Posts

Penginjilan lewat Media Sosial, Bagaimana Caranya?

Oleh Noni Elina Kristiani, Banyuwangi

Facebook, Instagram, Twitter, Snapchat, TikTok, Podcast di Spotify, ada banyak aplikasi dan media sosial yang saat ini digandrungi bukan hanya oleh kalangan remaja tetapi juga oleh orang dewasa. Aku juga merupakan pengguna media sosial yang cukup aktif, meskipun aku tidak punya akun di semua medsos tersebut. Di zaman post-modern ini, segala lini di media sosial dapat menjadi ladang yang subur untuk kita menuai benih firman Tuhan. Ada jutaan pengguna media sosial di Indonesia dan mereka selalu berpetualang di dunia maya. Bayangkan jika konten yang ada di media sosial kita dapat mengenalkan mereka tentang kasih Tuhan.

Perintah untuk memberitakan Injil bukan hanya untuk rohaniawan seperti misionaris atau pun pendeta, tetapi adalah tugas semua orang percaya (Matius 28:18-20). Sebagai seseorang yang belajar untuk memberitakan Injil melalui media sosial, aku ingin membagikan 5 tips untuk melakukannya:

1. Sebelum memulai menginjili orang lain, milikilah hubungan pribadi dengan Tuhan melalui merenungkan firman-Nya

2 Timotius 3:16-17 mengatakan, “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakukan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.”

Alkitab adalah sumber dari segala hikmat dalam kita melakukan sesuatu. Ya, buku yang ditulis lebih dari 2000 tahun yang lalu itu masih sangat relevan untuk membimbing bagaimana cara kita hidup seharusnya. Alkitab mungkin tidak secara spesifik memberi arahan bermedia sosial, toh pada saat Alkitab ditulis, media sosial belum eksis. Tapi, Alkitab dengan jelas memberi arahan apa saja yang bisa kita bagi dan pelajari di sosial media.

“Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.” Filipi 4:8

Kita tidak bisa membagikan sesuatu yang tidak kita miliki, bukan? Ketika kita ingin memberitakan Injil, kita perlu melekat dan memiliki hubungan dengan Sang Sumber pemberi hikmat, yaitu Tuhan sendiri. Dengan setia membaca, merenungkan, dan melakukan firman Tuhan, kita akan memiliki hikmat untuk memberitakan kasih Allah kepada dunia melalui media sosial kita.

2. Jadi dirimu sendiri

Menjadi diri sendiri adalah cara terbaik bagi kita untuk melayani orang lain. David G. Benner dalam bukunya, The Gift of Being Yourself, mengatakan: “Saat kita menjadi semakin serupa dengan Kristus, maka kita akan menjadi semakin unik sebagai diri kita yang sejati.” Benner mengajak kita untuk menjalani kehidupan yang otentik di hadapan Allah dan dunia.

Menjadi diri sendiri akan mempengaruhi apa yang akan kita bagikan di media sosial kita. Mengetahui apa yang menjadi bakat dan minat kita, memaksimalkannya dan menunjukkannya kepada dunia adalah kombinasi yang sempurna untuk menyatakan kebaikan Allah. Misalnya, ketika kita hobi menulis maka kita akan menciptakan sebuah tulisan yang memuliakan Allah. Jika dirimu menyukai fashion, otomotif, menyanyi, menggambar, atau memiliki kepedulian di bidang kesehatan, semua hal itu dapat kita pakai untuk menyatakan kemuliaan Tuhan jika dibagikan.

Jadi mari mengenal diri kita sendiri di dalam Tuhan, melayani orang lain dengan bakat kita dapat kita lakukan dengan memberitakannya melalui media sosial.

3. Membaca lebih banyak, belajar lebih banyak

Mengetahui apa yang menjadi bakat kita saja tidaklah cukup, kita perlu terus berlatih dan belajar untuk memaksimalkannya menjadi lebih baik. Bisa dengan membaca buku, menonton video tutorial, dengan rendah hati mau belajar dari orang yang lebih berpengalaman, mengikuti kursus dan berbagai macam cara lainnya yang berkaitan dengan bakat dan minat kita itu.

