Posts

Dalam Penyesalan Sekalipun, Anugerah-Nya Memulihkan Kita

Oleh Meista Yuki Crisinta, Tangerang

Menjadi orang yang minder dan kurang percaya diri membuatku sering kesulitan saat membuat pilihan dalam hidup ini. Bukan hanya pilihan dalam ruang lingkup besar dan krusial, tapi juga pilihan ‘sepele’ dalam kehidupan sehari-hari. Semisal: aku harus pakai baju apa hari ini agar terlihat bagus? Aku harus naik transportasi apa supaya tidak terlambat sampai kantor dan tidak ditegur atasan? Jawaban apa yang harus kuberikan pada temanku yang sedang curhat tanpa harus menghakimi atau melukai hatinya?

Takut salah. Dua kata yang aku sadari benar-benar terjadi dalam membuat pilihan di hidupku sehari-hari. Aku takut salah mengambil langkah dan berujung pada kerugian, baik untuk diriku sendiri maupun orang lain. Aku takut menyesal. Bagiku, rasa penyesalan itu rasanya menyakitkan. Tidak enak.

Waktu SMA, aku pernah mengalami penyesalan dalam hal relasi pertemanan. Kondisinya saat itu kami sedang mengobrol biasa melalui pesan singkat, layaknya teman baik yang saling curhat terkait masalah masing-masing. Namun ada perkataan dariku—yang menurutku baik-baik saja—ternyata menyinggung perasaannya. Dia jadi salah paham dan akhirnya marah padaku. Komunikasi lewat pesan di layar ponsel merupakan bahasa yang tidak berbunyi, tidak menampilkan bahasa tubuh, tidak bisa mengekspresikan nada bicara yang sebenarnya sehingga sangat rentan untuk disalahartikan. Akibat tersinggung itu, dia menuliskan satu kata yang pada akhirnya membuatku juga ikutan tersinggung: munafik. Satu kata yang sungguh tajam melukai hatiku. Di situ aku bingung dan bertanya-tanya: Aku salah di mana, sih? Sejak saat itu pertemanan kami cukup merenggang. Kami tidak saling sapa lagi ketika bertemu di sekolah, bahkan sampai lulus SMA. Padahal sebelumnya kami adalah teman baik.

Masalah relasi tersebut akhirnya makin memperbesar rasa ‘takut salah’ itu sendiri. Aku makin kesulitan untuk bersikap dan berkata-kata pada orang lain. Aku terus-menerus bertanya pada diri sendiri: harus bersikap seperti apa? Kata-kata apa yang paling baik untuk diucapkan pada orang lain? Pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran ini pun pada saat yang sama memperbesar rasa minder dan kurang percaya diri itu sendiri. Bukan hanya dalam hal relasi, tapi dalam banyak aspek kehidupan. Aku jatuh pada penyesalan.

Lalu aku sempat berpikir: seandainya waktu dapat diulang kembali, aku akan memilih kata- kata lain yang lebih kecil kemungkinannya untuk menyinggung perasaannya. Di saat yang sama, dalam keegoisanku, aku sering juga membela diri dalam pembenaran: tapi aku kan tidak mengucapkan kata-kata kasar padanya. Kok dia tersinggung, sih? Sungguh pikiran yang kontradiktif karena aku pun bingung menentukan apakah yang kulakukan itu benar atau salah.

Dalam perenunganku menghadapi rasa sesal di masa lalu, di tengah penulisan ini aku diingatkan tentang penyesalan yang dialami raja Daud dalam Mazmur 32. Daud mengatakan:

“Berbahagialah orang yang diampuni pelanggarannya, yang dosanya ditutupi! Berbahagialah manusia, yang kesalahannya tidak diperhitungkan TUHAN, dan yang tidak berjiwa penipu! Selama aku berdiam diri, tulang-tulangku menjadi lesu karena aku mengeluh sepanjang hari; sebab siang malam tangan-Mu menekan aku dengan berat, sumsumku menjadi kering, seperti oleh teriknya musim panas. Dosaku kuberitahukan kepada-Mu dan kesalahanku tidaklah kusembunyikan; aku berkata: “Aku akan mengaku kepada TUHAN pelanggaran- pelanggaranku,” dan Engkau mengampuni kesalahan karena dosaku.”

Mungkin pengalaman menyesal yang kualami tidak seberat apa yang raja Daud alami. Namun aku belajar bahwa penyesalan pun ternyata bisa dibawa kepada Tuhan dan hanya dalam anugerah Allah saja kita bisa diselamatkan dan terbebas dari belenggu rasa bersalah. Aku sedih telah membuat teman baikku tersinggung dan sampai membuahkan relasi yang retak. Aku juga menyesal mengapa aku pada waktu itu tidak minta maaf duluan tanpa perlu membela diri melakukan pembenaran dengan alasan aku juga ikut tersinggung dengan kata-katanya. Namun, sepertinya dari peristiwa ini aku sedang diajari untuk tetap rendah hati, mau mengakui kesalahan, kelemahan dan kerentanan di hadapan Tuhan, dan menyerahkan relasi yang retak untuk Tuhan pulihkan. Aku juga belajar bahwa kedepannya, aku bisa meminta hikmat pada Tuhan dalam menentukan pilihan-pilihan yang bijaksana, termasuk pilihan dalam cara berkomunikasi atau menyampaikan pesan pada orang lain.

Cerita penyesalanku ini hanya satu dari sekian banyak penyesalan yang kualami akibat pilihan-pilihan bodoh yang kuambil di masa lalu. Namun aku juga ternyata punya pilihan untuk menjadikan masa laluku sebagai pengingat, bahwa Tuhan tak pernah tinggalkan aku dalam momen apapun; bahwa Tuhan tak pernah bosan untuk menungguku menyapa-Nya setiap hari dan menyerahkan segala masalah serta pergumulan dosaku pada-Nya; bahwa Tuhan memberikan kasih-Nya yang luar biasa dari atas kayu salib buatku supaya terbebas dari belenggu rasa bersalah; bahwa anugerah pengampunan-Nya benar-benar nyata dan terjadi.

Sekarang, dalam penyertaan Tuhan aku pelan-pelan belajar untuk mengikis rasa minder dan tidak percaya diri akibat rasa bersalah yang menghalangiku dalam membuat sebuah pilihan. Mengutip apa yang ditulis oleh David G. Benner dalam bukunya yang berjudul Surrender To Love bahwa “rasa bersalah selalu menghasilkan halangan bagi kasih” juga membuatku mengizinkan diriku untuk tenggelam dalam kasih karunia-Nya. Aku memberi diri untuk ditolong Tuhan dalam membereskan luka penyesalan di masa lalu supaya kini aku bisa melangkah maju ke depan bersama-Nya tanpa dibelenggu rasa penyesalan.

Grace alone. Hanya karena kasih karunia.

“Grace alone which God supplies

Strength unknown He will provide

Christ in us our corner stone

We will go forth in grace alone.”

