Posts

Seperti Joy, Semua Orang Layak Mendapat Kesempatan

Sebuah cerpen karya Meili Ainun

“Maaf, permisi tanya. Apakah ibu melihat Joy?”

“Apakah Joy lagi sama kamu?”

“Maaf, apa kamu tahu Joy ada di mana?”

Hana berkeliling gedung gereja sambil bertanya kepada beberapa orang yang ditemuinya perihal Joy yang sudah 10 menit dicari-cari tapi tidak ketemu. Hari ini ibadah berlangsung agak lama sehingga selesainya pun terlambat. Hana bergegas menjemput Joy di ruang Komisi Remaja. Tetapi tidak ada seorang pun dalam ruangan itu.

“Aduh…Joy pasti tidak sabar menunggu lagi.” Hana semakin panik. Andai Joy sama dengan anak lain pada umumnya, Hana tentu tidak akan merasa segelisah ini. Tetapi Joy berbeda. Dia lahir dengan kondisi Down Syndrome. Meski Joy sudah berusia 18 tahun, namun pikiran dan tingkah lakunya masih seperti anak-anak berusia 10 tahun. Joy tidak mengerti bahaya, dan sifatnya yang cenderung ramah kepada semua orang, membuat dia tidak menaruh curiga pada siapa pun. Hana berusaha menenangkan dirinya. Dia menyesali suaminya, Hendra, tidak ada bersama dengannya karena sedang bertugas ke luar kota.

Ruang demi ruang ditelusuri dan diperiksanya dengan tergesa. “Tuhan, kumohon jagalah Joy.” Yang ada dalam pikiran Hana hanyalah Joy dapat ditemukan.

Akhirnya Hana menemukan Joy yang sedang berdiri di depan kaca ruangan latihan tari. Mata Joy terpaku pada apa pun yang sedang dilihatnya dan bibirnya tersenyum.

“Terima kasih, Tuhan.” Hana berlari sambil memeluk Joy yang tidak menyadari kehadiran Hana berada di dekatnya.

“Joy…Joy… Mama cemas mencarimu.”

Joy menoleh ketika mendengar suara Hana. Joy menunjuk ke depan kaca. “Mama. Aku ingin itu.”

Hana memperhatikan apa yang membuat Joy begitu tertarik. Di balik kaca, terlihat beberapa orang sedang memegang tamborin dan menari.

“Joy ingin menari?” tanya Hana.

Joy mengangguk. “Ya…ya…”

Hana tidak tahu harus menjawab apa. Meski Hana tahu sejak kecil Joy memang suka menari, tetapi Joy menari sesuka hatinya. Dia mendengarkan musik lalu menari begitu saja. Tidak ada gerakan khusus, dia hanya menari jika dia mau. Hana tidak yakin Joy mampu mengikuti arahan. Sifat Joy yang kadang tidak sabar akan menyulitkannya untuk mendengarkan perintah, dan hal itu tentu akan menyulitkan guru tari dan teman-teman lain.

“Joy, kita pulang dulu yuk. Kamu pasti lapar. Hari ini mama masak nasi goreng kesukaanmu,” bujuk Hana yang melihat Joy sepertinya tidak mau beranjak kemana-mana.

Joy menggelengkan kepalanya. “Aku mau itu.”

Hana masih memikirkan cara agar Joy mau pulang ketika dia melihat dan mendengar guru tari keluar dari pintu dan menyapanya. “Selamat siang. Apa ada yang bisa saya bantu?”

Hana menjawab, “Selamat siang, bu. Maaf bila kami mengganggu ibu. Ini…Joy sepertinya suka melihat teman-temannya menari.”

Guru tari itu tersenyum, “Iya. Sepertinya dia sudah lama berdiri di depan kaca. Tadi saya ajak dia masuk, tetapi dia tidak mau.”

Joy yang melihat guru tari itu sedang berbincang dengan Hana, memeluknya dengan spontan. Guru tari itu terlihat terkejut sesaat, tetapi dengan cepat dia membalas pelukan itu. “Joy suka menari?”

“Ya…ya…suka menari,” jawab Joy dengan cepat dan senang.

Sambil memegang tangan Joy, guru tari itu bertanya, “Joy mau ikut latihan?”

“Mau…Joy mau,” jawab Joy bertepuk tangan.

Guru tari mengalihkan pandangannya kepada Hana yang masih berdiri dengan wajah memerah karena melihat Joy langsung memeluk orang yang baru dikenalnya. “Bagaimana kalau Joy ikut latihan bersama dengan teman-teman lain?”

Hana mengajak guru tari itu ke samping sambil berkata kepada Joy, “Joy. Kamu tunggu di sini ya. Mama bicara sebentar dengan bu guru.”

Joy tidak menjawab. Dia kembali memperhatikan latihan tari yang berlangsung.

Hana mulai menerangkan kondisi Joy kepada guru tari. “Saya sangat berterima kasih untuk ajakan ibu. Tetapi seperti yang saya jelaskan tadi, Joy tidak mungkin bisa mengikuti latihan sama dengan teman-teman lain. Saya khawatir dia akan menyulitkan ibu dan yang lainnya.”

Guru tari itu terdiam sejenak lalu berkata,”Saya mengerti kekhawatiran ibu. Tetapi saya tetap ingin Joy diberikan kesempatan. Apalagi Joy sudah memiliki ketertarikan terhadap tarian, mengapa kita tidak mencoba dulu?”

Hana menatap wajah guru tari yang sedang tersenyum dan melihat wajah Joy yang berseri-seri.

Guru tari melanjutkan, “Mari kita coba dulu, bu. Tidak ada salahnya. Tentu saya tidak bisa menjanjikan Joy akan dapat tampil dalam pelayanan Minggu, namun saya ingin memberikan dia kesempatan untuk melakukan sesuatu yang disukainya.”

Meski ragu, Hana mengangguk dan tersenyum, “Terima kasih banyak, bu, untuk kesempatan ini.”

Hana memeluk Joy. “Joy, kamu akan ikut latihan minggu depan.”

Joy balas memeluk Hana. “Joy menari.” Dalam perjalanan pulang, Joy tidak henti-hentinya tersenyum.

 

***

Sore itu, saat Joy sedang tidur siang, Hana duduk di ruang makan. Percakapan dengan guru tari kembali teringat olehnya. Hana sama sekali tidak menyangka guru tari mau memberikan kesempatan kepada Joy untuk ikut latihan. Betapa dia sangat mengharapkan kebenaran kata itu. “Kesempatan,” ucap Hana dengan pelan. Sebuah kata yang bagi Hana begitu sulit terjadi dalam kehidupan Joy.

Hana masih teringat dengan jelas beberapa kejadian sekitar 10 tahun lalu saat Hana mencarikan sekolah yang kesekian kalinya untuk Joy. Karena daya tangkap Joy yang terbatas, kemampuan baca, tulis maupun hitung yang dimiliki Joy masih dibawah rata-rata anak-anak seusianya. Beberapa sekolah menolak Joy karena menganggap Joy tidak akan mampu mengikuti standar yang sudah ditetapkan. Ada sekolah inklusi yang mau menerima Joy tetapi uang sekolah yang ditetapkan di luar kemampuan Hana dan suaminya. Hana masih teringat apa yang dia ucapkan setiap kali dia bertemu dengan pimpinan sekolah. “Miss, saya dan suami sangat mengharapkan Joy bisa bersekolah. Kami tahu Joy memiliki kekurangan dan kami akan berusaha keras agar Joy tidak ketinggalan pelajaran. Joy juga butuh teman-teman agar dia tidak selalu sendirian.” Namun, kesempatan Joy untuk bersekolah seperti anak-anak lain, tidak pernah terjadi. Setelah lelah mencari, dan terus menerima penolakan, maka Hana dan suami memutuskan agar Joy belajar di rumah bersama Hana.

“Apakah ini adalah kesempatan untuk Joy? Sungguhkah guru tari itu akan memberikan kesempatan kepada Joy untuk berlatih?”

