Posts

Surat untuk Sahabatku yang Sedang Berduka

Oleh Glori Ayuni, Jakarta

Yang terkasih, sahabatku,

Tahun telah berganti, tetapi kamu tidak ingin melangkah sebab orang yang paling kamu kasihi, telah meninggalkanmu di tahun sebelumnya. Semarak pesta pergantian tahun tidak membuatmu terpesona. Kamu mungkin merasa lebih nyaman menghabiskan waktu di kamar. Dan, mungkin pula kamu berharap ada mesin waktu yang dapat membawamu kembali ke masa-masa dulu.

Berita mengenai gulungan ombak, gempa bumi, banjir bandang, tanah longsor, dan sederet bencana lainnya, mengingatkanmu pada sosok orang-orang terkasihmu. Bencana itu telah merenggut mereka darimu. Mereka pergi dengan cara yang tidak kamu sangka. Kini, hanya ada dua hal yang tersisa padamu: kenangan dan kepedihan hati.

Sahabatku, aku tak sanggup membayangkannya. Kurasa, itu semua terasa berat buatmu. Aku tak bisa menyemangatimu dengan cara apapun. Mungkin kamu pun sudah bosan dengan berbagai penghiburan yang orang-orang coba berikan. Atau, mungkin juga kamu sudah muak dengan kalimat, “Tuhan tetap baik. Ia punya rencana indah bagimu.”

Mungkin, dalam hatimu, kamu bertanya, “Kalau Tuhan memang baik, lalu mengapa Ia membiarkanku bersedih?” Mungkin kamu juga merasa terhakimi dengan pertanyaan itu, seakan-akan kamu tidak cukup beriman ketika kamu mempertanyakan Tuhan dan keberadaan-Nya dalam kesedihanmu.

Tenagamu mungkin juga telah habis untuk melangkah ke tahun yang baru karena tekanan kesedihan yang begitu kerasnya dalam hatimu. Hal itu bertambah parah karena kamu takut dianggap kurang beriman karena bersedih terlalu lama dan mempertanyakan Tuhan.

Sahabatku, aku memang belum pernah merasakan kesedihan karena kehilangan orang yang kukasihi. Akan tetapi, aku pernah bersedih karena hal lain yang juga membuatku bertanya di manakah keberadaan Tuhan di tengah dukacitaku. Namun, Tuhan menguatkanku melalui ucapan seorang kakak yang kutemui di suatu acara, dan kuharap ini juga dapat menguatkanmu:

“Kesedihan yang membuat kita bertanya di mana keberadaan Tuhan adalah bentuk nyata dari iman. Kita sadar bahwa kehidupan kita seutuhnya, baik suka maupun duka, adalah milik Tuhan. Ketika ada suatu hal yang membuat kita bersedih, sudah sewajarnya seorang ciptaan menanyakan kepada Penciptanya tentang apa yang terjadi padanya. Karena ciptaan itu menyadari bahwa yang paling tahu tentang dirinya adalah hanya Penciptanya sendiri. Dan, itulah iman.”

Sahabat, aku mengajakmu untuk mengambil waktu sejenak, untuk membawa segala kesedihanmu ke hadapan Tuhan di awal tahun ini. Tanyakan dan luapkankanlah seluruh isi hatimu kepada-Nya. Aku percaya, Roh Kudus akan menguatkanmu melangkah di tahun yang baru ini, meskipun tanpa keberadaan orang yang paling kamu kasihi.

Sahabat, meskipun mungkin ada luka dalam hatimu yang belum mengering, namun aku percaya, bersama Tuhan kamu mampu melangkah di tahun ini. Untuk itu, aku ingin mengajakmu bersama memuji Tuhan:

Pujilah Tuhan, hai jiwaku yang sedih!
Pujilah nama-Nya yang kudus, hai segenap batinku yang terluka.

Memuji Allah di masa yang sulit bukanlah hal yang mudah. Apalagi setelah mengalami kehilangan yang menyakitkan. Tetapi biarlah kita menyadari bahwa memang keberadaan manusia di dunia ini begitu fana, seperti yang dinyatakan Daud dalam Mazmur 103:15-16, “Adapun manusia, hari-harinya seperti rumput, seperti bunga di padang demikianlah ia berbunga; apabila angin melintasinya, maka tidak ada lagi ia, dan tempatnya tidak mengenalnya lagi.” Meskipun begitu, Tuhan menjanjikan kesetiaan-Nya apada kita di ayat 17: “Kasih setia TUHAN dari selama-lamanya sampai selama-lamanya atas orang-orang yang takut akan Dia.”

Meskipun mungkin sulit buatmu melihat kasih setia Tuhan dalam tahun yang baru ini setelah peristiwa berat yang kamu jalani sebelumnya, aku berdoa kiranya aku dan kamu tidak melupakan segala kebaikan-Nya. Aku ingin kita dapat bersama-sama memuji-Nya kembali.

Selamat memulai lembaran yang baru, sahabatku. Selamat berjalan bersama Allah! Tuhan menyertai kita semua.

*Surat ini ditulis teristimewa untuk rekan satu gereja denganku yang kehilangan orang tuanya dalam bencana tsunami di akhir Desember 2018.