(Grace Alone – Scott Wesley Brown, Jeff Nelson)

Baca Juga:

Tak Diabaikan-Nya Ratapan Kita

Kisah pertolongan Allah atas Israel mengingatkanku bahwa Allah sejatinya tidak mengabaikan ratapan umat-Nya. Namun, ratapan seperti apakah yang seharusnya kita lakukan ketika kita menghadapi penindasan atau penderitaan?

Dibebaskan dari Kurungan

Kamis, 13 Februari 2020

Dibebaskan dari Kurungan

Baca: Mazmur 18:4-7,17-20

18:4 Terpujilah TUHAN, seruku; maka akupun selamat dari pada musuhku.

18:5 Tali-tali maut telah meliliti aku, dan banjir-banjir jahanam telah menimpa aku,

18:6 tali-tali dunia orang mati telah membelit aku, perangkap-perangkap maut terpasang di depanku.

18:7 Ketika aku dalam kesesakan, aku berseru kepada TUHAN, kepada Allahku aku berteriak minta tolong. Ia mendengar suaraku dari bait-Nya, teriakku minta tolong kepada-Nya sampai ke telinga-Nya.

18:17 Ia menjangkau dari tempat tinggi, mengambil aku, menarik aku dari banjir.

18:18 Ia melepaskan aku dari musuhku yang gagah dan dari orang-orang yang membenci aku, karena mereka terlalu kuat bagiku.

18:19 Mereka menghadang aku pada hari sialku, tetapi TUHAN menjadi sandaran bagiku;

18:20 Ia membawa aku ke luar ke tempat lapang, Ia menyelamatkan aku, karena Ia berkenan kepadaku.

[Allah] membawa aku ke luar ke tempat lapang. —Mazmur 18:20

Dibebaskan dari Kurungan

Saat sedang berjalan-jalan santai, penulis Martin Laird sering bertemu dengan seorang pria yang membawa empat ekor anjing Kerry Blue Terrier. Tiga anjingnya berlari-lari liar di padang terbuka, tetapi yang seekor lagi tidak pernah jauh-jauh dari pemiliknya dan hanya berputar-putar saja. Ketika Laird bertanya tentang perilaku janggal tersebut, pemiliknya menjelaskan bahwa anjing yang satu itu adalah anjing yang diadopsi dari penampungan, yang menghabiskan sebagian besar hidupnya terkurung dalam kandang. Setelah bebas, anjing Terrier itu tetap berjalan berputar-putar, seolah-olah masih berada dalam kandang yang tertutup.

Kitab Suci mengungkapkan bahwa kita juga terkungkung dan tidak berpengharapan sama sekali sebelum Allah menyelamatkan kita. Pemazmur berbicara tentang keadaannya dalam cengkeraman musuh, dijerat oleh “tali-tali maut” dan “tali-tali dunia orang mati telah membelit” dirinya (Mzm. 18:5-6). Dalam kesesakan dan belenggu, ia berseru kepada Allah agar menolongnya (ay.7). Lalu, dengan kekuatan-Nya yang dashyat, Allah “menjangkau dari tempat tinggi, mengambil” dirinya (ay.17).

Allah dapat melakukan hal yang sama untuk kita. Dia dapat mematahkan belenggu dan membebaskan kita dari kurungan yang mengungkung kita. Dia dapat melepaskan kita dan membawa kita “ke tempat lapang” (ay.20). Karena itu, betapa menyedihkannya apabila kita terus berputar-putar, seolah-olah masih terkungkung dalam kurungan yang telah kita tinggalkan. Dengan kekuatan-Nya, kiranya kita tidak lagi terikat oleh rasa takut, malu, atau tertindas. Allah telah menyelamatkan kita dari segala jerat kematian. Sekarang kita bisa berlari dengan bebas.—Winn Collier

WAWASAN
Puisi adalah gaya penulisan yang mengungkapkan banyak hal dengan sedikit kata. Para pujangga yang menulis sebagian besar Perjanjian Lama berbicara bahasa Ibrani. Puisi Ibrani sedikit berbeda dengan puisi yang ditulis dengan bahasa-bahasa modern, jadi kita perlu mempertanyakan bagaimana peran puisi dalam kebudayaan Timur Dekat.
Mungkin kita akrab dengan puisi yang memiliki rima dan irama. Namun, puisi Ibrani tidak menggunakan keduanya. Kita belajar membacanya ketika kita memahami gaya penulisan yang digunakan oleh para pujangga pada zaman dahulu, terutama paralelisme, perumpamaan, dan akrostik.
Paralelisme digunakan di sepanjang Mazmur 18. Yang dimaksud dengan paralelisme adalah efek penggemaan dalam sebuah baris atau ayat puisi dengan penggunaan kontras atau pengulangan. Paralelisme mungkin merupakan gaya penulisan puisi yang paling penting karena sangat sering digunakan dalam puisi Ibrani.—Tremper Longman

Kurungan apa yang selama ini mengungkung kamu? Pernahkah kamu hidup seolah-olah masih berada dalam kurungan yang mengungkung dan membatasimu?

Ya Allah, Engkau berkata bahwa Engkau membebaskan tawanan. Tolonglah aku untuk mempercayainya. Tolonglah aku untuk menghayatinya. Aku ingin bebas dan berada di tempat lapang-Mu.

Bacaan Alkitab Setahun: Imamat 14; Matius 26:51-75

Handlettering oleh Dinda Sopamena

Nafsu dalam Pacaran: Dosa Terselubung yang Tidak Kita Bicarakan

Oleh Wendy Wong
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Lust in Dating: The Secret Sin We Don’t Talk About

Aku dan suamiku sudah menikah selama setengah tahun. Sebelum menikah, kami pacaran selama dua tahun lebih.

Selama masa-masa pacaran, kami bergumul dengan dosa yang amat kami sesali. Hanya teman yang paling dekat dan pemimpin di gereja kami yang tahu akan dosa itu: hawa nafsu.

Dari berpegangan tangan hingga peluk-pelukan, godaan untuk semakin dekat secara fisik semakin kuat saat relasi kami menjadi lebih erat.

Kami coba lawan godaan ini sebisa mungkin. Kami berdoa memohon pengendalian diri, menundukkan diri kami dalam firman Tuhan tentang kekudusan, membaca dan membaca lagi artikel dan renungan Kristen tentang mengalahkan nafsu, menetapkan batasan-batasan fisik, menangis dan merasa malu setiap kali kami melanggar kesepakatan, berusaha bertanggung jawab dan jujur berbicara ke pembimbing kami, dan datang ke konselor Kristen bersama-sama.

Namun, seringkali rasanya semua usaha itu sia-sia. Kami ‘melakukan’ semuanya dengan benar, iya kan?

Lucunya, meskipun kami pikir kami tahu apa yang Alkitab, buku, dan pasangan yang sudah menikah katakan tentang dosa hawa nafsu, kami tidak cukup mengerti. Sebatas pengetahuan tentang apa yang benar tidak cukup untuk menghindarkan kami dari melakukan hal yang salah. Jauh lebih mudah untuk memuaskan keinginan daging yang menggebu-gebu daripada mendengarkan bisikan Roh Kudus untuk menahan nafsu kami.