Terkhusus jika kita ingin bersaksi di sosial media kita perlu belajar seperti bagaimana cara mengambil gambar dengan baik, mengedit foto, video, audio atau membuat desain tulisan menggunakan aplikasi di gawai kita masing-masing. Saat ini sudah ada banyak aplikasi di playstore yang dapat mendukung tampilan konten supaya lebih menarik.

Namun, tidak perlu menunggu menjadi profesional yang sempurna dalam membuat konten untuk memulai memberitakan kabar baik di sosial media. Langkah pertama perlu dilakukan, meski seringkali sulit. Kita akan diperhadapkan dengan rasa malu, kurang percaya diri, takut menerima kesan negatif dari orang lain, tapi jangan berkecil hati. Niat baik kita untuk memberitakan Injil akan senantiasa didukung oleh Allah. Mulailah saat ini dengan apa yang kita miliki sembari terus memperbaiki diri.

4. Tidak lupa menjadi berkat di dunia nyata

Craig Groeschel dalam bukunya #Struggles mengatakan bahwa “Hidup bukanlah tentang berapa banyak hitungan likes yang kamu dapatkan. Melainkan tentang seberapa banyak kasih yang kamu perlihatkan.” Dia juga menambahkan demikian “Mereka (followers kita di sosial media) takkan tahu kamu adalah murid-Nya dari berapa banyak followers-mu. Mereka takkan tahu kamu adalah murid-Nya dari berapa banyak hitungan likes yang kamu dapatkan. Mereka takkan tahu kamu adalah murid-Nya dari seberapa cepat kamu membalas email. Percaya atau tidak, mereka bahkan takkan tahu kamu adalah murid-Nya dari berapa banyak ayat Alkitab yang kamu posting. Tidak, mereka akan tahu kamu murid Yesus ketika mereka melihat kasih-Nya di dalammu lewat tindakan-tindakanmu.”

Jangan sampai keinginan kita untuk menjadi berkat di media sosial menghalangi hubungan kita dengan manusia di dunia nyata. Kita perlu hadir di tengah-tengah mereka sama seperti yang Yesus teladankan kepada kita. Dia Allah yang mau duduk dan makan bersama dengan orang-orang berdosa yang dipandang sebelah mata oleh dunia, yaitu kita. Menjalin hubungan dengan orang lain dan hadir dalam hidup mereka merupakan cara yang tidak akan pernah gagal untuk membangun Gereja.

Yang terpenting dari menjadi pemberita Injil di media sosial bukan seberapa banyak jumlah likes dan followers kita, tetapi apakah yang kita tuliskan di dunia maya juga kita lakukan di dunia nyata? Apa yang kita bagikan di dunia maya seharusnya selaras dengan sikap dan tindakan kita di kehidupan nyata, supaya kesaksian kita bukan kesaksian bohong atau munafik.

5. Memiliki fokus dan sikap hati yang benar

Ketika kita mulai menggunakan media sosial akan ada kemungkinan kita akan kecanduan. Memiliki hasrat untuk semakin terkenal, berpikir keras untuk memiliki banyak likes di setiap postingan, mendapatkan semakin banyak followers dan mungkin juga membandingkan diri dengan pengguna media sosial lainnya. Kita perlu berhati-hati karena manusia tidak ada yang kebal dengan dosa kesombongan dan iri hati.

Aku pun pernah mengalami kecanduan media sosial dan membandingkan diriku dengan orang lain. Tuhan menegurku dengan firman-Nya yang aku baca di Alkitab dan buku rohani. Ternyata untuk terus memiliki motivasi hati yang murni, kita perlu terus memelihara hubungan pribadi kita dengan Tuhan.

“Allah yang menciptakan segala sesuatu. Semuanya berasal dari Allah dan adalah untuk Allah. Terpujilah Allah untuk selama-lamanya! Amin.” Roma 11:36 (BIMK).

Dia terus bekerja membentuk karakter dan bakat kita hingga saat ini. Terkadang, Tuhan juga memakai orang lain untuk menegur kita. Diperlukan kerendahan hati untuk mau mengakui kesombongan dan motivasi kita yang salah. Tak mengapa kita sedang berproses bersama-sama, ketika menyadari kesalahan kita bisa segera bangkit dan bertobat. Akhir dari semuanya: kiranya hanya nama Tuhan saja yang dipermuliakan ketika kita menggunakan media sosial.

