Posts

Bahasa Cinta: Lebih dari Sekadar Kata

Oleh Dorkas Febria Krisprianugraha, Karanganyar

Ajarilah kami bahasa cinta-Mu
Agar kami dekat pada-Mu ya Tuhanku
Ajarilah kami bahasa cinta-Mu
Agar kami dekat pada-Mu

Sebagian besar dari kita mungkin tidak asing dengan penggalan lirik lagu di atas. Namun, pernahkah kita berpikir: bagaimana sih bahasa cinta itu? Bagaimana kita bisa mempelajarinya? Dan, mengapa bahasa cinta bisa menolong kita lebih dekat pada Tuhan?

Ketika kita belajar bahasa, pasti kita akan diajarkan juga tentang aturan baku tata bahasa. Misalnya, ketika kita belajar bahasa Indonesia, kita diajak untuk mengenal susunan kalimat yang baik, yang terdiri dari subyek, predikat, obyek, dan keterangan (S-P-O-K), juga tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI). Atau, ketika kita belajar bahas Inggris, kita turut juga belajar tentang grammar dan vocabulary. Ketika kita sudah fasih mengaplikasikan bahasa yang kita pelajari, maka kita bisa dianggap berhasil mempelajarinya. Lantas, bagaimana dengan bahasa cinta?

Dr. Gary Chapman, seorang pendeta senior di Calvary Baptist Church, di Amerika Serikat pernah menulis buku yang membahas tentang 5 Love Languages alias 5 Bahasa Cinta. Dalam bukunya, beliau menjelaskan bahwa setidaknya ada lima bahasa cinta yang dimiliki manusia. Ketika kubaca ringkasan buku tersebut yang sudah banyak beredar di berbagai website, kupikir apa yang ditulis Dr. Gary Chapman tentunya sudah terlebih dahulu diteladankan oleh Tuhan Yesus, karena Dialah sumber kasih tersebut.

Inilah lima bahasa kasih dan teladan Kristus:

1. Words of affirmation (kata-kata penguatan)

Dalam beberapa kisah, Yesus memberi teladan bagaimana Dia melontarkan kata-kata yang membangun. Ketika murid-murid meminta-Nya untuk mengusir wanita yang meminta tolong pada-Nya dengan berteriak, Yesus tidak lantas memperlakukan wanita itu dengan kasar. Yang Yesus katakan adalah kalimat penghargaan kepadanya, “Hai ibu, besar imanmu maka jadilah padamu seperti yang kaukehendaki” (Matius 15:28).

Kalimat pujian, kalimat penghargaan, atau ucapan terima kasih adalah contoh dari kalimat yang membangun. Namun, kalimat yang membangun juga tidak selalu harus berupa pujian atau penghargaan, melainkan bisa juga berupa teguran. Amsal 27:5 mengatakan, “Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi”. Mengasihi bukan berarti membiarkan seseorang terus menerus melakukan kesalahan. Teguran adalah salah satu bukti kasih yang nyata. Namun, hendaknya kita menegur dengan kata-kata yang membangun, bukan dengan cacian atau kata-kata yang menjatuhkan.

2. Quality time (waktu yang berkualitas)

Menghabiskan waktu bersama orang yang kita kasihi tentu adalah hal yang sangat menyenangkan. Orang-orang yang kita kasihi pun tentu berharap kita dapat menyediakan waktu bersama mereka.

Di tengah pelayanan-Nya dari satu kota ke kota lain, Yesus tetap menyediakan waktu berkualitas untuk membangun kedekatan dengan murid-murid-Nya. Di beberapa perikop, disebutkan bahwa ada waktu-waktu di mana Yesus makan bersama dengan murid-murid-Nya dan berbincang bersama mereka (Yohanes 21:20; Lukas 7:49; Yohanes 13:2).

Terkadang pekerjaan maupun pelayanan kita membuat kita lupa bahwa ada orang-orang di sekitar kita—pasangan, orang tua, anak, saudara, maupun sahabat—yang menunggu untuk sekadar mengobrol atau beraktivitas dengan kita. Yuk sediakan waktu terbaik sebagai wujud kasih kita, karena waktu adalah salah satu pemberian terbaik yang bisa kita berikan kepada orang-orang yang kita kasihi.