Hanya ketika kami mengalami konsekuensi dosa, kami akhirnya mengerti alasan di balik aturan-aturan yang dibuat. Tatkala memuaskan nafsu terasa menyenangkan saat itu, dampak setelahnya yang muncul bisa berupa perasaan malu, bersalah, dan sakit yang bertengger berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Kami menyadari bahwa ketika kami menyerah pada nafsu, kami sedang menyakiti satu sama lain dan mendukakan Tuhan yang telah menyucikan, menebus, dan membayar lunas kita dari dosa dengan pengorbanan Kristus di kayu salib.

Karena hawa nafsu adalah dosa terselubung, pasangan Kristen yang merasa dirinya baik cenderung tidak membahasnya karena berpikir mereka mungkin tidak akan jatuh di dalamnya. Namun, ketika kita terjatuh ke dalamnya, kita merasa sendiri dan terasing, bahkan juga merasa gagal dalam membina hubungan. Kita membangun pemahaman bahwa pasangan Kristen haruslah pasangan yang terlihat “rohani”, sehingga kita jadi ragu atau bahkan merasa kurang “rohani” jika kita membahas hal-hal yang berkaitan dengan pengendalian diri dari hawa nafsu.

Ketika kubilang kita bergumul dengan hawa nafsu, kita sungguh bergumul dengannya.

Menemukan harapan di tengah peperangan kita

Aku telah melihat Tuhan memiliki tujuan untuk setiap masa yang terjadi dalam hidup kita, tak peduli betapa remeh atau susahnya itu. Tuhan menggunakan masa-masa di mana aku bergumul dengan kekudusan agar aku juga mengalami apa yang dirasakan Daud saat dia menyerukan pertobatannya dalam Mazmur 51.

Mazmur itu telah kubaca sebelumnya, sebagai doa pertobatan dan memohon ampun ketika aku berdosa terhadap Tuhan. Tapi, mazmur itu terasa lebih menyentuh sebagai ratapan pribadiku ketika aku benar-benar terjerat dengan dosa seksual.

Mazmur 51 menunjukkan suasana hati Daud ketika dia berada di titik terendah setelah dia berzinah dengan Batsyeba dan membunuh Uria.

Daud menyerukan penyesalannya pada Tuhan, mengakui dia telah amat berdosa terhadap Tuhan. Bukan Batsyeba, wanita bersuami yang diambil paksa oleh Daud. Bukan Uria, suami Batsyeba yang dibunuh oleh Daud. Bukan juga nabi Natan yang menentang kebohongan Daud.

Daud menyadari dia telah berdosa terhadap Tuhan saja: “Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kauanggap jahat, supaya ternyata Engkau adil dalam putusan-Mu, bersih dalam penghukuman-Mu.” (Mazmur 51:4).

Mungkin kamu bisa merasakan betapa hancurnya perasaan Daud saat dia menyadari dosa terberatnya. Namun, seruan penyesalannya juga menyiratkan secercah harapan—suatu harapan bahwa dosa pribadinya akan membawanya kepada keselamatan dan pemulihan, baik untuk dirinya sendiri, maupun untuk bangsanya (Mazmur 51:7-15).

Di manakah harapan Daud berakar? Di mana dia mendapatkan harapan di tengah situasi nan gelap yang diakibatkan dosanya sendiri?

David tahu bahwa dosanya—perzinahan dan pembunuhan—bukanlah segalanya dan bukan pula akhir dari hidupnya. Dia tahu Tuhan tidak cuma kudus dan hakim yang adil terhadap segala dosa kita, tetapi juga Tuhan yang menunjukkan belas kasihan, kasih, dan keselamatan. Daud tahu Tuhan tidak hanya berkenan kepada persembahan secara fisik, tetapi juga “hati yang hancur” yang diberikan kepada-Nya dalam penyerahan diri dan pertobatan (Mazmur 51:17). Daud tahu tak peduli betapa jahat pelanggarannya, Tuhan sanggup menyapu bersih setiap titik dosa-dosanya (Mazmur 51:7-9, 14).

Tak hanya itu, Daud tahu pula bahwa Tuhan dapat menciptakan hati yang murni, membaharui dan meneguhkan jiwanya, serta memulihkannya agar dia bisa bersukacita atas keselamatan yang datang dari pada-Nya (Mazmur 51:10-12).

Memegang firman Tuhan dekat dengan hati kita

Aku tidak ingat berapa kali aku mendoakan mazmur ini dengan berlinangan air mata. Mazmur ini kupegang erat, sebagai janji dan penghiburan, melalui setiap halangan dan rintangan, di lembah gelap dan setiap sudut yang memalukanku.

Mazmur 51 mengingatkanku lagi dan lagi: bahwa meski aku telah berdosa terhadap Tuhan, dosa itu bukanlah akhir dari kisah hidup kami. Aku bisa berpaling pada Tuhan dan menemukan belas kasih dan pengampunan yang amat besar, jika aku menghampiri-Nya dengan pertobatan dan kerendahan hati—bukan karena hal-hal baik yang telah kulakukan, tapi murni karena kebesaran dan kebaikan-Nya.

Firman-Nya memberiku harapan dan kekuatan untuk berseru kepada-Nya setiap kali aku jatuh dan gagal, untuk menemukan pengampunan dan kekuatan dalam perjalananku, dan bahkan untuk menuliskan kisah ini.

Selama dua tahun lebih menjalin relasi, firman-Nya dan Roh-Nya menempa kami untuk menjadi pasangan yang setia kepada-Nya dalam kehidupan spiritual, emosional, dan fisik kami. Kami belajar bahwa senjata terpenting melawan hawa nafsu bukan cuma memusingkan diri dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, tapi dengan duduk diam di kaki Yesus setiap hari, mendengarkan firman-Nya, dan memilih bagian yang terbaik: Tuhan dan Juruselamat kita sendiri (Lukas 10:38-42).

Seperti Daud yang mengubah pelanggarannya menjadi kesaksian bagi Tuhan, aku juga berdoa kiranya pergumulan kami dapat menguatkanmu untuk berani melawan dosa-dosamu, sesuai dengan apa yang tertulis dalam Alkitab:

Bangkitkanlah kembali padaku kegirangan karena selamat yang dari pada-Mu,
Dan lengkapilah aku dengan roh yang rela!
Maka aku akan mengajarkan jalan-Mu kepada orang-orang yang melakukan pelanggaran,
Supaya orang-orang berdosa berbalik kepada-Mu.
Lepaskanlah aku dari hutang darah, ya Allah, Allah keselamatanku,
Maka lidahku akan bersorak-sorai memberitakan keadilan-Mu!
Ya Tuhan, bukalah bibirku, supaya mulutku memberitakan puji-pujian kepada-Mu!

Mazmur 51:14-17

Baca Juga:

Ketika Kisah Cinta Kami Berjalan Keliru

Adalah hal yang sangat menakutkan ketika aku memilih untuk menghabiskan malamku dengan tunanganku dibandingkan meluangkan waktu menyendiri dengan Tuhan, ketika hatiku lebih mendapat kepuasan di dalamnya dibanding di dalam Tuhan, ketika aku lebih mengkhususkan perhatianku untuk kebutuhan dan keinginannya, bukan untuk mengenal dan mematuhi Tuhan.

