Posts

Prison Playbook: Dua Hal yang Kupelajari Tentang Komunitas

Oleh Fernando Chandra

Aku bukanlah penggemar drama Korea karena menurutku untuk menghabiskan satu season-nya butuh waktu cukup lama sedangkan aku bukan tipe orang yang suka menonton serial secara putus-putus. Namun, karena melihat cuplikan-cuplikan di media sosial, aku memutuskan untuk menonton satu serial drakor berjudul Prison Playbook atau Wise Person Life.

Serial ini dirilis pada tahun 2017 dan mendapatkan tanggapan positif. Cerita utama yang diangkat adalah tentang Kim Je Hyeok, seorang atlet bisbol berprestasi yang hendak dikontrak oleh tim bisbol profesional dari Amerika. Tapi, sebelum kontrak ditandatangani, Je Hyeok malah tersandung kasus hukum saat hendak membela adiknya yang terancam pelecehan seksual oleh seorang pria. Selama berada di penjara, Je Hyeok beradaptasi dan berbagi hidup dengan para narapidana lain dari berbagai kasus.

Jika biasanya drama korea berkutat seputar romantisme, Prison Playbook banyak diisi dengan komedi. Namun, setelah menontonnya, kupikir film ini lebih dari sekadar komedi. Ada beberapa hal yang kudapatkan dan kurasa perlu kita renungkan lebih jauh.

Pertama, prasangka terhadap orang lain. Adegan penyiar radio mungkin jadi salah satu adegan yang kurang mendapat perhatian. Bahkan sampai episode terakhir, wajah dari penyiar radio tak juga diperlihatkan. Ada sepenggal perkataan dari si penyiar yang menarik perhatianku. Dia berkata bahwa hal yang tidak disukai orang-orang, termasuk para narapidana adalah prasangka. Ada narapidana yang kelihatannya melakukan kejahatan besar, tapi sebenarnya dia telah berubah. Sebaliknya, ada narapidana yang terlihat baik di awal, tetapi justru menjadi tokoh antagonis di akhir film ini.

Tidak semua orang hidup berdasarkan cerita yang kita dengar dari orang lain. Ada alasan (bukan pembenaran) mengapa seseorang melakukan suatu tindakan. Ketidaktahuan kita akan alasan inilah yang dapat mendorong kita untuk terjebak dalam prasangka, alias melabeli seseorang dengan asumsi kita sendiri yang belum tentu akurat. Sebelum memutuskan untuk menjauhi seseorang, kita dapat belajar untuk memahami dan mendengar lebih dulu kisahnya. Setiap orang perlu untuk dipahami dan didengar, tidak hanya dihakimi berdasarkan rumor yang tersebar di komunitas.

Kedua, tentang orang-orang yang ada di sekitar kita. Kehidupan Kim Je Hyeok selama di penjara mempertemukannya dengan berbagai macam karakter orang. Tidak semua orang bersikap baik. Ada yang berusaha melukai dan berbuat jahat, tetapi ada juga orang-orang yang membantu, mendukungnya ketika dia ada dalam kondisi terpuruk. Mereka yang membantu bukanlah orang-orang sempurna. Status narapidana mereka adalah salah satu bukti dari fakta ini. Namun, bagian favoritku dalam film ini adalah ketika para orang tak sempurna ini rela saling tolong-menolong dalam kelebihan dan kekurangan yang mereka miliki.

Aku percaya, setiap orang yang kita temui dalam kehidupan kita bukanlah sebuah pertemuan yang hanya sekadar lalu. Mereka adalah orang-orang yang Tuhan letakkan dalam hidup kita. Mungkin mereka orang yang lemah dan membutuhkan pertolongan. Mungkin juga mereka adalah orang-orang yang kelak akan membantu kita. Ada yang akan menolong kita dalam waktu yang lama, tetapi ada juga yang hanya sementara. Kita tidak tahu berapa lama waktu yang Tuhan berikan bagi kita untuk menikmati kebersamaan yang ada. Pun kita bisa saja pernah mendengar hal buruk, namun sebelum menghakimi kita dapat memilih untuk mendengar dan memahami lebih dulu.

Komunitas ada bukan untuk menghakimi, tetapi membentuk seseorang. Penerimaan terhadap orang lain bukan berarti pembenaran atas sikap yang salah, melainkan jadi kesempatan bagi kita untuk membantu menyadari apa yang perlu diperbaiki.

Bersediakah kita membuka diri untuk orang lain?

