Posts

Catatan Kecil Anak Seorang Dokter

Oleh Fedora Aletheia Putri Leuwol, Bekasi

Ketika pandemi mengamuk hebat, para dokterlah yang berada di garda terdepan menyelamatkan dan merawat orang-orang yang terinfeksi COVID-19. Salah satunya, papaku sendiri. Bersama para dokter lainnya, papa bekerja begitu keras melayani setiap pasien yang meminta pertolongannya.

Naiknya kasus Covid, berarti bertambah pula jam kerja papa. Dalam keluarga kami, papa adalah orang yang terkenal paling gaptek. Dia biasanya malas memegang HP. Tapi, selama pandemi ini papa jadi memegang HP seharian penuh—dari subuh sampai larut malam, hari kerja atau hari libur. Banyak rumah sakit kewalahan menampung pasien. Mereka yang gejalanya tidak terlalu berat diminta untuk dirawat di rumah saja, alias isoman. Nah, mereka-mereka yang isoman inilah yang paling membutuhkan jasa dokter secara daring, atau istilah bekennya: telemedicine. Papa menulis berlembar-lembar surat resep, hingga mencarikan rumah sakit bagi mereka yang gejalanya memburuk.

Sebagian dari pasien-pasien papa adalah jemaat gereja kami, tetangga di perumahan, teman-teman di kantor mamaku, dan masih banyak lagi. Itu belum termasuk orang-orang yang memberikan nomor WA papaku kepada kenalan mereka yang sakit. Saking banyaknya, papa pernah bilang kalau dia nyaris kewalahan untuk membalas chat dan mengangkat telepon. Untuk sekadar makan atau duduk tenang pun jadi susah.

Karena tuntutan pekerjaannya pula, tiap hari papa pergi ke luar rumah, bertaruh nyawa. Tahun lalu, kami sekeluarga pernah terpapar COVID-19 karena papa tertular dari seseorang yang ia periksa di tempat kerjanya. Beruntung, meski memiliki komorbid, papa bisa sehat kembali. Namun, peristiwa itu membuatku trauma, khawatir papa akan terpapar lagi, dan menulari kami semua.

Aku takut kelelahan kerja akan membuat imun tubuhnya melemah. Itu sebabnya aku selalu memintanya istirahat saja kalau di rumah, tidak usah mengurusi pasien.

“Nggak usah buka WA dululah, untuk sementara,” gertakku.

Papa berkeras, “Tidak bisa begitu, Kak. Kamu bayangin kalau keluargamu yang sakit, kamu WA dokter terus dokternya nyuekin kamu? Gak bisa!”

Usul lain yang pernah kulontarkan, “Coba Papa larang pasien Papa sembarangan kasih nomor Papa. Papa tuh udah sibuk banget!”

Tapi, lagi-lagi ia menolak, “Gak bisalah, Kakak, mana bisa kayak gitu! Orang kok gak boleh minta tolong? Lagi pula, ini memang tugas papa. Pekerjaan papa kan memang menolong orang.”

Kira-kira selalu begitu responnya.

Aku terdiam. Ucapan papa itu membuatku berpikir: betapa besar perjuangan papa, para dokter, perawat, dan tenaga kesehatan lain di masa pandemi ini. Hatiku meradang setiap kali mengingat perjuangan papa. Selain berjuang menyelamatkan orang lain, papa juga menafkahi kami sekeluarga dari pekerjaannya sebagai dokter. Tapi, kalau begini caranya, aku tidak ingin papaku menjadi dokter. Rasanya ingin marah ke seluruh dunia, kenapa harus ada pandemi ini? Mengapa pandemi ini tidak selesai-selesai? Mengapa orang-orang harus selalu mencari papaku untuk meminta tolong? Mengapa begitu banyak orang yang tidak patuh prokes, dan lebih percaya kepada hoax yang mengatakan COVID-19 itu konspirasi?

Sampai suatu ketika, ada satu momen yang membuatku tersadar.

