Posts

Kita gak akan bertambah dewasa kalau…

Sobat Muda, kalau ada di antaramu yang memilki kebiasaan seperti 5 hal di atas, bukan berarti kamu gak bisa berubah.

Ketika kita sungguh-sungguh menyesal akan kesalahan atau kebiasaan buruk kita, bawalah itu kepada Allah. Mintalah hati yang baru (Yehezkiel 36:26). Dia kita tidak akan menolak hati yang rindu untuk diubahkan (Mazmur 51:11-12).

Sudah siapkah kamu untuk Tuhan perbarui? 🙂

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Masih Muda Bukan Alasan untuk Hidup Asal-Asalan

Oleh Jenni

Malam itu, lagi-lagi rasa sesak muncul di ulu hatiku. Sesak yang disertai sakit itu menyengat bagian dada hingga tembus ke punggung. Aku pun membetulkan posisi tidurku. Kutumpuk bantal agar posisi badan setengah duduk. Selagi berbaring, aku mengingat-ingat makanan dan minuman apa saja yang aku konsumsi tadi.

Oh ya! Tadi aku minum segelas susu bubuk. Hanya karena segelas susu, maagku kambuh. Sakit ini sebenarnya bisa dicegah seandainya dulu aku lebih menjaga kesehatan.

Saat itu aku kelas lima SD, masa di mana aku senang jajan. Tak peduli sehat dan bersih makanannya, asal nikmat maka aku akan menyantapnya. Tak jarang juga kucampurkan bumbu pedas sesuka hati.. Setiap ketahuan oleh ayahku, ia akan menegur dan mengatakan bahwa itu tidak baik untuk kesehatan. Namun, aku mengabaikannya dan melanjutkan kebiasaan itu.

Tahun-tahun berlalu, tak terasa kini aku sudah bekerja. Keadaan di sekelilingku sedikit demi sedikit mulai berubah, tapi kebiasaan makanku tidak ada yang berubah, malah semakin buruk. Apalagi saat itu aku sudah memiliki penghasilan.

Bagaikan bermain game, tingkat pedas yang kusuka semakin bertambah. Yang biasanya satu sendok sudah kewalahan, sekarang dua sendok baru terasa pedas. Dan aku tidak berhenti mengonsumsi makanan seperti itu, bahkan diluar sepengetahuan orang tuaku. Hingga tubuhku mulai memberikan alarm.

Saat itu aku sedang menjalani kursus menggambar. Tiba-tiba kurasakan sakit di kepala dan di dada, namun aku mengabaikannya dan terus melanjutkan kebiasaan buruk itu. Ditambah lagi aku sering begadang untuk mengerjakan tugas atau latihan. Dengan semua yang kulakukan itu, tubuhku tidak bisa lagi bertahan.

Suatu malam setelah bermain, aku mulai merasa tidak enak badan. Aku ke toilet terus menerus dengan sakit di perut yang luar biasa. Aku merasa bahwa asam lambungku naik, bahkan aku sampai tidak bisa menelan makanan atau minuman, termasuk obat. Aku pun dilarikan ke rumah sakit oleh orang tuaku. Dan ketika dokter memeriksa, dokter bilang kalau aku harus rawat inap.

Aku tidak pernah menyangka kalau aku harus dirawat. Saat itu yang menjagaku di rumah sakit adalah orang tuaku. Selama satu minggu dirawat, orang tuaku selalu bolak-balik rumah sakit untuk menjagaku, terlebih ibu. Belum lagi ibu harus mengurus urusan rumah tangga. Dan karena ketidakpedulianku dalam kesehatan tubuh, ibuku harus repot dan lelah menjagaku yang masih muda dengan tubuh yang tidak berdaya.

Selain itu, sebagian pekerjaanku di kantor pun terbengkalai. Aku bersyukur kala itu ada rekan kerja yang menyempatkan waktu untuk back-up pekerjaanku di sela padatnya pekerjaan di kantor. Namun, tetap saja ada perasaan tidak enak. Aku merasa menyusahkan rekanku karena kejadian ini.