3 Perenungan Saat Aku Merasa Minder Karena Berbeda

Oleh Vika Vernanda, Jakarta

Aku bukan penonton drama Korea. Mungkin ketika membaca bagian ini saja, kalian berniat untuk skip tulisanku. Tapi coba tahan dulu hingga akhir.

Aku bukan penonton drama Korea, sedangkan hampir semua orang terdekatku menontonnya. Ketika dalam kelompok, tak jarang mereka membahas bias (artis) A atau drakor (drama Korea) B yang sepertinya seru, sedangkan aku cuma mengangguk atau ikut tertawa tanda upaya melibatkan diri. Kalau sekali dua kali, mungkin biasa saja. Namun hal ini seringkali terjadi di berbagai kelompok pertemananku.

Aku pernah berusaha memahami perbincangan mereka, namun aku tak memiliki ketertarikan yang sama dengan mereka dalam hal K-Pop. Aku juga merasa sangat tertinggal untuk hal tersebut melihat bagaimana up to date-nya teman-temanku yang K-Popers. Bahkan, tak sedikit dari mereka bisa berbahasa Korea.

Karena perbedaan tersebut, beberapa kali aku sedih dan minder. Aku yang bukan penonton drama Korea terkadang merasa sendiri dan terasingkan dari teman-temanku yang lain. Aku merasa berbeda dan don’t belong dalam kelompok pertemananku.

Memang kita hidup dalam masyarakat yang heterogen. Perbedaan suku, agama, budaya, bahkan selera seni seperti hal di atas, ataupun hal lainnya adalah hal yang acap kali kita temui dan bahkan rasakan. Tak jarang perasaan berbeda ini membuat kita minder dan merasa tidak cocok dengan pertemanan yang ada. Mungkin wajar untuk merasakan hal itu, apalagi jika kita adalah sebagian kecil, atau bahkan satu-satunya dalam kelompok yang berbeda dari anggota yang lain.

Namun, ketika merasa minder karena berbeda, aku belajar untuk mengingat beberapa hal ini:

1. Kalau aku berada di tempat yang tepat, perbedaanku semestinya tidak menjauhkanku

Suatu ketika aku pernah sangat sedih karena merasa berbeda. Kali ini bukan karena drama Korea, tapi tentang latar belakang keluarga. Kondisi yang tidak ideal membuatku merasa berbeda dengan teman-teman yang keluarganya terlihat sempurna, sehingga aku merasa takut ditinggalkan oleh teman-temanku ini. Kemudian aku bercerita dengan salah seorang teman yang kebetulan keluarganya juga terlihat sempurna. Dia berkata seperti ini, “Orang-orang yang mau pergi karena tahu latar belakangmu, bukannya memang seharusnya tidak ada di hidupmu?”.

Aku menyetujui kalimat itu karena menyadari bahwa perbedaan yang ada seharusnya tidak menjauhkan ketika kita berada dalam kelompok pertemanan yang tepat. Lingkungan pertemanan yang tepat dan benar justru menerima suatu perbedaan dan mampu menghargainya, bahkan mau saling terbuka dan berbagi mengenai perbedaan tersebut. Hal ini membawaku kepada poin 2.

2. Dengan menjadi berbeda, aku dikasihi dan dimiliki

Hal paling indah yang bisa dirasakan setiap orang adalah tetap dikasihi meski banyak perbedaan.

Jika kembali melihat dua belas murid Yesus, semuanya memiliki latar belakang yang berbeda. Ada yang sebelumnya berprofesi sebagai pelayan, misionaris, bahkan seorang pemungut cukai. Namun mereka sama-sama dipanggil Yesus untuk menjadi murid-Nya tanpa memedulikan latar belakang para murid. Bahkan kita mengenal kisah Tomas, yang seringkali disebut sang peragu, seakan menjadi sangat berbeda dari kehidupan murid Yesus yang harusnya percaya. Namun lagi-lagi, Yesus tidak pergi. Ia justru menunjukkan kehadiran-Nya kepada Tomas secara langsung (Yohanes 20:24-29).

Setiap pribadi dari dua belas murid itu berbeda, namun masing-masing menikmati kasih Kristus dan kasih dari sesamanya. Begitupun dengan kita. Ketika kita diterima walaupun kita berbeda, atau bahkan kita diterima karena perbedaan tersebut, di situlah kita menemukan kepemilikan sejati.

