Posts

Merayakan Duka

Oleh Triska Zagoto, Medan

Penghujung bulan Oktober lalu hadir dengan kisah duka yang menyisakan pilu, dan kuyakin di bulan yang sama di tahun depan pun memori kehilangan ini akan mengurai air mata. Ada dua ibadah penghiburan yang kuhadiri dalam rentang waktu kurang dari 24 jam. Sebagai orang yang memiliki pengalaman dukakehilangan seorang yang dikasihi sebelas tahun yang lalu, ternyata perasaan yang sulit dipahami dan tak dapat dijelaskan akan kehilangan itu masih ada… atau mungkin akan terus ada.

Ada perasaan campur aduk antara kehilangan dan belajar menerimanya. Belajar menerima kehilangan itu membutuhkan proses bertahun-tahun, atau mungkin berpuluh-puluh tahun. Nicholas Wolterstorff, seorang teolog dan filsuf, dalam bukunya Ratapan Bagi Putra (judul asli: Lament for a Son), buku tipis yang berisi catatan harian beliau setelah kehilangan putranya Erick, mengatakan, Memang itulah yang seharusnya terjadi, apabila ia bernilai untuk dicintai, maka ia pun bernilai menerima rasa duka kita. Kedukaan merupakan kesaksian kehidupan tentang nilai seseorang yang dikasihi. Nilai itu akan terus ada. Sepenggal kalimat ini menyadarkanku bahwa kedukaan adalah momen untuk mengingat dan mengenang mereka yang pernah Tuhan hadirkan di hidup kita.

Menerima Kehilangan sebagai Bagian dari Hidup

Seorang pendeta dalam khotbahnya pernah mengatakan bahwa kehidupan kita ini bersifat transisi. Seperti halnya halte, stasiun, pelabuhan, dan bandara adalah tempat perhentian untuk kita menuju suatu tempat. Ya, kita akan menuju ke suatu tempat! Namun kita tahu bahwa dalam masa-masa transisi ini kita akan menjumpai kehilangan demi kehilangan, mengurai air mata demi air mata, menemui pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab, penuh pergulatan iman, pun pergumulan lain-lain. Tuhan menghargai setiap pengalaman-pengalaman itu, dan di sana pulalah Ia hadir dengan segala penghiburan-Nya.

Philip Yancey, dalam salah satu bukunya, mengatakan di Surga sana, ada Pribadi Allah yang memiliki bekas-bekas luka, yang karena itu Dia sangat memahami semua rasa yang mungkin ada saat penderitaan itu dialami oleh manusia. Di dalam proses menerima kehilangan tahun demi tahun, aku semakin belajar bahwa Allah yang kita sembah itu bukan saja Allah dari orang-orang yang menderita, tetapi Allah yang juga menderita. Maka kita pun mengerti bahwa Allah memberi dan menyediakan ruang yang luas untuk kita berkeluh kesah dan berduka.

Allah yang Hadir Bersama

Namun, mengetahui dan menyadari kebenaran ini tidak membuat kedukaan bisa kita jalani dengan instan. Tentu saja hari-hari setelah kehilangan itu masih terasa berat,. membentangkan satu realita yang sulit diterima yaitu tentang hal yang tidak akan pernah terulang lagi. Tentang tidak akan pernah ada lagi suara, canda, tawa, nasihat, pelukan, dan kehadiran mereka yang kita kasihi. Semuanya akan menjadi kenangan yang akan sering menyapa di waktu-waktu sendirian dan mungkin pertanyaan “Mengapa, Tuhan?” akan dengan lantang kita teriakkan di malam-malam gelap. Namun, Allah yang turut merasakan penderitaan kita itu adalah Allah yang bersetia, setiap hari, setiap waktu. Seperti pemazmur dalam doanya: “Inilah penghiburanku dalam sengsaraku, bahwa janji-Mu menghidupkan aku.” (Mazmur 119:50). Di dalam kerapuhan itu, Allah hadir bersama kita selangkah demi selangkah.

Penghiburan Kita

Menerima realita bahwa hidup saat ini bersifat transisi, adalah hal yang penting untuk direnungkan ke mana kita sedang menuju. Menerima bahwa kematian dapat menyambut siapa saja, termasuk kita, adalah realita yang menyadarkan bahwa kita ini rapuh, kita ini fana. Namun, dalam Alkitab kita menemukan ternyata kematian itu bukanlah akhir. Jawab Yesus: “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya.” (Yohanes 11:25-26). Inilah pengharapan kekal yang kita miliki, sebagai orang percaya kita akan dibangkitkan sama seperti Yesus telah bangkit dan akan bersama-sama dengan Dia di Surga. Inilah penghiburan yang tak dapat ditawarkan oleh dunia. Inilah penghiburan yang menguatkan hati dan memantapkan langkah-langkah kita untuk menjalani hari-hari sampai waktu kita tiba.

Di dalam pengalaman duka yang kualami, Tuhan memberiku kesempatan-kesempatan untuk merayakannya. Entah dalam ketakutan, pun keindahan ketika aku boleh menyaksikan rahmat-Nya merengkuhku yang kian hari menumbuhkan iman dan pengenalanku akan Dia. Memberi ruang bebas yang tak terbatas untuk siapapun boleh datang pada-Nya adalah salah satu dari sekian banyak bukti bahwa Tuhan menghargai setiap kegelisahan, kepedihan, ketakutan, dan air mata kita.

Selamat merayakan duka untuk siapapun yang tengah kehilangan atau bagi kamu yang sedang belajar menerimanya.

“Dan aku mendengar suara dari sorga berkata: Tuliskan: ‘Berbahagialah orang-orang mati yang mati dalam Tuhan, sejak sekarang ini. ‘ ‘Sungguh,’ kata Roh, ‘supaya mereka boleh beristirahat dari jerih lelah mereka, karena segala perbuatan mereka menyertai mereka.” (Wahyu 14:13).

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Pada Akhirnya, Adalah Kehilangan yang Menjadikan Kami Berubah

Oleh Serminya Karlen Patoding, Minahasa

Perpisahan dengan orang yang kita kasihi adalah satu hal yang sangat menyakitkan, apalagi ketika orang yang kita kasihi meninggal dunia. Itulah yang aku rasakan ketika aku kehilangan sosok ayahku.

Sekarang aku telah menjadi seorang mahasiswa semester akhir, dan aku kehilangan ayahku pada tahun 2014, waktu aku masih kelas 1 SMP. Kejadian sembilan tahun lalu itu mungkin dianggap sebagian orang sudah cukup lama, jadi kepedihan karena kehilangan perlahan sudah berkurang atau bahkan sudah tidak sakit hati lagi. Tetapi, yang aku rasakan tidaklah begitu. Pada waktu ayah baru meninggal mungkin aku tidak terlalu merasakan sakit hati, karena, yah namanya juga masih anak-anak yang pemikirannya belum terbuka.

Aku justru merasakan sakit hati paling dalam ketika aku sudah memasuki bangku kuliah. Aku merasa pemikiranku sudah mulai terbuka. Aku mengingat kembali apa yang terjadi beberapa tahun sebelumnya. Sebelum kehilangan ayah, keluarga kami hidup berkecukupan, apapun kebutuhan kami terpenuhi.

Tetapi, kehidupan keluarga kami berubah drastis setelahnya. Di situlah aku mulai berpikir kenapa Tuhan melakukan itu kepada keluarga kami? Kenapa Tuhan mengambil ayah kami? Padahal ibu tidak bekerja, kami 9 orang bersaudara dan anak pertama waktu itu masih SMA dan anak terakhir masih 3 tahun.