Huft.. Betapa orang sekitarku menjadi susah karena ketidakpedulianku dalam menjaga kesehatan tubuh sendiri.

Tidak hanya orang sekitar yang kubuat susah, aku juga membuat diriku kesusahan, bahkan aku merugikan diri sendiri.

Setelah dirawat dan diperiksa, banyak catatan dari dokter yang harus aku perhatikan ke depannya. Yang pertama, pantangan pun jadi banyak. Aku tidak bisa mengonsumsi makanan dan minuman sebebas dulu lagi. Kedua, tidak ada lagi kegiatan sampai tengah malam. Aku tidak boleh bergadang dan harus memiliki jam tidur yang teratur. Hal ini karena tubuhku sudah tidak sekuat dulu lagi. Ada batasan-batasan di mana tubuhku harus beristirahat. Jadi, mau tak mau aku harus menjalani pola hidup yang baru.

Rasanya sulit memulai pola hidup baru. Aku melepas kebiasaan-kebiasaan burukku dan melakukan hal yang terasa asing dan aneh bagiku. Walaupun sulit, tapi harus kulakukan untuk memelihara kesehatan tubuhku. Aku tidak mau lagi merasakan sakit yang luar biasa itu dan menyusahkan keluarga serta orang sekitar. Di samping itu, harus kuakui bahwa pola hidup baru itu memberikan hal-hal baik. Sakit kepala dan sesak dada yang dulu sering muncul kini hilang. Caraku memandang makanan pun jadi berbeda. Jika dulu aku suka menikmati makanan/jajanan sembarangan, kini aku heran kenapa dulu aku bisa menikmati makanan itu.

Meskipun perubahan telah kulakukan, tetapi tetap ada konsekuensi dari kelalaianku dulu. Tubuhku tak sekuat dulu lagi. Sekadar segelas susu atau jus jeruk saja mudah meningkatkan asam lambungku. Tak jarang juga saat maagku kambuh, kegiatanku pun terganggu. Kadang aku berpikir, masih usia 27 tahun tapi kondisi tubuh sudah seperti ini. Sungguh, setelah mengalami ini semua, barulah aku sadar bahwa kesehatan adalah anugerah yang harus dipelihara..

Pada suatu hari, saat sedang membaca Alkitab, aku sampai di Daniel 1:8-17. Daniel dan kawan-kawannya memilih untuk tidak menajiskan diri dengan makanan dan anggur raja, dan mereka memilih mengonsumsi sayur dan air. Hasilnya, fisik mereka lebih sehat dan kuat. Tuhan pun mengaruniakan kasih sayang melalui pemimpin pegawai istana, juga pengetahuan dan kepandaian pada mereka.

Andaikan saja dulu aku lebih dengar-dengaran dan tidak membiarkan diri dikuasai nafsu, mungkin kejadian jatuh sakitku bisa dicegah.

1 Korintus 6:12 mengatakan: “Segala sesuatu halal bagiku, tetapi bukan semuanya berguna. Segala sesuatu halal bagiku, tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh suatu apa pun.”

Semasa remaja memang tidak mudah bagiku untuk menekan keinginan. Namun, tak ada hal baik yang dihasilkan dari dikuasai nafsu. Akibatnya akan muncul di masa depan. Bukan hanya diri sendiri yang menanggung dampak buruknya, tapi orang sekitar kita juga dapat terkena imbasnya.

Memiliki tubuh yang sehat akan sangat menguntungkan kita. Berbagai hal baik dan produktif bisa kita lakukan. Seandainya aku bisa bertemu diriku di masa remaja dulu, aku mau berpesan buatku juga buat semua orang: sedari muda, jagalah kesehatan dan pergunakanlah kebebasan dengan baik.

Bukankah dengan mengusahakan pola hidup sehat itu menunjukkan bahwa kita mengasihi Allah? Tubuh adalah bait Roh Kudus. Ketika kita memelihara kesehatan, maka kita mempersembahkan tubuh ini bagi kemuliaan nama-Nya.