3. Allah mengasihiku tanpa syarat

Kasih Allah yang tanpa syarat sungguh nyata dalam hidup kita. Kasih tersebut adalah kasih yang telah menyelamatkan kita dengan pengorbanan Yesus di kayu salib (Yohanes 3:16). Bukankah itu membuktikan bahwa kita sangat berharga di mata-Nya? Dia mengenal kita masing-masing secara pribadi dan mengasihi kita secara pribadi. Mengapa Tuhan mengasihi kita? Itu karena siapa Dia: “Tuhan adalah kasih.” (Yohanes 4 : 8, 16)

Pemahaman tentang hal ini menolongku ketika sedang berada dalam perasaan minder yang berlebihan. Tuhan mengasihiku tanpa syarat. Meski aku berbeda dari teman-temanku, Tuhan tetap mengasihiku. Jika teman-temanku juga adalah murid Kristus, aku juga percaya bahwa mereka tetap mengasihiku meski aku berbeda dari mereka.

Mengetahui hal itu tidak secara instan membuatku merasa aman dan tenang. Perasaan berbeda dan minder masih menghantuiku. Meski begitu, aku akan mengingat ketiga hal di atas yang mampu menguatkanku, dan aku akan berkata pada diri sendiri, “Tidak apa kok, Vik. Itu tidak membuatmu ditinggalkan oleh teman-temanmu yang sesungguhnya.”

Untukmu yang juga merasa berbeda sepertiku, entah karena tidak menonton drama Korea atau hal lainnya, kiranya ketiga hal tersebut juga bisa menolongmu untuk bisa berkata pada diri sendiri, bahwa berbeda itu tidak apa, karena aku dikasihi apa adanya.

Mengapa Kita Begitu Menggandrungi Serial Squid Game

Oleh Rebecca Lim
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why We’re Hooked up on Squid Game

Bayangkanlah begini: setelah bertahun-tahun berjuang, kamu malah jatuh ke dasar jurang. Ketika keadaan tak lagi menyuguhkanmu jalan keluar, tiba-tiba ada orang asing yang menawarimu kesempatan sekali seumur hidup untuk memenangkan satu truk yang isinya penuh uang 

Yang perlu kamu lakukan cuma satu: ikut serta di serial permainan. 

Kira-kira apa yang akan kamu lakukan? Apakah kamu memilih untuk hidup dalam rasa malu dan derita karena dijerat utang, melarikan diri dari satu tempat ke tempat lain, atau ambil kesempatan itu supaya bisa merdeka dari krisis finansial, sekalipun risikonya besar sekali? 

Itulah pertanyaan yang menjadi dasar di balik Squid Game, serial drama Korea di Netflix, yang seketika menjadi booming di lebih dari 90 negara pasca dirilis dua minggu lalu. Sekarang serial ini sedang otw untuk jadi tayangan Netflix yang paling banyak ditonton. 

Seperti 45,6 juta orang penontonnya, aku pun tak tahan untuk tidak menonton. Drama yang mengisahkan petualangan bertahan hidup, seperti The Hunger Games, dan lain-lain sebenarnya bukanlah genre film yang kusukai. 

Tapi, setelah melihat banyak meme beredar di medsos, aku jadi penasaran dan menonton film ini meskipun teman-temanku memperingati kalau di dalamnya akan ada banyak adegan berdarah-darah, kejam, dan bisa saja membuatku mimpi buruk. 

Apa itu Squid Game 

Squid Game berangkat dari gagasan sederhana: 456 orang yang telah putus asa diundang untuk ikut serta dalam pertandingan yang diselenggarakan di pulau terpencil. Mereka akan mendapat kesempatan untuk memenangkan hadiah utama senilai 45,6 milyar Won. 

Selama turnamen berlangsung, mereka harus berpartisipasi di enam permainan yang terinspirasi dari permainan tradisional anak-anak Korea dalam berbagai format: ada yang mainnya sendiri-sendiri, berpasangan, atau berkelompok. Sekali mereka memilih ikut serta, mereka harus berpartisipasi di setiap permainan dan hanya boleh keluar kalau mayoritas memilih untuk menghentikan pertandingan. 

Tapi, di situlah gagasan sederhana itu berakhir. Setiap peserta tidak tahu permainan seperti apa yang akan mereka mainkan, bagaimana memainkannya, dan yang paling penting, mereka tak tahu kalau mereka sungguhan akan dieliminasi (contoh: ditembak mati) kalau mereka gagal di setiap ronde. Ditambah lagi ada tekanan berupa batasan waktu dan permainan psikologis. Mereka harus bekerja sama, atau saling beradu dengan orang yang paling mereka percaya. Dari adegan-adegan ini kita melihat perwujudan terbaik dan terburuk dari kemanusiaan ketika masing-masing pemain berlomba untuk saling mengecoh demi bertahan dalam kompetisi dan memenangkan hadiah utama. 