Bisa dibayangkan bagaimana ibu kami akan menghidupi kami 9 orang? Bagaimana dia akan membiayai sekolah kami? Dan bagaimana kebutuhan-kebutuhan lain kami akan terpenuhi?

Nah, singkat cerita, tahun demi tahun berlalu .Tak terasa kami melalui itu semua dan mulai berdamai dengan keadaan. Ternyata, berkat Tuhan datang dari segala arah dan memberi kami kecukupan sampai saat ini. Meskipun banyak pergumulan yang kami hadapi dalam keluarga, tetapi di sisi lain ada satu hal yang lebih besar yang terjadi dalam kehidupan keluarga kami. Sebelumnya kami bisa dikatakan cukup jauh dari Tuhan, bahkan ayah jarang menginjakan kaki di gereja dan saudaraku yang lain juga jarang ke gereja. Namun, setelah kehilangan ayah, ibu sudah sering ke gereja, saudara-saudaraku juga, dan kami semua perlahan mulai kenal dengan dunia pelayanan.

Ibu juga sudah sering mengajarkan kami untuk terus berdoa dan berpengharapan kepada Tuhan. Membaca Alkitab, menyanyi memuji Tuhan sebelum tidur, dan menyelesaikan suatu permasalahan berdasarkan firman Tuhan.

Waktu demi waktu berlalu dan sekarang ibuku sudah memberi diri untuk dipakai Tuhan dalam pelayanan di gereja. Kakak juga memberi diri untuk dipakai Tuhan dan sekarang mengambil studi Teologi, juga ada adikku yang terus belajar dan memberi diri dalam pelayanan di gereja. Aku juga bersyukur meskipun kuliahku bukan jurusan Teologi, tetapi dapat diperkenalkan dengan dunia pelayanan kampus.

Dari sisi tersebut aku belajar bahwa ternyata di balik kehilangan seorang yang kami sangat kasihi bukanlah semata-mata suatu musibah, tetapi ada satu hal yang begitu luar biasa terjadi dalam kehidupan keluarga kami. Ada pengharapan yang besar bagi kami. Tuhan mengubahkan hidup kami dan memanggil kami menjadi pelayan-Nya di tempat yang sudah di tentukan-Nya. Melalui pertolongan Tuhan, kami yang pada awalnya merasa tidak terima akan apa yang terjadi pada keluarga kami justru mengimani bahwa penyertaan Tuhan senantiasa ada atas kami. Dia terus setia dan hadir dalam setiap langkah kehidupan kami.

Kehilangan membuat kita bergantung pada Tuhan dan menantikan karya Tuhan dalam kehidupan kita. Tapi di atas semua penderitaan, pergumulan, kesedihan dan kehilangan yang kita alami Tuhan berjanji bahwa Dia ambil kendali.

“Kita tahu sekarang bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Roma 8:28).

Hal yang akan terjadi pada kehidupan kita di hari esok bagaikan teka-teki yang tidak bisa ditebak oleh manusia. Karena itu, iman bahwa Tuhan menyertai kita memberi dorongan kepada untuk kita terus memberikan yang terbaik bagi orang lain, bagi diri kita sendiri dan terlebih bagi Tuhan.

Saat kehilangan kita boleh bersedih, kita boleh menangis, dan awalnya memang tidaklah mudah bagi kita untuk menerima. Namun dalam kesedihan dan keterpurukan kita marilah kita coba untuk memberi ruang kepada Tuhan untuk mengisi kekosongan hati kita.

Catatan Kecilku Saat Berduka: Ada Pengharapan dari-Nya

Oleh Jefferson

Natal identik dengan perayaan, sukacita, dan reuni bersama kerabat dan teman, tetapi Natal yang baru berlalu terasa berbeda untukku dan keluarga. Tepat satu minggu sebelum Natal, nenekku meninggal dunia. Aku yang sedang pulang liburan kuliah langsung membatalkan semua janjiku untuk menjalani proses kedukaan bersama keluarga.

Perasaanku campur aduk. Aku bingung bagaimana harus menanggapi kepergian nenek. Di satu sisi, aku selalu menemui beliau setiap kali aku pulang dan sebelum aku berangkat kembali Singapura. Di sisi lain, aku merasa tidak dekat dengan beliau karena jarak yang membatasi interaksi kami selama sembilan tahun terakhir.

Seperti yang biasa kulakukan untuk setiap peristiwa kehidupan yang signifikan, aku menulis jurnal sebagai doa kepada Tuhan sembari memproses setiap kejadian dan perasaan yang kualami bersama-Nya. Aku belakangan tahu manfaat di balik memusatkan diri kepada Allah selama berduka. Prakata buku On Death (“Tentang Maut”) karangan Tim Keller mengutip Samuel Johnson, “maut cenderung memusatkan pikiran dengan luar biasa.” Selama masa berduka kita cenderung merenungkan hal-hal yang tak biasa kita pikirkan seperti kehidupan dari yang berpulang, memori-memori bersamanya, dan apa yang terjadi setelah kematian. Dalam periode seperti inilah iman kita diuji. Oleh karena itu, kita yang mengaku percaya kepada Kristus harus mengarahkan diri untuk berduka dalam Tuhan. Dan dalam Firman-Nya kutemukan cara berduka yang menangkap dengan baik perasaanku yang campur aduk:

“Selanjutnya kami tidak mau, saudara-saudara, bahwa kamu tidak mengetahui tentang mereka yang meninggal, supaya kamu jangan berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan. Karena jikalau kita percaya bahwa Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita percaya juga bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia. Ini kami katakan kepadamu dengan firman Tuhan: kita yang hidup, yang masih tinggal sampai kedatangan Tuhan, sekali-kali tidak akan mendahului mereka yang telah meninggal. Sebab pada waktu tanda diberi, yaitu pada waktu penghulu malaikat berseru dan sangkakala berbunyi, maka Tuhan sendiri akan turun dari sorga dan mereka yang mati dalam Kristus akan lebih dahulu bangkit; sesudah itu, kita yang hidup, yang masih tinggal, akan diangkat bersama-sama dengan mereka dalam awan menyongsong Tuhan di angkasa. Demikianlah kita akan selama-lamanya bersama-sama dengan Tuhan. Karena itu hiburkanlah seorang akan yang lain dengan perkataan-perkataan ini” [1 Tes. 4:13–18].

Berdukacita Menurut Alkitab: Tindakan yang Paradoksal

Tim Keller mengamati bahwa klausa terakhir dalam ayat 13 adalah negatif ganda (“jangan” dan “tidak”), jadi dalam konotasi positif Paulus sedang mengajarkan jemaat Tesalonika untuk berdukacita sebagai orang-orang yang mempunyai pengharapan. Tetapi bukankah frasa ini, berdukacita dalam pengharapan, terdengar kontradiktif? Bagaimana dua hal yang bertolak belakang, kesedihan dan pengharapan, dapat kita hidupi secara bersamaan? Sebelum kita menjawab pertanyaan ini, kita perlu memahami konteks surat 1 Tesalonika terlebih dahulu.

Tema utama kitab ini adalah kedatangan Yesus Kristus yang kedua (1:10; 2:19–20; 3:13; 4:13–18; 5:1–11, 23–24). Jemaat Tesalonika tampaknya tak memahami hal ini dengan benar sehingga ada beberapa isu berkaitan yang Paulus bahas dalam suratnya, termasuk tentang kebangkitan orang mati dalam perikop ini. Ada jemaat yang menganggap bahwa anggota gereja yang saat itu telah meninggal akan melewatkan kedatangan kedua Kristus sehingga mereka “berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan” (ay. 13).