3 Hal yang Kupelajari Tentang Hidup untuk Saat Ini

Oleh Vika Vernanda, Bekasi

“Umur 25 udah bisa apa?” merupakan pembahasan yang cukup ramai dibahas di sosial media akhir-akhir ini. Ada sekelompok orang yang sudah berhasil mengumpulkan uang milyaran rupiah, membeli rumah, kuliah di luar negeri, atau lainnya. Namun, ada kelompok lain yang merasa relate dengan lirik lagu “Takut” oleh Idgitaf : Takut tambah dewasa, Takut aku kecewa, Takut tak seindah yang kukira..

Aku adalah bagian dari keduanya: terus bertanya “udah bisa apa dan mau apa lagi?”, namun juga yang terus merasa takut kecewa.

Orang-orang terdekatku mengenalku sebagai sosok yang ambisius. Banyak keinginan dan mimpi yang kuperjuangkan dengan keras. Satu tercapai, aku mengejar yang lain, begitu seterusnya. Dalam upaya mengejar berbagai hal tersebut, aku sangat takut kecewa dan selalu memikirkan kemungkinan terburuk. Akibatnya, aku jadi tidak bisa menikmati anugerah Tuhan saat ini. Ketakutanku akan kekecewaan ini juga diperparah oleh berbagai pengalaman masa lalu yang seringkali membuatku berpikir, “kalau seperti itu lagi, nanti akan bagaimana?”

Pemikiran-pemikiran tersebut terus menerus menghantuiku, sehingga aku memilih mendiskusikan hal ini dengan dua orang kakak rohaniku, sebut saja kakak A dan kakak B. Mereka berdua memberi saran kepadaku untuk “hidup untuk saat ini” saja, yang sebenarnya aku tidak terlalu mengerti apa maksudnya dan bagaimana caranya. Kakak B kemudian mengenalkanku pada sebuah buku yang mengulas tentang Kitab Pengkhotbah yang berjudul Living Life Backward.

Lewat diskusi dengan kedua kakak rohaniku dan pembahasan Kitab Pengkhotbah dalam buku Living Life Backward, berikut 3 hal yang kupelajari tentang hidup untuk saat ini:

1. Upaya menggenggam kebahagiaan masa depan adalah sia-sia

Tujuan utamaku ketika mengejar keinginan atau mimpi adalah agar aku bisa menikmati masa depan. Melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, mengejar karier yang lebih baik, semuanya demi menggenggam masa depan yang bahagia. Namun, bagaimana dengan masa kini? Apakah kebahagiaan hanya bisa kunikmati ketika aku sudah berhasil menggenggam masa depan?

Kitab Pengkhotbah 1:1 menyatakan bahwa segala sesuatu adalah sia-sia. Terjemahan Ibrani dari kata “sia-sia” ini adalah hebel, yang secara literal artinya uap. Upaya menggenggam uap justru mempercepat hilangnya uap tersebut, sehingga upaya menggenggamnya membuat kita tidak bisa menikmatinya.

Bagian ini mengingatkanku bahwa upaya meraih kebahagiaan masa depan lewat ambisi-ambisi yang ada justru membuatku tidak bisa hidup untuk saat ini. Padahal ada banyak alasan yang membuatku bisa memilih untuk bahagia hari ini, seperti waktu berbincang dengan orang terkasih, pekerjaan dan kehidupan yang layak, serta waktu istirahat yang cukup.

Jadi, apakah ini berarti kita tidak boleh menyiapkan masa depan? Atau, haruskah kita hidup dengan prinsip gimana nanti aja?

Jawabannya: mempersiapkan masa depan tidaklah salah. Justru itu adalah langkah bijaksana, yang menolong kita untuk tidak serampangan dalam menghidupi hari-hari kita saat ini. Namun, apabila dalam upaya kita memikirkan masa depan itu membuat kita khawatir berlebihan dan meragukan penyertaan Allah, di sinilah letak permasalahannya. Padahal, Yesus menyatakan bahwa hidup setiap kita dijamin oleh-Nya, sebagaimana burung pipit di udara yang dipelihara-Nya (Matius 6:26). Rasa khawatir tidak memberikan manfaat apa pun, malahan itu membuat pandangan kita menjadi kabur akan banyak hal indah yang sejatinya bisa kita nikmati setiap hari.