3. Receiving gifts (menerima hadiah)

Menerima sebuah hadiah adalah salah satu cara yang membuat kita merasa dikasihi.

Ketika menerima hadiah, mungkin kita tak asing apabila si pemberi mengatakan, “Ini hadiah untukmu, jangan dilihat dari harganya ya.” Kalimat ini menunjukkan bahwa makna dari pemberian hadiah lebih penting dari harga sebuah barang yang menjadi hadiah tersebut. Hadiah memang identik dengan pemberian barang, namun bagi Zakheus dan seorang perempuan sundal, hadiah memiliki makna yang lebih dalam daripada sebuah barang. Mereka merasa dikasihi Yesus bukan karena hadiah berwujud barang, namun hadiah yang berwujud penerimaan (Lukas 19:1-10; Lukas 7:36-50). Mengasihi seseorang berarti kita mampu menerima mereka apa adanya dengan kesadaran bahwa setiap manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah (Kejadian 1:26), itulah salah satu hadiah terbaik yang bisa kita berikan.

4. Acts of service (tindakan melayani)

Tindakan melayani tentu menjadi hal yang sangat kita teladani dari Yesus, salah satu tindakan pelayanan-Nya adalah ketika Dia membasuh kaki murid-murid-Nya (Yohanes 13:5). Yesus menunjukkan bagaimana Dia mengasihi murid-murid-Nya. Dia yang disebut sebagai rabi, namun tidak menempatkan diri-Nya untuk selalu dilayani. Mungkin kita memiliki jabatan, status sosial, atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi dari orang lain, namun ini bukanlah alasan bagi kita untuk tidak melayani.

Tindakan melayani bisa kita lakukan mulai dari hal-hal sederhana, misalnya saat sedang makan bersama, kita menolong teman, pasangan, atau orang tua kita mengambilkan makanan, dan segudang hal sederhana lainnya.

5. Physical touch (sentuhan fisik)

Yesus juga memberikan teladan bahwa kasih dapat diwujudkan melalui sentuhan fisik. Yesus memeluk anak-anak yang dibawa kepada-Nya pada saat Dia sedang mengajar (Markus 10:16). Sentuhan bisa menjadi wujud kehadiran kita secara nyata untuk orang-orang yang kita kasihi, dan dalam kondisi tertentu sentuhan bisa mengungkapkan hal-hal yang lebih dari sebatas kata-kata.

* * *

Belajar tentang bahasa cinta tentu tidak terbatas pada lima bentuk yang dituliskan Dr. Gary Chapman. Ada banyak bentuk bahasa cinta yang telah diteladankan oleh Yesus. Semakin kita mengenal Yesus, maka akan semakin banyak pula perbendaharaan bentuk bahasa cinta yang bisa kita teladani untuk mengungkapkan kasih kita kepada orang-orang sekitar. Dengan demikian, kita pun akan semakin dekat dengan Kristus seperti yang diungkapkan dalam penggalan lagu “Bahasa Cinta”.

“Barangsiapa mengasihi Allah, ia juga harus mengasihi saudaranya” (1 Yohanes 4:21).

Baca Juga:

Dalam Kegagalanku, Rencana Tuhan Tidak Pernah Gagal

“Gagal”, kata ini hinggap di pikiranku hingga aku berpikir untuk tidak usah kuliah saja setelah SMA. Namun, keluarga dan orang-orang terdekatku tidak menyerah menyemangatiku. Aku ingat sahabatku berkata, “ke mana pun kita coba lari dari hadapan-Nya, Dia pasti akan menaruh kita di tempat yang memang sudah Dia pilih.”

Belajar dari Nehemia dan Ester: Mencintai Bangsa melalui Doa dan Tindakan

Oleh Dorkas Febria Krisprianugraha, Karanganyar

Seberapa greget kamu mencintai Indonesia?

Ketika mendengar pertanyaan itu, mungkin kamu akan menjawab dengan berbagai kalimat ala generasi millenial yang akhir-akhir ini sedang hits. Tapi, benarkah kamu segreget itu dalam mencintai Indonesia? Atau, jangan-jangan nama Indonesia tidak masuk dalam daftar sesuatu yang kamu cintai?