Hana masih tidak percaya bahwa kesempatan untuk latihan dapat datang kepada Joy. Sudah beberapa kali sebelumnya sejak Hana tahu Joy suka menari, Hana berusaha mencari tempat les tari untuk Joy. Sama seperti ketika Hana mencari sekolah untuk Joy, mendapatkan tempat les tari yang cocok untuk Joy adalah tantangan besar. Ada yang mau menerima Joy namun setelah beberapa kali latihan, guru tari menyerah karena tidak mengerti bagaimana mengajari Joy. Hana mencoba membujuk agar guru tari itu mau terus memberikan kesempatan latihan kepada Joy, dan mengusulkan beberapa cara agar Joy bisa mengikuti instruksi dengan lebih baik. Namun guru tari itu menolak.

“Saya minta maaf. Saya sudah berusaha semampu saya tetapi saya tidak sanggup mengajari anak-anak seperti Joy. Sebaiknya ibu mencari tempat les yang lain saja.” Beberapa waktu kemudian, Hana menemukan tempat les tari lain namun Joy yang tidak suka. Dia tidak mau pergi latihan meskipun sudah mendaftarkan diri. Pengalaman-pengalaman negatif ini membuat Hana sulit percaya jika Joy sungguh mendapatkan kesempatan.

 

***

Suara musik yang tiba-tiba terdengar membuyarkan lamunan Hana. Joy sudah bangun. Seperti kebiasaannya, setiap kali Joy bangun tidur, dia akan menyalakan musik dan mulai menari begitu mendengarnya. Hana bangkit berdiri dan menghampiri Joy yang sudah menari gembira.

Hana mengamati tubuh Joy yang menari. Dengan tinggi 157 cm dan berat badan 55 kg, Joy terlihat agak gemuk. Terselip kekhawatiran dalam hati Hana bahwa Joy akan ditertawakan ketika dia menari. Namun semangat Joy membuat Hana tahu dia tidak punya pilihan selain membiarkan Joy ikut latihan tari nanti.

Di sepanjang minggu itu, Joy terus bertanya kepada Hana mengenai latihan tari di gereja.

“Kapan mulai?”

Dengan sabar Hana menjawab, “Hari Minggu. Sebentar lagi. Beberapa hari lagi.”

Akhirnya hari Minggu pun tiba. Segera setelah Komisi Remaja selesai, Joy dijemput oleh guru tari di kelasnya. Dengan penuh semangat, Joy menggandeng tangan guru tari, lalu ibu guru pun memperkenalkan Joy kepada teman-teman yang sudah terlebih dahulu bergabung dalam kelompok tari tamborin.

Guru tari memulai latihannya dengan mengajak Joy pergi ke sudut ruangan. Awalnya Joy menolak. Dia ingin bersama dengan teman-temannya. Guru tari mencoba menjelaskan, “Hari ini Joy latihan sendirian dulu ya.” Baru setelah Hana memberikan sebuah tamborin, Joy mau diajak berlatih sendirian.

Guru tari mengajarkan cara memegang dan menepuk tamborin. Joy mencoba mengikutinya. Beberapa kali dengan sabar guru tari memperbaiki tangan Joy agar tamborin dapat dipegang dengan tepat. Hana sudah menjelaskan kepada ibu guru tentang sifat Joy yang kurang sabar, dan cepat bosan. Setelah berlatih selama 30 menit, maka guru tari mempersilakan Joy untuk beristirahat, dan memperbolehkan Joy untuk menikmati makanan ringan yang dibawa oleh Hana. Selesai beristirahat, Joy diminta untuk kembali mengulangi tepukan tamborin yang dipelajarinya tadi sambil sekali-kali menyemangati Joy. “Bagus, Joy. Agak pelan sedikit. Jangan terlalu keras. Iya, begitu sudah benar, Joy.”

Sesuai dengan kesepakatan yang dibuat Hana dan guru tari, latihan Joy lebih singkat dibanding dengan teman-teman lain sehingga Joy pulang lebih awal.

“Joy senang ikut latihan?” tanya Hana dalam perjalanan pulang.

“Senang.” Joy menjawab dengan tertawa.

Di rumah, Joy berlatih kembali seperti yang diajarkan oleh guru tari. Joy terlihat bersemangat untuk berlatih setiap hari. Dan terus bertanya kapan dia bisa bertemu dengan guru tari kembali. Minggu demi minggu Joy terus berlatih. Kemajuan Joy memang lebih pelan dibanding dengan teman-teman lain. Dan latihan tidak selalu berjalan mulus, adakalanya Joy merasa bosan dan tidak mau latihan lagi. Pada saat seperti itu, Hana akan mencoba membujuk Joy dengan sabar dan sekali-kali memberikan hadiah kecil berupa makanan kesukaan Joy atau buku cerita sehingga Joy tetap mau ikut latihan.

Setelah 6 bulan berlalu, dalam salah satu sesi latihan, guru tari menghampiri Hana yang sedang duduk menunggui Joy.

“Bu, saya ingin memberitahu bahwa minggu depan Joy akan ikut tampil dalam ibadah umum.”

Hana terdiam sesaat. “Benar, bu guru?”

Guru tari tersenyum. “Iya, saya merasa sudah saatnya Joy ikut dalam pelayanan.”

Hana mengulurkan tangan dan menjabat tangan guru tari. “Terima kasih banyak, bu. Joy tentu akan senang sekali.”

Guru tari tersenyum. “Kami juga senang, bu. Joy pantas mendapat kesempatan ini. Dia telah berlatih begitu keras.”

Air mata mengalir di pipi Hana. “Tanpa pertolongan ibu dan teman-teman lain, Joy tidak akan mendapat kesempatan ini. Bolehkah saya bertanya, mengapa ibu ingin memberikan kesempatan pada Joy? Dia tidak sama dengan anak-anak lain. Kadang dia bahkan menyulitkan latihan yang ada. Namun ibu begitu sabar, dan tetap mau melatihnya. Saya benar-benar tidak mengerti.”

Guru tari menjawab dengan perlahan. “Saya hanya ingin memberikan kesempatan kepada Joy untuk ikut melayani. Tuhan sendiri dengan sabar memberikan kepada kita semua berbagai kesempatan. Baik kesempatan bertobat maupun kesempatan melayani. Saya percaya setiap orang layak mendapatkan kesempatan, tidak terkecuali Joy, dia pun layak mendapat kesempatan untuk melayani. Apalagi Joy memiliki bakat menari. Jadi apa yang saya lakukan hanyalah memberikan kesempatan kepada Joy. Saya sendiri belajar banyak dari semangat Joy yang tidak mudah menyerah.”

Hana memeluk guru tari. “Terima kasih banyak, bu.”

Dalam perjalanan pulang, tidak henti-hentinya Hana mengucap syukur kepada Tuhan atas kesempatan yang diberikan kepada Joy. Hana berpikir apa yang dilakukan guru tari sama dengan apa yang Tuhan Yesus lakukan terhadap Matius, si pemungut cukai. Pekerjaan pemungut cukai adalah posisi yang sangat rendah bagi orang Yahudi. Mereka dianggap orang berdosa, dan biasanya dihindari jika bertemu di tengah jalan. Mereka dibenci karena dianggap mengambil untung dari cukai yang dipungut. Mereka seperti sampah masyarakat. Tetapi Tuhan Yesus memanggil Matius untuk menjadi pengikut-Nya. Matius yang tidak berharga di mata orang kebanyakan, namun berharga bagi Tuhan Yesus sampai Dia memberikan kesempatan bagi Matius untuk bertobat dan melayani Dia.

“Terima kasih Tuhan, untuk kesempatan yang sama yang telah Tuhan berikan kepada Joy. Kesempatan untuk melayani-Mu, dipakai oleh-Mu. Kiranya pelayanan Joy boleh menyenangkan hati-Mu.”

Masa Prapaskah: 5 Alasan Kamu Perlu Bertobat Lagi dan Lagi

Sobat muda, siapa di sini yang masih suka menganggap enteng pertobatan?

Pertobatan bukan hanya sekadar bilang “Tuhan ampuni aku!”. Pertobatan juga sering dianggap sebagai hal yang tidak menyenangkan, tapi kenyataannya sebaliknya: pertobatan adalah hadiah indah dari Tuhan untuk umat-Nya.

Di masa pra-paskah ini, pada momen Rabu Abu, yuk kita bangun kembali komitmen untuk kembali lebih dekat dengan Tuhan.

Selamat memasuki masa-masa pra-paskah, sobat muda!