Cukuplah untuk mengatakan kalau pertandingan ini brutal, menakutkan, dan mengerikan.

Dalam 9 episodenya, kita melihat gambaran yang suram tapi sangat realistis tentang seperti apakah dunia saat kita sendiri yang menjalaninya dan setiap orang melakukan apa yang benar menurut mata mereka sendiri. Kita melihat yang kaya mengeksploitasi yang miskin karena bosan, teman mengkhianati teman, dan orang-orang yang putus asa melakukan pembunuhan demi mempertahankan diri. 

Tapi, di saat yang sama, pertandingan ini tak cuma tentang pembantaian dan korupsi. Di antara adegan-adegan mengerikan ini, ada momen-momen yang menggugah pikiran, cerita yang indah, serta muncul penggambaran akan kebaikan dan kerapuhan di antara para karakternya. Inilah faktor yang menegaskan kenapa Squid Game berhasil membuat kita menggandrunginya.

via GIPHY

Squid game menunjukkan kita tak jauh berbeda dengan para pemain

Melihat para pemain ini saling memperlakukan, menilai situasi, dan menyusun strategi, kusadari kalau seandainya aku terjebak dalam situasi yang sama, aku dan orang-orang di sekitarku mungkin akan melakukan cara yang sama: Apakah orang ini akan membantuku atau menjatuhkanku? Siapa orang terkuat yang bisa kudekati? Hal terlemah apa yang harus kuhindari?

Sebagian besar ketegangan di drama ini datang dari pertarungan mental yang terus-menerus untuk mencari tahu dengan siapa kamu harus percaya dan membentuk tim—dan tidak tahu bagaimana sistem permainan itu akan membuat mereka malah melawanmu. Dan, saat hadiah uang bertambah setiap kali satu pemain tereliminasi, tidaklah sulit untuk melihat mengapa tiap pemain akhirnya melakukan hal-hal yang tak masuk akal demi bertahan hidup. 

Kulihat cerminan diriku dalam berbagai karakter pemain itu. “Apakah aku juga bersalah karena menilai orang lain berdasarkan standarku sendiri tentang apa yang baik? Bagaimana aku memperlakukan orang lain yang kuanggap ‘lebih lemah’ dariku?

Squid game menunjukkan hidup tak selalu berjalan seperti yang diinginkan

Seperti kenyataan hidup bahwa tak selalu yang terkuat atau yang terpintar yang akan jadi terdepan, Squid Game menyuguhkan pada kita tentang apa yang sebenarnya paling penting dalam permainan ini. Biasanya kartu truf tidak dimenangkan oleh orang yang punya pengalaman masa lalu, punya kemampuan untuk menghitung kemungkinan menang, atau pengetahuan mereka, tapi dari kekuatan yang tersembunyi dari mereka yang sering diabaikan, disingkirkan, atau dihina. 

Squid Game membawa kita bertemu muka dengan muda dengan batasan dari pengetahuan kita, membuktikan bahwa tak peduli seberapa baik strategi kita, seberapa cemerlang ide kita, atau seberapa kuat tim kita, selalu ada elemen ketidakpastian yang kita sendiri tak tahu. 

Kudapati diriku bertanya-tanya, apakah aku selama ini mengandalkan diriku sendiri? Seberapa sering kupikir aku sendiri mampu menyelesaikan segalanya?

Squid game menunjukkan betapa mudahnya kita tergoda dosa 

Mungkin salah satu alasan kenapa Squid Game digandrungi seisi dunia adalah karena film ini mengisi kekosongan, rasa gelisah yang kita semua rasakan karena pademi yang membuat kita bosan. Sebaliknya, Squid game menarik kita ke dunia fantasi di mana kita dijanjikan oleh pesta visual yang ceria, aksi tanpa henti, dan sensasi yang membuat jantung berdebar. 

Bagiku, garis antara fantasi dan realita masih terlihat jelas sampai di episode ketika para VIP (atau mungkin sponsor) di balik permainan ini ditampilkan. Momen ketika kamera menyorot mereka menonton permainan dimainkan, membuatku sadar sebagai penonton kalau aku juga berperan di posisi yang sama seperti VIP. 