Apakah Sakit Kankerku Merupakan Bagian dari Rencana Tuhan?

Oleh Debra Hunt, Selandia Baru
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Can Cancer Be Part Of God’s Plan?

Satu kalimat yang tak pernah ingin kudengar: “Kamu terkena kanker.”

Usiaku 31 tahun ketika aku menerima diagnosis mengejutkan itu. Aku dan suamiku dikaruniai tiga orang anak yang masih kecil dan aku bekerja sebagai pendeta bagi anak-anak di gerejaku.

Kanker payudara tidak pernah menjadi rencanaku selama lima tahun, atau rencana-rencana lain yang kubuat dalam hidup. Aku tidak merokok, tubuhku rasanya sehat dan bugar, pun tak ada catatan sejarah keluargaku yang mengidap kanker payudara.

Namun, terlepas dari semua fakta itu, aku mendapati diriku terduduk di ruangan berdinding hijau, mendengarkan dokterku menjelaskan seberapa jauh kankerku sudah menyebar. Kankerku tidak terdeteksi sejak awal, dan berkembang lumayan cepat, jadi sang dokter menyarankan perawatan yang kulakukan meliputi operasi, kemoterapi, radiasi, dan terapi endokrin* selama 10 tahun. Dia memprediksi jika aku bisa melalui semua perawatan itu, aku punya 75 persen kesempatan hidup selama lima tahun ke depan.

Minggu-minggu setelahnya, pelan-pelan aku melepaskan segala impian dan harapanku untuk masa depan, termasuk juga impianku untuk gereja tempatku bekerja dan melayani.

Hidupku terganggu. Aku mendapati diriku bertanya, “Tuhan, kenapa? Mengapa Engkau mengizinkan ini terjadi atasku? Mengapa Engkau izinkan kanker merenggutku dari sesuatu yang Kau inginkan untuk aku raih?”

Jemaat gereja mendoakanku. Aku berdoa untuk diriku sendiri, memohon supaya Tuhan menyembuhkanku.

Yang kurasakan saat itu adalah Tuhan cuma ingin aku percaya pada jalan yang Dia rancangkan. Ya, aku tahu Tuhan bisa menyembuhkanku, tapi maukah aku tetap percaya jika Dia tidak melakukannya?

Butuh berminggu-minggu buatku untuk menerima kenyataan jika seandainya aku tidak sembuh. Namun, setelah berlinangan air mata, aku sadar seharusnya responsku adalah: “YA!” Ya, aku harus percaya Tuhan, sekalipun Dia tidak mengambil kanker ini dari tubuhku. Alkitab berkata Tuhan itu dapat dipercaya, dan aku memilih untuk percaya pada-Nya. Aku meletakkan imanku pada-Nya karena aku tahu Dia selalu peduli padaku. Aku bersandar pada sebuah ayat favoritku, “Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu” (1 Petrus 5:7).

Aku memutuskan untuk berhenti meminta Tuhan seketika menyembuhkanku, melainkan aku memohon supaya aku dikuatkan dan percaya pada-Nya melalui setiap proses perawatan yang kulakukan.

Berkat-berkat tidak terduga

Apa yang kudapati sepanjang proses perawatanku adalah: meskipun rasanya sulit, Tuhan melimpahkan berkat-Nya dalam perjalananku ini.

Ketika aku pikir aku akan segera meninggal, dunia menjadi terlihat amat indah. Teringat akan kematianku sendiri, aku jadi melakukan segala sesuatu seolah itu adalah hal terakhir yang bisa kulakukan.

Aku berjalan menuju pintu di pagi hari dan terkagum akan embun yang menetes dari dedaunan, sinar mentari yang menyelinap di antara batang-batang pohon, dan bunga-bunga yang terkatup saat malam namun mekar merona kala fajar sambil disinari cahaya surya yang benderang. Keindahan di sekelilingku menjadi amat indah. Hidupku yang terancam oleh kematian membawaku untuk lebih bersyukur atas keindahan ciptaan-Nya; aku bisa melihat karya tangan Tuhan yang ajaib di mana-mana.

Aku juga diberkati dengan kedekatan yang istimewa dengan Yesus. Aku terkejut, karena aku merasa tidak seperti berjalan bersama-Nya di masa-masa berat ini… aku merasa Yesus menggendongku. Sejujurnya aku adalah orang yang pesimis dan agak negatif, tapi rasanya Yesus telah menolongku untuk merasa lebih positif dan optimis daripada hidupku yang biasa. Ya, menjalani hidup seperti ini masih terasa seperti tantangan sepanjang waktu, tapi aku selalu merasa Tuhan ada bersamaku, dan ada kedamaian tak terkatakan dalam hatku.

Menderita kanker juga membuka kesempatan bagiku untukku membagikan kisah kasih Tuhan. Aku diundang berbicara di beberapa acara, juga menulis di blog. Semua itu tak cuma menolongku untuk menikmati pengalamanku sendiri, tetapi mengizinkanku untuk bicara tetang hidup dan harapan yang orang-orang lain belum dapat memilikinya saat ini.

Kanker bukanlah rencana yang baik

Apakah berkat-berkat tak terduga yang kutuliskan di atas artinya kanker adalah rencana yang baik dari Tuhan? Kupikir tidak.

Ketika Tuhan membuat segala sesuatunya baru, di sana tidak akan ada lagi kesakitan dan kesedihan (Wahyu 21:4). Kanker bukanlah rancangan Tuhan bagi umat manusia, dan kanker tidak akan menguasai manusia selamanya—Tuhan kelak akan mengakhirinya. Tapi, sayangnya, untuk saat ini, kanker ada dalam hidup manusia, berkembang dalam tubuh, dan mempengaruhi banyak aspek kehidupan mereka yang menderitanya.

Seiring aku melanjutkan perjuanganku melawan kanker, aku tahu Tuhan tidak sedang duduk diam di surga sembari berkata supaya aku tetap kuat. Tuhan ada di sisiku, mengusap tetesan air mataku dan menguatkan tubuhku yang rapuh.

Aku yakin akan hal ini karena Yesus berbelas kasih atas ciptaan-Nya. Ketika Lazarus meninggal, Yesus menangis dan larut dalam sedih—meskipun Dia tahu akhir ceritanya akan bahagia! Yesus tahu Dia dapat membangkitkan Lazarus dari kematian, namun Dia mengizinkan diri-Nya diliputi kesedihan (Yohanes 11:35). Jadi, aku tahu bahwa menyakitkan pula bagi Tuhan untuk melihat ciptaan-Nya menderita dan kesakitan, rapuh, dan tak berdaya.

Kanker bukanlah rencana Tuhan. Itu adalah hasil dari dunia yang telah jatuh dalam dosa. Namun suatu hari kelak, Yesus akan mengakhiri segala kanker untuk semua orang.