Pendonor yang Memberi Lebih dari Sekantong Darah

Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu

Ada sebuah kisah haru yang pernah diceritakan Max Lucado dalam bukunya. Pada musim semi 2010, terjadi kecelakaan yang merenggut nyawa Taylor, puteri dari seorang wanita bernama Tara Storch. Kehilangan anak yang saat itu masih berusia 13 tahun tentu bukanlah hal yang mudah. Tara dan suaminya mengambil keputusan berani untuk menyumbangkan organ-organ tubuh Taylor kepada para pasien yang membutuhkannya. Patricia Winters adalah salah satu pasien yang sangat membutuhkan donor organ. Sehari-harinya dia cuma bisa berbaring tempat tidur karena mengalami gagal jantung dalam waktu yang cukup lama. Jantung itu pun diberikan. Dari Taylor untuk Patricia.

Tara Storch punya satu permintaan. Setelah jantung ditransplantasi, dia mau mendengarkan detak jantung sang putri dalam tubuh yang lain. Dia dan suaminya pun terbang dari Dallas menuju Phoenix untuk bertemu keluarga Winters. Saat tiba di sana, kedua ibu itu saling berpelukan. Kemudian Patricia memberikan sebuah stetoskop kepada Tara dan suaminya. Meskipun ada dalam tubuh orang lain, mereka kemudian mendengarkan detak jantung Taylor, putri yang tercinta.

Siapa yang dapat menahan air mata jika berada di sana menyaksikan keindahan itu?

Mari merenungkan kisah itu dan melihat apa hubungannya dengan kita. Apa yang dapat dilakukan Patricia sebelum dia “memiliki” jantung barunya? Kuyakin dia tidak diperbolehkan dokter untuk menikmati banyak kebersaman bersama rekan-rekannya. Dia tidak diizinkan berlari-larian, menyucurkan banyak keringat, sambil tertawa lepas berebut bola basket bersama sahabat-sahabatnya di atas lapangan yang disinari mentari sore. Dengan penyakit gagal jantung yang dideritanya, sebagian orang mungkin akan menganggapnya tidak berdaya, terbatas, tak berguna, beban, dan sekarat.

Namun sayang sekali, sebagian orang yang sama, tidak bisa melihat dirinya dalam kondisi yang jauh lebih mengerikan dari Patricia. Jika Patricia sedang sekarat karena jantungnya yang gagal berfungsi normal, maka kamu dan aku secara rohani sudah lama mati dan membusuk bersama dosa-dosa kita (Efesus 2:1). Kita tahu konsekuensi dosa adalah maut (Roma 6:23) tetapi, ingatkah kita berapa sering kita melawan Allah? Kita memandang kematian tubuh dengan ngeri, tetapi di satu sisi lainnya kita lupa bahwa tanpa Allah, rohani kita akan mati.

Kematian rohani hanya bisa diatasi apabila kita menemukan “pendonor” yang rela memberikan kita hidup. Kita butuh seorang seperti Tara Stroch, yang memiliki kebesaran hati. Beruntungnya, kita punya Sosok yang jauh lebih besar dari Tara, yaitu Bapa di surga.

Kita tidak hidup karena kekuatan kita. Kita hidup karena belas kasih dan kemurahan. Apa yang bisa kita sombongkan? Jabatan yang akan berakhir di masa pensiun? Kecantikan yang memudar seiring bertambah usia? Kekayaan yang tidak bisa dibawa mati? Sekali lagi, semua itu tidak memberikan bagi kita kepuasan sejati.

Tetapi, Anak yang dicintai oleh Bapa diberikan untuk orang seperti aku? Sang Anak itu dilecehkan. Senyum direbut dari wajah-Nya saat Dia disiksa dengan kasar. Dia menangis, menjerit kesakitan, tapi tidak melawan, padahal Dia bisa. Dia seperti domba yang dibawa ke tempat pembantaian.

Seorang penjahat menderita penyakit aneh yang mematikan dan dia butuh pendonor dan dokter spesialis. Semua dokter sudah angkat tangan dan berkata, “tidak ada harapan lagi, kami tidak punya spesialis untuk penyakit ini”. Dari pihak Palang Merah mengaku, ”kami punya banyak stok darah dengan berbagai macam golongan, tapi pasien membutuhkan jenis darah yang berbeda”.

Siapakah yang rela memberi nyawanya untuk seorang penjahat yang sepantasnya dihukum?

Ketika semua terdiam karena tidak ada satu pun yang mampu dan tidak ada satu pun yang mau, Yesus Kristus menembus keheningan. Dia mengangkat tangan-Nya, mengacungkan telunjuk-Nya, dan berkata “Aku bersedia!”

Yang amat mengagumkan, Dialah dokter ahli dalam menangani hati yang hancur dan masa lalu yang kelam. Dialah spesialis menyucikan kita dari dosa.

Dia juga Pendonornya, Dia menyodorkan bukan hanya satu atau dua kantong. Dia berkata “seluruh darah akan ditumpahkan”. Supaya penjahat itu hidup, tidak akan pernah mati, dan berjuang untuk jadi lebih baik.

Penjahat itu adalah kita.

Jika mau sembuh, jika mau hidup itu, terimalah tanda tangan berkas itu. Kuasa penebusan dari Tuhan, Sang Ilahi, akan terjadi seketika, saat ini juga.

Perjumpaan yang Memalukan dengan Tuhan

Oleh Minerva Siboro

Perasaan malu, bersalah, bodoh dan sia-sia, begitulah cara Tuhan menegurku.

Aku ingat sekali pada hari itu, aku mengatakan kalimat dusta. Aku berbohong dengan sangat lancarnya. Aku mengatakan hal-hal yang tidak pernah terjadi dan semuanya seperti membaca tulisan mengarang pelajaran Bahasa Indonesia. Kuakui saat itu memang hubungan pribadiku dengan Tuhan sangat buruk. Berulang-ulang kali Tuhan mengingatkanku untuk berdoa, membaca firman-Nya setiap hari sebelum memulai aktivitas, tetapi aku mengabaikan-Nya. Muncul suara yang keras ke telingaku, yang seolah-olah berasal dari hatiku mengucapkan “Hari-hari yang tidak diawali dengan doa adalah hari yang jahat”. Tetapi begitu pun, aku tetap mengabaikan-Nya.

Hal memalukan kemudian terjadi. Aku berbohong agar orang-orang dapat melihat aku yang baik, aku yang kudus, aku yang selalu berdoa, aku yang selalu mengandalkan Tuhan, aku yang selalu melakukan hal-hal baik untuk Tuhan.

Demi terlihat seorang yang saleh karena sering pelayanan, saat seorang pendeta bertanya kepadaku, “Bagaimana hubungan pribadi-Mu dengan Tuhan?” kukatakan baik-baik saja, padahal kenyataannya sedang tidak baik-baik saja. Saat ditanya lagi, “Apakah kamu masih sering membaca Alkitab dan saat teduh?” Aku menjawab “Ya, masih.”

Beliau bertanya lagi, “Lalu pembacaan Alkitab apa yang hari ini kamu baca?”

Saat itu aku mulai panik, karena sudah seminggu aku tidak saat teduh dan tidak membaca Alkitab. Lalu kujawab saja bahwa hari itu aku belum membaca Alkitab.

“Bagaimana dengan kemarin? Ayat Alkitab apa yang kamu baca kemarin?”

Dengan pertanyaan ini, aku semakin panik dan akhirnya keluarlah penjelasan-penjelasan palsu. Padahal aku tidak membaca Alkitab sama sekali.

Saat aku berbohong, ada perasaan aneh yang muncul. Darahku seperti mengalir lebih cepat, sehingga aku dapat merasakan panas sekujur tubuhku. Tak hanya itu, isi kepalaku, hatiku, badanku seolah-olah sedang meneriakkan kata-kata “Kau tak seharusnya mengatakan itu. Sadarlah! Itu sudah terlalu jauh! Heyy, mau mengarang kata-kata indah palsu apa lagi? Berhenti! Berhenti! Itu tidak baik. Malulah! Kau bersalah! Dasar bodoh! Hentikan omong kosongmu. Itu tidak benar. Hm.. lagi-lagi kau melakukannya!”