Paulus tidak menyalahkan jemaat Tesalonika karena ia memang tidak sempat mengajarkan hal ini ketika ia melayani di sana (3:10, bdk. 2:15, 17; Kis. 17:5–10). Ia malahan mendorong mereka untuk berdukacita, tetapi dalam pengharapan yang tidak dunia miliki. Maka Paulus mengajak kita untuk menyeimbangkan dua ekstrim, duka dan pengharapan, sehingga kita dapat melihat dua sudut dari tanggapan Kristiani terhadap kepergian orang yang berpulang.

Di satu sisi, kita patut berdukacita karena itu memang adalah respons yang pantas ketika seseorang meninggal. Aku mungkin terdengar bodoh karena menuliskan hal yang sudah jelas, namun ada banyak orang Kristen yang mencoba melangkahi dukacita lalu menderita di kemudian hari karena tidak memproses kepergian orang yang berpulang dengan benar. Kita tahu ada pengharapan kebangkitan orang mati (yang akan dibahas di paragraf berikutnya), namun Paulus di suratnya yang lain juga mengajarkan kita untuk berduka bersama mereka yang sedang berduka (Rom. 12:15). Kekayaan catatan Alkitab tentang orang-orang yang berduka (e.g., Ul. 34:8; 2 Sam. 12:15–23; Ay. 1:13–21) turut mendorongku untuk berani merangkul kedukaan. Firman Tuhan menyediakan ruang bagi yang berduka dan meragukan kehadiran-Nya di tengah duka, bahkan Ayub tidak mempertanyakan Tuhan hanya pada dua pasal pertama dan terakhir kitabnya! Kamu dapat membaca bagian-bagian Alkitab lain yang mencatat pengalaman dukacita umat Allah, tapi aku ingin mengakhiri paragraf ini dengan air mata Tuhan Yesus sendiri (Yoh. 11:35). Mengapa Yesus meratapi kematian Lazarus ketika Ia tahu Ia akan membangkitkannya sesaat kemudian? Tim Keller mengamati, “Karena itu adalah respons yang benar terhadap kejahatan dan ketidakwajaran maut.”

Di sisi lain, kita menyandarkan kedukaan kita pada pengharapan “bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia” (ay. 14) dan “mereka yang mati dalam Kristus akan lebih dahulu bangkit” (ay. 16). Dengan kata lain, kita perlu mengingat pengharapan akan kebangkitan dari maut. Ketika Paulus mengajarkan kita untuk tidak berdukacita seperti mereka yang tak memiliki pengharapan di ayat 13, ia sedang menunjukkan keunikan iman Kristen yang berharap pada kebangkitan tubuh dan kehidupan kekal setelah kematian. Sambil memproses perasaanku, mengikuti setiap proses kedukaan, dan merenungkan Natal, aku jadi lebih menghargai kata-kata Tuhan Yesus dalam Yohanes 10:10, “Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.” Ia pertama kali datang untuk mati dan bangkit agar kita dapat percaya dengan yakin bahwa Ia akan membangkitkan kita pada kedatangan-Nya yang kedua. Adakah pengharapan lain yang lebih kuat, hebat, dan mulia dibandingkan dengan yang Yesus Kristus berikan kepada manusia? Maka Ia memampukan kita untuk berdukacita dalam pengharapan.

Berdukacita untuk Mereka yang Mengaku Tidak Percaya Kepada Kristus

Namun bagaimana praktik berdukacita dalam pengharapan ini diterapkan kalau orang yang berpulang tidak percaya kepada Kristus, apalagi ayat 14 dengan spesifik mencatat “mereka yang telah meninggal dalam Yesus”? Jika Kekristenan adalah satu-satunya iman yang sejati dan benar, bukankah mereka yang tak percaya kepada Yesus tidak “akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia”? Bagaimana aku dapat berduka dalam pengharapan-Nya untuk nenekku yang sampai akhir hidupnya kelihatannya tidak percaya kepada Yesus?

Karena hal ini tidak dijelaskan oleh Alkitab dengan eksplisit, kita perlu menerapkan hikmat dari Allah untuk mencapai kesimpulan yang selaras Firman-Nya. Dua sumber terpercaya, Got Questions dan Desiring God, mengarahkanku kepada doa Abraham:

“Jauhlah kiranya dari pada-Mu untuk berbuat demikian, membunuh orang benar bersama-sama dengan orang fasik, sehingga orang benar itu seolah-olah sama dengan orang fasik! Jauhlah kiranya yang demikian dari pada-Mu! Masakan Hakim segenap bumi tidak menghukum dengan adil? [Kejadian 18:25].

Dalam ayat ini, Abraham memohon kepada Tuhan untuk tidak menghancurkan Sodom dan Gomora asalkan ada orang benar di sana. Perhatikan bahwa ia tidak melandaskan doanya pada kebajikan penduduk-penduduk Sodom dan Gomora. Abraham justru memohon atas dasar identitas Allah sendiri sebagai “Hakim segenap bumi” yang “menghukum dengan adil”.

Dari sumber-sumber di atas, aku belajar dua hal tentang bagaimana berduka bagi mereka yang tampaknya tidak percaya kepada Kristus. Pertama, urusan ke mana yang berpulang pergi adalah antara dia dengan Tuhan. Aku tidak dapat bilang dengan pasti bahwa nenekku tidak percaya dengan Tuhan sampai akhir, walaupun kelihatannya begitu. Mungkin saja Ia secara ajaib menemui nenekku di detik-detik akhirnya dan membawanya percaya pada-Nya. Yang pasti, kami yang percaya pada Kristus telah membagikan Injil kepada nenekku bahkan hingga di ranjang perawatannya. Percaya atau tidaknya nenekku adalah urusannya dengan Tuhan, bukan kami. Yang kedua, mengutip John Piper, “yang perlu kita ingat adalah Tuhan adil, baik, dan tidak melakukan apapun yang tidak akan kita setujui pada akhirnya.” Standar kebenaran, kebaikan, dan kebajikan adalah Tuhan Yesus, bukan kita. Ketika ada orang yang mengaku tidak percaya berpulang, kita dapat turut berduka baginya sambil berharap bahwa penghakiman Allah baginya adalah adil dan benar. Pada titik ini makna kedatangan pertama Yesus Kristus di momen Natal menjadi semakin berarti. Roma 8:32 terngiang dalam benak, “Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?”

Doa Dukaku dalam Pengharapan Natal

Tulisan ini adalah rangkuman perenungan yang kucatat dalam jurnalku pada hari kematian nenekku. Maka kurasa tepat untuk mengakhirinya dengan doaku hari itu kepada Allah:

Bapa di dalam surga, aku mengucap syukur atas segala karunia dan berkat yang telah Kau bagikan lewat nenek sehingga bahkan asisten rumah tangga kami pun meneteskan air mata atas kehilangannya. Aku berdoa dan berharap Engkau sempat menyatakan diri-Mu sendiri kepadanya di momen-momen terakhirnya di bumi dan membawanya kembali ke hadirat-Mu sehingga aku dapat bertemu dengannya lagi bersama-Mu di masa yang akan datang. Tetapi aku bukan Engkau, aku hanya dapat beriman bahwa Engkau telah melaksanakan apa yang Engkau kehendaki. Aku menyerahkan diriku sendiri dan semua anggota-anggota keluargaku ke dalam tangan-Mu, mengetahui bahwa bahkan kematian pun adalah salah satu berkat-Mu bagi kami. Beri aku kekuatan untuk mendampingi orangtuaku selama masa berkabung ini, biarlah Roh-Mu terus beserta dengan kami dan menghibur kami dalam kasih Anak-Mu bagi kami. Dan biarlah peristiwa ini menjadi alat-Mu untuk menjangkau kerabat-kerabatku yang belum percaya kepada-Mu. Sebab tak ada dukacita dalam pengharapan lain di dunia selain yang Injil-Mu beritakan.