Baca Juga:

Marvelle Kecil yang Mengajariku Tentang Ketaatan

Marvelle dilarang oleh mamanya berbuat sesuatu. Ia pun lalu menangis keras. Sebagai gurunya, tangisan itu membuat perasaanku campur aduk. Namun, aku jadi terpikir akan suatu hal.

Surat untukmu Yang Sedang Berduka

Oleh Lidya Corry Tampubolon, Jakarta

Untukmu yang berduka,

Aku ingat ketika ayahku meninggal dunia satu setengah tahun lalu. Rasa pedihnya masih bisa kurasakan hingga saat ini. Kehilangan orang yang kita kasihi, apalagi secara tiba-tiba, tentu bukan hal yang mudah untuk dihadapi. Hari demi hari berlalu, namun menanggung beban kesedihan tidak terasa lebih mudah. Rasanya seperti berjalan dalam lembah kelam yang penuh dengan duri. Hari depan seperti gelap gulita, sementara kaki kita terus menginjak duri demi duri. Berdarah, berlinang air mata. Beribu ragu dan pertanyaan berputar dalam kepala:

“Tuhan, di mana Engkau saat ini?”
“Tuhan, apakah Engkau mendengar tangisan kami?”
“Tuhan, mengapa Engkau biarkan hal ini terjadi?”
“Tuhan, mengapa harus kami yang mengalami malapetaka ini?”
“Tuhan, benarkah Engkau mengasihi kami?”
“Tuhan, mengapa Engkau seolah diam saja?”

Tapi, seperti jalan buntu, tidak ada jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini. Yang ada hanya keheningan yang panjang. Dan, tanpa kita sadari, air mata mengalir dan doa-doa tertahan dalam mulut kita. Dengan langkah gontai dan terpaksa, kita terus berjalan dalam lembah kelam yang penuh duri tanpa tahu kapan perjalanan ini akan berakhir.

Untukmu yang berduka,

Aku juga pernah berjalan di sana. Walau tentu lembah kelam kita berbeda, tapi aku pernah menikmati hidup bersama air mata. Perasaan kehilangan adalah perasaan terburuk yang kurasa tidak seharusnya dirasakan oleh siapapun di muka bumi. Namun, kejatuhan manusia, kejatuhan kita ke dalam dosa membuat kita harus mengalami kematian, perpisahan, kehilangan, kesedihan, dan air mata. Begitu mengerikan dosa itu, hingga karenanya, bukan hanya kita saja tetapi semua orang di seluruh dunia harus turut merasakan perasaan kehilangan dan duka. Begitu mengerikan dosa itu, hingga Allah harus mengaruniakan Putra-Nya yang tunggal, Tuhan Yesus Kristus, mati di kayu salib untuk menebus dosa dan mengalahkan maut. Namun, karena kematian dan kebangkitan-Nya, kini kita punya harapan akan adanya suatu masa di mana tiada lagi duka dan air mata.

“Lalu aku mendengar suara yang nyaring dari takhta itu berkata: ‘Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan diam bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi Allah bagi mereka. Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu’” (Wahyu 21:3-4).

Untukmu yang berduka,

Lembah kekelaman ini memang masih harus kita jalani. Tapi aku ingat, pada satu titik dalam perjalanan di lembah kekelamanku, aku menyadari bahwa Tuhan ada di sisiku, Dia berjalan bersamaku. Pernah satu kali aku menangis dalam perjalanan pulang dari kantorku, dan hujan tiba-tiba turun. Aku merasa Tuhan seolah menangis bersamaku. Dalam butiran-butiran hujan itu, aku merasakan penghiburan dari-Nya. Aku seperti mendengar suara Tuhan lembut berkata, “Berdukalah, tapi ingatlah Aku turut berduka bersamamu. Menangislah, tapi ingatlah Aku ikut menangis bersamamu.” Dalam keheningan, Tuhan berjalan bersamaku, melewati lembah yang kelam dan berduri.

Ada sebuah lagu yang liriknya mengingatkanku akan penyertaan Tuhan:

Does Jesus care when I’ve said “good bye” to the dearest on earth to me,
And my sad heart aches, till it nearby breaks,
Is it ought to Him? Does He see?

O yes, He cares, I know He cares,
His heart is touched with my grief;
When the days are weary,
The long night dreary,
I know my Savior cares.

(Does Jesus Care, Frank E. Graeff (1860-1919))

Adakah Yesus peduli, ketika kuucapkan “selamat tinggal” kepada yang kukasihi di dunia,
Dan hatiku begitu terluka, hingga hampir hancur
Apakah itu berarti bagi-Nya? Apakah Ia melihatnya?
Oh ya, Ia peduli, aku tahu Ia peduli
Hati-Nya tersentuh oleh kesedihanku yang mendalam
Ketika siang terasa melelahkan, dan malam terasa suram
Aku tahu Juruselamatku peduli.