Usai dari pertemuan itu, aku menangis dan aku menyesal di dalam kamarku. Semoga Tuhan tidak melihatku seperti seorang anak kecil yang sedang memanipulasi dengan suara tangisannya. Aku malu. Secara refleks, aku menutup wajahku dengan tanganku. Mungkin seperti inilah perasaan Adam dan Hawa Ketika pertama sekali melanggar perintah Allah. Perasaan malu, perasaan bersalah tetapi dengan saling menyalahkan. Aku pun begitu, aku menyalahkan diriku. “Makanya dengarkan kalau Tuhan berbicara! Jangan sampai kamu tuli dan suara Roh Kudus sudah tidak bisa lagi kau dengar. Berdoa, Minerva! Kau pikir kau bisa melawan hari jahat dengan kekuatanmu sendiri? Kau tak bisa apa-apa tanpa Tuhan!”

Aku menangis sendirian dan merenung. Setelah melewati perasaan bersalah, kemudian ada rasa bersyukur yang muncul dari dalam hatiku. “Bukankah rasa malu, bersalah, panas sekujur tubuh karena darah yang mengalir dengan sangat cepat adalah bukti Tuhan-lah yang memenuhimu? Seperti seluruh darah, seluruh sel-sel, seluruh badanmu sudah dipenuhi Anugerah Kristus, sehingga engkau mampu membedakan mana yang baik dan benar, mana yang jahat dan tidak benar? Coba seandainya saja, kalau bukan Tuhan yang memenuhimu, mungkin saja darahmu tidak mengalir sederas itu, atau bahkan tubuhmu tidak perlu protes sebanyak itu. Kau perlu pusing dengan suara-suara yang menegurmu dengan keras. Bertobatlah, tetapi jangan lupa untuk bersyukurlah!”

Aku bersyukur bahwa Tuhan ‘menangkapku’. Perisai bagiku adalah Allah, seperti yang Pemazmur katakan: Tuhan memagari umat-Nya dengan anugerah-Nya (Kasih Karunia) seperti perisai (Mazmur 5:13). Perisai Tuhan, yaitu kasih karunia-Nya mengingatkanku akan perbuatan tidak terpuji yang aku lakukan.

Pernahkah kamu seperti aku? Menyadari perbuatan-perbuatan yang tidak benar menandakan bahwa perisai Tuhan sedang bekerja. Setiap hari adalah hari yang jahat tanpa Tuhan—sebab musuh kita, si Iblis tidak pernah berhenti bekerja untuk menarik kita sampai jauh meninggalkan Allah. Tapi kita tidak boleh lupa, Tuhan telah menyediakan perisai itu. Perisai yang melindungi kita selama peperangan ini masih akan terus terjadi sampai pada kesudahannya: kasih karunia.

Kasih karunia seperti tameng yang dipakai dalam peperangan. Memungkinkan kita menahan serangan-serangan, godaan-godaan musuh yang mencoba untuk menjauhkan kita dari Terang. Prajurit-prajurit terpilihlah yang mengenakan perisai. Kitalah prajurit itu, umat Tuhan yang terpilih mengenakan kasih karunia yang dianugerahkan oleh-Nya.

Kasih karunia tidak akan berarti jika kita tidak ikut ambil bagian dalam merespons Anugerah itu. Kita perlu untuk selalu diingatkan setiap hari, dalam perenungan firman Tuhan melalui pembacaan Alkitab, melalui doa yang adalah nafas hidup kita, dan melalui persekutuan komunitas yang sehat, tentunya yang dapat saling mengingatkan satu sama lain untuk terus mengejar suatu kehidupan yang Kudus dihadapan Allah. Sebab Ia adalah yang Mahakudus, sehingga ketika sudah dalam keadaan kuduslah, akhirnya kita dapat bertemu dengan-Nya. Kekudusan itu dapat kita peroleh karena Allah jugalah yang telah melayakkan kita.

Aku bersyukur bahwa Tuhan telah mengingatkanku dengan keras bahwa perbuatan yang kulakukan adalah hal yang tidak benar, karena tidak seturut dengan apa yang dikehendaki-Nya. Pengejaran hidup kudus tidaklah mudah, tetapi kita harus terus berjuang dan melakukannya dengan segenap hati dan sekuat tenaga yang kita miliki untuk Tuhan.

Hal-hal yang tidak kudus apakah yang sering kita lakukan? Berbohong? Malas? Mencuri? Candu terhadap hal-hal duniawi, seperti ketenaran, uang yang banyak atau hal-hal kotor lainnya yang tidak benar dihadapan Tuhan?

Marilah meninggalkan dan menanggalkan seluruh hal itu. Jangan sampai perisai yang kita miliki menjadi tidak berguna. Jangan sampai kita terpisah jauh satu sentimeter pun dari Tuhan, sebab kesukaan musuh kita adalah ketika kita menjauh dari Tuhan.

Kulukai Orang Lain dengan Keegoisanku

Oleh Sari, Jakarta

Setiap tanggal 10 Oktober ditetapkan sebagai Hari Kesehatan Mental Sedunia. Media sosial dipenuhi dengan twibbon untuk memperingati hari itu. Masa-masa sekarang yang dirasa sulit, ditambah dengan hadirnya pandemi, turut memberikan pengaruh besar pada kesehatan mental orang-orang di seluruh dunia.

Aku pribadi pun merasakan dampaknya. Makin hari, aku semakin menyadari bahwa bukan hanya kesehatan fisik dan rohani saja yang penting, melainkan kesehatan mental yang sering kuabaikan juga penting. Aku melihat orang-orang di sekitarku pun mulai aware. Mereka mulai melakukan konseling kepada konselor-konselor professional. Ketika aku dan kamu gagal menyadari pentingnya merawat kesehatan mental, maka saat kendala datang, bisa saja kita melakukan pengobatan atau pencegahan dengan cara yang tidak tepat. 

Saat kondisiku tidak stabil 

Pada suatu momen, aku menyadari bahwa kondisi mentalku sangat tidak stabil. Aku bekerja dengan gelisah, aku takut salah… dan ketika atasanku mendapati aku melakukan kesalahan, aku langsung panik. Tidak jarang aku menyalahkan orang lain. Aku tidak lagi menikmati apa yang aku kerjakan, fokusku saat itu adalah bagaimana pekerjaanku bisa cepat selesai, tidak ada yang salah dan berharap berakhir dengan pujian yang diberikan baik oleh rekan kerja dan atasanku. Tapi melakukan itu semua rasanya sangat melelahkan, hingga di kondisi yang ekstrem aku tidak menyukai ketika orang lain mengerjakan pekerjaan dengan baik dan dipuji oleh atasanku. Aku ingin berada di posisi yang paling baik dari semuanya, aku ingin hanya aku yang bisa diandalkan. Aku menjadi orang yang lebih suka dihargai dan dipandang lebih dari orang lain. Bukan dalam pekerjaan saja, ketika berinteraksi dengan teman sepermainan dan keluarga pun aku merasakan hal yang sama.

Di tengah kondisi itu, aku pun tidak lagi menikmati relasiku bersama Tuhan. Aku tetap bersaat teduh, namun seadanya. Aku tetap berdoa, namun tidak menikmati doa-doaku. Fokusku adalah hanya bagaimana aku bisa mendapatkan promosi di pekerjaanku. Tetapi, syukur kepada Allah yang mengaruniakan Roh Kudus yang pelan-pelan menggelisahkanku dan menolongku untuk melihat apa yang salah dengan diriku di tengah-tengah perjuangan menikmati doa, baca Alkitab dan ibadah yang kulakukan. 

Di ibadah Minggu yang aku ikuti secara daring, tema khotbah yang diangkat membahas bagaimana ambisi terhadap kedudukan merupakan musuh dan hal yang paling tidak disukai oleh Allah. 

Di awal khotbahnya, sang pendeta memulai dengan kalimat, “dosa pertama berhubungan dengan kuasa.” Allah membuang malaikat Lucifer dari kerajaan sorga karena kesombongannya (Yehezkiel 28:17-18). Kejatuhan manusia dalam dosa pun dimulai ketika Iblis menggoda Hawa, yang menyingkapkan sisi kesombongan manusia yang ingin menjadi seperti Allah dengan memakan buah pengetahuan baik dan buruk (Kejadian 3). 