Di dalam nama-Mu, Anak, dan Roh Kudus aku berduka, berharap, dan telah berdoa, amin.

Keteladanan Hidup Apa yang Akan Kita Tinggalkan?

Oleh Astrid Winda Sondakh

Beberapa waktu lalu, orang yang paling kukasihi dan sayangi pergi meninggalkanku. Dia adalah omaku, namun lebih akrab kupanggil “mama”, panggilan yang kurasa sangat tepat untuknya karena sampai saat ini aku merasa oma bukanlah sekadar nenek. Mama benar-benar seperti wanita yang melahirkanku karena kasih sayangnya yang luar biasa padaku.

Kematian mama telah membawaku “terbangun dari tidur”. Bagaimana tidak, segala keteladanan hidupnya benar-benar membuatku kagum dan bangga, memotivasiku untuk menjalani hidupku sebaik mungkin. Integritasnya dalam pelayanan dan juga dalam segala hal sungguh luar biasa. Dari dulu—sejak sosok mamaku masih ada—aku memang sudah sangat kagum padanya. Mama sering mengajakku ikut di kegiatan pelayanan, juga kegiatan-kegiatan lain di sekolah tempatnya mengajar. Dia sosok yang bersemangat, bertanggung jawab, dan berwibawa sehingga di mataku dialah sosok panutan yang membuatku terkagum. Namun, saat kematiannyalah yang benar-benar menambah kekagumanku, karena ternyata bukan hanya aku saja yang kagum, namun ada banyak orang juga.

Ketika mama disemayamkan, saat itu aku sedang duduk di samping jenazah. Para pelayat bergantian datang melihat jenazah mama untuk terakhir kalinya. Di sela-sela itu, setiap kali para pelayat masuk, aku mendengar mereka memberi kesaksian tentang mamaku ini, entah mereka bercerita pada satu dengan yang lain atau pun bercerita langsung kepadaku. Mereka menceritakan tentang kekaguman mereka, tentang bagaimana perjuangannya dalam menghidupi keluarga sampai perjuangannya dalam pelayanan. Mereka juga kagum dengan sosok mamaku yang sampai akhir hayatnya tidak pernah buang-buang waktu, padahal sebagai seorang pensiunan, kebanyakan orang hanya duduk santai di rumah. Namun tidak dengannya, dia menggunakan waktu itu untuk pergi berkebun dan menanam segala macam tanaman yang dapat menghasilkan untuk anak-anak dan cucu-cucunya. Mereka juga sering mengatakan bahwa mamaku dari masih muda sampai akhir hayatnya selalu aktif dalam pelayanan, baik itu dalam pelayanan pemuda, kaum ibu, sampai lansia. Banyak kepercayaan, khususnya pelayanan yang diberi padanya, bahkan selain sebagai seorang guru Fisika, dia juga diberi kepercayaan di sekolah untuk menjadi guru agama.

Bukan hanya sekadar kesaksian orang-orang itu, namun aku pun menyaksikan sendiri bagaimana perjuangan mama sampai akhir hayatnya, sehingga bagiku, perkataan Paulus dalam 2 Timotius 4:7-8 (TB) sangat tepat untuk mamaku, “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya; tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya.” Mama benar-benar telah memelihara imannya, bahkan sampai pada garis akhirnya.

Hampir setahun lebih mamaku mengalami sakit, sudah masuk keluar rumah sakit, sampai pergi ke dokter spesialis pun sudah mama lakukan namun sakit yang mama alami tak kunjung sembuh malah kondisinya semakin menurun, sampai kami keluarga mulai khawatir dan mulai menyalahkan pihak medis. Namun mamaku tetap sabar walaupun aku tahu dia juga hanya manusia biasa yang pastinya ada rasa kecewa, khawatir dan sebagainya. Dalam sakitnya sampai akhir hayatnya itu, mamakulah yang terus menguatkan kami keluarga dan mengajak kami untuk terus berdoa, bahkan di tengah goncangan iman ini, mamakulah yang berkata pada kami, “Kita sudah berdoa, Tuhan pasti tolong.” Imannya tidak goyah, bahkan saat dia sedang dalam kelemahan dan kesakitan. Di saat–saat terakhirnya itu dia masih terus mengatakan, “Tuhan, tolong hamba-Mu” berulang kali. Dan, saat itu juga air mataku langsung jatuh, karena melihat betapa teguh imannya itu. Dia tidak marah, tidak berteriak-teriak. Dia tetap tenang menahan kesakitan dan kelemahannya itu. Tidak heran, ekspresinya saat meninggal benar-benar menunjukkan sedang tersenyum dan begitu tenang.

Dalam perenunganku, aku terpikir dengan perkataan Yesus tentang “Ajakan Juruselamat” dalam Matius 11:29 (TB), “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan.” Dalam proses hidupnya, mamaku benar-benar telah dibentuk dan terbentuk menjadi pribadi yang kuat dan tangguh. Bahkan, dalam ibadah pemakaman, gembala yang memimpin ibadah pemakaman dan setiap sambutan yang disampaikan terus mengatakan bahwa dia adalah surat Kristus yang terbuka, karena mereka benar-benar menyaksikan bahwa Injil benar-benar mama hidupi dalam hidupnya. Darinya, aku belajar tentang arti kehidupan ini. Membuatku mengerti betapa pentingnya menabur dan taat pada setiap proses, dalam ziarah kita di dunia yang fana ini.

Ketika aku menceritakan kisahnya pada temanku, temanku berkata, “Eh, pernah terpikir tidak, kalau kita meninggal, apa yang akan orang katakan?” Aku belum pernah terpikir akan hal itu. Namun, pertanyaan itu membuatku merenungkan akan apa arti hidup kita di dunia ini dan apa yang seharusnya kita tinggalkan. Bukan sekadar mencari nama baik, namun apa yang kita bisa berikan pada mereka yang telah kita tinggalkan lewat keteladanan semasa hidup di dunia fana ini dan bagaimana kita dapat menginspirasi banyak orang lewat cerita dan proses hidup kita sampai akhir hayat.

Aku menulis ini bukan untuk membangga-banggakan mamaku, aku sadar dia juga hanya manusia biasa yang jauh dari kata sempurna namun aku menulis ini, karena aku rindu cerita hidupnya menjadi berkat dan teladan, bukan hanya untukku, namun untuk kita semua.

Aku ingin memberi pertanyaan kepada kita semua, “Teladan apa yang akan kita tinggalkan setelah kita tiada? Apakah kita juga bisa menghidupi Injil semasa hidup kita ini dan menjadi surat Kristus yang terbuka? Dan, hal apa yang kita ingin orang ingat tentang kita?”

Akhirnya, aku ingin berterima kasih kepada mama, untuk semua yang telah mama lewati dan keteladanan yang telah mama tinggalkan.

Suatu Saat Nanti Kita Tersenyum dan Berkata dalam Hati: “Oh, Jadi Ini Maksudnya Tuhan”

Oleh Herti Juliani Gulo, Medan

Awal tahun 2022 adalah tahun yang penuh dukacita mendalam bagi keluargaku, terutama bagi diriku sendiri. Tidak pernah terbayang dalam pikiran jika tahun ini aku kehilangan seorang panutanku yang luar biasa—ayahku sendiri yang akrab kupanggil ‘papa’.