(Terjemahan bebas)

Untukmu yang berduka,

Perjalanan masih panjang. Kesedihan yang dalam masih harus kita hadapi. Tapi, Tuhan hadir dalam setiap tetesan air mata yang jatuh dan dalam tiap doa yang kita naikkan. Tiada tempat lain, hanya di dalam-Nya penghiburan yang sejati bisa kita temukan. Satu setengah tahun hidup bersama air mata mengajarkanku bahwa berjalan bersama-Nya adalah perjalanan terbaik, walaupun harus melewati lembah kelam yang berduri. Hanya Tuhanlah perlindungan dan kekuatan, kota benteng kita yang teguh. Di dalam Dia, kita takkan goyah.

“Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti. Sebab itu kita tidak akan takut, sekalipun bumi berubah, sekalipun gunung-gunung goncang di dalam laut; sekalipun ribut dan berbuih airnya, sekalipun gunung-gunung goyang oleh geloranya” (Mazmur 46:2-4).

Kiranya Tuhan menyinari kita dengan wajahNya dan memberi kita kasih karunia.

Dariku, yang berduka untukmu.

Baca Juga:

3 Respons untuk Menyikapi Musibah

Sebagai orang Kristen, ada tiga hal yang perlu kita pikirkan sebelum memposting sesuatu di media sosial sebagai wujud respons kita terhadap suatu musibah.

Waktu yang Tepat

Rabu, 19 September 2018

Waktu yang Tepat

Baca: Pengkhotbah 3:1-14

3:1 Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya.

3:2 Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam;

3:3 ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan; ada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun;

3:4 ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari;

3:5 ada waktu untuk membuang batu, ada waktu untuk mengumpulkan batu; ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk;

3:6 ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk membiarkan rugi; ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang;

3:7 ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit; ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara;

3:8 ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci; ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai.

3:9 Apakah untung pekerja dari yang dikerjakannya dengan berjerih payah?

3:10 Aku telah melihat pekerjaan yang diberikan Allah kepada anak-anak manusia untuk melelahkan dirinya.

3:11 Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.

3:12 Aku tahu bahwa untuk mereka tak ada yang lebih baik dari pada bersuka-suka dan menikmati kesenangan dalam hidup mereka.

3:13 Dan bahwa setiap orang dapat makan, minum dan menikmati kesenangan dalam segala jerih payahnya, itu juga adalah pemberian Allah.

3:14 Aku tahu bahwa segala sesuatu yang dilakukan Allah akan tetap ada untuk selamanya; itu tak dapat ditambah dan tak dapat dikurangi; Allah berbuat demikian, supaya manusia takut akan Dia.

Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya. —Pengkhotbah 3:11

Waktu yang Tepat

Kemarin saya memesan tiket pesawat dengan tujuan untuk mengantar putri sulung saya yang akan memulai kuliahnya. Entah berapa banyak air mata yang telah tercurah ke atas keyboard komputer selama saya mencari-cari tiket tersebut. Saya telah menikmati hidup yang indah bersama putri saya selama 18 tahun sehingga saya merasa begitu sedih atas kepergiannya. Namun, saya tidak akan tega merampas masa depannya hanya karena saya akan sangat merindukannya. Inilah waktu yang tepat bagi putri saya untuk memulai perjalanan baru menuju kedewasaan dengan menjelajahi bagian lain dari negara ini.

Dengan tuntasnya masa pengasuhan saya sebagai orangtua, dimulailah suatu masa yang baru. Pastilah perubahan itu akan memberikan tantangan sekaligus kesenangan baru. Salomo, raja ketiga Israel, menuliskan bahwa Allah sudah menetapkan “untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya” (Pkh. 3:1). Sebagai manusia, kita tidak mempunyai kendali penuh atas setiap peristiwa dalam kehidupan kita, baik peristiwa yang kita anggap menguntungkan ataupun yang tidak. Namun Allah, dengan kuasa-Nya yang dahsyat, “membuat segala sesuatu indah pada waktunya” (ay.11).

Di masa-masa yang menyakitkan, kita dapat mempercayai Allah bahwa Dia akan mendatangkan kebaikan dari kepedihan-kepedihan itu pada waktunya. Penghiburan dan sukacita kita bisa datang dan pergi, tetapi karya Allah “akan tetap ada untuk selamanya” (ay.14). Mungkin tidak setiap masa akan kita nikmati—karena sebagian di antaranya memang pedih—tetapi Allah tetap dapat mendatangkan keindahan di dalam segala masa yang ada. —Kirsten Holmberg

Bapa, Engkau telah mengizinkan aku melalui masa-masa ini dalam hidupku. Tolong aku untuk merasa tenang di dalam apa pun yang kualami, dan menyadari bahwa Engkau tetap bekerja dalam kuasa dan kebesaran-Mu.

Allah mendatangkan keindahan di setiap masa kehidupan.

Bacaan Alkitab Setahun: Pengkhotbah 1-3; 2 Korintus 11:16-33

Pengharapan dalam Duka

Minggu, 29 Juli 2018

Pengharapan dalam Duka

Baca: Lukas 24:13-32

24:13 Pada hari itu juga dua orang dari murid-murid Yesus pergi ke sebuah kampung bernama Emaus, yang terletak kira-kira tujuh mil jauhnya dari Yerusalem,

24:14 dan mereka bercakap-cakap tentang segala sesuatu yang telah terjadi.

24:15 Ketika mereka sedang bercakap-cakap dan bertukar pikiran, datanglah Yesus sendiri mendekati mereka, lalu berjalan bersama-sama dengan mereka.

