Posts

Eben Haezer: Sampai di Sini Tuhan Menolong Kita

Oleh Meliani Chandra

Ketika aku mengalami pergumulan, ketika aku dapat melewati fase-fase berat, aku selalu teringat kata yang tertulis di judul tulisan ini. Kali ini aku mau bercerita tentang penyertaan dan pertolongan Tuhan selama dua tahun pertamaku bekerja.

Saat itu aku adalah seorang fresh graduate dari jurusan kesehatan. Berawal dari penantian panjang dalam mendapatkan pekerjaan tetap, akhirnya aku mendapatkan kesempatan untuk bekerja di salah satu rumah sakit swasta di daerah Tangerang. Sebenarnya sangat banyak pertimbangan yang aku gumulkan apakah aku sebaiknya mengambil kesempatan ini atau tidak. Di satu sisi, aku merasa inilah jawaban dari doaku, kerinduanku untuk bekerja di bidang klinis. Namun di sisi lain, jika aku bekerja di sana, aku harus meninggalkan rumah dan tinggal di Tangerang (jam kerja shifting membuatku sulit untuk pulang pergi Jakarta-Tangerang setiap hari) dan meninggalkan banyak hal : 1) quality time bersama keluarga; 2) persekutuan di mana aku bertumbuh sejak kecil, serta pelayanan dan orang-orang di dalamnya; 3) pendapatan yang lebih besar dibanding yang sekarang (ya memang karena dulu kerja siang malam). Ditambah lagi, sistem kerja yang shifting; yang tidak mengenal weekend dan tanggal merah. Namun, setelah aku bercerita ke beberapa orang terdekat, menggumulkan, serta mendoakan, akhirnya aku memutuskan untuk mengambil kesempatan ini.

Pada saat awal masuk, rasanya super duper berat untuk dijalani. Mulai dari jobdesc pekerjaan yang kurang sesuai ekspektasi, pengalaman yang minim dengan tuntutan kerja yang tinggi, dituntut untuk cepat bisa, senioritas tinggi, waktu kerja yang shifting dan antimainstream (ketika aku libur, teman-temanku masuk, mereka libur, aku yang masuk), jadi anak rantau (walaupun cuma jarak Jakarta-Tangerang) yang tidak punya teman karena aku masih junior, dan lain-lainnya. Bisa dibilang, setiap hari aku ingin cepat-cepat libur supaya bisa pulang ke Jakarta.

Selain itu, dalam kehidupan spiritual aku pun harus beradaptasi. Sejak bekerja di tempat ini aku harus terbiasa bekerja di hari Minggu. Memang ada saat-saat tertentu aku bisa dapat libur di hari Minggu. Namun, di masa-masa awal, hal ini terasa begitu berat (sampai sekarang juga masih menjadi pergumulan tersendiri). Dinas di hari Minggu membuatku kejar-kejaran dengan waktu. Jangankan persekutuan. Jangankan pelayanan. Bisa ibadah saja sudah bersyukur.

Ya, begitulah kurang lebih pergumulanku di masa awal aku mulai bekerja. Untuk survive saja rasanya sulit dan mau menyerah. Seringkali aku bertanya, “Apa benar ini maunya Tuhan? Sepertinya ini hanya keinginanku saja. Sepertinya aku salah memilih jalan.”

Tapi … dalam dua tahun inilah aku mengalami apa yang namanya diproses Tuhan. Proses itu memang tidak enak, ibarat logam yang dipanasi, dilelehkan, dan ditempa. Aku percaya Tuhan memprosesku untuk menjadi lebih indah melalui masa-masa tidak enak dan menyakitkan yang kualami. Dia mengajarkan aku banyak hal. Dia mengizinkan aku untuk menikmati pengalaman-pengalaman berharga. Sangat jelas dan nyata penyertaan dan pertolongan-Nya di dalam kehidupanku (dan tentunya kita semua).

Inilah empat hal yang kupelajari yang aku ingin bagikan buatmu.