Banyak orang melakukan berbagai cara agar mendapati posisi atau kedudukan yang diinginkannya, salah satunya aku. Aku melakukan banyak cara agar aku bisa dipromosi secepatnya sampai tidak menyadari bahwa aku sedang melukai diriku, sesama bahkan terlebih Tuhan. Hidupku dipenuhi dengan ketakutan-ketakutan, takut kalau posisi itu akhirnya diberikan kepada orang lain. 

Aku lantas teringat kepada sebuah kisah di Alkitab, yaitu kisah Saul dan Daud. Ketika Saul menjadi raja dan Daud yang baru saja mengalahkan Goliat. Orang-orang Israel merayakan kemenangan Daud mengalahkan Goliat dan ketika itu perempuan-perempuan yang hadir menari dan menyanyi, “Saul mengalahkan beribu-ribu musuh, tetapi Daud berlaksa-laksa (1 Samuel 18:7).” Seketika itu juga, Saul menjadi marah dan benci kepada Daud hingga berencana untuk membunuhnya. Padahal kalau dipikir-pikir, Saul saat itu adalah raja Israel yang sah, dia telah dipilih dan diurapi, tetapi dia ketakutan bilamana suatu hari Daud merebut kedudukannya sebagai raja di Israel. Kisah ini menjadi salah satu bukti bahwa lagi-lagi manusia sangat ambisius terhadap kedudukan dan manusia berani melakukan banyak cara untuk mendapatkan serta mempertahankannya.

Di tengah dunia yang mendorong kita untuk memamerkan apa yang kita lakukan dan apa yang kita miliki, menjadi hal yang tak mudah untuk bijak memandang pencapaian dan kedudukan kita. Kita tergoda meletakkan identitas kita pada posisi, kekayaan, dan status. Ketika tidak mendapatkan apa yang orang lain punya kita menjadi minder bahkan dalam kondisi yang ekstrem menjadi depresi hingga mau mengakhiri hidup. Dalam kondisiku saat itu, satu hal yang aku sadari adalah semakin aku mengejar, semakin aku merasakan kekosongan. Dan lagi-lagi, aku diingatkan bahwa jiwa kita hanya dapat dipuaskan oleh Allah. Jika kita mengejar apa yang ada di tengah dunia ini akan tidak ada habis-habisnya dan itu sangat melelahkan.

Dan di ibadah Minggu yang kuikuti itu, aku juga diingatkan bahwa Allah selalu punya rencana buat anak-anak-Nya, bagian yang sudah ditentukan Allah untuk menjadi bagian kita akan tetap menjadi bagian kita sesusah dan semustahil apapun itu. Tetapi, kalau memang ketika kita sudah berjuang untuk mendapatkannya dan memang Allah tidak merencanakannya buat kita selelah apapun kita mengejarnya maka itu tidak akan menjadi bagian kita. Salah satu hamba Tuhan pernah mengatakan demikian, “teruslah berdoa sampai Tuhan menjawab. Asal doa itu sesuai kehendakNya, mustahil tidak dijawab.”

Teman-teman, kondisi ini bukanlah kondisi yang mudah untuk diatasi. Aku pun masih sangat bergumul hingga saat ini. Tetapi, aku jadi diingatkan kembali bahwa aku tetap berharga di mata-Nya sekalipun aku tidak memiliki apa yang sedang diperjuangkan oleh dunia. Aku merasakan lelahnya mengejar apa yang dikejar oleh dunia ini, dan aku merasakan jadi orang yang paling jahat ketika mulai melukai orang lain dengan keegoisanku. 

Kondisi apa yang sedang teman-teman alami yang membuat teman-teman merasa tidak berharga, tidak dihargai bahkan tidak dianggap oleh orang lain hingga berniat sampai mengakhiri hidup? Berdoa dan minta ampunlah kepada Tuhan, Dia tetap mengasihi kita. Kita berharga di mata-Nya dan Dia selalu mengerjakan bagian-Nya dengan sempurna dalam hidup kita.

Kala kucari damai
Hanya kudapat dalam Yesus
Kala kucari ketenangan
Hanya kutemui didalam Yesus

Tak satupun dapat menghiburku
Tak seorangpun dapat menolongku
Hanya Yesus jawaban hidupku

Bersama Dia hatiku damai
Walau dalam lembah kekelaman
Bersama Dia hatiku tenang
Walau hidup penuh tantangan

Podcast KaMu Episode-2: Lepas dari Jerat Dosa Seksual

Dosa seksual itu seperti jerat yang terus menarik kita untuk terbenam semakin dalam. Semakin kita berusaha lepas, semakin kuat pula godaannya. Atau, ketika kita telah terjebak terlalu dalam, mungkin kita pun merasa begitu kotor dan tak layak untuk dimaafkan Tuhan.

Apabila kamu sedang bergumul dengan dosa ini, yuk temukan inspirasi dari firman Tuhan yang akan menolongmu untuk hidup kudus bagi-Nya.

Bagaimana Merespons Teman yang Mengakui Dosanya pada Kita

Oleh Joanna Hor
Artikel asli dalam bahasa Inggris: How To Respond When A Friend Confess Their Sin

Jam 1 dini hari. Seorang temanku mengirim chat panjang, meminta didoakan karena dia sedang bergumul dengan ketertarikan fisik dengan rekan kerjanya, padahal dia sendiri sudah terikat dalam relasi yang serius.

Beberapa minggu sebelumnya, seorang temanku yang lain bercerita dengan sedih tentang rasa bersalahnya pada Tuhan setelah dia melampaui batasan fisik yang wajar dalam relasi dengan pacarnya. Sebelum itu, temanku yang lainnya lagi juga bercerita tentang kurangnya sikap disiplin dan semangat untuk hadir ke gereja dan kelas Alkitab.

Mungkin kamu pun pernah menerima pesan berisikan pengakuan dan curhatan seperti di atas. Kita semua bergumul dengan pencobaan dan dosa setiap hari (Roma 3:23), dan kita tahu hal apa yang benar untuk dilakukan—mengakui dosa kita (1 Yoh 1:9), mematikan hal-hal duniawi, dan berpaling pada Allah (Yakobus 4:8). Tapi, mengucapkan itu semua lebih mudah daripada melakukannya. Seringkali, kita bergulat dengan dosa-dosa kita untuk waktu yang lama, menganggapnya enteng atau tidak mempermasalahkannya sama sekali. Mengakui dosa kita kepada orang lain mungkin jadi hal terakhir yang ada di pikiran.

Jadi, ketika kita seorang teman membagikan kisah dosanya pada kita, bisa jadi kita merasa gamang untuk merespons. Kita mungkin tidak merasa kompeten untuk menolongnya, apalagi kalau kita sendiri juga bergumul dengan dosa yang sama (Mat 7:3-5). Atau mungkin, kita memilih untuk pura-pura menutup mata karena kita tidak ingin terlihat benar sendiri, sombong, atau terlalu terlibat dalam kekacauan hidup orang lain.

Ibrani 3:12-13 dengan jelas mengatakan kita punya tanggung jawab sebagai komunitas untuk ‘menasihati seorang akan yang lain, selama masih dapat dikatakan ‘hari ini’, supaya jangan ada di antara kamu yang menjadi tegar hatinya karena tipu daya dosa’. Yakobus 5:19-20 juga mendorong kita semua untuk berperan aktif untuk ‘membuat orang berdosa berbalik dari jalannya yang sesat’ karena tindakan itu ‘akan menyelamatkan jiwa orang itu dari maut dan menutupi banyak dosa’.

Lalu, bagaimana seharusnya kita menghidupi instruksi dari ayat ini, ketika kita sendiri pun adalah orang berdosa?

1. Jangan merasa benar sendiri dan menghakimi

Mungkin naluri alami kita merespons teman yang terjatuh ke dalam dosa—terkhusus jika itu adalah dosa perzinahan, pembunuhan, atau pencurian—adalah mundur dan menghakimi mereka dalam diri kita sendiri. Alih-alih meratapi dosa dan menjangkau mereka, kita menarik diri, masuk ke dalam kelompok kecil yang beranggotakan teman-teman kita, lalu membicarakan si pendosa yang dari luar tampak baik tapi ternyata melakukan hal-hal buruk.

Aku sendiri pernah bersikap seperti itu pada beberapa kesempatan.