Meskipun awalnya aku enggan menonton drama yang berdarah-darah, tapi rasanya aku tak bisa menghentikan tiap episodenya. Film ini tidak membuatku ketagihan ataupun menghibur karena melihat orang lain menderita, dan sejujurnya tidak sulit untuk menebak siapa yang akan jadi pemenang terakhirnya. Tapi, yang membuatku tetap duduk di depan layar menonton ini adalah aku ingin mencari tahu bagaimana setiap pemain mengalahkan rintangan dan sampai di titik akhir. 

Ketika para pemain melihat satu per satu rekannya mati dan berhenti saling menjaga demi bertahan hidup, aku melihat perubahan yang sama dalam sikapku menonton: ketika awal-awal kudengar senjata diledakkan, aku menutup mataku, tak mampu melihat adegan darah dan kekerasan itu. Namun, begitu faktor kejutan itu hilang, aku jadi tak takut lagi dengan kematian dan darah yang menggumpal di tanah. Kengerian itu tak lagi mempengaruhiku, aku hanya ingin tahu jawaban dari pertanyaanku: siapa dalang dari balik semua ini? Apakah benar pemenang akan dapat uang? Siapa orang di balik topeng yang menembaki orang-orang itu?

Aku bertanya-tanya: mengapa menonton adegan jahat itu membuatku ketagihan, terutama ketika disorot dari sudut pandang yang menarik, atau dihiasi dengan estetika yang memanjakan mata? Apakah kita sedang mengembangkan suatu kultur yang menormalkan praktik kekerasan?

Itu semua membuka mataku, betapa mudahnya kita orang-orang Kristen tergoda. Faktanya, ketika aku mengevaluasi kenapa akhirnya aku menonton drama ini, aku sadar kalau aku mengizinkan cara pikirku dibentuk oleh dunia di sekitarku alih-alih oleh apa yang Alkitab katakan sebagai hal yang benar, adil, murni (Filipi 4:8). 

Dan dari situlah aku mulai mengerti makna dari peringatan Paulus kepada kita untuk “tidak menjadi sama dengan dunia ini, tetapi berubah oleh pembaharuan budi” (Roma 12:2a). 

Mengerikan rasanya melihat betapa mudahnya garis antara apa yang baik dan layak menjadi samar ketika kita membenamkan diri kita pada pandangan dunia. 

via GIPHY

Jadi, haruskah kita menonton Squid Game?

Kalau kamu belum menonton serial ini sama sekali, mungkin kamu bertanya-tanya, “Haruskah aku nonton?” Atau mungkin, kamu itu sepertiku, ikut-ikutan nonton lalu merasakan konflik batin atau malah merasa ‘kosong’ pada akhirnya.

Mungkin pertanyaan intinya bukanlah tentang apakah boleh atau tidak kita menonton tayangan yang penuh kekerasan, tapi saat kita menonton tayangan seperti Squid Game, kita perlu menanyakan pada diri kita sendiri bagaimanakah film yang kita tonton akan mempengaruhi jiwa kita dan cara pandang kita melampaui apa yang disajikan di layar. Bagaimana kita dapat melihat kesakitan yang tersembunyi yang sejatinya ada di sekitar kita? 

Apakah kita, seperti para pemain di Squid Game, terperangkap di siklus tak berujung untuk mengejar egoisme dan tujuan yang tak berarti? Apakah kita peka terhadap pergumulan dari orang lain yang seringkali tersamarkan di balik senyuman tipis atau pakaian bagus? Atau, apakah kita sendiri bergumul dengan dosa rahasia dan kebencian yang berkecamuk dalam pikiran? 

Kebenarannya adalah kita semua tidak membutuhkan drama Korea seperti Squid Game untuk menunjukkan pada kita betapa keras dan susahnya hidup serta bobroknya hati manusia. Kita tak butuh melihat kebrutalan itu disajikan di layar untuk mengetahui kalau kita sedang hidup di dunia yang dipenuhi kejahatan, ketamakan, dan pengkhianatan—dan betapa kita membutuhkan penebusan dan penyelamatan. 

Di dalam dunia di mana kita bersaing satu sama lain dan mengukur nilai diri kita berdasarkan seberapa banyak yang mampu kita raih, siapa yang kita kenal, berapa banyak yang kita miliki, bukankah suatu keindahan untuk mengetahui bahwa kasih karunia Tuhan kita tidak bergantung pada diri kita sendiri? Ini bukanlah pilihan antara dua situasi yang mustahil. Kita tidak harus melompati jembatan kaca, atau memenangkan kompetisi mahasulit untuk meraih kasih dan penebusan itu. 