Untuk saat ini, aku percaya Tuhan dapat menggunakan penyakit mengerikan ini untuk melakukan hal-hal menakjubkan. Meski aku mungkin terguncang karena kanker, Tuhan tidak. Tuhan sudah mengetahui Dia ingin memberikan sesuatu yang indah bagiku. Tuhanlah yang akan mengganti debu dengan mahkota yang indah, dan mengubah dukacita menjadi sorak sukacita (Yesaya 61:3, Mazmur 30:11). Kita bisa berhenti resah dan percaya pada-Nya, sebagaimana tertulis dalam Matius 6:25-27 dan Filipi 4:6-7.

Satu tahun telah berlalu dari perawatan yang kulalui, dan puji Tuhan keadaanku baik. Aku masih bergumul dengan kesehatanku, efek samping pengobatan, dan kekhawatiran apabila kankerku kembali. Tapi, aku amat bersyukur atas setiap kebaikan yang Tuhan telah lakukan dan yang akan Dia terus lakukan sepanjang perjalanan hidupku.

Kanker, sakit, atau penderitaan bukanlah rancangan yang Tuhan ingin berikan buatmu. Jika saat ini kamu menghadapi masa-masa yang sulit atau sedang berjuang melawan sakit, maukah kamu bersama denganku percaya pada-Nya, bahwa Tuhan mampu menggunakan keadaan kita yang buruk sekalipun untuk kebaikan?

*Terapi endokrin adalah terapi hormon untuk memperlambat atau menghentikan pertumbuhan sel kanker.

Baca Juga:

Karuna Sankara, Ini Suratku Untukmu

Karuna, bayi perempuan mungil yang jadi hadiah luar biasa bagi pernikahan kami dari Tuhan. Namun, kami harus belajar untuk melepasnya. Inilah pergumulan amat berat yang harus kami lalui.

Apakah Kamu Mencari Alasan untuk Memaklumi Dosa?

Hari ke-5 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 1: 27- 28

1:27 Hanya, hendaklah hidupmu berpadanan dengan Injil Kristus, supaya, apabila aku datang aku melihat, dan apabila aku tidak datang aku mendengar, bahwa kamu teguh berdiri dalam satu roh, dan sehati sejiwa berjuang untuk iman yang timbul dari Berita Injil,

1:28 dengan tiada digentarkan sedikitpun oleh lawanmu. Bagi mereka semuanya itu adalah tanda kebinasaan, tetapi bagi kamu tanda keselamatan, dan itu datangnya dari Allah.

Kita sangat ahli membuat alasan ketika kita melakukan dosa. Kita memakai imajinasi kita untuk membuat alasan-alasan baru, untuk menjelaskan dosa yang kita lakukan tidaklah seburuk yang dikira. Biasanya, mudah sekali bagi kita untuk menyalahkan kondisi yang sulit sebagai penyebab kita bersikap.

“Ya, memang aku tadi bersikap kasar, tetapi aku mengalami masalah dalam pekerjaanku hari ini.”

“Mungkin aku tadi tidak bisa menahan amarahku, tetapi itu karena ia bersikap bodoh.”

“Betul aku tidak membayar tiket kereta tadi, namun perusahaan itu juga sudah mendapatkan banyak keuntungan tanpa aku harus membayar.”

Jemaat Filipi, sebagai jemaat yang berhadapan dengan pengajaran sesat, argumen-argumen di dalam jemaat, dan persekusi dari luar, mungkin memiliki banyak alasan untuk memaklumi sikap buruk. Namun Paulus tidak menerima alasan apapun. Dalam suratnya kepada jemaat di Filipi, seperti tercantum dalam Alkitab versi NIV, tertulis demikian: “Whatever happens, conduct yourselves in a manner worthy of the gospel of the Christ.” yang artinya, “Apapun yang terjadi, hendaklah hidupmu berpadanan dengan Injil Kristus…”

Bagi orang Kristen, tidak peduli tekanan apa pun yang kita alami atau seberapa sulitnya kondisi yang terjadi, hidup kita harus dijalani dengan suatu cara yang akan membuat Kristus bangga, cara hidup yang menghormati dan memuliakan-Nya. Tidak ada cara hidup lain yang dapat diterima selain ini bagi seorang Kristen.

Sebuah standar yang tinggi, bukan? Selalu memiliki sikap yang berpadanan dengan Injil tidaklah mudah. Namun ada hal yang dipertaruhkan di sini: dunia yang perlu tahu bahwa kekristenan menawarkan kepuasan yang radikal sedang melihat kita, dan seharusnya mereka dapat melihat melalui kehidupan orang Kristen bahwa mereka sedang melewatkan suatu hal yang menakjubkan!

Maka dari itu, Paulus mencatat dua cara khusus agar kita dapat memiliki sikap yang berpadanan dengan Injil. Pertama-tama, kita harus disatukan—kita harus “teguh berdiri dalam satu roh, dan sehati sejiwa berjuang untuk iman” (ayat 27).

Mungkin kita tidak menyangka standar pertama Paulus adalah untuk dipersatukan dengan saudara-saudari kita di dalam Kristus. Ini tugas yang sulit, namun sangat diperlukan untuk menunjukkan dunia bahwa Yesus yang menyelamatkan dan mempersatukan kita jauh lebih penting dari hal apapun yang dapat memisahkan kita.

Karena kita suka berselisih dan berdebat, perintah ini menantang kita sebagai orang Kristen untuk tidak membiarkan keangkuhan diri kita mengalahkan kesatuan. Melihat semua fitnah dan gosip yang berada di sekitar kita, terlihat jelas bahwa perintah Paulus untuk jemaat Filipi masih relevan bagi kita hari ini.

Kedua, kita harus berani—kita harus hidup dengan “tiada digentarkan sedikitpun oleh lawanmu” (ayat 28).

Menulis surat ini dari dalam penjara pada abad pertama, Paulus tahu persis bahwa ada banyak alasan yang logis untuk merasa takut pada lawan. Namun melakukan apapun dengan didasari rasa takut pada manusia tidaklah pantas bagi seorang Kristen; hal itu berarti kita lupa bahwa Dia yang bersama kita lebih besar dari kuasa maupun pencobaan apapun, lupa bahwa Yesus sudah menaklukkan dunia!

Maka sebagai ganti dari menggunakan ancaman penderitaan atau kesulitan untuk memaklumi dosa dan kegagalan kita, Paulus mengatakan kita harus menjadi seperti orang-orang Kristen berabad-abad lalu yang tidak takut, orang-orang yang terlihat berbeda dari kasihnya yang rela berkorban dan bukan dari rasa takutnya. Tidak ada hal lain yang bisa lebih membedakan orang Kristen dengan yang lainnya dibanding ini.

Jadi, standar dan harga yang harus dibayar dari kehidupan orang Kristen sangatlah tinggi. Kenapa kita tidak menjauh saja dari masalah, menunggu surga, dan menghindar dari drama-drama yang dapat terjadi?

Alasannya adalah, pola hidup Kristen untuk menderita sekarang dan dimuliakan nanti bukanlah suatu ketidaksengajaan. Pada Filipi 1:29, Paulus mengatakan dan mencontohkan bahwa salah satu ciri-ciri orang Kristen adalah kita mendapat penderitaan karena iman kita. Dan ketika kita menanggung penderitaan demi Kristus, tanpa dilumpuhkan oleh ketakutan atau mengabaikan saudara-saudari kita, dan dalam keberanian dan kesatuan yang tampak dengan jelas, kita menunjukkan pada dunia bahwa Kristus adalah pribadi yang layak untuk kita pertaruhkan nyawa kita.