Salah satu cara yang baik untuk mengetahui apakah kita telah bersikap menghakimi atau sok benar sendiri adalah melihat bagaimana respons pertama kita ketika kita mendengar orang tersebut jatuh ke dalam dosa. Apakah kita segera memandang rendah dia, lalu buru-buru mengabari teman yang lain untuk menceritakan masalah ini? Atau, apakah kita berpaling pada Allah, berdoa memohon belas kasih dan anugerah-Nya—bukan cuma bagi orang itu, tapi bagi umat manusia, termasuk diri kita sendiri?

Sebelum kita jadi orang pertama yang melempar batu, ingatlah bahwa kita semua berdosa (Yoh 8:7). Upayakanlah untuk memberi sesuatu daripada menghakimi dan menghukum mereka (Lukas 6:37-38).

Satu cara yang baik untuk memulai adalah dengan mengajukan pertanyaan pada teman kita yang bisa menolong kita untuk mengerti bagaimana kisah mereka, dan alasan mengapa mereka melakukan itu. Pertanyaannya bisa berupa: ‘Bagaimana perasaanmu selama ini?’, ‘Bagaimana perjuanganmu untuk mengatasinya?’, ‘Apa yang membuatmu berpikir untuk melakukan itu?’

2. Marah dan sedihlah terhadap dosa

Kecenderungan lain yang muncul adalah aku mudah bersimpati kepada teman ketika mereka bercerita tentang pergumulan dosa—terkhusus apabila pergumulan itu mirip-mirip denganku (kesombongan dan ketamakan). Di saat seperti itu, aku mungkin meremehkan dampak buruk dosa dengan berpikir, “Ya, setidaknya semua orang bergumul dengan itu, dan dosa itu tidak lebih buruk daripada dosa yang [dosa-dosa lain].”

Ketika hal itu terjadi, aku tanpa sadar menilai dosa berdasarkan standar kesalahanku sendiri tentang benar dan salah daripada melihat dosa itu dari kacamata Tuhan.

Namun, dosa adalah dosa—tidak ada tingkatan di dalamnya—dan setiap dosa membangkitkan murka Allah. Jika kita mendapati diri kita pernah mengesampingkan dan meremehkan dosa, berdoalah pada Roh Kudus untuk menegur hati kita kembali dengan mengingat harga mahal yang Yesus bayarkan di atas kayu salib (Yesaya 53:5-6). Mari kita kembali pada Alkitab dan baca kembali ayat-ayat yang menyingkapkan tentang sifat-sifat dosa (Roma 6:23, Galatia 5:19-21, 1 Kor 6:9-10).

Hanya ketika kita menyadari apa itu dosa: ketidaktaatan kepada Allah (Roma 5:19), barulah kita mampu meratap dengan benar atasnya, dan menolong teman kita dengan cara yang benar pula agar mereka mampu bangkit dari keterpurukan dosanya.

3. Saling mendukung satu sama lain untuk bertobat

Ketika aku lebih muda, aku membayangkan Allah itu kaku, pemimpin totaliter yang segera menghukumku setiap kali aku tersandung. Pemahaman itu membuatku mengakui dosa setiap malam sebelum tidur (takut kalau-kalau aku mati saat tidur dan lupa mengakui dosa membuatku tidak bisa masuk surga). Syukurlah, pemahaman itu pudar seiring aku mengenal Dia semakin dalam dan mengerti tentang kecukupan anugerah Kristus dan kasih Allah.

Melihat ke belakang, aku pun menyadari bahwa ‘doa pengakuan dosaku’ dulu tidak berisi langkah nyata untuk berbalik dari dosa. Ketika kita mengakui dosa, mengakui apa yang kita lakukan adalah salah, kita didorong untuk bertobat (1 Yoh 1:9, Yak 5:19). Pertobatan inilah yang akan menghasilkan perubahan pada hati dan tindakan kita (Kis 26:20).

Mazmur 32:1-2 mengatakan orang yang dosanya diampuni sebagai orang yang ‘berbahagia’. Tim Chester, seorang pendeta dan penulis dari Inggris menyelidiki kata ‘berbahagia’ itu disematkan kepada orang yang telah bertobat, bukan untuk orang yang terbebas dari dosa, karena orang seperti itu tidaklah eksis. Dan, ini menjadi penting, karena seperti tertulis dalam bukunya yang berjudul Enjoying God, itu berarti “kamu tidak perlu menanti sampai kamu mencapai level kesalehan yang lebih tinggi supaya bisa menikmati berkat Ilahi”.

Marilah saling mendorong satu sama lain untuk tidak cuma mengakui dosa, tapi juga berpaling dari dosa itu. Inilah gerbang menuju berkat Ilahi. Seorang profesor teologi Amerika, Stephen Wellum menyimpulkan dengan indah pada sebuah artikel, “Ketika kita berdosa, kita kehilangan kesadaran akan pengampunan dan damai sejahtera Allah. Jadi, ketika kita mengakui dosa kita, dengan pertolongan Roh, kita disadarkan kembali pada apa yang Kristus telah lakukan bagi kita, dan Allah membangkitkan kepercayaan kita pada jaminan keselamatan-Nya.”

4. Berdoa untuk dan dengan teman kita

Alkitab mendesak kita untuk saling mengaku dosa (Yak 5:16). Kita sering berpikir ayat ini berbicara dalam konteks penyembuhan fisik, tapi ini juga berbicara tentang kesembuhan rohani dari dosa.

Ketika teman kita membagikan kisah dosanya, kita perlu berdoa seperti Yesus berdoa bagi para murid—agar Allah melindungi kita dari yang jahat (Yoh 17:15). Kita harus berdoa seperti ini baik saat teman kita hadir, atau pun dalam saat teduh pribadi kita. Kita bahkan bisa mengetik teks doa di chat lalu mengirimkannya pada mereka. Aku ingat betapa aku ditolong ketika aku tahu kalau keluarga dan teman-temanku mendoakanku setiap kali aku jatuh dalam dosa yang aku telah berkomitmen untuk lepas darinya.

Peperangan melawan dosa adalah pertempuran spiritual, jadi datanglah selalu pada Tuhan untuk mengakui perjuangan yang kita hadapi dan mohonlah kekuatan dari-Nya.

5. Arahkan satu sama lain kepada Kristus

Mungkin satu hal terpenting yang harus dilakukan ketika kita berdosa adalah membawa kembali diri kita kepada hati Kristus. Dane Ortlund, pendeta dan penulis Amerika mengingatkan kita dalam bukunya yang berjudul Gently and Lowly bahwa Yesus adalah kawan bagi para pendosa. Artinya, dalam ‘Yesus Kristus, kita diberikan seorang kawan yang selalu menikmati kehadiran kita daripada menolaknya.’

Bagi siapa pun kita yang (seperti aku pada waktu lebih muda) cenderung melihat Allah sebagai sosok yang kaku dan otoriter, yang selalu marah atau kecewa, penghiburan sejati kita terdapat pada kebenaran bahwa tak peduli seberapa banyak kita telah berdosa dan gagal, Yesus selalu siap menerima dan memulihkan kita jika kita berpaling pada-Nya.

Selama kita hidup di bumi, kita akan terus bergulat dengan dosa dan pencobaan setiap hari. Jangan pernah berpikir kalau kita telah menang atas dosa untuk selamanya. Alih-alih, marilah kita saling mendoakan, saling bertanggung jawab, dan menjadikan titik pertobatan kita saat ini untuk selalu mengingat Yesus.

Baca Juga:

Bolehkah Aku Mengakui Sesuatu?

Membuka diri untuk mengakui dosa memalukan yang pernah diperbuat itu susah. Ada rasa takut, juga malu. Bagaimana jika orang-orang malah jadi memandang rendah kita?

Bolehkah Aku Mengakui Sesuatu?

Oleh Jane Lim
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Can I Confess Something?

Sekitar lima tahun lalu, aku akhirnya menemukan kelompok studi Alkitab wanita di satu gereja. Sudah sekian lama memang aku tidak tergabung dengan komunitas rohani seperti itu. Di salah satu pertemuanku bersama mereka, sesi pembahasan Alkitab sudah selesai dan kami hendak membagikan pokok doa masing-masing. Seorang temanku lalu berkata:

“Tolong doakan aku, aku seperti kecanduan belanja. Rasanya aku menghabiskan terlalu banyak uang buat beli barang-barang yang sebenarnya nggak dibutuhin.”