24:16 Tetapi ada sesuatu yang menghalangi mata mereka, sehingga mereka tidak dapat mengenal Dia.

24:17 Yesus berkata kepada mereka: “Apakah yang kamu percakapkan sementara kamu berjalan?” Maka berhentilah mereka dengan muka muram.

24:18 Seorang dari mereka, namanya Kleopas, menjawab-Nya: “Adakah Engkau satu-satunya orang asing di Yerusalem, yang tidak tahu apa yang terjadi di situ pada hari-hari belakangan ini?”

24:19 Kata-Nya kepada mereka: “Apakah itu?” Jawab mereka: “Apa yang terjadi dengan Yesus orang Nazaret. Dia adalah seorang nabi, yang berkuasa dalam pekerjaan dan perkataan di hadapan Allah dan di depan seluruh bangsa kami.

24:20 Tetapi imam-imam kepala dan pemimpin-pemimpin kami telah menyerahkan Dia untuk dihukum mati dan mereka telah menyalibkan-Nya.

24:21 Padahal kami dahulu mengharapkan, bahwa Dialah yang datang untuk membebaskan bangsa Israel. Tetapi sementara itu telah lewat tiga hari, sejak semuanya itu terjadi.

24:22 Tetapi beberapa perempuan dari kalangan kami telah mengejutkan kami: Pagi-pagi buta mereka telah pergi ke kubur,

24:23 dan tidak menemukan mayat-Nya. Lalu mereka datang dengan berita, bahwa telah kelihatan kepada mereka malaikat-malaikat, yang mengatakan, bahwa Ia hidup.

24:24 Dan beberapa teman kami telah pergi ke kubur itu dan mendapati, bahwa memang benar yang dikatakan perempuan-perempuan itu, tetapi Dia tidak mereka lihat.”

24:25 Lalu Ia berkata kepada mereka: “Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya hatimu, sehingga kamu tidak percaya segala sesuatu, yang telah dikatakan para nabi!

24:26 Bukankah Mesias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya?”

24:27 Lalu Ia menjelaskan kepada mereka apa yang tertulis tentang Dia dalam seluruh Kitab Suci, mulai dari kitab-kitab Musa dan segala kitab nabi-nabi.

24:28 Mereka mendekati kampung yang mereka tuju, lalu Ia berbuat seolah-olah hendak meneruskan perjalanan-Nya.

24:29 Tetapi mereka sangat mendesak-Nya, katanya: “Tinggallah bersama-sama dengan kami, sebab hari telah menjelang malam dan matahari hampir terbenam.” Lalu masuklah Ia untuk tinggal bersama-sama dengan mereka.

24:30 Waktu Ia duduk makan dengan mereka, Ia mengambil roti, mengucap berkat, lalu memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka.

24:31 Ketika itu terbukalah mata mereka dan merekapun mengenal Dia, tetapi Ia lenyap dari tengah-tengah mereka.

24:32 Kata mereka seorang kepada yang lain: “Bukankah hati kita berkobar-kobar, ketika Ia berbicara dengan kita di tengah jalan dan ketika Ia menerangkan Kitab Suci kepada kita?”

Ketika itu terbukalah mata mereka dan merekapun mengenal Dia, tetapi Ia lenyap dari tengah-tengah mereka. —Lukas 24:31

Pengharapan dalam Duka

Ketika saya berumur sembilan belas tahun, salah seorang teman dekat saya meninggal dunia dalam kecelakaan mobil. Selama berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan kemudian, saya terus diliputi dukacita. Kepedihan yang saya rasakan karena kehilangan seorang teman yang masih muda dan luar biasa itu telah mengaburkan pandangan saya. Adakalanya saya tidak menyadari apa yang sedang terjadi di sekeliling saya. Saya begitu dibutakan oleh duka dan derita hingga saya tidak lagi bisa melihat Tuhan.

Dalam Lukas 24, dua murid yang sedang bingung dan patah semangat setelah kematian Yesus tidak menyadari bahwa mereka sedang berjalan bersama Guru mereka yang telah bangkit. Mereka bahkan tidak sadar juga di saat Yesus menjelaskan dari Kitab Suci tentang alasan Sang Juruselamat yang dijanjikan itu harus mati dan bangkit kembali. Ketika Dia mengambil dan memecahkan roti, barulah mereka tersadar bahwa itulah Yesus (ay.30-31). Walaupun para pengikut Yesus telah menyaksikan kematian yang paling mengerikan ketika Dia mati, Allah menunjukkan bagaimana mereka dapat kembali memiliki pengharapan melalui kebangkitan Yesus dari antara orang mati.

Seperti kedua murid tersebut, kita mungkin sedang diliputi rasa bingung dan dukacita yang besar. Meski demikian, kita dapat memperoleh pengharapan dan dihibur oleh kenyataan bahwa Yesus hidup dan masih berkarya di tengah dunia ini—dan juga di dalam diri kita. Meskipun kita masih mengalami derita dan duka, kita bisa menerima Kristus yang akan berjalan bersama kita di tengah dukacita tersebut. Sebagai Terang Dunia (Yoh. 8:12), Dia membawa sinar pengharapan yang sanggup mengenyahkan kabut yang melingkupi kita. —Amy Boucher Pye

Tuhan Allah, terima kasih karena Engkau telah menjadi terang di dalam kegelapan. Berikanlah aku pengharapan saat aku sedih dan bingung, dan mampukanlah aku untuk melihat kemuliaan-Mu.