Dan mari kita bayangkan; ketika pada akhirnya kita menyembah dengan sukacita yang mendalam pada takhta Anak Domba Allah bersama dengan orang-orang percaya lainnya di dunia yang baru, kita tidak akan menyesal sudah berkorban demi Kristus pada masa sekarang.—James Bunyan, Inggris

Handlettering oleh Robby Kurniawan

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Alasan apa yang kamu gunakan untuk meremehkan dosa atau kegagalanmu? Bagaimana bacaan hari ini mendorongmu untuk menjalani hidup yang berpadanan dengan Injil?

2. Langkah praktis apa yang dapat kamu ambil untuk memastikan kamu tetap disatukan dengan orang Kristen lainnya?

3. Kapan kamu merasa sulit untuk menjadi berani demi Kristus? Mengapa?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

James Bunyan, Inggris | James tinggal dan bekerja di London, menolong para mahasiswa berjumpa dengan Yesus lewat pembacaan Alkitab. Itu bukanlah pekerjaan yang sulit, sebab Alkitab memang buku yang luar biasa!

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Penawar yang Langsung Manjur

Senin, 30 September 2019

Penawar yang Langsung Manjur

Baca: Yesaya 53:1-6

53:1 Siapakah yang percaya kepada berita yang kami dengar, dan kepada siapakah tangan kekuasaan TUHAN dinyatakan?

53:2 Sebagai taruk ia tumbuh di hadapan TUHAN dan sebagai tunas dari tanah kering. Ia tidak tampan dan semaraknyapun tidak ada sehingga kita memandang dia, dan rupapun tidak, sehingga kita menginginkannya.

53:3 Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan.

53:4 Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah.

53:5 Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.

53:6 Kita sekalian sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri, tetapi TUHAN telah menimpakan kepadanya kejahatan kita sekalian.

Ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh. —Yesaya 53:5

Penawar yang Langsung Manjur

Sambil berjalan mengikuti pemandu taman, saya mencatat semua penjelasannya tentang berbagai tumbuhan yang terdapat di hutan purba Bahama. Ia memberi tahu saya pohon mana saja yang harus dihindari. Pohon poisonwood, katanya, mengeluarkan getah berwarna hitam yang mengakibatkan ruam yang gatal dan menyakitkan. Namun, jangan khawatir! Penawarnya biasanya bisa ditemukan pada tumbuhan yang persis ada di sampingnya. “Sayat kulit merah dari pohon kenari,” katanya, “dan oleskan getah pohon itu pada ruam. Ruam itu akan langsung sembuh.”

Hampir saja pensil saya jatuh saking kagetnya. Saya tidak menyangka akan menemukan gambaran tentang keselamatan di tengah hutan. Namun, pada pohon kenari, saya melihat gambaran tentang Yesus. Dialah penawar yang langsung menghapus racun dosa. Seperti kulit merah dari pohon kenari, darah Yesus membawa kesembuhan.

Nabi Yesaya mengerti bahwa manusia membutuhkan kesembuhan. Ruam dosa telah menjangkiti kita. Yesaya menjanjikan bahwa kesembuhan kita akan datang melalui “seorang yang penuh kesengsaraan” (Yes. 53:3). Dialah Yesus. Kita dahulu sakit, tetapi Kristus rela dilukai untuk menggantikan kita. Ketika kita percaya kepada-Nya, kita disembuhkan dari penyakit dosa (ay.5). Mungkin butuh waktu seumur hidup untuk belajar hidup layaknya seseorang yang sudah disembuhkan—dengan menyadari dan menolak dosa karena kita sudah diperbarui—tetapi karena Yesus, kita akan sanggup melakukannya. —Amy Peterson

WAWASAN
Dalam Perjanjian Lama, Yesaya 53 memberikan gambaran paling jelas mengenai pengorbanan Kristus. Di sana dinubuatkan tentang penolakan diri-Nya (ay.1-3), penderitaan-Nya menggantikan kita (ay.4-6), pengorbanan-Nya dalam kematian, penguburan-Nya (ay.7-9), karya penebusan-Nya yang mendamaikan, serta kebangkitan-Nya (ay.10-12). Pasal ini merupakan pasal terakhir dari empat nubuatan tentang Juruselamat dalam kitab Yesaya (42:1-9; 49:1-13; 50:4-11; 52:13-53:12). Keempatnya dikenal sebagai “Nyanyian Hamba” karena mengacu kepada Yesus sebagai Hamba (42:1; 49:3; 50:10; 52:13). Namun, para pakar Yahudi cenderung menafsirkan “Hamba” sebagai Israel sendiri. Dalam Perjanjian Baru, perkataan Yesaya dikutip atau disebut lebih dari enam puluh kali. Para penulis Perjanjian Baru dengan jelas mengartikan Yesaya 53 sebagai nubuatan tentang Yesus Kristus (Matius 8:17; Markus 15:28; Lukas 22:37; Yohanes 12:38-41; Kisah Para Rasul 8:32-35; Roma 10:16; 1 Petrus 2:24). —K.T. Sim

Apa saja dari alam ini yang mengingatkanmu kepada keselamatan yang Allah sediakan bagi kita? Apa makna dari kesembuhan yang ditawarkan-Nya itu bagimu?

Di mana ada dosa, di sana Yesus hadir dan siap menyelamatkan.

Bacaan Alkitab Setahun: Yesaya 9-10; Efesus 3

Handlettering oleh Novelia

Awas, Licin!

Selasa, 3 September 2019

Awas, Licin!

Baca: Mazmur 141

141:1 Mazmur Daud. Ya TUHAN, aku berseru kepada-Mu, datanglah segera kepadaku, berilah telinga kepada suaraku, waktu aku berseru kepada-Mu!

141:2 Biarlah doaku adalah bagi-Mu seperti persembahan ukupan, dan tanganku yang terangkat seperti persembahan korban pada waktu petang.

141:3 Awasilah mulutku, ya TUHAN, berjagalah pada pintu bibirku!

141:4 Jangan condongkan hatiku kepada yang jahat, untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang fasik bersama-sama dengan orang-orang yang melakukan kejahatan; dan jangan aku mengecap sedap-sedapan mereka.

141:5 Biarlah orang benar memalu dan menghukum aku, itulah kasih; tetapi janganlah minyak orang fasik menghiasi kepalaku! Sungguh aku terus berdoa menentang kejahatan-kejahatan mereka.

141:6 Apabila mereka diserahkan kepada hakim-hakimnya, maka mereka akan mendengar, bahwa perkataan-perkataanku menyenangkan.

141:7 Seperti batu yang dibelah dan dihancurkan di tanah, demikianlah akan berhamburan tulang-tulang mereka di mulut dunia orang mati.

141:8 Tetapi kepada-Mulah, ya ALLAH, Tuhanku, mataku tertuju; pada-Mulah aku berlindung, jangan campakkan aku!