Ketika mendengar itu, aku tercenung. Bukan karena ada yang salah dari pokok doa itu, tapi aku merasa aku tidak bisa sejujur itu mengakui dosaku sendiri. Bagaimana caranya beralih dari “tolong doakan aku, aku kecanduan belanja” ke “tolong doakan aku karena… aku kecanduan pornografi dan masturbasi”?

Dosa terhormat vs dosa yang tidak terhormat

Ada sebuah buku berjudul “Respectable Sins” yang ditulis oleh Jerry Bridges. Aku belum membaca bukunya, tapi aku selalu ingat judulnya karena rasanya itu sangat cocok untuk sebagian besar dosa-dosa yang kita akui—tidak sabar, membicarakan orang lain, menikmati software bajakan, kerja berlebihan—pada dasarnya adalah dosa-dosa yang dilakukan setiap orang.

Namun, ada hal lain yang terkait dengan mengakui dosa ‘terhormat’. Ketika aku merenungkan bagaimana mengaku dosa kepada orang lain, yang pasti aku lakukan adalah bagaimana menyusun kata-kata supaya pengakuan itu tidak membuatku tampak jelek. Jadi, alih-alih mengatakan, “Aku membentak mamaku tadi pagi”, aku akan berkata, “Aku sedikit bertengkar dengan mama.” Alih-alih berkata, “Kemarin malam aku nonton film porno”, aku berkata, “Aku bergumul dengan pikiran yang tidak murni.” Atau, kalaupun aku tidak menemukan kata-kata yang terasa pas, aku akan memilih dosa yang lebih ‘ringan’ untuk diakui. Atau, lebih baik tidak berkata apa-apa.

Terkadang, keengganan kita untuk jujur dalam pengakuan dosa kita merupakan tanda dari hal-hal berikut ini:

  • Kita terlalu bangga untuk mengakui kalau kita sungguh bercela dan sangat membutuhkan anugerah;
  • Kita lebih takut akan apa yang orang lain pikirkan daripada apa yang Allah pikirkan; atau,
  • Kita tidak sungguh-sungguh ingin mengakui kesalahan kita pada Allah, sehingga kita enggan mengakuinya pada sesama. Kita takut apabila tidak terlihat penyesalan atau rasa takut yang nyata dalam ucapan kita, sehingga kita pikir cukuplah ‘memberi tahu’ Tuhan saja.

Semua ini kukatakan bukan supaya kita mengakui dosa tanpa pandang bulu kepada siapa pun, tentang apa pun; hanya saja, ketika kita memikirkan dosa-dosa dan kita merasa butuh untuk mengakuinya, kita harus kembali kepada apa yang Alkitab katakan dan menguji hati kita. Apakah kita sedang mencoba merasionalisasi dosa-dosa kita dan berupaya menjaga muka kita agar tetap terlihat baik, atau kita sedang merendahkan diri untuk melihat apa yang sungguh jadi kebutuhan kita di hadapan Allah?

Manfaat mengakui dosa

Sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk hidup sebagai ‘anak-anak terang’ agar segala sesuatu yang telah ditelanjangi oleh terang itu menjadi nampak (Efesus 5:8-13).

Namun, bagi sebagian dari kita yang bergumul dengan dosa-dosa rahasia dan memalukan, kita tahu betapa sulitnya mengumpulkan keberanian untuk mengakuinya—meskipun kita tahu dampak buruk dari menyembunyikan dosa seperti tertulis dalam Mazmur 32:3-4:

Selama aku berdiam diri,
tulang-tulangku menjadi lesu
karena aku mengeluh sepanjang hari;
sebab siang malam
tangan-Mu menekan aku dengan berat,
sumsumku menjadi kering,
seperti oleh teriknya musim panas.

Ketika aku bergumul dengan kecanduanku akan pornografi, itu sungguh menguras energiku dan membuatku enggan melakukan hal lain, terkhusus melakukan hal-hal yang akan menusuk hatiku seperti membaca Alkitab, berdoa, mendengar khotbah.

Hari-hari yang kulalui kulakukan dengan upaya paling minimum—kerja, makan, dan mandi—lalu naik ke atas kasur bercengkrama dengan laptop, berharap aku bisa merasa lega. Tapi, tak peduli seberapa banyak upaya yang kulakukan untuk melegakan diri, aku selalu capek. Semakin lama kebiasaan buruk ini dipelihara, semakin susah ia dilepaskan. Semakin lama aku menjadikannya rahasia, semakin dosa itu berkuasa mengendalikanku.

Firman Tuhan berkata bahwa dalam pengakuan dosa yang sejati, kita mengakui dosa yang adalah tindakan melawan Allah dan konsekuensi dari menyembunyikannya, sehingga kita tidak menganggap enteng dosa itu. Kita menerima keburukan dalam diri kita, dan kita berhenti berusaha untuk membuat sikap atau diri kita tampak lebih baik daripada yang sebenarnya, karena kita tahu Tuhan melihat dan mengetahui segalanya. Lebih lagi, kita percaya bahwa hanya Tuhan sajalah yang bisa mengangkat kita dari jurang kelam dosa.

Selain mengakui dosa kepada Allah, Alkitab juga menunjukkan pada kita pentingnya mengakui dosa pada sesama. Sebagai anggota dari satu tubuh, itu menunjukkan kebergantungan satu sama lain. Ketika satu bagian tubuh sakit, sakit pulalah seluruh tubuh itu (1 Korintus 12:26). Yakobus 5:16 mengatakan. “Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh.”

1 Tesalonika 5:12-14 dan Galatia 6:1 mengingatkan kita bahwa saling mengakui dosa menolong kita membangun gereja, saling mengingatkan dan menuntun seseorang kembali ke jalan yang benar.

Bagaimana mengakui dosamu

Lalu, bagaimana kita bisa membentuk kebiasaan akan pengakuan dosa yang sehat dalam komunitas kita?

Pertama, kita perlu menemukan orang percaya yang dewasa dalam iman dan pengertiannya akan firman Tuhan, yang bisa menyampaikan kebenaran dalam kasih dan bertanggung jawab atas pengakuan kita.

Kedua, kita juga perlu berupaya untuk menjadi orang percaya yang dewasa, untuk menciptakan ruang aman dalam gereja kita, tempat bagi orang lain untuk juga mengakui dosanya. Kadang, itu berarti kita menjadi orang pertama yang berani untuk menjadi rentan. Di lain kesempatan, itu bisa berarti kita berhati-hati akan apa yang kita ucapkan atau penghakiman yang kita berikan pada orang lain. Dan yang paling pasti ialah kita menjadi rendah hati dan bersyukur, mengetahui bahwa kita telah diampuni dengan sangat besar.

Terakhir, pengakuan dosa yang alkitabiah tidak cuma berakhir di mengakui kesalahan, tapi bergerak menuju pertobatan. Satu bahaya dari tidak memahami pengakuan dosa yang alkitabiah adalah kita bisa berakhir jatuh ke dalam ritme yang tidak sehat: bersimpati dan berempati tanpa benar-benar mengupayakan pengampunan, penyembuhan, dan pemulihan.

Ketika kita mengakui dosa, kita harus menyiapkan diri kita ditegur. Kita harus berjuang melawan naluri untuk mempertahankan atau merasionalisasi dosa kita. Dalam prosesnya, kita juga perlu mengundang orang lain yang dipimpin Roh Kudus untuk menanyakan pada kita pertanyaan-pertanyaan sulit, untuk berdoa bersama kita dan menegur kita dengan firman Tuhan, untuk memantau kita sesuai kapasitas mereka.

Membuka diri untuk mengakui dosa

Kembali ke cerita di awal tulisan ini, aku memutuskan sejak aku bergabung dengan kelompok itu, rasanya kurang tepat membagikan pergumulan dosaku pada mereka. Namun, Roh Kudus terus mendorongku untuk mengakuinya kepada seseorang, membuatku memahami bahwa aku tak bisa melawan dosa ini sendirian secara diam-diam.