Di mataku, papa adalah orang baik, yang hidupnya selalu dipenuhi oleh kasih sayang, canda tawa, dan rasa syukur yang melimpah. Aku adalah salah satu saksi bagaimana papa menjalani hidupnya. Di tengah banyaknya cobaan, papa selalu menjadi penyejuk dalam keluarga. Ketika dia menghadapi masalah di keluarga, pekerjaan, atau komunitas gerejawi, papa selalu bijak mengambil keputusan karena dia selalu berpikir bahwa setiap masalah itu dicari solusinya, bukan dihakimi penyebabnya. Papa menyadari bahwa manusia tidaklah sempurna, dan cenderung menghakimi tanpa menyelesaikan masalah.

Ketika akhirnya papa meninggal, banyak orang mengatakan kepergiannya misterius. Saat berhadapan dengan orang lain, papa kelihatan kuat. Namun, di balik itu, ada sakit yang tak tertahankan dalam tubuhnya. Begitulah papaku, dia mampu menahan sakitnya sendiri demi menjaga perasaan keluarga dan tidak membuat orang lain khawatir.

Aku sebagai anak perempuannya, amat mengagumi papaku. Sejak aku kecil, kami sangat dekat dan kedekatan ini diaminkan oleh banyak orang yang berkata bahwa aku dan papa punya ikatan batin yang kuat. Papa juga amat mengasihiku. Dia tidak pernah marah, menghakimi, atau melakukan kekerasan fisik karena memang dalam hidupnya dipenuhi kasih. Aku sendiri merenung, betapa beruntungnya aku memilikinya sepanjang papa hidup di dunia ini.

Satu hal yang aku syukuri dari kepergiaan papa adalah papa telah hidup di dalam Tuhan. Papa orang yang sangat beriman. Sejak aku kecil, dia selalu berusaha untuk mendekatkan hidupku dan keluargaku dengan Tuhan. Namun, tidak semua dari kami berhasil hidup melekat dengan Tuhan karena tentunya kerohanian seseorang adalah keputusan personal. Berkat upaya papa, meskipun aku sendiri belum sepenuhnya berpengharapan pada Tuhan, tetapi aku selalu meminta pimpinan Roh Kudus agar Dialah satu-satunya yang kuandalkan di dunia ini.

Dari kepergian papa, aku menyadari ada dua hal penting dalam hidupku. Pertama, aku sempat berpikir mengapa orang baik sangat cepat dipanggil Tuhan? Kenapa bukan orang berdosa saja yang Tuhan cepat panggil?

Dalam perenunganku, kusadar bahwa pemikiran itu tidak benar. Jika Tuhan memanggil orang baik, orang yang telah mengenal-Nya, itu karena Tuhan tahu mereka akan tinggal bersama-sama dengan-Nya di surga. Setiap orang telah berdosa, dan kepada mereka dikaruniakan kesempatan dan waktu untuk mengenal-Nya dan hidup benar.

Kedua, Tuhan punya rencana lain dalam hidupku. Kuakui bahwa selama ini, hidupku sangat bergantung pada papa karena kedamaian selalu kuperoleh dari papa, sehingga tanpa kusadari aku menaruh harap berlebih pada papa, selalu memprioritaskannya daripada Tuhan. Sekarang, aku sadar bahwa Tuhan punya rencana indah buatku. Tuhan ingin agar aku melihat-Nya dan lebih mengagumi-Nya daripada manusia yang ada di dunia ini. Kebaikan papa selama hidupnya menunjukkanku bahwa papa adalah perpanjangan kasih dan kebaikan Tuhan. Ketika Tuhan memanggil papa pulang, itu karena tugasnya telah selesai di dunia ini dan Tuhan ingin agar aku dan keluarga merasakan kasih dan kebaikan-Nya secara langsung.

Proses menerima kedukaan terasa berat. Hidupku terpuruk, namun aku selalu berdoa agar Tuhan menguatkan… dan di sinilah kualami kesetiaan Tuhan. Tuhan selalu menyelipkan kedamaian di tengah-tengah dukacita yang kualami berbulan-bulan. Dari keterpurukan yang kurasakan, ada kasih setia Tuhan yang kuperoleh. Tuhan memakai orang lain, ada keluarga, teman, sahabat, untuk menjadi berkat dalam hidupku. Semenjak itu, aku terus hidup berpengharapan sama Tuhan, karena hanya di dalam Tuhan bisa kuperoleh kasih dan kedamaian hidup. Hal ini membuatku tersenyum dan dalam hati berkata, “Oh, jadi ini maksudnya Tuhan.”

Firman Tuhan di Yohanes 16:20 yang berkata, “Aku berkata kepadamu: sesungguhnya kamu akan menangis dan meratap, tetapi dunia akan bergembira, kamu akan berdukacita, tetapi dukacitamu akan berubah menjadi sukacita” tergenapi dalam hidupku. Begitu banyaknya pergumulan yang kuhadapi sejak papa pergi. Namun, pergumulan itu berhasil kuhadapi, karena ada kekuatan yang Tuhan berikan. Air saja mampu Tuhan ubah menjadi anggur, maka aku percaya bahwa dukacita pasti Tuhan ubah menjadi sukacita.

Kita yang masih hidup di dunia ini, hendaknya terus bertumbuh dalam iman. Berlomba-lomba melakukan kebaikan, berbagi dengan sesama, rendah hati, dan terus mengucap syukur dalam keadaan apa pun. Marilah kita punya kerinduan untuk memperbaiki hidup menjadi lebih baik, mampu mencitrakan diri Tuhan Yesus dalam hidup kita kepada orang lain, melanjutkan kasih setia Tuhan, kebaikan dan keteladanan hidup Yesus. Ketika kita berhasil melakukan itu semua, dengan iman, kita pasti disambut oleh Tuhan dalam kerajaan surga.

Suatu saat nanti, akan ada reuni surgawi bagi kita yang sudah hidup percaya kepada Tuhan. Jadi, kiranya kita tidak takut kehilangan orang yang kita kasihi, karena pada akhirnya, kita semua akan kembali kepada Bapa di surga, sebab kita adalah milik-Nya. Mereka yang sudah pergi hanya mendahului kita dan Tuhan sedang mempersiapkan tempat bagi kita di surga. Rencana Tuhan indah pada waktunya.

Ada sebuah lagu favorit, yang kuharap dapat menjadi kekuatan bagi kita semua:

Indah rencana-Mu Tuhan, di dalam hidupku
Walau ku tak tahu dan ku tak mengerti, semua jalan-Mu
Dulu ku tak tahu, Tuhan, berat kurasakan
Hati menderita dan ku tak berdaya, menghadapi semua
Tapi ku mengerti sekarang, Kau tolong padaku
Kini kumelihat dan kumerasakan, indah rencana-Mu

Ketika Aku Menggenggam Terlalu Erat

Oleh Wira Perdana, Ambon

“Apa jadinya hidup tanpa kehadirannya?” Sanggupkah aku?” Mampukah aku?”

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang bermunculan di pikiranku ketika mendapat kabar bahwa Ayah pergi untuk selamanya pada 10 September 2021 yang lalu karena terpapar COVID-19. Sungguh sebuah kenyataan yang sulit diterima pada saat itu.
Dalam keheningan dini hari, aku hanya bisa menangis dan meratapi kenyataan di kamar kosan seorang diri. Hatiku remuk dan hancur. Tubuhku pun lemas tak berdaya.

Tidak berada di sampingnya saat akhir hidupnya adalah sebuah hal yang tidak pernah aku bayangkan dan terasa sungguh menyesakkan hati. Terlebih aku hanya bisa menyaksikan proses pemakaman secara virtual karena kondisi pandemi saat itu masih sangat mewabah. Aku hanya bisa pasrah, sebuah kesedihan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, hanya dapat diungkapkan dengan air mata.

Berbagai ungkapan dukacita datang dari sanak saudara, keluarga, juga para sahabat. Namun, sejujurnya ungkapan itu tak berdampak sama sekali padaku. Saat itulah kusadari bahwa aku begitu rapuh.