Baca Juga:

3 To-Do-List Saat Kita Melakukan Penginjilan

Memberitakan Injil adalah tugas semua orang percaya. Tapi, untuk melakukannya ada tiga hal yang harus kita siapkan lebih dulu.

Digitalkan Kabar Baikmu!

Oleh Cornelius Ferian Ardiano, Jakarta

Halo kawan,

Tahukah kamu tentang penyakit kanker? Kupikir semua orang tahu dengan salah satu penyakit paling mematikan ini. Sampai sekarang pun, belum ada obat kanker yang dapat 100% memulihkan semua orang yang terjangkit olehnya. Aku ingin mengajakmu membayangkan, jika semisal kita terkena penyakit tersebut dan kita sembuh total karena diberi “obat mujarab” oleh kerabat terdekat kita, dan kita sembuh total, menurutmu bagaimana perasaan kita? Tentu kita akan sangat bersukacita, dan besar kemungkinannya kita akan menceritakan pengalaman yang luar biasa ini ke kerabat-kerabat kita supaya mereka juga mendengar kabar baik tentang obat yang bisa menyembuhkan.

Berangkat dari ilustrasi di atas, aku ingin mengajakmu untuk merenungkan kembali sebuah ayat.

“Yesus mendekati mereka dan berkata: “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Matius 28:18-20).

Ayat tersebut bukanlah ayat yang asing buat kita.

Perintah Yesus untuk menjadikan segala bangsa murid-Nya sering kita dengar sebagai Amanat Agung. Seperti yang kita pahami bersama, setelah Yesus terangkat ke surga, murid-murid-Nya pergi ke segala penjuru dunia untuk mengabarkan Injil supaya setiap orang yang bahkan belum mendengar nama Kristus juga boleh menerima keselamatan. Menurutmu, apa sih yang membuat murid-murid Yesus bergairah untuk mewartakan Kabar Baik? Kita yang hidup di masa sekarang ini dapat mengenal Yesus pun karena pekerjaan murid-murid-Nya.

Murid-murid Yesus sangat mengenal pribadi-Nya. Pada zaman Yesus, kata murid yang dimaksud tidaklah seperti murid yang hadir di sekolah masa kini. Seorang murid pada waktu itu harus mengikut dan meniru gurunya. Mereka juga harus mengingat apa yang guru mereka sabdakan. Murid-murid Yesus bukanlah orang yang suci, akan tetapi karena pengenalan mereka kepada Kristus dan pengorbanan-Nya, mereka mengalami perubahan hidup yang signifikan dan hidup mereka pun berdampak. Mereka telah melihat sendiri mukjizat-mukjizat yang Yesus kerjakan selama di bumi, yang bagi orang lain mustahil untuk dikerjakan. Dan, mereka pun melihat bahwa pengorbanan Yesus memberikan obat yang paling mujarab untuk manusia, yakni pemulihan dari dosa dan jaminan akan kehidupan yang kekal.

Kembali ke ilustrasi yang kutuliskan di atas, ketika kita berada di posisi di mana sakit keras menimpa kita dan kita mendapatkan obat mujarab, tentu kita akan bergairah mewartakan kepada orang-orang akan obat itu. Kita punya tujuan agar orang-orang yang sakit itu pun bisa mengalami kesembuhan seperti kita.

Di masa sekarang ini, ada banyak banget loh cara-cara untuk mewartakan Kabar Baik. Salah satunya adalah lewat menulis di akun media sosial atau blog pribadi.

Aku mengalami lahir baru pada tahun 2014, ketika aku masuk di awal perkuliahan. Dulu, aku merasa hidupku baik-baik saja sampai aku sadar bahwa sebenarnya hidupku sangat jauh dari Kristus. Ketika aku dipulihkan dalam acara retreat, aku diminta untuk menuliskan kesaksianku di blog pelayanan mahasiswa dulu. Pada tahun 2016, Tuhan mengizinkanku untuk melakukan mission trip ke Kendari. Suatu waktu di sana, aku bertemu dengan seorang adik yang orang tuanya berbeda agama dan dia bingung untuk menetapkan ke mana dia mau menambatkan imannya. Saat aku mulai mewartakan Injil, adik ini pun bertanya, apakah benar aku yang menulis kesaksian mengenai lahir baru? Dia pun menunjukkanku website yang di dalamnya terdapat tulisanku. Aku diam seketika, aku sangat bersyukur bahwa yang kukira menulis kesaksian adalah hal percuma, ternyata itu bisa dipakai Tuhan untuk menjamah orang yang tidak pernah kupikirkan sekalipun.