Jadi, aku melakukan dua hal:

Pertama, aku mengakuinya kepada sahabatku yang juga seorang percaya, yang mengerti pergumulanku. Aku bertanya apakah dia bisa menyimpan dan bertanggung jawab atas pengakuanku, dan dia bersedia. Sejak saat itu, kami lebih sering berkontak. Dia akan bertanya bagaimana prosesku, atau aku akan memberi tahu dia bilamana aku tergoda, dan dia segera juga berdoa buatku.

Kedua, aku mengikuti kelas tentang doa yang memulihkan di gerejaku, dan setelah beberapa sesi, aku menyadari kalau perjuanganku untuk pulih membutuhkan doa yang khusus. Setiap minggu, ketua dari kelompok doa itu mengundang orang-orang untuk membuat janji pertemuan jika memang mereka sungguh butuh didoakan. Aku memutuskan untuk ikut. Para fasilitator di pertemuan doa itu sungguh terlatih, mereka punya pengukuran yang pas untuk menciptakan zona aman bagi pengakuan dosa dan doa. Sesi-sesi itu menjadi sungguh berguna dan memulihkan buatku.

Mengakui dosa kepada sesama orang percaya menolongku melihat bahwa perjuangan melawan dosa bukanlah perjuangan seorang diri, atau perjuangan yang sia-sia. Meskipun masih ada hari-hari di mana aku jatuh dalam pencobaan dan berupaya menyembunyikan apa yang kulakukan, masa-masa rahasia itu menjadi lebih singkat seiring waktu karena aku tahu aku tak bisa menyembunyikannya lama-lama. Semakin segera aku mengakui dosa, semakin lekas pula aku didoakan dan ditarik kembali ke dalam terang.

Tidak semua cerita pengakuan dosa dan perjuangan lepas darinya memiliki proses yang sama, tapi kebutuhan akan pengakuan dosa yang sesuai Alkitab tetap menjadi dasar kita. Sebagai gereja, marilah kita berdoa untuk keberanian dan kerendahan hati agar kita bersedia mengakui dosa-dosa kita. Carilah juga kebijaksanaan dan kepekaan untuk memilah dan memilih, agar kita menjadi orang-orang percaya yang dewasa yang bisa menerima pengakuan dosa orang lain dan saling membangun satu sama lain dalam iman.

Baca Juga:

Berhasil atau Gagal, Ingatlah Bahwa Tuhanlah yang Menulis Cerita Hidupmu

Cepat atau lambat, sengaja atau tidak, hidup akan mengantar kita untuk menjumpai kegagalan dalam aneka bentuk. Tetapi, sekali lagi, ingatlah bahwa dalam berhasil atau gagal, Tuhanlah yang menulis cerita hidup kita.

Lebar atau Sempit: Mana yang Kau Pilih?

Oleh Olivia Christa Yutrista

“(13) Masuklah melalui gerbang yang sempit, karena lebarlah gerbang dan lapanglah jalan yang menuju kepada kebinasaan, dan mereka yang masuk melaluinya adalah banyak. (14) Sebab, sempitlah gerbang dan sesaklah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan mereka yang mendapatkannya adalah sedikit.” (Matius 7:13-14, ILT)

Aku termenung seusai membaca dua ayat dengan perikop Jalan yang Benar (versi Indonesian Literal Translation) tersebut. Sebagian besar dari kita tentu tak asing lagi dengan nas di atas, yang bahkan sudah dinyanyikan sejak masa sekolah minggu. Namun, ternyata aku belum benar-benar memahami maknanya hingga aku membaca kembali pengajaran Yesus tersebut pada waktu teduhku. Tuhan, Sang Firman dan sumber dari segala hikmat (Yakobus 1:5) pun memberiku pemahaman.

Sempitnya Jalan Kehidupan

Ketika pertama kali memperhatikan nas tersebut, aku dengan pikiran manusia yang terbatas, sempat bertanya-tanya: Lho, kok jalan kehidupan dikatakan sempit dan jalan kebinasaan malah lebar? Apa nggak terbalik? Sekilas seakan-akan maknanya terdengar “negatif”, padahal tidak ada yang keliru dengan firman Tuhan. Manusia saja yang seringkali tidak bisa menyelami pikiran Tuhan, kalau tidak Roh Kudus sendiri yang menyingkapkannya. Dalam konteks ini, malam itu Tuhan menjawab kebingunganku: sempit pada nas tersebut merepresentasikan bagaimana manusia memposisikan firman dalam hidupnya. Firman Tuhan, yang isinya termasuk berbagai perintah dan jalan Tuhan, seringkali kita salah artikan sebagai sesuatu yang mengikat dan membatasi pilihan kita dalam hidup.

Sempit berbicara perihal pola pikir. Pilihannya: apakah firman Tuhan kita anggap sebagai sesuatu yang mengekang atau menghalangi langkah dan pilihan kita, sehingga kita merasa jalan kita “sempit” karena apa-apa “tidak boleh” atau ini-itu “salah” (memenjara kita) atau sebaliknya, perkataan yang membebaskan dan menyelamatkan jiwa kita? Kita yang memilih. Namun, faktanya ialah jika kita tetap tinggal dalam Firman─yang adalah kebenaran, kita justru adalah orang-orang yang merdeka (Yohanes 8:31-32).

Lebarnya Jalan Kebinasaan

Sembari merenungkan, Tuhan mengingatkanku pada sebuah postingan dari akun terverifikasi di Instagram. Ketika tengah berselancar di beranda, muncul unggahan akun tersebut bertajuk Moscow adalah Surga di Bumi. Ternyata, informasinya mengagetkanku. Ssurga” yang mereka maksud ialah dunia malam! Mereka membagikan potret demi potret berisi kegiatan anak-anak muda di Moscow pada malam hari yang lekat dengan minuman keras, narkoba, dan seks bebas─secara terang-terangan! Hatiku hancur rasanya. Bagaimana lebihnya dengan hati Tuhan?

“…lebarlah gerbang dan lapanglah jalan yang menuju kepada kebinasaan, dan mereka yang masuk melaluinya adalah banyak.” (ay. 13)

Tanpa firman, yang bagi dunia sangat “membatasi” ruang gerak mereka, itulah kebebasan. Kebebasan yang membawa kepada kebinasaan (Roma 6:23, Wahyu 21:8).

Sebelum Memilih, Fokus pada Akhir Cerita

Ketika kita memutuskan untuk mengikut Kristus, dua langkah yang harus kita ambil adalah menyangkal diri dan memikul salib. Kapan? Setiap hari (Lukas 9:23). Ketika kita memutuskan untuk mengikut Tuhan, artinya kita bersedia menjadikan Dia Tuan/Pemimpin atas hidup kita seutuhnya, dan bukan hanya aspek-aspek tertentu. Kita berjalan dalam Roh dan bukan daging. Kristuslah yang duduk di takhta hidup kita (Galatia 2:19b-20).

Ketika rasanya sulit dan ingin menyerah terhadap dosa, mari arahkan kembali pandangan kita kepada Kristus—kepada hal-hal yang kekal dan bukan fana (Kolose 3:2). Kehidupan kita yang sesungguhnya adalah di surga, yaitu ketika kita bersatu dengan Bapa untuk selama-lamanya. Tidak lama lagi!

Dalam mengikut Kristus, mungkin pilihan kita seakan-akan terbatas atau jalan kita “sempit” karena kita harus sesuaikan dengan apa yang berkenan bagi-Nya, namun percayalah, rancangan dan jalan-jalan-Nyalah yang akan menyelamatkan kita dan bukan apa yang kita anggap baik atau penting. Ketika kita bersedia diatur oleh Tuhan, masa depan yang penuh harapan yang akan Ia berikan (Yeremia 29:11).

“Aku memanggil langit dan bumi menjadi saksi terhadap kamu pada hari ini: kepadamu kuperhadapkan kehidupan dan kematian, berkat dan kutuk. Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu.” (Ulangan 30:19)

Baca Juga:

Ketika Ketakutanku Direngkuh-Nya

Takut, cemas, dan stres sebenarnya adalah kondisi wajar yang pasti dialami setiap orang. Namun, beberapa waktu terakhir ini, ketakutan yang kualami rasanya tidak terkendali. Ketakutan itu tak cuma perasaan yang berkecamuk di hati, tetapi juga mempengaruhi apa yang kulakukan.