Waktu itu sudah cukup malam. Kami memesan makanan secara daring, dan betapa terkejutnya kami ketika si Bapak driver yang mengantarkan pesanan datang bersama istrinya. Aku tahu itu istrinya karena Bapak itu meminta maaf, katanya: “Maaf ya, Mbak, agak lama, tadi sekalian lewat jemput istri dulu pulang kerja.” Melihat itu aku pun menyadari sesuatu yang tak pernah terpikir olehku.

Selama ini aku selalu mengomel dan mengeluh mengapa papa harus menjadi pahlawan di pandemi ini. Namun, melihat si Bapak malam itu, aku sadar bahwa pejuang dalam pandemi ini bukan hanya dokter atau tenaga kesehatan, tapi juga para pengemudi ojol, kurir, pedagang pasar, petugas minimarket, sopir kendaraan umum, polisi, dan masih banyak lagi.

Ketika pandemi menggila, mereka tetap harus keluar rumah, harus bekerja, demi menafkahi keluarga. Bapak ini bahkan harus keluar rumah bersama istrinya, yang mungkin berarti mereka meninggalkan anak-anak mereka di rumah. Bagaimana perasaan anak-anak mereka? Mereka mungkin juga takut orang tua mereka terpapar virus ini. Tapi mereka tidak punya pilihan karena orang tua mereka harus bekerja.

Aku tercenung, memandangi motor si Bapak menderu semakin jauh, membonceng istrinya pulang ke rumah.

Pahlawan di masa pandemi adalah mereka-mereka yang setia melakukan tanggung jawabnya. Coba bayangkan jika tidak ada driver ojol. Keluargaku pasti kesulitan untuk membeli makanan. Berkat pelayanan para driver, aku dan keluargaku tidak harus keluar dari dekapan aman keempat dinding rumah kami, terlindung dari virus yang mengamuk di luar.

Perlahan pikiranku melayang ke ratusan, bahkan mungkin jutaan orang lain yang malam ini berada di luar rumah, bertarung melawan pandemi, demi melayani kita semua dan menafkahi keluarga mereka. Banyak di antara mereka mungkin memiliki keluarga yang mengkhawatirkan mereka seperti aku kepada papaku.

Dalam situasi seperti sekarang ini, rasanya wajar jika kekhawatiran itu muncul dalam hati. Kita mengkhawatirkan kesehatan kita dan anggota keluarga kita. Kurasa itu tidak apa-apa. Yang jadi masalah adalah, apakah kemudian rasa khawatir itu membuat kita mengabaikan segala tugas kita dalam melayani sesama? Apakah kemudian kemampuan dan karunia yang kita terima dari Tuhan harus kita “nonaktifkan” sementara waktu sambil menunggu keadaan pulih dan membaik?

Sebait firman Tuhan terbesit dalam pikiranku: “Layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik dari kasih karunia Allah” (1 Petrus 4:10). Kita diminta untuk melayani sesama dengan segala karunia yang sudah Tuhan berikan kepada kita, dan sesuai dengan kemampuan serta keterampilan yang kita miliki. Tidak hanya dalam situasi yang baik-baik saja tetapi juga dalam keadaan paling buruk sekalipun.

Hal ini menyadarkanku bahwa life must go on. Semengerikan apa pun keadaan di luar sana, banyak orang yang harus tetap keluar untuk berjuang menghidupi keluarga mereka. Dan menurutku, mereka semua pahlawan dan pejuang tangguh. Kita pun, yang beruntung bisa tetap tinggal di rumah, bisa mendukung mereka dengan doa, tetap menggunakan layanan mereka, memberi tips, atau sesimpel memberikan senyuman ramah. Hanya Tuhanlah kekuatan dan pengharapan kita.

Setiap malam, kami sekeluarga berdoa bersama menopang papa. Papa berpesan agar aku selalu ingat bahwa Allah-lah perisai kita, seperti yang terungkap dalam Mazmur 33:20: “Jiwa kita menanti-nantikan TUHAN. Dialah penolong kita dan perisai kita!”