141:9 Lindungilah aku terhadap katupan jerat yang mereka pasang terhadap aku, dan dari perangkap orang-orang yang melakukan kejahatan.

141:10 Orang-orang fasik akan jatuh serentak ke dalam jala mereka, tetapi aku melangkah lalu.

Jangan condongkan hatiku kepada yang jahat. —Mazmur 141:4

Awas, Licin!

Bertahun-tahun lalu, saat sedang belajar bermain ski, saya mengikuti anak saya, Josh, menuruni lereng yang kelihatannya landai. Karena mata saya hanya tertuju kepadanya, saya tidak memperhatikan bahwa ia sedang menuruni bukit yang paling curam di gunung itu. Karena kaget dan tidak siap, saya pun meluncur tak terkendali di lereng curam tersebut dan jatuh hingga jungkir balik.

Mazmur 141 menunjukkan bagaimana kita bisa dengan mudahnya tergelincir ke dalam dosa. Doa menjadi salah satu cara untuk tetap waspada terhadap ancaman dosa: “Jangan condongkan hatiku kepada yang jahat” (ay.4) merupakan permohonan yang hampir mirip dengan sebaris kalimat dalam Doa Bapa Kami: “Janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat” (mat. 6:13). Karena kebaikan-Nya, Allah mendengar dan menjawab doa tersebut.

Dalam mazmur ini saya juga menemukan saluran anugerah yang lain: teman yang setia. “Jika seorang baik menegur aku, dan dengan tulus menghajar aku, itu seperti minyak yang paling baik bagiku. Semoga aku tidak menolaknya” (Mzm. 141:5 bis). Godaan bisa datang dengan halus. Kita tidak selalu menyadari bahwa kita sudah menyimpang. Teman yang sejati dapat bersikap objektif. ”Seorang kawan memukul dengan maksud baik” (Ams. 27:6). Menerima teguran memang tidak mudah, tetapi bila kita melihatnya sebagai suatu kebaikan, hal itu dapat menjadi dorongan yang membuat kita berbalik kepada jalan ketaatan.

Kiranya kita mau terbuka menerima teguran dari seorang teman yang tepercaya dan bergantung kepada Allah dalam doa. —David H. Roper

WAWASAN
Setiap kita tentu pernah mengalami perasaan seperti yang diungkapkan dalam doa Daud, “Lindungilah aku terhadap katupan jerat yang mereka pasang terhadap aku, dan dari perangkap orang-orang yang melakukan kejahatan” (Mazmur 141:9). Namun, kita juga perlu meminta perlindungan dari diri sendiri, “Awasilah mulutku, ya TUHAN, berjagalah pada pintu bibirku!” (ay.3). Daud mungkin sedang melarikan diri dari Raja Saul ketika ia menulis mazmur ini, sebab kata-katanya yang menyatakan pengendalian diri sesuai dengan situasi dan sikapnya terhadap Saul. Daud tidak mau mencelakakan “orang yang diurapi TUHAN” meskipun ia berkesempatan melakukannya (1 Samuel 24:2-8; 26:7-24). Ia tahu betul godaan untuk mengucapkan sesuatu yang menghasut atau mengikuti “nasihat” untuk membunuh Saul (26:8). Barangkali itulah yang Daud maksudkan dengan apa “yang jahat” (Mazmur 141:4) yang ingin dihindarinya. Daud menghendaki keadilan, tetapi ia berserah kepada Allah. —Tim Gustafson

Hal apa saja yang mengancam untuk membuatmu tergelincir ke dalam dosa? Bagaimana kamu dapat menjaga hatimu dari ancaman tersebut?

Ya Bapa, jagalah kakiku agar tidak tergelincir ke dalam dosa. Tolonglah aku untuk mendengarkan suara-Mu dan nasihat dari teman-teman baikku.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 140-142; 1 Korintus 14:1-20

Kesempatan Kedua

Senin, 26 Agustus 2019

Kesempatan Kedua

Baca: Mikha 7:1-3,18-20

7:1 Celaka aku! Sebab keadaanku seperti pada pengumpulan buah-buahan musim kemarau, seperti pada pemetikan susulan buah anggur: tidak ada buah anggur untuk dimakan, atau buah ara yang kusukai.

7:2 Orang saleh sudah hilang dari negeri, dan tiada lagi orang jujur di antara manusia. Mereka semuanya mengincar darah, yang seorang mencoba menangkap yang lain dengan jaring.

7:3 Tangan mereka sudah cekatan berbuat jahat; pemuka menuntut, hakim dapat disuap; pembesar memberi putusan sekehendaknya, dan hukum, mereka putar balikkan!

7:18 Siapakah Allah seperti Engkau yang mengampuni dosa, dan yang memaafkan pelanggaran dari sisa-sisa milik-Nya sendiri; yang tidak bertahan dalam murka-Nya untuk seterusnya, melainkan berkenan kepada kasih setia?

7:19 Biarlah Ia kembali menyayangi kita, menghapuskan kesalahan-kesalahan kita dan melemparkan segala dosa kita ke dalam tubir-tubir laut.

7:20 Kiranya Engkau menunjukkan setia-Mu kepada Yakub dan kasih-Mu kepada Abraham seperti yang telah Kaujanjikan dengan bersumpah kepada nenek moyang kami sejak zaman purbakala!

Engkau akan berbelaskasihan lagi kepada kami dan mengampuni kami. Dosa-dosa kami akan Kaupijak-pijak dan Kaulemparkan ke dasar laut! —Mikha 7:19 BIS

Kesempatan Kedua

Di toko sepeda Second Chance dekat rumah kami, beberapa relawan memperbaiki sepeda-sepeda yang dibuang orang dan mendonasikannya ke anak-anak yang membutuhkan. Ernie Clark, sang pemilik toko, juga mendonasikan sepeda ke orang dewasa yang membutuhkan, seperti kaum tunawisma, mereka yang berkebutuhan khusus, dan para veteran perang yang berjuang untuk kembali ke tengah masyarakat. Bukan hanya sepeda-sepeda itu yang mendapat kesempatan kedua, orang-orang yang menerimanya pun terkadang mendapat kesempatan kedua. Seorang veteran perang menggunakan sepeda yang diterimanya untuk pergi menghadiri wawancara kerja.

Kesempatan kedua dapat mengubah kehidupan seseorang, terutama jika kesempatan itu datang dari Allah. Nabi Mikha sangat meninggikan anugerah tersebut pada masa bangsa Israel hidup bergelimang dosa dengan melakukan suap, penipuan, dan dosa-dosa tercela lainnya. Dalam ratapannya, Nabi Mikha berkata, “Orang jujur sudah lenyap dari negeri, orang yang setia kepada Allah tidak ditemukan lagi” (mik. 7:2 bis).

Mikha tahu Allah adil dalam menghukum kejahatan. Namun, karena kasih-Nya, Dia memberi kesempatan kedua kepada orang yang bertobat. Karena merasa begitu rendah di hadapan kasih yang agung, Mikha berseru, “Tak ada Allah seperti Engkau, ya Tuhan, yang mengampuni dosa umat pilihan-Mu yang tersisa” (ay.18 bis).