Kawanku, apa yang kualami itu sungguh terjadi. Jika kamu merasa hidupmu sudah dipulihkan, banyak loh teman-teman kita yang mungkin terlihat baik, tetapi sebenarnya mereka sedang mencari-cari kebenaran.

Terlepas dari banyaknya konten negatif di Internet, kita bisa memeranginya dengan mewartakan Kabar Baik. Aku pribadi terus percaya bahwa tulisan-tulisan yang kita posting akan sangat berarti bagi mereka yang haus dan lapar akan pengenalan kepada Tuhan.

“Tetapi, bagaimana mereka dapat berseru kepada-Nya, jika mereka tidak percaya kepada Dia? Bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia, jika mereka tidak mendengar tentang Dia. Bagaimana mereka mendengarkan tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakan-Nya?” (Roma 10:14).

Ayo kita budayakan menulis untuk tujuan yang kekal. Teruslah berkarya lewat tulisan sebagai salah satu caramu melaksanakan Amanat Agung. Digitalkan Kabar Baikmu!

Baca Juga:

Apakah yang Kupercayai Sungguh Membuatku Berbeda?

Panggilan kita sejatinya begitu jelas: Orang Kristen harus berbeda karena apa yang kita percayai. Alkitab memanggil kita untuk menjadi pelita dan garam dunia (Matius 5:13-16). Jadi, tentu hidup kita dipanggil untuk membuat perbedaan yang mendasar dan kekal. Tapi, bagaimana?

Persahabatan di Era Digital: Erat di Dunia Maya, Renggang di Dunia Nyata

Persahabatan-Era-Digital-Erat-di-Dunia-Maya-Renggang-di-Dunia-Nyata

Oleh Michelle O.
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Friendship in Our Fast-Paced Society

Jika seandainya ada nominasi untuk kategori “teman terburuk”, mungkin akulah yang akan jadi pemenangnya. Seringkali aku terlalu asyik dalam bekerja hingga aku lupa kalau aku masih memiliki teman. Jari-jariku selalu sibuk membalas tiap-tiap pesan ataupun e-mail yang berkaitan dengan pekerjaan. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku sendiri hingga tidak lagi mempedulikan keberadaan teman-temanku. Padahal merekalah orang-orang yang selalu bersamaku bahkan dalam keadaan sukar sekalipun.

Sebenarnya, aku tahu bagaimana rasanya hidup tanpa memiliki teman. Ketika duduk di bangku SMA dulu aku menghabiskan waktuku tanpa pernah memiliki teman akrab. Tatkala aku pindah ke luar negeri, ke dalam sebuah budaya yang sepenuhnya baru, hari-hari kulewatkan dalam kesendirian. Pagi hari kuhabiskan dengan meminum teh seorang diri, kemudian ketika tiba waktunya makan siang, dengan segera aku akan menghabiskan makananku. Setelahnya, aku pergi ke perpustakaan dan menghabiskan waktu-waktuku bersama buku-buku.

Seiring berjalannya waktu, aku mulai menemukan teman-teman yang mewarnai kehidupanku. Ketika salah satu dari kami diwisuda, kami datang dan turut merayakan kelulusannya. Selain itu, ketika liburan musim panas tiba, kami menghabiskan waktu-waktu itu untuk pergi liburan bersama. Teman-temanku adalah teman yang setia, baik, dan penuh perhatian. Merekalah yang membuatku mampu mengecap rasa manis di tengah pahitnya kehidupan.