Jika bicara soal mencintai bangsa, ada dua tokoh Alkitab yang dikenal karena kecintaannya pada bangsanya, mereka ialah Nehemia dan Ester. Nehemia berpuasa, berdoa sambil menangis, dan berkabung ketika mendengar berita kalau tembok Yerusalem telah terbongkar dan pintu-pintu gerbangnya telah terbakar (Nehemia 1:1-11). Ester berpuasa ketika akan menghadap Raja Ahasyweros setelah mendapat kabar dari Mordekhai bahwa Haman akan membinasakan orang Yahudi (Ester 4:15-17). Tidak berhenti hanya berdoa dan berpuasa, dalam Kitab Nehemia dan Kitab Ester juga diceritakan bagaimana mereka melakukan tindakan nyat sebagai upaya untuk menyelamatkan dan memulihkan bangsa mereka. Ya, mereka membuktikan seberapa besar rasa cinta mereka kepada bangsanya.

Bagaimana dengan kita?

Berdoa untuk Indonesia adalah hal yang baik, yang memang seharusnya kita lakukan. Namun, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apa yang kita lakukan setelah itu? Banyak cara yang bisa kita lakukan untuk mennjukkan rasa cinta kita kepada indonesia, misalnya melalui profesi kita dalam bidang politik, pemerintahan, ekonomi, maupun pendidikan; atau melalui prestasi kita yang mengharumkan nama Indonesia; atau bisa dengan cara yang sederhana yaitu dengan menggunakan hak dan melaksanakan kewajiban kita sebagai warga negara Indonesia secara seimbang. Salah satu hak yang diberikan kepada warga negara Indonesia adalah hak memilih dalam Pemilu. Setelah mendengar kalimat itu, mungkin sebagian kita ada yang berpendapat, “kalau itu hak, berarti itu terserah kita dong mau menggunakan hak itu atau tidak.”

Namun, benarkah demikian?

Coba bayangkan apa yang terjadi ketika semua warga negara Indonesia berpendapat seperti itu dan akhirnya memilih untuk tidak menggunakan hak itu. Bisa jadi negara kita malah mengalami kekacauan. Ketika mencoba merenungkan hal ini, aku memiliki pendapat secara pribadi bahwa memilih dalam Pemilu adalah hak kita sebagai warga negara, dan menggunakan hak pilih itu adalah suatu kewajiban.

Tahun 2019 akan menjadi salah satu tahun yang tercatat dalam sejarah Indonesia. Berbagai pihak sibuk menyambut pesta demokrasi yang akan dilaksanakan pada tanggal 17 April 2019, baik sebagai calon yang akan dipilih, tim sukses, maupun para pendukung calon. Bagaimana dengan kamu?

Belajar dari kisah Nehemia dan Ester, bagaimana sih seharusnya sikap kita dalam menyambut Pemilu 2019 sebagai bentuk rasa cinta kita kepada Indonesia?

1. Menyadari menggunakan hak pilih adalah kesempatan untuk berbuat sesuatu bagi Indonesia

Ketika mendengar bahwa tembok Yerusalem telah terbongkar dan pintu gerbangnya terbakar, Nehemia bisa saja memilih untuk tidak mempedulikannya karena posisinya sebagai juru minuman raja tidak membuatnya memiliki kewajiban untuk membangun kembali tembok itu.

Mungkin Nehemia sebelumnya tidak pernah berpikir bahwa posisinya sebagai juru minuman raja akan membuka jalannya untuk memulihkan bangsanya (Nehemia 2). Namun, Nehemia memilih berbuat sesuatu untuk bangsanya. Demikian juga Ester, ketika berada di posisi sebagai ratu, bisa saja Ester memilih untuk tidak peduli denagn berita yang dia dengar bahwa Haman sedang merencanakan pembinasaan orang-orang Yahudi. Namun, Ester memilih untuk melalukan sesuatu bagi bangsanya bahkan ketika hal itu dapat membahayakan nyawanya (Ester 4:16). Ya, Tuhan menempatkan Nehemia dan Ester pada posisi masing-masing untuk berbuat sesuatu bagi bangsanya.

Kita memang tidak bisa memilih di negara mana kita dilahirkan, tetapi kita bisa memilih untuk berbuat sesuatu bagi bangsa kita, atau berdiam.

