Posts

Mengalami Pelecehan Seksual, Aku Memilih untuk Mengampuni dan Dipulihkan

Oleh Rosa*, Bekasi

Belakangan ini berita tentang korban pelecehan seksual yang berani bersuara tersiar di banyak media. Membaca berita-berita itu membuatku seolah merasa lega, sebab masyarakat mulai menyadari bahwa pelecehan seksual sejatinya adalah sebuah kejahatan yang harus diusut tuntas.

Aku sendiri pernah mengalami pelecehan seksual dua kali. Kejadian pertama terjadi saat aku berusia 17 tahun. Peristiwa itu membuat depresi dan hampir tidak lulus sekolah. Terlebih lagi pelakunya adalah kakak kelasku sendiri. Kejadian kedua terjadi saat aku kuliah. Mantan kekasihkulah yang melakukannya. Dua cerita kelam ini kusimpan sendiri. Aku tak berani mengadu dan bercerita, sebab bicara soal pelecehan adalah topik yang dianggap tabu.

Kendati dua peristiwa itu sudah lama berlalu, namun trauma yang ditinggalkan masih tertanam. Sebagai perempuan, aku tahu aku perlu menjaga tubuhku—terkhusus area-area privatku—dengan sebaik mungkin sebagai upaya menjaga kekudusan bagi Tuhan. Namun, ketika apa yang kujaga dinoadai oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab, seketika aku merasa hancur. Aku merasa kotor dan tak layak di hadapan Tuhan. Aku pun trauma berelasi dengan lawan jenis, terlebih apabila terjadi sentuhan fisik.

Trauma itu perlahan pudar ketika akhirnya aku lahir baru, walaupun untuk dapat mengampuni itu membutuhkan banyak jatuh bangun. Roma 6:22 mengatakan bahwa aku telah dimerdekakan dari dosa dan aku telah menjadi hamba Allah. Aku mendapatkan perspektif baru bahwa semua manusia diciptakan berharga di mata Tuhan, masa laluku tidak menentukan nilai diriku di hadapan-Nya. Kristus telah menebusku dengan harga yang sangat mahal, dan Dia mengampuni semua dosaku tanpa memandangku hina. Kebenaran inilah yang menolongku untuk mengampuni diriku sendiri, juga kedua pelaku pelecehan yang pernah menodaiku.

Peristiwa yang mengingatkan kembali luka masa lalu

Suatu pagi, salah satu teman komselku memberitahuku berita di media sosial. Berita itu berkisah tentang pelecehan seksual. Aku seketika tersentak ketika mengetahui pelakunya adalah teman baikku sendiri. Temanku itu memang merupakan cowok yang cukup populer. Meski kami berbeda kampus, kami saling mengenal dan berelasi baik. Sepengetahuanku berkawan dengannya, dia adalah orang yang sopan dan menghargai perempuan. Apalagi kebanyakan teman dia pun kebanyakan perempuan.

Aku merasa tak percaya bahwa temanku itu sungguh melakukan hal tak terpuji ini. Namun rasa tak percaya ini sirna ketika akhirnya dia mengakui kepada publik bahwa itu adalah perbuatannya. Aku geram sekaligus kecewa. Aku geram kepada temanku itu yang tega melakukan hal demikian, tapi satu sisi lainnya aku pun kecewa: mengapa temanku di balik perangai baiknya tega melakukan ini? Pikiranku pun teringat akan kepedihan yang dulu kualami. Aku rasanya bisa memahami bagaimana perasaan para korban. Mungkin mereka merasa trauma, depresi, dan hancur seperti yang dahulu kurasakan. Di tengah kekalutan pikiran itu, aku menenangkan diri dengan berdoa. Kumohon pada Tuhan agar Dia mengaruniakanku kebijaksanaan untuk menyikapi ini.

Aku lalu mendapati kabar terbaru. Temanku itu mengakui diri bersalah dan siap menerima semua sanksi yang dijatuhkan padanya. Pada sore harinya, dia pun menyerahkan dirinya kepada pihak berwenang.

