalam dosa?