Hak untuk memilih adalah hak istimewa kita sebagai warga negara Indonesia, karena hanya benar-benar warga negara Indonesia saja yang mendapatkan hak itu. Kita mungkin sering mendengar banyak warga negara asing berkata, “I Love Indonesia”, namun tak peduli seberapa besar cinta mereka kepada Indonesia, mereka tetap tidak mendapatkan hak pilih ini.

Jadi, gunakanlah hak pilihmu sebagai kesempatan untuk berbuat sesuatu bagi Indonesia.

2. Menyiapkan strategi

Cinta Nehemia dan Ester terhadap bangsanya bukanlah cinta buta yang bertindak tanpa pertimbangan. Mereka tidak gegabah namun mereka menyusun strategi ketika akan berbuat sesuatu bagi bangsanya. Sebelum melakukan pembangunan tembok Yerusalem, terlebih dahulu Nehemia menyelidiki kondisi-kondisi tembok-tembok Yerusalem yang sudah terbongkar (Nehemia 2:11-20), dan Ester sebelum menghadap Raja Ahasyweros, dia juga menyusun strategi. Hal ini terlihat dari bagaimana cara Ester mengadakan perjamuan bagi raja dan Haman (Ester 5:1-8). Demikian juga ketika kita ingin menggunakan hak pilih kita untuk menunjukkan rasa cinta kita terhadap Indonesia.

Terlepas siapa kandidat pilihan kita, kita tetap membutuhkan strategi. Menggunakan hak pilih lebih dari sekadar hanya datang ke TPS dan mencoblos kertas yang berisi nama-nama calon presiden dan legislatif. Menggunakan hak pilih juga harus disertai banyak pertimbangan. Tidak cukup hanya berdasarkan “apa kata orang” dalam menentukan pilihan kita. Kita perlu mengamati dan menyelidiki dari berbagai sumber yang terpercaya. Banyak cara yang dapat kita lakukan, mulai dari mencari portofolio atau rekam jejak calon tersebut, mengikuti siaran debat terbuka di televisi, juga menimbang-nimbang visi dan misi serta program kerja mereka kelak.

Tentukan pilihan kita berdasarkan apa yang kita pahami dan yakini, bukan hanya berdasarkan apa kata orang.

3. Menginvestasikan waktu

Nehemia memberikan waktunya, dia bangun di malam hari untuk menyelidiki keadaan tembok Yerusalem (Nehemia 2:3). Ester berpuasa selama tiga hari tidak makan dan minum, dan tentulah dalam masa puasa itu Ester menggunakan waktunya untuk memikirkan bagaimana cara membongkar rencana jahat Haman.

Tidak ada istilah membuang-buang waktu untuk berbuat sesuatu bagi bangsa kita. Dalam proses sebelum menentukan pilihan, kita bisa menginvestasikan waktu kita untuk mulai membaca informasi-informasi terpercaya atau mendengarkan debat yang diselenggarakan langsung oleh KPU. Dan, di hari Pemilu dilaksanakan kita bisa memberikan waktu kita untuk datang ke TPS dan menggunakan hak pilih kita.

Banyak aktivitas lain yang mungkin lebih menarik untuk dilakukan di tanggal 17 April 2019, terlebih hari-hari itu kan menjadi long-weekend yang membuat banyak orang memilih untuk berlibur dibandingkan dengan datang ke TPS dan menggunakan hak pilih. Namun, percayalah bahwa waktu yang kita berikan untuk memilih dalam Pemilu tidak akan terbuang sia-sia.

4. Tetap waspada

Hoax menjadi kata yang semakin populer dalam masa-masa menjelang Pemilu dan inilah yang menjadi salah satu ancaman kita dan patut kita waspadai. Pemulihan suatu bangsa tidak selalu disukai oleh semua pihak. Sanbalat dan Tobia menentang pembangunan tembok Yerusalem, bahkan mengolok-ngoloknya (Nehemia 4). Bahkan, setelah tembok Yerusalem berhasil dibangun kembali, Sanbalat dan Tobia berusaha untuk membunuh Nehemia (Nehemia 6). Ya, akan banyak pihak yang lebih berfokus pada kepentingan pribadinya sehingga apa yang mereka lakukan buka sebagai upaya untuk berbuat sesuat bagi bangsa Indonesia, tetapi bagaimana kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan dapat terpenuhi. Itulah yang harus kita waspadai, jangan mudah dipengaruhi.