Meski berduka, kita memiliki pengharapan di dalam Yesus.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 49-50; Roma 1

Desain gambar oleh WarungSaTeKaMu & Ferren Manuela

Teruslah Berharap

Minggu, 22 Juli 2018

Teruslah Berharap

Baca: Mazmur 34:15-18

34:15 jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik, carilah perdamaian dan berusahalah mendapatkannya!

34:16 Mata TUHAN tertuju kepada orang-orang benar, dan telinga-Nya kepada teriak mereka minta tolong;

34:17 wajah TUHAN menentang orang-orang yang berbuat jahat untuk melenyapkan ingatan kepada mereka dari muka bumi.

34:18 Apabila orang-orang benar itu berseru-seru, maka TUHAN mendengar, dan melepaskan mereka dari segala kesesakannya.

Inilah penghiburanku dalam sengsaraku, bahwa janji-Mu menghidupkan aku. —Mazmur 119:50

Teruslah Berharap

Di antara ratusan artikel yang pernah saya tulis untuk Our Daily Bread sejak tahun 1988, ada beberapa yang melekat di benak saya. Salah satunya adalah artikel dari pertengahan 90-an yang menceritakan tentang tiga wanita dalam keluarga kami yang sedang mengikuti suatu retret atau perjalanan misi, sehingga Steve, anak saya yang berumur enam tahun, dan saya memiliki waktu khusus antarpria.

Saat kami dalam perjalanan mengunjungi bandara, Steve memandang saya dan berkata, “Kurang asyik ya tidak ada Melissa.” Melissa adalah teman bermain sekaligus saudarinya yang berusia delapan tahun. Tak seorang pun dari kami bisa memperkirakan betapa memilukannya kata-kata itu ketika kemudian Melissa meninggal dunia akibat kecelakaan mobil saat masih remaja. Hidup kami memang menjadi “kurang asyik” setelah peristiwa itu. Perjalanan waktu mungkin sedikit menumpulkan rasa pilu itu, tetapi tidak ada yang dapat menghilangkannya sama sekali. Waktu tidak bisa menyembuhkan luka itu. Namun, ada sesuatu yang sanggup menolong kami: mendengarkan, merenungkan, dan menikmati penghiburan yang dijanjikan oleh Allah, sumber segala penghiburan.

Mendengarkan: “Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya” (Rat. 3:22).

Merenungkan: “Tuhan melindungi aku di waktu kesesakan; Ia menyembunyikan aku di dalam Rumah-Nya” (Mzm. 27:5 bis).

Menikmati: “Inilah penghiburanku dalam sengsaraku, bahwa janji-Mu menghidupkan aku” (Mzm. 119:50).

Hidup berubah sama sekali ketika seseorang yang kita kasihi telah pergi. Namun demikian, janji Allah sanggup memberikan pengharapan dan penghiburan kepada kita. —Dave Branon

Tuhan, terima kasih karena Engkau dekat dan selalu menyertaiku. Aku bersyukur atas penghiburan dan damai sejahtera-Mu dalam kepedihan yang sedang kurasakan.

Firman Tuhan adalah sumber penghiburan sejati.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 31-32; Kisah Para Rasul 23:16-35

Foto background quote oleh Ian Tan.

Di Saat Aku Berdukacita, Tuhan Menghiburku

Oleh Wisud Yohana Sianturi, Sidikalang

Aku telah kehilangan kedua orangtuaku. Ayahku dipanggil Tuhan lebih dulu. Ketika hari itu tiba, aku marah dan kecewa. Aku menyalahkan semuanya, orang-orang di sekitarku, keadaanku, bahkan juga Tuhan.

Sewaktu ayahku masih hidup, hubungan kami kurang begitu baik. Karena banyak hal, aku berusaha menjaga jarak dengannya. Hingga ketika Ayah mengalami sakit keras, dia berkata kepadaku, “Nang [nak], pasti kau merasa kalau aku tidak peduli kepadamu, cuek sama kamu. Tapi bapak sayang samamu, nang.” Hari itu aku menangis di depan Ayah. Ketika dia akhirnya meninggal dunia, aku menyesal karena merasa dulu tidak menjadi anak yang baik.

Selepas kepergian Ayah, aku menjauhi Tuhan. Aku sering mengabaikan pertemuan ibadah di gereja dan juga tidak mau berdoa lagi. Ketika ibuku tahu tentang hal ini, dia menegurku. Katanya, Tuhan itu tidak pernah berbuat buruk. Tuhan selalu berlaku baik. Apa pun itu pasti untuk kebaikan. Aku menangis mendengar teguran dari ibuku, dan setelahnya aku pelan-pelan belajar untuk kembali berdoa.

