Di Minggu pagi yang tenang, tiba-tiba duniaku seakan runtuh. Dari balik telepon, suara mamaku bergetar, “Papa sakit keras, kamu cepat pulang ke rumah!” Namun, belum sempat aku beranjak pulang, Mama kembali menelepon. Kali ini suaranya berubah lirih, “Papa sudah meninggal.”
16 Mei 2017 adalah hari yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidupku. Tepat pukul 08:52, ketakutan terbesarku terjadi. Aku kehilangan Papa untuk selama-lamanya. Di dalam ruang ICU, di tengah deru mesin ventilator dan alarm monitor jantung, di samping ranjang tempat Papa terbaring, pikiranku kosong. Yang aku tahu, selepas peristiwa ini, hidupku takkan lagi pernah sama.
Pada tahun 2002, beberapa bulan setelah saudari saya, Martha, dan suaminya, Jim, meninggal dunia dalam kecelakaan, seorang teman mengundang saya mengikuti lokakarya “Growing Through Grief” (Bertumbuh Melalui Dukacita) di gereja kami.
Kandungan Kelly mengalami komplikasi, dan para dokter menjadi khawatir. Karena lamanya proses persalinan, dokter memutuskan untuk melakukan operasi sesar. Meski menyakitkan, Kelly segera melupakan rasa sakit itu ketika ia menggendong putranya yang baru lahir.
Kasus ini hanyalah salah satu dari sekian banyak kasus bunuh diri yang menimpa kalangan selebriti. Tapi, kematian Chester Bennington, seorang vokalis grup band Linkin Park tentunya amat mengejutkan bagi banyak penggemarnya.
Bahkan bertahun-tahun setelah kami kehilangan Melissa, putri kami yang berusia 17 tahun, dalam kecelakaan mobil pada tahun 2002, saya masih sesekali berpikir “seandainya saja”.
Saya sedang asyik membaca sebuah buku ketika seorang teman melongok untuk melihat apa yang sedang saya baca. Seketika itu juga ia terperanjat dan menatap saya dengan ngeri.