5. Tetaplah berdoa

Lebih dari tekad dan ancaman yang ada, Nehemia tetap menjadikan doa sebagai hal yang utama (Nehemia 1, Nehemia 4:9). Nehemia mengadukan semua yang dia alami kepada Tuhan. Ada banyak hal yang mungkin bisa terjadi selama masa-masa menjelang bahkan sesudah Pemilu berlangsung. Tetap berdoa menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan dalam menyambut Pesta Demokrasi 2019. Berdoalah, biar hanya kehendak Tuhan yang terjadi dalam Pemilu 2019.

Itulah hal-hal yang bisa kita lakukan untuk menyambut Pemilu 2019. Jadilah bagian dalam sejarah Indonesia dan gunakan hak pilihmu sebagai kesempatan bagi generasi millenial untuk menujukkan seberapa greget kita mencinti Indonesia. Tuhan memilihmu untuk berbuat sesuatu bagi bangsa ini, kalau bukan kamu, siapa lagi?

* * *

Sobat muda, pesta demokrasi akan segera kita laksanakan, marilah kita mengambil waktu sejenak untuk berdoa buat bangsa kita, Indonesia. Share artikel juga video di bawah ini dan ajaklah teman-temanmu untuk bersama-sama berdoa.

Baca Juga:

Menegur, Sulit tapi Baik untuk Dilakukan

Menegur orang lain merupakan hal yang sangat sulit untuk kulakukan. Aku takut pada risiko yang mengikutinya—ditolak dan dijauhi oleh orang yang kutegur. Aku tidak siap menghadapi hal itu. Aku gelisah. Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, apakah aku menyampaikan teguranku dengan cara yang salah hingga temanku jadi sakit hati? Apakah aku terlalu berlebihan?

Diam dan Tenang: Senjata Ampuh yang Mengalahkan Kekhawatiran

Oleh Dorkas Febria Krisprianugraha, Karanganyar

Ketika sharing kepada orang lain tentang pergumulan yang sedang kamu hadapi, pernahkah kamu mendengar respons: “Sudah, jangan khawatir, berserah saja”, “tenang, bawa saja dalam doa”, atau kalimat-kalimat penenang lainnya? Atau, seberapa sering kamu membaca firman Tuhan dan mendengarkan khotbah tentang hal kekhawatiran?

Dalam hidup kita, kekhawatiran bisa terjadi karena banyak hal. Kita khawatir akan hal-hal yang pokok dalam hidup kita, seperti makanan, minuman, atau pakaian (Matius 6:31). Kekhawatiran pun tidak mengenal usia. Semua orang pasti pernah mengalami kekhawatiran, demikian juga dengan aku.

Beberapa waktu lalu, adikku yang masih kuliah di perguruan tinggi swasta mengirimkanku pesan yang intinya hari itu juga dia harus membayar cicilan uang kuliah sebesar tiga juta rupiah. Kalau uang itu tidak dibayar, dia akan dianggap cuti selama satu semester. Pesan itu membuatku terkejut dan sedikit emosi karena hal ini tidak adikku bicarakan jauh hari sebelumnya.

Jika melihat kondisi keuangan keluargaku, rasanya tidak mungkin untuk mendapatkan uang sebanyak itu dengan segera. Sebagai anak pertama, aku bingung harus bersikap bagaimana. Aku tidak ingin adikku berhenti kuliah. Tapi, di sisi lain aku pun bingung bagaimana untuk mendapatkan uang.

Dalam keadaan hati yang khawatir itu, aku berkata, “Sudah dek. Jangan khawatir. Berserah sama Tuhan sambil kita berusaha maksimal.” Itu adalah jawaban aman yang kuberikan di tengah kondisi hati yang masih berkecamuk dan pikiran yang masih bingung.

Aku pun berulang kali mengatakan pada diriku sendiri, “Ayo, jangan khawatir!” dengan air mata yang tak dapat kutahan lagi. Aku berusaha menguatkan diriku sendiri. Sampai tiba-tiba, muncul pertanyaan di hatiku, “Benarkah aku sungguh-sungguh tidak khawatir lagi? Atau, itu cuma sebatas caraku untuk berusaha mengabaikan rasa khawatir yang sebenarnya masih ada dalam diriku?”