Ya, Allah-lah perisai bagi para pejuang pandemi ini: papaku dan mereka semua yang sedang berjibaku di luar sana. Kiranya Tuhan melindungi dan menjaga mereka semua. Terima kasih karena sudah berjuang!

Dari aku, putri seorang dokter

Baca Juga:

Tuhan, Runtuhkanlah Tembokku Agar Aku Bisa Memandang-Mu

Berawal dari trauma di masa lalu, aku melindungi diriku dengan membangun ‘tembok’ yang kuharap bisa melindungiku dari terluka. Tapi, tembok ini malah membuatku semakin terasing dan terisolasi.

Menghadapi Penderitaan Tidak dengan Tawar Hati

Oleh Alvin Nursalim

Menjalani kehidupan pasti akan menghadapi penderitaan. Dalam profesiku sebagai dokter, rasa sakit, tangis, dan kesedihan adalah kawan yang menjadi keseharianku.

Pastinya teman-teman setuju bahwa rumah sakit bukanlah tempat berlibur. Di sini setiap pasien datang berobat dan berharap sembuh. Aku ingat ketika aku masih menempuh studi kedokteran dulu, biasanya aku akan sampai di rumah sakit sekitar jam 05:30 pagi. Aku dan rekan-rekan tim medis lainnya datang lebih pagi karena jumlah pasien yang menjadi tanggung jawab residen (dokter yang sedang mengambil program pendidikan spesialis) memang cukup banyak jumlahnya.

Para pasien bahkan datang lebih subuh dari kami. Mereka datang lebih awal untuk mengambil nomor pendaftaran. Rumah sakit tempat kami melayani adalah rumah sakit rujukan. Alhasil, pasien datang dari berbagai daerah dan pelosok negeri. Ada pasien-pasien yang masih anak kecil, masih tertidur di kursi roda mereka dan turut mengantre sedari subuh. Pecah tangis seringkali memenuhi ruangan karena kesakitan yang dialami oleh mereka.

Keadaan tersebut tidak berubah. Rumah sakit tetap penuh, malah mungkin lebih penuh karena pandemi Covid-19. Aku terpanggil untuk melayani pasien-pasien yang terinfeksi virus ini. Dewasa, anak kecil, wanita hamil, semua tidak luput dari virus. Rasa khawatir dan tangis dari pihak keluarga tidak asing bagi telingaku.

Menyaksikan penderitaan yang begitu nyata setiap hari seringkali membuatku termenung. Aku bertanya, “Bapa, mengapa ada penderitaan di dunia ini? Mengapa ada kemiskinan yang membuat banyak orang kesulitan untuk memenuhi kebutuhan makan hariannya? Mengapa ada penyakit yang memberikan rasa sakit pada banyak orang?”

Pernahkah teman-teman juga bertanya-tanya seperti itu? Mencari tahu mengapa Tuhan tidak menciptakan dunia di mana semua orang seang, berkecukupan, dan tiada penderitaan?

Apakah Tuhan memahami penderitaan manusia?

Pertanyaan itu membawaku untuk menggali lebih dalam tentang penderitaan manusia. Ketika mengalami penderitaan, kita sebagai manusia sering bertanya apakah Tuhan memahami penderitaan kita. Tetapi, kita lupa bahwa diri-Nyalah sejatinya yang paling memahami penderitaan.

Yesus mengakhiri pelayanan-Nya di bumi dengan dihina, dihukum, dan dipaku di kayu salib. Dia mengalami tak cuma penderitaan fisik, juga penderitaan mental di tangan tentara Romawi dan orang-orang yang mencaci-Nya. Dia ditinggalkan oleh teman-teman terdekat-Nya di saat Dia paling membutuhkannya. Penderitaan Yesus telah ternubuatkan dalam tulisan Yesaya, “Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan” (Yesaya 53:3).

Jika kita bergumul dan berdoa pada-Nya, kita sejatinya sedang menyampaikan pergumulan manusia kepada Tuhan yang sangat dekat dan memahami penderitaan. Dia bukan Tuhan yang jauh dan tidak dapat berempati atas penderitaan manusia. Kita datang kepada Tuhan yang benar-benar tahu dan peduli, Dia adalah Tuhan yang juga merasakan bagaimana berada di titik nadir.