Seringkali aku menguatkan orang lain yang pernah mengalami hal serupa dengan cara memberikan kata-kata motivasi yang disertai ayat Alkitab. Namun, ketika aku yang mengalaminya, cara tersebut tidak dapat menguatkanku. Aku pikir aku kuat, tapi ternyata tidak. Dan hati kecilku bertanya, apa maksud dan rencana Tuhan bagiku dan keluargaku?

Rasa cemas dan khawatir selalu menghampiriku, terutama di awal kepergian ayah. Bagaimana hidupku selanjutnya tanpa adanya sosok ayah? Siapa yang akan menjadi tumpuan dan tulang punggung keluarga? Terlebih, siapa yang bisa menjadi problem solver ketika kelak kami punya masalah? Sungguh, kehilangan sosok ayah membuatku dan keluargaku seperti kehilangan arah.

Ayah ibarat sebuah pohon besar yang memberi kerindangan bukan hanya bagi keluarga kami, melainkan bagi seluruh keluarga besar. Ayah selalu mengupayakan segala yang terbaik bagi keluarganya, sekalipun terkadang dia melupakan kesenangannya sendiri. Dan menjelang akhir hidupnya, ayah masih menjadi sosok yang sama.

Kehadiran Ayah terkadang membuatku lupa arti kekurangan. Ayah selalu berusaha mencukupi dan memenuhi apa yang menjadi kebutuhan dan keinginanku serta keluarga. Bahkan hingga aku sudah bekerja di salah satu instansi pemerintah, Ayah tetap ingin mengirim penghasilannya padaku sekalipun beliau juga sedang merantau bekerja di salah satu daerah pedalaman Papua, yang dari segala akses justru lebih sulit dari tempatku yang bekerja di perkotaan.

Beberapa hari setelah Ayah berpulang untuk selamanya, di tengah kondisi yang masih berduka aku mendapatkan pesan dari seorang sahabat di Yogyakarta, yang mengingatkanku bahwa kepergian Ayah memang bukan hal yang mudah, tetapi dapat menjadi kesempatan bagiku dan keluargaku untuk semakin mengalami kasih Bapa secara langsung tanpa melalu perantara seorang Ayah lagi.

Pesan tersebut kemudian menjadi titik balik bagiku yang di satu sisi menguatkanku, namun sekaligus menyadarkanku bahwa selama ini aku sangat bergantung pada sosok seorang Ayah. Aku lupa bahwa kehadiran seorang ayah adalah salah satu perpanjangan dan saluran dari kasih dan kebaikan Tuhan, bukan untuk menjadi pengganti-Nya. Kedukaanku yang terus berlarut terjadi karena selama ini aku terlalu mengandalkan dan memegang erat sosok seorang ayah melebihi Tuhan. Alhasil, ketika akhirnya ayah pergi, aku dilanda kecemasan yang luar biasa.

Setelah waktu-waktu yang panjang dan proses yang Tuhan izinkan, aku belajar menerima bahwa kehilangan sosok ayah tidak lagi menjadi momok yang menakutkan, justru menjadi sebuah kekuatan dan harapan yang terus aku imani bahwa Tuhan ingin menyalurkan kasih dan kebaikan-Nya secara langsung. Tugas ayah di dunia telah selesai, dan sekarang tugasku untuk melanjutkan kembali hidup dengan pertolongan Tuhan.

Bapa Surgawi ingin aku belajar bergantung dan melekatkan segala harapanku kepada-Nya, bukan melalui ciptaan-Nya. Ayah bukanlah milikku. Ayahku adalah milik-Nya yang dititipkan untuk sementara waktu, hingga pada waktu yang telah ditetapkan-Nya, ayah akan diambil kembali. Demikian pula dengan semua orang yang kita kasihi: orang tua, pasangan, sahabat, dan sosok lainnya, tidak ada yang abadi. Namun, kita membutuhkan sesama di dunia ini dan harus menghargai keberadaan mereka selagi masih diberi kesempatan untuk hidup di dunia ini. Tuhan menciptakan sesama manusia untuk saling membantu dan membangun, terlebih untuk menjadi berkat bagi kemuliaan nama-Nya (Roma 14:8).

Kepergian ayah kini membuatku belajar untuk menghargai waktu bersama orang-orang terkasih yang masih Tuhan “titipkan” dalam hidupku, agar aku tidak menyesal di kemudian hari. Dan aku berharap, pengalamanku ini juga dapat menjadi kesaksian untuk menguatkan orang lain yang mengalami hal serupa atau kehilangan orang yang dikasihi.

Bagi kita yang pernah maupun sedang mengalami kehilangan orang terkasih, tak perlu cemas dan khawatir, karena pemeliharaan sesungguhnya berasal dari Tuhan sendiri. Percayalah, segala sesuatu diizinkan-Nya terjadi bagi kebaikan kita semua. Dan waktu-Nya adalah waktu yang terbaik.

“Demikian juga kamu sekarang diliputi dukacita, tetapi Aku akan melihat kamu lagi dan hatimu akan bergembira dan tidak ada seorang pun yang dapat merampas kegembiraanmu itu dari padamu” (Yohanes 16:22).

Dari Pilunya Kehilangan, Kita Belajar Ketenangan

Oleh Raganata Bramantyo

“Ril… mamah pulang dulu ke Indonesia, ya.”

Sepenggal kalimat yang membuka caption panjang ini mendapat respons yang luar biasa banyak di Instagram milik Atalia, istri dari gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil. Seminggu ke belakang, keluarga pak gubernur jadi sorotan publik lantaran Eril, putra mereka hanyut dan hilang di sungai Aare di Swiss. Seminggu lebih pencarian belum membuahkan hasil. Pihak keluarga pun akhirnya menyatakan bahwa Eril telah meninggal dunia kendati jenazahnya belum ditemukan.

Pencarian Eril menjadi dramatis bukan hanya karena dia adalah anak dari seorang tokoh terkenal, tetapi ada perasaan sepenanggungan yang juga dirasakan oleh banyak orang—termasuk kita—jika kita bicara mengenai kehilangan. Saat kita kehilangan sesuatu atau seseorang yang kita kasihi, dunia kita berubah. Kehilangan di sini tak hanya tentang kematian. Apa pun yang direnggut daripada kita, tanpa kita berdaya untuk mencegahnya, akan menyisakan pilu di hati.

Narasi kehilangan

Belum lama ini, aku pun mengalami kehilangan yang pilu. Saking pilunya buatku, aku mendatangi konselor yang juga psikolog dan mendapatkan pertolongan profesional darinya. Kisah kehilangan ini pernah kutuliskan di sini. Selama 20 tahun aku mendoakan papaku untuk menjadi seorang ayah yang karib denganku, dan doa itu terjawab di tahun ini. Namun, kebersamaan yang sungguh erat itu tidak berlangsung lama, hanya 29 hari sebelum akhirnya ayahku berpulang. Kehilangan ini mengguncangku. Tak pernah aku menyiapkan diri akan kehilangan sosok ayah yang secara usia belum masuk kategori lansia. Apalagi dengan diagnosis sakit yang menurut logikaku tak masuk akal. Namun, inilah realitasnya, kehilangan adalah bagian dari hidup yang mau tak mau, suka tak suka, harus aku dan kamu hadapi. Yang kelak membedakan fatalitas kehilangan ini hanyalah waktu dan bagaimana alur ceritanya. Namun pada dasarnya, semua kehilangan memberi duka mendalam.