Beberapa bulan berselang, ibuku masuk rumah sakit dan harus dipindahkan ke rumah sakit lain yang lebih memadai. Ketika kabar itu datang, hari sudah malam dan aku tidak tahu harus berbuat apa karena kami tidak tinggal di satu kota yang sama. Perasaanku tak karuan dan aku ketakutan. Dalam keadaan itulah aku berdoa dan membaca Alkitab sambil menangis. Aku berkata pada Tuhan kalau aku belum siap jika harus kehilangan Ibu. Jika ibuku pergi meninggalkanku, maka aku akan menyerah dengan mengakhiri hidupku juga.

Keesokan harinya, aku dikabari bahwa Ibu terkena stroke dan dilarikan ke ICU. Setelah kuliah usai, aku bergegas menuju rumah sakit tempat ibuku dirawat. Ibuku sedang dalam keadaan tidak sadarkan diri. Di dekat telinganya, aku berbisik, “Mak, jangan tinggalkan aku. Aku gak siap mamak tinggalkan sendirian.” Aku melihat ibuku meneteskan air mata.

Singkat cerita, melalui serangkaian proses perawatan itu ibuku bisa bertahan dan tetap bersamaku selama hampir setahun sampai aku diwisuda. Hari-hari yang dulu kulalui bersama Ibu adalah hari yang berat. Namun, dalam kondisi seperti itu justru aku merasa kalau itu adalah masa-masa di mana aku dekat Tuhan. Masa-masa di mana aku benar-benar membutuhkan Tuhan. Hanya Tuhan tempatku mengadu, sampai akhirnya Ibu kembali masuk rumah sakit dan Tuhan memanggilnya.

Dalam dukacitaku, Tuhan menghiburku

Sejujurnya, aku rasa aku tidak sanggup menerima kenyataan kalau aku sudah tidak lagi punya orangtua. Ketika Ibu meninggal, aku sempat berpikir untuk berhenti membaca firman Tuhan dan tidak mau berdoa lagi. Ada rasa marah dan kecewa pada Tuhan hingga aku ingin meninggalkan-Nya selama beberapa waktu. Tapi, di sisi lain hatiku, aku sadar bahwa hanya Tuhan sajalah satu-satunya yang kumiliki. Dialah penciptaku, yang tahu betul akan diriku lebih daripada aku sendiri. Aku pun teringat pesan ibuku dulu ketika aku berusaha menjauhi Tuhan setelah kepergian Ayah. Tuhan itu selalu baik dan apa pun yang terjadi adalah untuk mendatangkan kebaikan.

Selama seminggu aku diliputi rasa duka. Hingga suatu ketika aku bertanya-tanya dalam hati, “Apa sih yang Tuhan akan katakan mengenai keadaanku saat ini?” Aku pun membaca renungan yang ada di tabletku. Isi renungan hari itu diambil dari Yohanes 14 yang terdiri dari beberapa ayat. Ada satu ayat yang membuatku menangis.

“Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu. Aku datang kembali kepadamu” (Yohanes 14:18).

Melalui ayat ini, aku merasa Tuhan benar-benar menghiburku. Aku berusaha menjauh dari-Nya, tapi Dia tidak pernah meninggalkanku sendirian. Kuakui, ketika kedua orangtuaku masih hidup, aku sangat mengandalkan mereka. Bersama mereka, aku merasa aman dan kuletakkan harapanku pada mereka. Tapi, ketika mereka pergi, barulah aku sadar bahwa manusia itu terbatas dan tumpuan harapan terbesar yang seharusnya menjadi satu-satunya andalanku adalah Tuhan Yesus sendiri.

Kedua orangtuaku telah pergi dari sisiku, tetapi Tuhan selalu ada buatku. Entah bagaimana pun keadaanku, di mana pun aku berada, Dia selalu bersamaku.

Aku berdoa, kiranya kesaksianku ini boleh memberi kekuatan untuk teman-teman yang membacanya.

“Engkau mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri, Engkau mengerti pikiranku dari jauh” (Mazmur 139:2).

Baca Juga:

Tuhan, Lakukanlah Kepadaku Apa Pun

Hampir tidak pernah kita berdoa “Tuhan, berikanlah kepadaku apa pun juga. Kegelapan, terang, penghiburan, penderitaan… apa pun juga… dan aku tetap akan memuji-Mu!” Wow, doa ini mungkin terdengar ngeri buatku, tapi di sinilah aku belajar untuk memahami kembali bagaimana seharusnya aku berdoa.

Ada di Mana-Mana tetapi Tiada

Sabtu, 10 Februari 2018

Ada di Mana-Mana tetapi Tiada

Baca: Mazmur 139:7-12

139:7 Ke mana aku dapat pergi menjauhi roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu?

139:8 Jika aku mendaki ke langit, Engkau di sana; jika aku menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, di situpun Engkau.

139:9 Jika aku terbang dengan sayap fajar, dan membuat kediaman di ujung laut,

139:10 juga di sana tangan-Mu akan menuntun aku, dan tangan kanan-Mu memegang aku.

139:11 Jika aku berkata: “Biarlah kegelapan saja melingkupi aku, dan terang sekelilingku menjadi malam,”

139:12 maka kegelapanpun tidak menggelapkan bagi-Mu, dan malam menjadi terang seperti siang; kegelapan sama seperti terang.