1. Di dalam kelemahanlah kuasa Tuhan sempurna

Ketika aku berada di titik terendah, stres dalam beradaptasi dengan pekerjaan, Tuhan menyediakan keluarga, teman-teman terdekat yang selalu mendukung dan mendoakan, yang tidak bosan-bosannya mendengarkan cerita dan keluh kesahku. Merekatidak mencibir aku payah karena mengeluh terus dan merasa tidak sanggup, tapi selalu membangkitkan semangat dan kepercayaan diri yang sudah hampir rusak. Di dalam kelemahan dan keterbatasanku, ketika aku merasa tidak bisa apa-apa, justru Tuhan yang memampukan aku untuk melewati satu demi satu rintangan, bukan dengan caraku, tapi dengan cara-Nya yang di luar akal manusia. Ia mengizinkan aku mengalami “kesengsaraan” untuk membentuk diriku menjadi tekun dan tahan uji, serta selalu berharap pada Tuhan.

2. Harta yang paling berharga adalah keluarga

Walaupun seminggu sekali aku selalu pulang setiap libur, tetap saja rasanya 1 hari dalam seminggu itu kurang untuk quality time bersama keluarga. Belum lagi, aku juga harus membagi waktu untuk bersosialisasi dan temu kangen dengan teman-teman. Walaupun jaraknya hanya Jakarta-Tangerang, aku menyadari bahwa tinggal bersama keluarga itu paling membuatku nyaman dan aman.

3. He makes all things beautiful in HIS time

Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya (Pengkhotbah 3:1). Yup. Ayat ini benar sekali. Ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap, ada waktu untuk menari (Pengkhotbah 3:4).

Tuhan tidak membiarkan aku berlarut-larut dalam kesedihan dan keputusasaan. Perlahan-lahan, badai pun mereda dan terbit pelangi yang indah.

Ketika kita dengan sungguh-sungguh belajar dan berusaha, tentu hasil tidak akan mengkhianati usaha. Ketika saat ini aku bisa memberikan konsultasi dan edukasi ke banyak orang, bahkan ketika mereka bisa pulang dengan sehat, di situ aku merasa “It’s only by HIS Grace!” Bahkan, Tuhan berikan aku bonus untuk mencicipi berkat yang tidak pernah aku harapkan sebelumnya, sebuah prestasi yang tidak pernah terpikirkan sedikit pun. Siapalah aku, kalau bukan Tuhan yang memanggil? Siapakah aku, kalau bukan Tuhan yang memampukan? Siapakah aku, kalau bukan Tuhan yang membentuk dan memproses? Layakkah seorang ciptaan dan alat untuk memegahkan diri? Tentu tidak! Yang keren dan hebat itu ya Penciptanya, Allah sendiri.

Dalam hal kebutuhan spiritual pun, perlahan-lahan aku lebih dapat mengatur jadwal hari Mingguku untuk dapat beribadah, bersekutu, dan melayani. Kuncinya tetap berdoa dan berusaha. Walaupun tidak sebebas dulu sebelum bekerja, tapi kondisi saat ini lebih baik dibanding waktu baru masuk bekerja. Terpujilah Tuhan!

4. Pelayanan adalah anugerah

Memang hidup ini adalah pelayanan. Pelayanan itu tidak terbatas pada konteks kehidupan bergereja. Aku setuju. Tapi bagiku, ikut kebaktian seminggu sekali saja tidaklah cukup. Aku butuh persekutuan, aku butuh pembinaan, aku butuh pelayanan. Persekutuan, pembinaan, maupun pelayanan membantuku semakin menikmati dan mengenal Allah. Dan, di sini aku kembali menegaskan bahwa pelayanan adalah anugerah. Tidak semua orang bisa melayani. Tidak semua orang mempunyai kesempatan untuk melayani. Tidak semua orang memiliki kesehatan untuk dapat melayani. Maka dari itu, ketika kita masih diberi waktu, masih diberi kesempatan, masih diberi kesehatan oleh Tuhan, mari kita beri diri untuk dipakai-Nya.

Kira-kira, inilah yang bisa kubagikan. Masih banyak berkat Tuhan yang tidak kuceritakan di sini, karena terlalu banyak berkat dan pertolongan Tuhan di dalam kehidupanku.

Satu hal kuyakini, Tuhan yang telah menolong kita sampai disini, Tuhan yang sama akan senantiasa menolong kita sampai kapanpun. Semoga bisa menjadi berkat bagi teman-teman yang membaca. GBU.