Selanjutnya, Yesaya 53:4 menulis, “Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya dan kesengsaraan kita yang dipikul-Nya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah.”

Penderitaan Yesus melampaui apa yang dapat kita bayangkan. Di kayu salib, semua kejahatan dunia diarahkan pada satu Sosok yang bersih dan murni, yaitu Sang Anak Allah. Yesus melakukannya agar kita beroleh kehidupan, sehingga kejahatan tidak membinasakan manusia.

Mengapa Tuhan dengan segala kuasa-Nya tidak menghilangkan saja penderitaan?

Pertanyaan tersebut memiliki jawaban: suatu hari kejahatan akan disingkirkan selama-lamanya. Suatu hari tidak akan ada lagi dukacita atau rasa sakit. Tuhan akan menghapus setiap air mata (Wahyu 21:4). Tetapi, hari tersebut belumlah tiba.

Jika kita merenungkan posisi kita: siapakah kita manusia berdosa sehingga kita bertanya dan menghakimi Tuhan? Kita adalah ciptaan-Nya dan diciptakan untuk memuliakan-Nya. Justru, seharusnya kita bertanya, apakah hak kita sebagai manusia berdosa untuk menuntut kepada Tuhan yang sudah menebus dosa kita? Namun, terlepas dari segala dosa kita, Tuhan selalu menawarkan diri-Nya sendiri. Dia tidak cuma memberi kita berkat atau janji, tetapi Dia memberi diri-Nya sendiri. Dia merindukan kita datang kepada-Nya, berbicara dengan-Nya, dan membawa penderitaan kita kepada-Nya. Dalam penderitaan kita, Dia tidak meninggalkan kita sendirian. Jika kita berpaling kepada-Nya, ada kekuatan yang tidak pernah kita duga; ada kenyamanan dan pengharapan untuk hari ini dan esok.

Aku ingin mengakhiri tulisan ini dengan sebuah doa yang kuterjemahkan dari kumpulan doa puritan, The Valley of Vision. Doa ini begitu indah dan berisikan permohonan manusia agar bisa terus memuji keagungan Tuhan dan berserah kepada-Nya, terlepas dari keadaan yang tampaknya tidak sesuai harapan.

Tuhan, tinggi dan suci, lemah lembut dan rendah hati,

Engkau telah membawaku ke lembah penglihatan
Di mana aku tinggal di kedalaman tapi melihat-Mu di ketinggian,
dikelilingi gunung dosa aku melihat kemuliaan-Mu.

Biarkan aku belajar dengan paradoks
bahwa jalan turun adalah jalan ke atas,
bahwa menjadi rendah berarti tinggi,
bahwa patah hati adalah hati yang disembuhkan,
bahwa roh yang menyesal adalah roh yang bersukacita,
bahwa jiwa yang bertobat adalah jiwa yang menang,
bahwa tidak memiliki apa-apa berarti memiliki semua,
bahwa memikul salib adalah memakai mahkota,
bahwa memberi berarti menerima,
bahwa lembah adalah tempat penglihatan.

Tuhan, di siang hari bintang bisa dilihat dari sumur terdalam,
dan semakin dalam sumur, semakin terang bintang-bintang-Mu bersinar;

Biarkan aku menemukan cahaya-Mu dalam kegelapanku,
hidup-Mu dalam kematianku,
kegembiraan-Mu dalam kesedihanku,
anugerah-Mu dalam dosaku,
kekayaan-Mu dalam kemiskinanku,
kemuliaan-Mu di lembahku.

Tuhan Yesus memberkati kita semua.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Di Tengah Keadaan yang Tak Mudah, Pilihlah untuk Taat

Taat, mudah diucapkan sulit dipraktikkan. Apalagi jika ketaatan itu seolah membuat hidup kita malah menjadi susah. Tetapi, Alkitab memberitahu kita bahwa selalu ada berkat dalam ketaatan kita kepada-Nya.