Jika aku yang adalah seorang anak kehilangan ayah yang usianya jauh di atasku saja merasa begitu berat, tak terbayangkan apabila kehilangan yang terjadi adalah sebaliknya. Seorang ayah yang harus kehilangan anak, yang secara usia jauh lebih muda. Seperti apa yang dituliskan oleh Ridwan Kamil: anak yang kehilangan orang tua disebut yatim. Istri atau suami yang kehilangan pasangan disebut janda atau duda, tapi tak ada istilah yang bisa diberikan kepada orang tua yang kehilangan anaknya. Dukanya begitu dalam.

Seiring usia kita yang menanjak, kehilangan dan dukacita pasti akan kita alami, meski kita tak tahu kapan dan bagaimana itu akan terjadi. Kehilangan yang pilu juga pernah dialami oleh seorang Kristen yang hidup pada abad 19 yang bernama Horatio Spafford. Ia adalah seorang pengacara kenamaan sekaligus wirausahawan di Amerika Serikat. Pada tahun 1871, kebakaran hebat di Chicago menghancurkan bisnisnya. Tragedi ini memaksa Horatio untuk memikirkan strategi baru bagaimana melanjutkan usahanya. Dua tahun pasca kebakaran, istri dan anak-anaknya pergi berlayar ke Eropa, namun Spafford tidak ikut karena masih harus mengurusi pekerjaannya. Jika sudah selesai, barulah dia menyusul.

Namun, nahas tak pernah disangka. Tanggal 22 November 1873, kapal uap Ville du Havre yang ditumpangi oleh istri dan empat anaknya tenggelam. Sebanyak 226 orang tewas, termasuk di dalamnya anak-anak Spafford. Sang istri berhasil selamat. Saat dia tiba di Wales, barulah dia mengirimkan telegram dengan pesan “Saved alone” kepada Spafford.

Mendapati berita duka, Spafford menyusul berlayar ke Wales untuk berjumpa sang istri. Dalam pelayarannya, saat kapal yang dia tumpangi melewati titik karam kapal du Havre, Spafford menuliskan sebuah himne yang sampai hari ini masih kita nikmati melodi dan liriknya.

It is well with my soul… yang dalam beberapa versi kidung pujian diterjemahkan sebagai “tenanglah jiwaku,” “s’lamatlah jiwaku,” atau “nyamanlah jiwaku.”

Apa yang ditulis Spafford bukanlah sebuah ilusi. Bagaimana bisa jiwa yang hancur merasa tenang dan nyaman di tengah dukacita hebat? Spafford memberi jawaban pada lirik-liriknya. “Ketika hidupku sentosa teduh ataupun sengsara penuh, di dalam kasih-Mu ku tinggal teguh, nyamanlah, nyamanlah jiwaku…” (NP 221).

Ketenangan dan kekuatan itu datang bukan dari kekuatan kita sendiri, tetapi dari tinggal tetap dalam kasih yang teguh, yang tak pernah berubah, yaitu kasih Allah. Kematian dan kehilangan selalu membangkitkan reaksi emosional yang kuat. Dalam kisah Lazarus yang mati karena sakit, Alkitab mencatat Yesus sangat terharu (Yohanes 11:33). Kata terharu oleh para penafsir dapat diterjemahkan pula dengan lebih rinci, “kemarahan besar lalu meluap dari dalam hati-Nya.”

Yesus terharu, bahkan marah, tetapi terhadap apa? Sangat mungkin Dia marah terhadap dosa dan akibat yang ditimbulkannya. Allah tidak menciptakan dunia yang dipenuhi penyakit, penderitaan, dan kematian. Namun, dosa masuk ke dalam dunia dan mencemari rencana Allah yang indah. Hidup kita yang telah jatuh ke dalam dosa membuat maut, dukacita, dan segala penderitaan menjadi tak terelakkan. Namun, Allah tidak tinggal diam. Dia hadir bersama kita (Yohanes 1:14), mengerti apa yang jadi dukacita dan ketakutan kita (Yohanes 11:1-44). Namun lebih daripada itu, Kristus mengalahkan dosa dan kematian dengan mati menggantikan kita dan bangkit dari maut (1 Korintus 15:56-57).

Apa pun yang hari ini menjadi kehilangan dan dukacita kita, aku berdoa kiranya kasih Allah melingkupimu dan memampukanmu untuk menjalani hidup dan berbuah bagi-Nya.

Ingatlah Ajal Pada Masa Mudamu

Oleh Aryanto Wijaya

Tahun 2019 lalu, aku membaca sebuah artikel yang menuturkan tentang kehidupan seorang pria. Di usianya yang ke 32 tahun, dia sedang menikmati puncak kariernya, namun kenikmatan itu perlahan susut ketika penyakit ganas menggerogoti tubuhnya hingga dia pun meninggal dunia.

Baru-baru ini, media sosial tanah air pun gempar mendengar kabar seorang selebriti muda yang mengalami kecelakaan dan meninggal dunia. Padahal, beberapa jam sebelumnya dia masih mengunggah Instagram Story—ada cuplikan perjalanannya, yang bernuansakan sukacita. Tak ada yang menyangka itu akan jadi unggahan terakhirnya.

Aku tercenung dan larut dalam ratapan warganet yang tak menyangka kematian akan secepat ini menjemput dan begitu mendadak. Mengingat dua kisah dukacita ini menggemakan kembali sebuah realita pahit yang kita semua sebagai umat manusia harus alami: kematian.

Kubuka lembaran kertas Alkitabku dan kudapati Pengkhotbah 9:5 berkata tegas, “Karena orang-orang yang hidup tahu bahwa mereka akan mati…” Tetapi, yang tidak pernah kita tahu dari sisi kematian adalah bilamana dan bagaimana itu akan datang menjemput kita.

Ketidaktahuan ini seringkali menjadi faktor terbesar yang membuat kita merasa takut, atau di sisi yang lain, membuat kita acuh tak acuh terhadap kematian. Padahal, seperti yang Alkitab katakan bahwa setiap manusia kelak pasti akan menjumpai kematian; itu bukan sebuah kesempatan, tetapi kepastian. Mengetahui bahwa kelak setiap kita pasti akan tiba di garis akhir kehidupan seharusnya mendorong kita untuk menjalani hidup terbaik untuk tiba di sana.

Mengenal garis akhir, menikmati perjalanan

Konsep dunia menyebutkan kematian sebagai garis akhir dari kehidupan, titik terakhir dari perjalanan manusia. Agama-agama lalu menyajikan pemahaman yang lain, tentang apa yang akan terjadi setelah kematian itu. Kita tidak akan membahas masing-masing konsep pasca kematian yang disajikan tiap agama, tetapi sebagai orang Kristen, kendati kematian memang sejatinya adalah garis akhir dari peziarahan ragawi kita di dunia, itu merupakan awal dari sebuah kehidupan yang baru.

Paulus menegaskan, “Karena kami tahu, bahwa jika kemah tempat kediaman kita di bumi ini dibongkar, Allah telah menyediakan suatu tempat kediaman di sorga bagi kita, suatu tempat kediaman yang kekal, yang tidak dibuat oleh tangan manusia” (2 Korintus 5:1).

Ada kehidupan yang abadi bagi anak-anak Tuhan, kehidupan di suatu tempat yang dibuat oleh Allah sendiri, yang tidak akan ada lagi ratap dan dukacita (Wahyu 21:4).

Memang kita tidak tahu waktu dan caranya, tapi Alkitab memang menjelaskan apa yang terjadi. 2 Korintus 5:6-8 dan Filipi 1:23 mengatakan bahwa ketika kita meninggalkan tubuh kita, kita akan menetap bersama Allah. Suatu pemikiran yang menghibur kita semua yang percaya.