Bicara soal pelecehan seksual, peristiwa-peristiwa yang muncul ke permukaan hanyalah pucuk dari gunung es. Banyak dari korban tak berani bersuara karena takut diancam oleh pelaku, atau bahkan oleh masyarakat sendiri. Akibatnya, kisah-kisah pelecehan itu menumpuk menjadi kasus yang tak terselesaikan, dan menyisakan trauma di hidup para korban. Dan, jika korban-korban pun tak berani bersuara, terlebih langka lagi kita mendapati para pelaku yang menyadari kesalahannya. Terlepas dari kesalahannya, aku cukup mengapresiasi langkah temanku itu untuk mengakui dan bersedia dihukum dengan layak atas perbuatannya.

Teruntuk teman-teman yang pernah menjadi korban, aku pernah merasakan betapa beratnya trauma yang harus kita tanggung. Kita takut dijauhi oleh rekan-rekan, mendapatkan cap buruk, atau bahkan diancam. Namun, di tengah kemelut ketakutan yang menyelimutimu, aku berdoa kiranya kamu dapat melihat terang kasih Tuhan. Kamu tak dapat menyimpan trauma ini sendirian. Kepada orang yang kompeten dan sungguh bisa dipercaya, kamu bisa mengutarakan beban hatimu, seperti yang firman Tuhan katakan: “Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh. Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya” (Yakobus 5:16). Kamu berhak untuk berbicara dengan jujur.

Kendati kamu merasa kotor dan hina, ingatlah bahwa nilai diri kita hanya ditentukan oleh apa yang Kristus telah lakukan bagi kita di atas kayu salib. Kebenaran inilah yang akan menolongmu untuk pulih. Dan, kepada para pelaku pelecehan, ingatlah bahwa tindakan dosa sekecil apa pun tetaplah dosa. Tuhan melihat setiap tindakan dan motivasi hati kita (Amsal 15:3).

Kiranya damai sejahtera dan anugerah Tuhan beserta kita semua.

Soli Deo Gloria!

*Bukan nama sebenarnya.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Berbuat atau Berbuah?

Berbuat dan berbuah. Dua kata ini cuma berbeda di satu huruf, namun perbedaan maknanya sangat menentukan perjalanan kehidupan kita sebagai pengikut Yesus.

Pengakuan Terjujur dalam Hidupku

Oleh Lestari*, Jakarta

Pernahkah kalian merasakan terpesona untuk kesekian kalinya pada seseorang atau sesuatu, seakan rasa kekaguman itu baru kalian alami pertama kali? Aku pernah. Aku masih ingat saat aku memutuskan untuk meninggalkan dosa lamaku dan memulai hidup baru. Jiwa melayani yang begitu berapi-api, rasa haus yang begitu mendalam untuk mengikuti setiap pembinaan. Ah, seperti baru kemarin aku mengalami itu. Kerap kali aku diingatkan oleh banyak pembicara dalam pembinaan, hati-hati terhadap semangat yang tinggi karena tidak menutup kemungkinan akan meredup, serupa buih soda saat pertama kali dibuka.

Empat tahun menjadi alumni, aku mulai mengalami masa–masa di mana aku tidak bisa lagi menikmati indahnya persekutuan karena jam kerja di kantor yang membuatku sering lembur. Perlahan, kurasakan aku semakin menuju lembah yang kelam. Sampai di tahun 2019, aku kembali terjatuh dalam dosa lama. Saat itu, aku tahu bahwa itu dosa dan bukan tidak mungkin aku akan kembali diperbudak olehnya. Namun pikiranku buntu dan seakan seperti tahu bahwa pornografi adalah jalan keluarnya. Awal mula hanya sebagai penonton. Hingga aku tiba di satu masa, di mana aku sendiri melakukannya. Pemikiran akan bebasnya hubungan berpacaran saat ini ditambah kurangnya menikmati Firman Tuhan membuat aku melakukannya. Aku melakukan itu bahkan bukan dengan pacarku, melainkan dengan seorang pria yang baru aku kenal dari situs pencarian jodoh. Mungkin juga dipicu oleh rasa frustasi yang begitu menghantuiku mengenai pasangan hidup. Meski aku sudah tidak lagi berhubungan dengan pria itu, tapi aku tidak bisa menghentikan keinginanku untuk menikmati video pornografi. Rasa kecewa ini yang justru membuatku semakin membenamkan diri dalam jerat pornografi. Kukira aku sudah berhasil membunuh Iblis di dalam diriku. Ternyata, aku tidak bisa menenggelamkan Iblis dalam diriku, ia tahu caranya berenang.