Itulah hadiah terbesar yang memberikan pada kita harapan dan kebebasan yang sejati, dan setiap orang dapat menerimanya tak peduli apa pun kesalahannya di masa lalu. 

 

*Tangkapan layar diambil dari: Netflix.

Dear #SongSongCouple: Mengapa Senandung Cinta Kalian Berakhir?

Oleh Joanna Hor, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Dear #SongSongCouple: Why Has Your Lovesong Ended?
Gambar diambil dari akun Instagram Song Hye-Kyo

Dear #SongSongCouple,

Rasanya belum lama kalian mengabarkan berita tentang pernikahan kalian kepada dunia, setelah kesuksesan serial drama Korea “Descendants of the Sun” (DOTS) di mana kalian berdua berperan sebagai pasangan di sana.

Satu setengah tahun berselang mengarungi pernikahan, mengapa kalian memutuskan untuk berpisah begitu saja?

Aku tidak menganggap diriku sebagai fans berat drama Korea, tetapi aku adalah salah satu dari jutaan penonton yang tercengang oleh kisah romantis dalam balutan militer yang mulai disiarkan di Februari 2016. Dalam tiga bulan aku telah menyelesaikan 16 episodenya (bahkan aku menonton ulang beberapa episodenya berkali-kali), mendengarkan soundtrack-nya, belajar memainkan lagu “You Are My Everything” di piano, dan bahkan menuliskan sebuah artikel tentang tips-tips relasi berdasar drama tersebut.

Aku begitu gembira (seperti penonton yang lain juga) ketika berita tentang kisah cinta kalian dalam drama itu berubah menjadi kisah cinta yang nyata. Tampaknya untuk sekali saja, kisah pengorbanan, romatisme, dan kemurnian cinta yang biasanya menjadi bumbu dalam drama Korea sungguh-sungguh terwujud dalam kenyataan. Jadi, seperti banyak orang lainnya, aku mengikuti berita tentang pernikahan kalian, dan turut bersukacita saat kalian berdua akhirnya resmi menikah di Oktober 2017. Aku dan teman-temanku bahkan berencana untuk membuat pesta perayaan untuk turut bergembira atas kisah dongeng kalian yang menjadi nyata yang sepertinya berlangsung bahagia selamanya.

Atau, setidaknya, itulah yang kami pikirkan bagaimana relasi kalian akan berakhir kelak.

Tetapi, banyak rumor mulai muncul ke permukaan di awal pernikahan kalian ketika Song Hye-kyo kedapatan tampil tanpa mengenakan cincin pernikahannya. Dan meskipun Song Joong-ki berusaha menghilangkan ketakutannya dengan mengatakan bahwa dia lebih “stabil secara emosional” setelah menikah hanya satu bulan yang lalu, ternyata itu tidak cukup untuk menjaga pernikahan kalian bersama.

Pada akhirnya, kisah cinta yang sempurna sekalipun tidak menjamin akan pernikahan yang sempurna. Aku telah mempelajarinya dari kisah Bradd Pitt dan Angelina Jolie. Tapi, kupikir apa yang paling mengguncangku adalah betapa singkatnya waktu pernikahan kalian.

Agensimu telah memberi keterangan bahwa kalian ingin berpisah karena “perbedaan kepribadian” dan meminta kepada media dan publik untuk tidak menulis artikel ataupun komentar yang sensasional dan spekulatif. Tapi, spekulasi pun bertebaran, bahkan di antara teman-temanku. Ada yang mengatakan kalau pernikahan dan perceraian kalian sebagai cara untuk mencari ketenaran, sementara yang lain mengatakan perceraian kalian karena ada perselingkuhan.

Sebagai fans kalian, aku berharap kalian berdua bisa memberikan kesempatan kedua untuk pernikahan ini, atau setidaknya mencoba menyelesaikan masalah kalian dan mempertahankan bahtera ini lebih lama lagi. Atau, mungkin jika kalian telah belajar tentang bagaimana memberi dan menerima seperti karakter yang kalian perankan dulu, mungkin semua ini akan berakhir berbeda?