Ke mana aku dapat pergi menjauhi roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu? —Mazmur 139:7

Ada di Mana-Mana tetapi Tiada

Seorang sahabat yang juga pernah kehilangan anak remajanya dalam kecelakaan lalu lintas menuliskan kenangan tentang putrinya, Lindsay, di sebuah koran lokal. Setelah menyebutkan banyaknya foto dan kenangan Lindsay yang ditaruhnya di seputar rumah mereka, ia menulis, “Lindsay ada di mana-mana, tetapi tiada lagi bersama kami.” Itulah ungkapan paling berkesan yang dikemukakan dalam tulisannya.

Walaupun putri-putri kami masih tersenyum kepada kami melalui foto-foto mereka, kepribadian mereka yang penuh semangat dan kegembiraan itu tidak bisa kami lihat lagi. Mereka ada di mana-mana—di dalam hati kami, di pikiran kami, dan di semua foto yang terpajang—tetapi mereka tiada lagi bersama kami.

Namun, Kitab Suci mengatakan kepada kita bahwa di dalam Kristus, Lindsay dan Melissa bukan benar-benar tiada. Kini mereka ada dalam hadirat Yesus, “tinggal bersama Tuhan” (2Kor. 5:8 BIS). Mereka sedang bersama satu Pribadi yang tidak bisa kita lihat tetapi ada di mana-mana. Memang, kita tidak dapat melihat wujud Allah secara fisik. Tidak ada foto-foto Allah yang sedang tersenyum terpajang di lemari kita. Bahkan kalau Anda mencari-cari Dia, bisa saja Anda berpikir bahwa Allah itu tiada bersama Anda karena Dia memang tidak terlihat. Namun, yang benar justru sebaliknya. Allah itu ada di mana-mana!

Ke mana pun kita pergi di atas muka bumi ini, Allah ada di sana. Dia selalu hadir untuk menuntun, menguatkan, dan menghibur kita. Kita tidak dapat pergi ke tempat di mana Dia tidak ada. Kita tidak melihat-Nya, tetapi Dia ada di mana-mana. Di dalam pergumulan iman yang kita hadapi, alangkah indahnya mendengar bahwa Allah selalu menyertai kita.—Dave Branon

Tuhan, terima kasih karena Engkau hadir bersamaku di sini saat ini juga. Ajarlah aku bersandar pada-Mu.

Penghiburan terbesar kita di kala duka adalah mengetahui bahwa Allah menyertai kita.

Bacaan Alkitab Setahun: Imamat 8-10; Matius 25:31-46

Pengharapan Kekal

Senin, 18 Desember 2017

Pengharapan Kekal

Baca: Mazmur 146

146:1 Haleluya! Pujilah TUHAN, hai jiwaku!

146:2 Aku hendak memuliakan TUHAN selama aku hidup, dan bermazmur bagi Allahku selagi aku ada.

146:3 Janganlah percaya kepada para bangsawan, kepada anak manusia yang tidak dapat memberikan keselamatan.

146:4 Apabila nyawanya melayang, ia kembali ke tanah; pada hari itu juga lenyaplah maksud-maksudnya.

146:5 Berbahagialah orang yang mempunyai Allah Yakub sebagai penolong, yang harapannya pada TUHAN, Allahnya:

146:6 Dia yang menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya; yang tetap setia untuk selama-lamanya,

146:7 yang menegakkan keadilan untuk orang-orang yang diperas, yang memberi roti kepada orang-orang yang lapar. TUHAN membebaskan orang-orang yang terkurung,

146:8 TUHAN membuka mata orang-orang buta, TUHAN menegakkan orang yang tertunduk, TUHAN mengasihi orang-orang benar.

146:9 TUHAN menjaga orang-orang asing, anak yatim dan janda ditegakkan-Nya kembali, tetapi jalan orang fasik dibengkokkan-Nya.

146:10 TUHAN itu Raja untuk selama-lamanya, Allahmu, ya Sion, turun-temurun! Haleluya!

Berbahagialah orang yang mempunyai Allah Yakub sebagai penolong, yang harapannya pada Tuhan, Allahnya. —Mazmur 146:5

Pengharapan Kekal

Seminggu sebelum Natal, dua bulan setelah ibu saya wafat, urusan belanja dan dekorasi Natal sama sekali tidak menjadi prioritas saya. Saya menolak upaya suami yang ingin menghibur saya di saat saya masih berduka karena kehilangan seorang ibu yang sangat beriman. Saya jengkel saat anak kami, Xavier, membentangkan dan memasang untaian lampu Natal ke dinding rumah. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia menyalakan lampu Natal tersebut sebelum ia dan ayahnya berangkat kerja.

Saat lampu warna-warni itu berkelap-kelip, Allah pun menarik saya keluar dari kegelapan dengan penuh kelembutan. Sepedih apa pun kondisi yang ada, pengharapan saya tetap terjamin dalam kebenaran Allah. Kebenaran firman-Nya selalu mengungkapkan karakter-Nya yang tak pernah berubah.