Aku sadar telah terlampau jauh tersesat, terlalu jauh untuk kembali, dan kecewa pada diri sendiri. Terlebih aku malu pada Tuhan yang kepada-Nya aku berutang hidup. Bisa dikatakan saat itu aku bagaikan mayat hidup berjalan. Aku tetap pergi ke gereja setiap minggunya, pelayanan di gereja saat ada tugas, namun dalam hatiku begitu kering dan gelap. Pelan tapi pasti, aku berjalan menuju ke lembah kelam. Awal Mei, aku mengikuti retret dari gereja. Malam hari, ada acara renungan yang dibawakan oleh kakak gerejaku. Semua peserta berikut panitia masuk ke dalam aula yang lampunya dimatikan dan hanya diterangi cahaya dari lilin yang disebar di penjuru ruangan. Kami melakukan Jalan Salib dengan menyaksikan kembali penggalan cerita dari film Passion of The Christ sambil diiringi lagu yang dinyanyikan di tiap pemberhentian. Tuhan punya cara sendiri untuk menyadarkan kita. Di salah satu pemberhentian sebelum Yesus disalibkan, penyanyi menyanyikan lagu “He” yang liriknya seperti ini:

He can turn the tide and calm the angry sea
He alone decides who writes a symphony
He lights every star that makes our darkness bright
He keeps watch all through each long and lonely night
He still finds the time to hear a child’s first prayer, saint or sinner call, you’ll always find Him there
Though it makes Him sad to see the way we live, He’ll always say “I forgive!”

Bagian akhir lagu itu begitu meremukkanku. Tuhan tahu ketika aku melihat video porno, bahkan Ia juga tahu ketika aku melakukan dosa saat tidur dengan seorang pria dan apa yang aku lakukan itu membuat hancur hati-Nya. Aku turut menyalibkan Yesus karena dosa–dosaku. Malam itu, di bawah salib Yesus, aku mengaku akan semua dosa–dosa dan kelemahanku kemudian menyerahkan diriku kepada-Nya dan memperbaharui komitmenku. Malam itu, aku terpesona oleh cinta dan kasih-Nya untuk kesekian kalinya. Kini aku sudah mulai menikmati kembali relasi dengan Tuhan dan Firman-Nya. Di waktu senggang aku mengusahakan agar pikiranku tidak kosong dan tidak mulai mengakses situs porno dengan membaca buku, menulis atau melakukan kegiatan rumah tangga lainnya.

Sahabat, selama kita hidup kita akan terus bergumul akan dosa–dosa kita. Penebusan hanya sekali yaitu ketika Kristus mati, namun pengudusan terjadi berulang kali selama kita hidup. Tangan Yesus akan terus terbuka menanti kita hingga saatnya kita dipanggil nanti. Adalah sebuah pilihan, apakah kita mau berbalik kepada Kristus atau terus terjebak dalam dosa kita. Apakah kita akan membiarkan Kristus terus berdiri diluar pintu hati kita, atau kita mau membiarkan Dia masuk dan tinggal. Apapun pergumulan dosamu saat ini, jangan ragu untuk segera datang pada Yesus dan minta pengampunan dari-Nya.

Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup kekal” (Yohanes 3:16).

*Bukan nama sebenarnya.

Baca Juga:

Just Be Yourself! Apakah Harus Selalu Begitu?

“Just be yourself”, hidup kita terlalu berharga untuk menghiraukan komentar orang lain. “Nobody perfect”, jadi anggap saja itu bagian dari kelemahanmu. Apakah harus selalu begitu?