Bagaimana dengan kamu? Menurutmu, teman seperti apakah kamu? Apakah kamu hanya sekadar teman di Facebook yang mencurahkan perhatianmu lewat tombol “Like” di tiap-tiap postingan temanmu tapi tidak pernah menemui mereka secara langsung? Apakah kamu seorang yang amat sibuk dengan kehidupanmu sendiri hingga tak memiliki waktu untuk sekadar meluangkannya bersama teman-temanmu? Atau, apakah kamu tipe orang yang membutuhkan waktu tiga hari hanya untuk membalas pesan singkat dari temanmu? “Hei, maaf ya, aku sibuk banget. Keluargaku juga sedang berkunjung ke sini dan aku terus dikejar oleh deadline pekerjaan.”

Di tengah dunia yang bergerak amat cepat ini, banyak dari kita cenderung malas untuk menjaga relasi yang erat dan personal dengan teman-teman kita. Kita lebih memilih untuk mengecek Facebook atau menggeser timeline Instagram untuk melihat siapa saja yang makan di restoran populer, mengomentari pakaian yang dipakai orang lain, selera musik, ataupun cara mereka berdandan. Kita lupa bahwa teman-teman kita itu bukanlah sekadar status-status ataupun foto-foto yang terpampang di Facebook dan Instagram. Di balik keeksisan mereka di media sosial, bisa saja mereka merindukan seseorang meneleponnya, menanyakan kabarnya, atau mungkin mengundang untuk makan bersama.

Kita dirancang untuk hidup berteman; Alkitab mengatakan, “Berdua lebih baik dari pada seorang diri, karena mereka menerima upah yang baik dalam jerih payah mereka. Karena kalau mereka jatuh, yang seorang mengangkat temannya, tetapi wai orang yang jatuh, yang tidak mempunyai orang lain untuk mengangkatnya!” (Pengkhotbah 4:9-10). Ayat ini mengingatkanku akan seorang Pribadi yang jauh lebih dekat bahkan daripada saudara kita sendiri—Dialah Yesus.

Teman-teman kita di dunia bisa saja tidak setia, tetapi persahabatan dengan Yesus adalah persahabatan yang kekal dan memberkati kita. Kita bisa mengandalkan Dia sebagai penasihat, penghibur, penyembuh, dan penyedia kebutuhan kita. Dia juga berjanji untuk senantiasa bersama kita. “Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, janganlah takut dan jangan gemetar karena mereka, sebab TUHAN, Allahmu, Dialah yang berjalan menyertai engkau; Ia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau” (Ulangan 31:6).

Persahabatan dengan Yesus membuat kita dapat menyerahkan segala kekhawatiran kita kepada-Nya karena Dia peduli kepada kita (1 Petrus 5:7). Teman-teman kita di dunia bisa saja melukai hati kita, tapi kita dapat selalu bersandar kepada Tuhan yang mampu memulihkan hati kita, membalut luka-luka kita (Mazmur 147:3), dan menampung setiap tetes air mata kita dalam kirbat-Nya (Mazmur 56:9).

Bagaikan sekelompok sahabat yang dapat berkumpul dan berbagi mimpi serta harapan satu dengan lainnya, begitu pula persahabatan kita dengan Yesus. Kita dapat membawa tiap harapan kita kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Ia dapat memberikan apa yang diinginkan hati kita apabila kita bergembira karena-Nya (Mazmur 37:4).

Yesus tidak menjamin bahwa hidup bersama-Nya akan selalu indah, tapi kita bisa bersandar pada janji-Nya bahwa Dia akan selalu ada bersama kita sekalipun badai kehidupan menerpa. Seorang penulis dan pembicara dari Amerika yang bernama Gregg Levoy pernah berkata, “Yesus menjanjikan suatu hal kepada tiap pengikut-Nya, yaitu: ada sukacita tanpa batas dan keberanian dari rasa takut untuk menghadapi setiap masalah”

Jadi, ingatlah. Ketika kamu merasa kesepian dan berbeban berat, panggillah Yesus. Yesus adalah sahabat kita yang amat setia.

Baca Juga:

Ketika Instagram Menjadi Candu Bagiku

Akun Instagramku telah diretas. Aku tidak dapat lagi mengontrol foto-foto apa yang diunggah karena aku telah kehilangan kendali atas akun Instagramku. Peristiwa ini kemudian menyadarkanku yang selama ini telah menjadikan Instagram sebagai candu bagiku.