Kalian mungkin berpikir: Apa sih yang kalian tahu? Pemikiran itu tidaklah salah; semua yang kutahu hanyalah apa yang media beritahukan. Di suatu hari nanti, hanya kalian berdua yang tahu alasan paling utama di balik keputusan untuk mengakhiri bahtera pernikahan kalian. Menjadi individu yang seluruh kehidupannya tak luput dari sorotan media, aku tahu bahwa menjalani hari-hari kalian tidaklah mudah.

Tetapi, suatu hari nanti pula, pemberitaan dari media-media akan usai, dan perhatian dunia akan beralih kepada pasangan lain yang menghadapi kisah yang sama seperti kalian, meratap sekali lagi seraya mengatakan “cinta sudah mati”.

Jadi, kalau bukan karena apapun, inilah satu hal yang kupikir kita semua bisa pelajari: tidak ada seorang pun di dunia ini yang kebal terhadap relasi yang gagal dan dikecewakan oleh orang lain. Dengan kekuatan kita sendiri, kita tidak akan pernah bisa menjamin bahwa cinta kita kepada pasangan kita akan tetap konsisten dan tidak berakhir.

Lantas, haruskah kita kecewa dan menyerah karena seolah tidak ada “cinta sejati”? Tidak. Cinta kasih yang sesungguhnya tidak akan pernah berakhir, selama kita memalingkan diri kita kepada sumber yang sejati—bukan kepada diri kita sendiri atau sesama manusia. Cinta Sejati itu adalah Yesus. Dialah mempelai yang sejati, dan Dia telah menunjukkan betapa besar kasih-Nya hingga mati di kayu salib bagi kita (Efesus 5:25).

Ketika kalian bersiap untuk berpisah dan menjalani kehidupan masing-masing, aku berharap kebenaran ini menguatkanmu. Cinta masih sangat hidup, di dalam Pribadi bernama Yesus Kristus. Dan karena cinta kasih-Nya, kita sekarang dapat mengasihi orang lain (1 Yohanes 4:19).

3 Akibat yang Kurasakan Ketika Aku Terlalu Terobsesi dengan Drama Korea

Oleh Noni Elina Kristiani, Banyuwangi

Jalan cerita yang menarik dan para pemainnya yang rupawan merupakan daya tarik tersendiri dari drama Korea. Aku suka drama Korea yang bergenre romantis dan komedi. Hingga saat ini, mungkin sudah ada puluhan drama Korea yang kutonton.

Kesukaanku pada drama Korea bermula ketika aku duduk di bangku SMA. Waktu itu aku menyukai sebuah drama berjudul “Dream High” yang bercerita tentang pencarian jati diri seorang remaja dan bagaimana dia meraih mimpinya. Drama ini membuatku jadi semangat untuk juga meraih mimpiku. Kemudian, aku mulai mengidolakan beberapa aktor Korea dan mendengarkan lagu yang mereka nyanyikan berulang-ulang. Terkadang, aku begitu tenggelam dalam chemistry yang diperankan oleh sepasang sejoli di drama tersebut dan mulai berkhayal bagaimana seandainya jika aku yang menjadi pemeran utama.

Setelah aku mengenal Kristus secara pribadi, aku masih menyempatkan diri untuk menonton drama Korea di waktu senggangku. Namun, seiring berjalannya waktu aku menyadari ada beberapa hal tentang drama Korea yang dapat mengganggu pertumbuhan imanku jika aku tidak bijak menyikapinya.

Inilah 3 dampak negatif drama Korea menurutku yang dapat mengganggu pertumbuhan imanku:

1. Terlalu terobsesi dengan drama Korea membuatku tidak bijak menggunakan waktu

Jalan cerita dalam drama Korea sering membuatku penasaran. Akibatnya, aku ingin terus menerus menontonnya sampai tamat secepat mungkin. Drama Korea yang memiliki 16-20 episode itu biasanya dapat selesai kutonton selama 4-7 hari. Bahkan jika ditonton berturut-turut tanpa melakukan pekerjaan apapun, hanya memerlukan waktu 3 hari untuk menuntaskan seluruh episodenya.

Secara tidak sadar, rasa penasaran akan kelanjutan cerita dalam drama Korea membuatku menggunakan sebagian besar waktuku hanya untuk menonton. Aku pernah ditegur oleh orangtuaku karena obsesiku yang berlebih terhadap drama Korea membuatku tidak membantu pekerjaan rumah. Ketika seluruh anggota keluarga sedang membersihkan rumah, aku malah asyik sendiri di depan laptop. Aku sadar aku telah bersalah karena tidak mempedulikan keadaan di sekitarku.

