Posts

4 Pelajaran dari Tanah Liat

Oleh Shenny Sutanto, Surabaya

Sepanjang perjalanan hidupku aku telah belajar bagaimana proses menjadi sebuah bejana Tuhan yang selalu siap dibentuk, khususnya pada tahun 2022 ini. Saat fase hidupku berada di bawah, hal yang selalu kutayanyakan adalah, “Tuhan, Engkau ingin Shenny jadi apa? Apa tujuan hidup Shenny? Apa pun tujuan-Mu, bentuklah Shenny.” Aku rindu dibentuk Tuhan seperti tanah liat di tangan penjunannya.

Namun, kadang aku penasaran mengapa seringkali Alkitab menggunakan tanah liat sebagai perumpamaan. Setelah kuikuti kelas membuat tembikar, barulah aku paham bahwa perumpamaan manusia bagaikan tanah liat punya makna yang dalam.

1. Tanah liat tidak dibentuk asal-asalan, tetapi untuk suatu tujuan

Tanah liat adalah jenis tanah yang terbentuk dari proses pelapukan kerak bumi dan kita bisa menemukannya di sungai, danau, dan tempat lembab sejenisnya. Pada dasarnya tanah liat tidak berguna jika tidak ada orang yang memakainya untuk suatu tujuan. Umumnya tanah liat dipakai sebagai bahan baku pembuatan tembikar atau kerajinan, misal untuk membuat pot, piring, gelas, dan lain lain.

Begitu pula hidup kita sebagai tanah liat-Nya tentu memiliki tujuan yang spesifik, tapi kita sebagai manusia memiliki keterbatasan untuk memahami rencana-Nya. Namun, bukan hal yang mustahil juga bahwa kelak kita dapat memahami tujuan hidup kita seiring berjalannya waktu.

Kemarin, saat di kelas aku dan teman-temanku sudah punya tujuan mau dibentuk apa tanah liat yang kami pegang. Kami mau membuat gelas. Tujuan akhir kami sama, namun hasilnya beda-beda karena kami membuatnya manual menggunakan tangan, bukan mesin 3D modelling yang bisa menghasilkan bentuk yang sama. Allah memanggil kita untuk suatu tujuan: hidup di dalam-Nya dan memuliakan nama-Nya, namun dalam prosesnya kita semua diberikan karunia dan keunikan masing-masing.

Setelah selesai membuat gelas, kami membuat mangkok. Tapi, tak semua berhasil. Lucunya malah ada temanku yang hasil akhir kerajinannya lebih mirip tempat sambal daripada mangkok. Meski terkesan gagal, namun hal seperti itu ternyata wajar bagi para pengrajin tanah liat. Kadang bentuk akhirnya tidak sesuai dengan rencana awal, tetapi sang penjunan tidak kehabisan cara. Mereka dengan kreatif bisa menjadikan hasil kerajinannya tetap bermanfaat. Aku pun jadi teringat ayat dari Yeremia 18:4 yang berkata:

“Apabila bejana, yang sedang dibuatnya dari tanah liat di tangannya itu rusak, maka tukang periuk itu mengerjakannya kembali menjadi bejana lain menurut apa yang baik pada pemandangannya.”

Arti dari ayat ini bukan berarti ada dari kita yang rusak ketika dibentuk Allah, bukan begitu. Melalui ayat ini Yeremia sedang mewartakan bahwa kita ibarat tanah liat yang rusak dikarekan dosa. Tetapi, Allah berusaha memenuhi tujuan-Nya, bahkan setelah manusia jatuh dalam dosa. Allah tidak membuat kita yang telah rusak, tetapi membentuknya kembali agar sempurna.

2. Tanah liat membutuhkan air

Tanah liat berbeda dengan mainan plastisin atau malam yang bisa langsung kita bentuk. Tanah liat membutuhkan air. Di tahap awal aku membuat kerajinan, aku harus meneteskan beberapa tetes air ke atas tanah liat. Begitupun di tengah-tengah proses pembuatan. Kita harus menjaga agar tangan dan tanah liat kita basah namun tanah liatnya tidak boleh terlalu basah.

Ada kalanya hidup kita membuat kita meneteskan air mata. Tetapi, cobalah kita pandang dari sudut pandang tanah liat. Air mata dibutuhkan sebagai cara agar hati kita menjadi lunak, agar dapat dibentuk sesuai tujuan-Nya.

3. Tanah liat membutuhkan tekanan

Saat membuat kerajinan, aku menggunakan tanganku untuk menekan tanah liat dengan teknik-teknik yang diajarkan di kelas. Caraku menekan menentukan apakah hasil tanah liatku sesuai dengan tujuanku atau tidak.

Kata kakak yang mengajarkanku, tanah liat bisa ‘kaget’ kalau kita salah menekan atau berlebihan memberikan tekanan. Tanah liat akan penyok jika tekanannya cuma di satu sisi saja. Dibutuhkan tekanan dan teknik yang pas supaya hasil akhirnya baik.

Dalam hidup pun kita tak asing dengan tekanan. Kadang kita merasa tekanan yang diberikan itu berlebihan karena kita tak punya kekuatan yang cukup. Namun, jika kita percaya dan menyerahkan hidup kita di tangan-Nya maka kita pun perlu percaya bahwa Dia adalah seorang penjunan yang andal dalam mengerjakan tanah liatnya. Tuhan tahu tekanan yang pas untuk hidup kita, tidak kurang dan tidak lebih karena Dia tahu tujuan kita untuk apa.

4. Tanah liat membutuhkan waktu hingga menjadi berbentuk

Proses mengolah tanah liat jadi kerajinan itu kurang lebih butuh waktu selama dua jam, namun ternyata proses ini belum berakhir. Tanah liat yang telah aku bentuk masih harus aku diamkan selama satu bulan untuk proses pengeringan dan laminasi food-grade karena aku membuat alat makan.

Kurasa hidup kita pun seperti itu, tidak selesai setelah mendapatkan tekanan dan masalah. Setelah melewati fase tekanan dalam hidup, kita juga memerlukan waktu “pengeringan” atau tahap akhir. Entah itu waktu untuk kita memahami maksud dan tujuan dari tekanan yang ada atau waktu untuk makin mendekatkan diri kepada Tuhan.

Jika tanah liat membutuhkan satu bulan agar dapat dibilang prosesnya telah selesai, kita mungkin tidak tahu kapan fase terakhir ini akan selesai. Namun, yang pasti kita harus terus memperjuangkan iman kita sampai akhir hidup kita. Mungkin kita melakukan kesalahan, dan hidup kita pun menjadi seperti tanah liat yang rusak, tapi ingatlah selalu bahwa Tuhan adalah seorang penjunan handal. Dia selalu dapat membuat pecahan hidup kita menjadi berharga seperti seniman kinstugi, seniman yang khusus membuat karya dari keramik-keramik yang pecah.

Dari kelas kerajinan ini aku bersyukur Tuhan memberikan aku kesempatan untuk belajar membuat tanah liat, untukku melihat sisi kehidupan dari perspektif yang lain. Bukan suatu kebetulan manusia diibaratkan sebagai tanah liat. Memiliki hati yang mau dibentuk oleh Tuhan juga berarti perlu kesiapan hati untuk melewati semua proses pembentukannya hingga akhir hidup kita.

Tuhan Yesus memberkati.