Mazmur 146 menegaskan apa yang diingatkan Allah kepada saya di pagi yang suram itu: Saya dapat senantiasa “[berharap] pada Tuhan,” penolong saya, Allah yang perkasa dan penyayang (ay.5). Sebagai Pencipta segala sesuatu, Allah “tetap setia untuk selama-lamanya” (ay.6). Dia “menegakkan keadilan untuk orang-orang yang diperas,” melindungi dan menyediakan kebutuhan kita (ay.7). “Tuhan menegakkan orang yang tertunduk” (ay.8). Dia “menjaga” kita, menegakkan kita, dan menjadi Raja untuk selama-lamanya (ay.9-10).

Adakalanya, menjelang Natal, hari-hari kita penuh dengan saat-saat yang menyenangkan. Di lain waktu, mungkin saja kita mengalami kehilangan, kepedihan, atau kesepian. Namun di setiap saat, Allah berjanji untuk menjadi terang kita dalam kegelapan dan memberi kita pertolongan yang nyata serta pengharapan yang kekal. —Xochitl Dixon

Allah Bapa, terima kasih karena Engkau mengundang kami untuk mengenal dan mengandalkan karakter-Mu yang tak pernah berubah sebagai sumber pengharapan kami yang kekal.

Pengharapan kita di dalam Allah dijamin oleh karakter-Nya yang tak pernah berubah.

Bacaan Alkitab Setahun: Obaja 1 dan Wahyu 9

Bayi Mungil yang Dahsyat

Jumat, 3 November 2017

Bayi Mungil yang Dahsyat

Baca: Mazmur 13

13:1 Untuk pemimpin biduan. Mazmur Daud.

13:2 Berapa lama lagi, TUHAN, Kaulupakan aku terus-menerus? Berapa lama lagi Kausembunyikan wajah-Mu terhadap aku?

13:3 Berapa lama lagi aku harus menaruh kekuatiran dalam diriku, dan bersedih hati sepanjang hari? Berapa lama lagi musuhku meninggikan diri atasku?

13:4 Pandanglah kiranya, jawablah aku, ya TUHAN, Allahku! Buatlah mataku bercahaya, supaya jangan aku tertidur dan mati,

13:5 supaya musuhku jangan berkata: “Aku telah mengalahkan dia,” dan lawan-lawanku bersorak-sorak, apabila aku goyah.

13:6 Tetapi aku, kepada kasih setia-Mu aku percaya, hatiku bersorak-sorak karena penyelamatan-Mu. Aku mau menyanyi untuk TUHAN, karena Ia telah berbuat baik kepadaku.

Berapa lama lagi, Tuhan, Kaulupakan aku terus-menerus? . . . Tetapi aku, kepada kasih setiaMu aku percaya. —Mazmur 13:2,6a

Bayi Mungil yang Dahsyat

Pertama kali melihat bayi itu, saya menangis. Ia terlihat seperti bayi sempurna yang sedang terlelap. Namun, kami tahu ia takkan pernah bangun lagi. Ia telah kembali ke pangkuan Tuhan Yesus.

Bayi itu telah bertahan hidup beberapa bulan. Kemudian sang ibu menyampaikan kabar kematian bayinya kepada kami lewat sebuah e-mail yang sangat memilukan hati. Ia menulis bahwa ia mengalami “kepedihan yang besar di dalam batin.” Namun, ia juga berkata, “Betapa dalamnya Allah mengukir karya kasih-Nya di dalam hati kami melalui kehidupan bayi mungil kami! Alangkah dahsyat hidupnya!”

Bagaimana ia bisa berkata demikian?

Sang bayi yang begitu disayang keluarganya itu menunjukkan kepada mereka—dan kepada kita—betapa kita harus bergantung kepada Allah dalam segala hal, terutama pada saat segala sesuatu tidak berjalan sesuai kehendak kita! Ada satu kebenaran yang sulit dimengerti tetapi sanggup menghibur kita: Allah melawat kita di dalam penderitaan kita. Allah ikut merasakan pedihnya kematian seorang anak, karena Dia sendiri pernah mengalaminya.

Dalam penderitaan kita yang terdalam, kiranya kita terhibur oleh mazmur Daud yang ditulisnya ketika sedang berada dalam kepedihan yang besar. Ia bertanya, “Berapa lama lagi aku harus menaruh kekuatiran dalam diriku, dan bersedih hati sepanjang hari?” (Mzm. 13:3). “Buatlah mataku bercahaya, supaya jangan aku tertidur dan mati” (ay.4). Namun Daud menyerahkan keresahan hatinya yang terdalam kepada Allah. “Tetapi aku, kepada kasih setia-Mu aku percaya, hatiku bersorak-sorak karena penyelamatan-Mu” (ay.6a).

Hanya Allah yang sanggup memberi makna yang sesungguhnya dari peristiwa-peristiwa tragis yang kita alami. —Tim Gustafson

Ke mana kamu berpaling saat krisis menghantam? Pernahkah kamu marah kepada Allah saat mengalami kepedihan dan kehilangan? Takutkah kamu mengungkapkan emosimu sejujurnya kepada Allah? Pernahkah kamu memohon damai dari-Nya?

Allah sanggup melakukan yang besar dari apa yang kita pandang kecil.

Bacaan Alkitab Setahun: Yeremia 30-31; Filemon