Dalam Ilmu Komunikasi, ada sebuah teori yang bernama “Teori Pengurangan Ketidakpastian” yang dikemukakan oleh Charles Berger dan Richard Calabrese. Teori ini menjelaskan bahwa dalam relasi antar dua orang manusia atau lebih yang tidak saling mengenal seringkali terjadi ketidaktahuan yang dapat berlanjut menjadi rasa takut atau spekulasi. Contoh, ketika dua orang asing bertemu dalam satu kendaraan, mungkin Si A menaruh curiga terhadap si B. Barulah ketika tercipta komunikasi antara A dan B, keduanya menemukan banyak persamaan, dan relasi itu berlanjut melintasi waktu, pelan-pelan rasa takut dan curiga itu luruh. Ketika dua orang telah saling mengenal erat, ada rasa percaya yang terbangun—kondisi yang jauh berbeda dari momen saat mereka pertama kali saling mengenal.

Demikian pulalah dengan kehidupan kita. Mengenal Tuhan yang kita percayai dengan erat akan memberikan kita iman yang teguh dan kokoh. Kita tidak akan lagi meragukan janji-janji-Nya karena kita tahu janji itu pasti akan terlaksana (2 Korintus 1:20), bahwa barangsiapa yang percaya kepada Kristus tidak akan binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16).

Dan, dari pengenalan dan relasi yang erat dengan-Nyalah kita dimampukan untuk menjalani hari-hari kita di dunia bukan dengan ketakutan akan garis akhir yang tak kita ketahui, tapi dengan sukacita bahwa segala jerih lelah dan perjuangan kita di masa-masa kita masih bisa bernafas akan mengantar kita pada tujuan yang mulia.

Kita tidak pernah tahu bilamana kematian itu akan datang. Usia muda, tubuh yang sehat, kekayaan yang berlimpah, karier yang cemerlang, semua itu tidak akan menghindarkan kita dari kepastian bahwa kehidupan di dunia akan berakhir.

Namun, kita dapat bersukacita dan bersemangat menjalani hidup, karena bersama dengan Tuhan Yesus, segala jerih lelah kita tidak akan sia-sia (1 Korintus 15:58).

Tugas kita saat ini adalah menyelesaikan setiap tanggung jawab yang diberikan-Nya dengan sebaik mungkin (Lukas 16:10), agar kelak ketika perjalanan ragawi kita paripurna, kita menyambutnya laksana seorang pemenang yang mengakhiri pertempuran dengan baik, yang telah memelihara iman sampai kepada garis akhir (2 Timotius 4:7).

Belajar Dari Rasa Kehilangan

Oleh Olyvia Hulda, Sidoarjo

Berita duka, karangan bunga, serta ucapan belasungkawa memenuhi media sosialku dalam dua bulan terakhir ini. Aku mendapati beberapa kenalan juga telah kehilangan anggota keluarganya. Mungkin di antara para pembaca, ada juga yang mengalami kehilangan yang sama akibat pandemi ini.

Bulan Juni yang lalu, aku kehilangan seorang kakak rohani sekaligus rekan sepelayanan di gerejaku. Aku merasa sangat kehilangan. Kami memiliki beberapa momen kebersamaan dalam melayani Tuhan. Dan aku merasa kehilangan sosok seorang pemimpin yang telah menjadi teladan, baik dalam sikap maupun jerih payahnya.

Berita duka terus berdatangan. Beberapa hamba Tuhan yang aku hormati dan kagumi juga dipanggil Tuhan. Rasa kehilangan tersebut tidak hanya memberikan kesedihan mendalam namun membuatku merasa seperti “kehilangan pegangan” dalam melayani Tuhan. Kerohanianku seakan-akan “bergantung” kepada kepedulian yang mereka tunjukkan seperti mendoakanku, memberikan kutipan-kutipan kalimat maupun khotbah yang memberkati, melalui kisah hidup mereka serta semangat melayani yang memberikan inspirasi. Kehadiran mereka dalam hidupku telah membuatku semakin giat untuk mengenal dan menyembah Tuhan.

Rasa kehilangan yang kualami memang terasa wajar. Namun, ketika aku berlarut di dalamnya, firman Tuhan menegur sikap hatiku. Kisah raja Yoas dan imam Yoyada (2 Raja-Raja 12) mengingatkanku untuk tidak meneladani cara hidup raja Yoas yang mengikuti Tuhan hanya selama imam Yoyada hidup (2 Raja 12:2). Iman raja Yoas bergantung kepada imam Yoyada, sehingga ketika imam Yoyada meninggal, Raja Yoas pun berbalik dari Tuhan dan menyembah berhala (2 Tawarikh 24:18).

Melalui peristiwa kehilangan ini, Tuhan ingin mengajarkan kepadaku, dan kepada kita semua, bahwa iman kita tidak boleh bergantung kepada manusia, tetapi hanya kepada Tuhan saja. Mungkin masa pandemi yang sedang berlangsung ini dapat menjadi masa pengujian iman untuk melihat kepada siapa kita telah bergantung, kepada manusia atau Allah.

Pertanyaannya, setelah kita kehilangan orang yang kita kasihi, akankah kita tetap bersungguh-sungguh mengasihi Tuhan, ataukah hati kita menjadi tawar dan memilih menyembah “berhala” seperti raja Yoas?

Kiranya kita memilih untuk tetap setia mengasihi Tuhan, sekalipun kita telah kehilangan orang yang kita kasihi.

Sedih, kecewa, marah, ataupun tawar hati, adalah perasaan wajar yang dapat dialami semasa kehilangan. Akan tetapi bila kita terus tenggelam dalam perasaan-perasaan tersebut, kita akan kehilangan banyak waktu untuk mengasihi Tuhan dan menjadi berkat bagi sesama. Rasul Paulus memberi peringatan agar kita mempergunakan waktu yang ada dengan bijaksana, dengan demikian kita dapat mengerti akan kehendak Tuhan dan menyelesaikannya (Efesus 5:15-17). Mari kita gunakan waktu hidup yang singkat ini untuk terus melakukan kehendak Tuhan, bukan melakukan kehendak dan kesenangan diri sendiri.

Tidak dapat dipungkiri, setelah kehilangan orang yang dikasihi, kita akan menjalankan pelayanan dan hari-hari kita dengan situasi yang berbeda. Kita perlu berdamai dengan situasi dan hati kita di masa kehilangan ini. Mari kita terus menguatkan hati di hadapan Tuhan, mengandalkan-Nya dan berjalan bersama-Nya setiap hari. Ketika kita terus berjalan bersama-Nya, kita pun akan dikuatkan oleh Roh Kudus untuk melakukan kehendak Tuhan.

Kepada kita yang masih diberikan kesempatan untuk hidup, kita percaya masih ada tanggung jawab dan pekerjaan baik yang perlu kita selesaikan sebelum waktu kita sendiri tiba nanti. Adakalanya kita merasa seolah-olah kekuatan kita untuk melangkah hilang akibat kesedihan kehilangan “teladan hidup yang nyata”, tetapi marilah kita kembali bersemangat bangkit untuk melakukan kehendak Tuhan. Dan kita pun dapat meneruskan teladan baik yang telah kita alami dalam hidup dan pelayanan kita.

Melalui tulisan ini, aku ingin menyampaikan ucapan belasungkawa dan rasa sepenanggungan untuk teman-teman yang telah kehilangan orang yang dikasihi. Kiranya kasih dan penghiburan dari Roh Kudus menyertai kita semua, sampai selama-lamanya. Amin.

Baca Juga:

Ketika Penampilan Tidak Good-Looking, Bagaimana Bisa Meraih Bahagia?

Aku teringat omongan orang yang berkata kalau penampilan fisik yang menarik bisa membuat hidup jadi sukses. Tapi, penampilan fisikku jauh dari menarik.