Kita juga dapat bersukacita karena Allah tidak membuang kita oleh karena dosa kita, apabila kita memohon pengampunan kepada-Nya. Mikha berseru tentang Allah, “Engkau akan berbelaskasihan lagi kepada kami dan mengampuni kami. Dosa-dosa kami akan Kaupijak-pijak dan Kaulemparkan ke dasar laut!” (ay.19 bis). Kasih Allah memberikan kesempatan kedua bagi mereka yang mencari Dia. —Patricia Raybon

WAWASAN
Mikha, yang hidup sezaman dengan Yesaya dan Hosea, melayani kerajaan Israel dan Yehuda selama sekitar enam puluh lima tahun (Mikha 1:1; Hosea 1:1). Pada masa itu, marak penyembahan berhala, korupsi, ketidakadilan, dan penindasan terhadap orang miskin (Mikha 7:2-3) dalam dua kerajaan itu. Bahkan ketika ia bernubuat tentang tangan Allah yang mengajar— memperingatkan bahwa Israel akan digempur oleh Asyur (1:6), tentang pembuangan (ay.16), dan tentang kehancuran Yerusalem dan Bait Allah (3:12), Mikha juga berbicara dengan jelas tentang belas kasihan dan berkat Allah jika mereka mau bertobat dan “berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allah [mereka]”. Mikha juga menubuatkan berkat dari kembalinya sisa bangsa Israel ke Yerusalem (2:12) dan lahirnya Mesias (5:2). Mikha kemudian menutupnya dengan pernyataan, “Siapakah Allah seperti Engkau” (7:18), mengingatkan pembaca terhadap pewahyuan Allah dalam Keluaran 34:6-7. Yang menarik, nama Mikha berarti “Siapakah yang seperti Yehova.” —K.T.Sim

Dosa apa yang ingin kamu tinggalkan supaya kamu memperoleh kesempatan kedua dari Allah yang Maha Pengasih?

Bapa, terima kasih atas kesempatan kedua yang Kau berikan kepada kami.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 119:89-176; 1 Korintus 8

Handlettering oleh Kezia Endhy

Kembali Berperang

Rabu, 7 Agustus 2019

Kembali Berperang

Baca: 2 Samuel 12:26-31

12:26 Yoab berperang melawan Raba, kota bani Amon dan ia merebut kota kerajaan.

12:27 Lalu Yoab menyuruh orang kepada Daud dengan pesan: “Aku berperang melawan kota Raba, dan telah merebut pula kota air.

12:28 Oleh sebab itu, kumpulkanlah sisa tentara, kepunglah kota itu dan rebutlah, supaya jangan aku yang merebut kota itu dan jangan namaku menjadi juga nama kota itu.”

12:29 Sesudah itu Daud mengumpulkan seluruh tentara, ia berangkat ke kota Raba dan berperang melawannya, lalu merebutnya.

12:30 Ia mengambil mahkota dari kepala raja mereka, beratnya setalenta emas, bertatahkan sebuah batu permata yang mahal dan itu dikenakan pada kepala Daud. Juga diangkutnya banyak sekali jarahan dari kota itu.

12:31 Penduduk kota itu diangkutnya dan dipaksanya bekerja dengan gergaji, penggerek besi dan kapak; juga dipekerjakannya mereka di tempat pembuatan batu bata. Demikianlah juga diperlakukan Daud segala kota bani Amon. Sesudah itu pulanglah Daud dengan seluruh tentara ke Yerusalem.

Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan. —1 Yohanes 1:9

Kembali Berperang

Semasa kecil, seorang wanita pernah melontarkan kata-kata yang tidak pantas kepada kedua orangtuanya. Ia tidak mengira perkataan itu akan menjadi interaksi terakhirnya dengan mereka. Sampai sekarang, sekalipun sudah bertahun-tahun mengikuti konseling, ia masih belum bisa memaafkan dirinya sendiri. Perasaan bersalah dan penyesalan membuatnya terpuruk.

Ada penyesalan-penyesalan yang kita rasakan dalam hidup ini, dan beberapa di antaranya cukup berat. Namun, Alkitab menunjukkan kepada kita cara untuk mengatasi rasa bersalah. Mari lihat salah satu contohnya.

Apa yang diperbuat Raja Daud memang sangat buruk. Pada waktu “raja-raja biasanya maju berperang, . . . Daud sendiri tinggal di Yerusalem” (2sam. 11:1). Jauh dari pertempuran, ia pun merebut istri orang lain dan mencoba menutupi perbuatannya dengan pembunuhan (ay.2-5,14-15). Allah turun tangan dan menghentikan Daud agar tidak terjerumus lebih jauh ke dalam dosa (12:1-13), tetapi sang raja akan terus hidup dengan kesadaran akan dosa seumur hidupnya.

Sementara Daud berusaha bangkit dari keterpurukan, Yoab, jenderal kepercayaannya, memenangi pertempuran yang seharusnya dipimpin oleh Daud (12:26). Yoab menantang Daud, “Kumpulkanlah sisa tentara, kepunglah kota itu dan rebutlah” (ay.28). Daud akhirnya kembali pada posisi yang ditentukan Allah baginya, yaitu sebagai pemimpin dari bangsa dan pasukannya (ay.29).

Ketika kita membiarkan masa lalu menghancurkan kita, itu seperti memberitahukan kepada Allah bahwa anugerah-Nya tidak cukup bagi kita. Namun, Allah Bapa menyediakan pengampunan penuh kepada kita. Seperti Daud, kita dapat menerima anugerah yang cukup dari Allah untuk bangkit dan kembali berperang. —Tim Gustafson

Penyesalan apa yang menggerogoti jiwamu? Siapa orang dalam hidupmu yang bisa diajak bicara tentang kepastian dari anugerah Allah ?

WAWASAN
Kitab 2 Samuel menceritakan bahwa kejahatan Daud terhadap Batsyeba dan suaminya, Uria, terkait dengan kegagalannya sebagai raja. Catatan ini menekankan kesalahan Daud serta menggambarkan Uria dan Batsyeba sebagai korban penyalahgunaan kekuasaan (2 Samuel 12:1-17). Kisah ini tampaknya hendak menunjukkan bahwa dosa Daud disebabkan karena kelalaiannya memimpin bala tentara sebagai raja. Daud malah tinggal dalam kenyamanan di Yerusalem dan mengutus Yoab (11:1-2)—sebuah tindakan yang dikritisi dengan keras oleh Yoab dalam pasal 12:27-28. Setelah Daud tahu bahwa Batsyeba adalah istri Uria—salah satu tentara kepercayaan raja—barulah ia menyuruh memanggil Batsyeba, mungkin merasa aji mumpung karena wanita itu sedang ditinggal berperang oleh suaminya dan tak ada yang menjaga. Raja Daud dipanggil untuk menggembalakan umat Allah (5:12), tetapi ia malah menggunakan kekuasaannya dengan keji dan khianat. —Monica Brands

Bukan dosa, melainkan kasih Allah, yang menentukan identitas kita.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 72-73; Roma 9:1-15

Handlettering oleh Julio Mesak Nangkoda

Background photo credit: Setiawan Jati