Aku menyadari terkadang respon yang kuberikan hanya bersifat verbal, atau hanya sebatas pada ucapan. Meski mulut berucap tidak khawatir, namun hatiku tidak dapat memungkiri kalau aku masih khawatir.

Di tengah perenunganku itu, aku teringat akan sebuah WhatsApp Story yang dulu pernah kudapat. Dalam story tersebut tertulis penggalan firman Tuhan dari kitab 1 Samuel 30:6-8:

“Dan Daud sangat terjepit, karena rakyat mengatakan hendak melempari dia dengan batu. Seluruh rakyat itu telah pedih hati, masing-masing karena anaknya laki-laki dan perempuan. Tetapi Daud menguatkan kepercayaannya kepada TUHAN Allahnya… Kemudian bertanyalah Daud kepada TUHAN, katanya: “Haruskah aku mengejar gerombolan itu? Akan dapatkah mereka kususul? Dan Ia berfirman kepadanya: ‘Kejarlah, sebab sesungguhnya, engkau akan dapat menyusul mereka dan melepaskan tawanan.’”

Ketika merenungkan ayat ini aku coba membayangkan bagaimana perasaan Daud saat itu. Pastilah dia merasa sangat takut dan khawatir. Tapi, aku melihat suatu tindakan yang dilakukan Daud begitu luar biasa. Daud tidak berusaha menguatkan dan meyakinkan diri sendiri kalau dia mampu keluar dari kondisi terjepit itu, namun yang Daud lakukan adalah menguatkan kepercayaannya kepada Tuhan disertai dengan tindakan bertanya kepada Tuhan mengenai apa yang harus dia lakukan. Wow, pikirku. Respons yang diberikan Daud ketika dia merasa khawatir dan takut itu lebih dari respons secara verbal. Respons Daud datang dari sikap hati yang berusaha mencari kehendak Tuhan di tengah kekhawatirannya.

Aku teringat satu kutipan yang pernah dibagikan oleh seorang pendeta yang bernama Samuel Anton Sidharta. Beliau menuliskan, “Menjadi teladan bukan berarti hidup kita harus selalu on the top dan penuh keberhasilan. Tapi, justru ketika kita berani mengambil respons yang benar di situasi yang tidak mudah dan bahkan lowest moment dalam hidup kita. Itulah TELADAN.”

Apakah itu mudah?

Kupikir tidak. Duduk diam sejenak ketika menghadapi masalah yang harus diselesaikan memang bukanlah hal yang mudah. Tapi, di saat itulah kita bisa mengakui ketidakmampuan kita dan bertanya kepada Tuhan “apa yang harus aku lakukan?”

Peristiwa adikku membuatku belajar banyak tentang seberapa pentingnya kita mengambil respons yang benar ketika menghadapi rasa khawatir. Kita bisa membawa rasa khawatir itu ke hadapan Tuhan dan menguatkan kepercayaan kita kepada-Nya. Dan puji Tuhan, ada jalan keluar yang Dia berikan untuk permasalahan yang kualami. Ada seseorang yang berkenan meminjamkan uang untuk saat itu dan mengizinkan kami membayarnya secara berkala.

Melihat adikku yang masih dapat berkuliah sekarang tanpa cuti adalah cara-cara yang Tuhan tunjukkan kepadaku dengan begitu ajaib. Aku sekarang mengerti bahwa duduk diam sejenak ketika masalah datang bukan berarti kita menyerah pada keadaan, tapi kita sedang menyiapkan langkah yang tepat untuk mengatasi kondisi yang ada.

Jalan keluar yang Tuhan sediakan tidak dapat kita lihat jika kita hanya berfokus pada kekuatan diri kita sendiri. Tapi, ketika kita berusaha tetap mencari kehendak-Nya, maka Tuhan akan menunjukkan jalan keluarnya bagi masalah kita.

Baca Juga:

Jangan Hidup Hanya Supaya Bisa Menikah. Hiduplah untuk Hidup Itu Sendiri.

Ketika berbicara tentang pernikahan, yang paling membuatku takut bukanlah hasrat kita untuk menikah, tetapi apa yang menjadi ekskpektasi kita tentang pernikahan.