Bahkan di saat aku bersaat teduh, aku jadi tergoda dan terus memikirkan tentang bagaimana kelanjutan drama Korea yang aku tonton. Aku jadi tidak berkonsentrasi dalam membaca firman Tuhan dan terburu-buru karena tidak sabar untuk menonton drama Korea.

“Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana” (Mazmur 90:12). Menonton drama Korea di waktu senggang sejatinya bukanlah masalah. Akan tetapi, apabila seluruh waktuku kugunakan untuk menonton dan mengabaikan tanggung jawabku, maka tindakan ini bukanlah sesuatu yang bijak.

Aku pun belajar untuk mengatur waktuku dengan lebih bijak, tidak seluruh waktu luangku kuhabiskan dengan menonton drama Korea. Jika aku sedang di rumah dan kedua orangtuaku membutuhkan bantuan, maka aku akan membantu mereka lebih dahulu daripada menonton drama Korea.

2. Terlalu terobsesi dengan drama Korea membuatku memuja ilah romantisme

Ada banyak jenis berhala di dunia ini. Salah satunya adalah imaji akan cinta yang romantis. Dunia menanamkan nilai-nilai pada diri kita bahwa kita tidak akan bahagia jika tidak memiliki kisah cinta yang romantis. Kemudian, inilah yang dikejar oleh banyak orang, perasaan cinta yang menggebu-gebu atau mabuk kepayang.

Tanpa kusadari, dulu aku pernah mengingini cinta romantis seperti yang banyak diceritakan dalam drama Korea. Cinta yang terlihat begitu sempurna, padahal pada kenyataannya setiap hubungan dalam dunia tidak sepenuhnya romantis seperti diceritakan dalam drama Korea. Aku bersyukur karena di kemudian hari Tuhan menyadarkanku. Cinta romantis dalam suatu hubungan memang indah. Tapi, tanpa adanya Allah dalam hubungan itu, cinta romantis tidak akan bertahan lama, segera hilang.

“Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita” (1 Yohanes 4:9). Kasih Allah adalah satu-satunya kasih yang sejati. Dan, karena kasih Allah inilah kita dimampukan untuk mengasihi orang lain apa adanya, bukan karena penampilan orang itu yang menarik, ataupun karena kekayaannya. Kita mengasihi orang lain karena Allah telah mengasihi kita terlebih dahulu.

3. Terlalu terobsesi dengan drama Korea membuatku merasa rendah diri

Selain jalan ceritanya, hal lain yang paling menarik dari drama Korea adalah aktor dan aktris yang memainkannya. Semuanya terlihat tampan dan cantik. Aku pikir tidak ada yang salah dengan hal ini. Namun, seringkali kita malah jadi mulai membandingkan diri kita sendiri dengan mereka. Kita jadi mengasihani diri sendiri atau merasa tidak puas; Kenapa aku tidak sekurus itu? Mengapa kulitku hitam?

Aku pernah merasa frustrasi karena merasa berat badan dan warna kulitku tidak ideal. Namun, firman Tuhan dalam Yesaya 43:4 dengan jelas menyatakan bahwa di mata Tuhan aku begitu berharga dan Dia mengasihiku. Mengetahui kebenaran bahwa aku dikasihi oleh Sang Pencipta memulihkan caraku memandang diriku.

* * *

Sampai saat ini, drama Korea masih menyenangkan buatku dan aku menontonnya sebagai hiburan di sela-sela waktu senggangku. Hanya saja, sekarang aku jadi lebih bijaksana dalam menggunakan waktu. Bagaimana pun, hubungan dengan Allah harus menjadi prioritas utamaku. Aku juga belajar untuk bisa menyaring nilai-nilai apa yang seharusnya tidak kutanam dalam pikiranku dan kutiru. Mari kita berdoa supaya kita bisa bersikap bijaksana dalam mengisi waktu-waktu luang kita dan terus belajar untuk mengutamakan Tuhan dan menjadi berkat bagi sesama.

Baca Juga:

Ketika Tuhan Mengajarkanku untuk Terlebih Dahulu Meminta Maaf

Secara tidak sengaja, teman dekatku menyinggungku. Karena kesal, aku membalasnya dengan berdiam diri dan menganggapnya seolah tak ada. Tapi, melalui sebuah peristiwa, aku sadar bahwa tindakanku itu bukanlah yang paling tepat dan Tuhan memprosesku untuk menundukkan rasa egoisku.