Mari belajar untuk bahagia hari ini tanpa perlu risau memastikan kebahagiaan masa depan berada dalam genggaman, karena untuk segala sesuatu ada masanya (Pengkhotbah 3:1).

2. Ketakutan akan masa depan adalah kesia-siaan

Aku sangat takut untuk kecewa. Sangat sulit bagiku berhadapan dengan perasaan kecewa. Hal ini selalu membuatku menyusun berbagai skenario terburuk untuk setiap hal yang akan kupilih dengan tujuan mempersiapkan diriku untuk tidak terlalu kecewa. Meski terlihat berlawanan dengan poin 1, hal ini juga merupakan upayaku untuk menggenggam kebahagiaan. Namun caranya adalah bukan dengan langsung mengejarnya, melainkan menghindari kekecewaan. Ketakutan berlebihan tentang masa depan lagi-lagi membuatku tidak bisa menikmati saat ini. Padahal, untuk segala sesuatu ada masanya.

Ketakutan akan masa depan adalah kesia-siaan. Kakak A memberikanku sebuah trik untuk belajar melepaskan ketakutan ini, yaitu untuk berhenti memikirkan “what if” dan menggantinya dengan “what is”. Pikirkan berbagai hal yang terjadi saat ini, bukan masa depan.

Untukku yang biasa memikirkan berbagai kemungkinan terburuk, hal ini sangat sulit. Salah satu langkah awal yang akan kulakukan adalah memberikan proporsi untuk setiap kemungkinan yang kubuat dan menyertakan kemungkinan baik juga dalam pertimbangannya. Memahami hal ini membuatku sadar bahwa memang selalu ada kemungkinan untuk kecewa, tapi banyak juga kemungkinan baik yang bisa terjadi, dan ini menolongku untuk bisa menikmati saat ini. Hal ini sejalan dengan buku Living Life Backward yang mengajak kita untuk belajar memegang sesuatu dengan tangan terbuka, karena kita benar-benar hanya memiliki kendali atas satu hal, yaitu respon kita terhadap saat ini.

3. Kehidupan ini akan berakhir

Akhir dari kehidupan manusia di dunia ini adalah kematian. Semua hal yang kita alami dalam dunia ini suatu saat akan berakhir. Mengetahui dan memahami bahwa kehidupan akan berakhir mengubah perspektif kita untuk menjalani kehidupan saat ini.

David Gibson dalam buku Living Life Backward mengatakan bahwa pemahaman tentang hidup akan berakhir dapat menolong kita memiliki hati yang besar dan tangan yang terbuka, dan memungkinkan kita untuk menikmati semua hal kecil dalam hidup dengan cara yang sangat mendalam.

Mempelajari ketiga hal tersebut membuatku belajar memandang ambisi dan ketakutanku dengan cara yang baru. Perjuangan meraih mimpi bukan lagi sebuah upaya untuk menggenggam masa depan, dan ketakutan menghadapi kekecewaan masa depan harus segera kusampingkan. Bagianku adalah hidup untuk saat ini, yaitu dengan menikmati setiap keindahan dan rasa sakitnya, dengan tetap berpengharapan pada hari akhir kelak.

Mari hidup untuk saat ini dengan menyadari bahwa kehidupan adalah pemberian Tuhan, dan menjalaninya dengan hati yang besar serta tangan yang terbuka, sehingga pada akhirnya kita bisa menjadi bagian dari orang-orang yang mengatakan bahwa hidup kita adalah a life well lived.

Bagaimana Usia 20-an Mengajariku Cara Pandang Baru untuk Menjalin Relasi

Oleh Winnie Little, Selandia Baru
Artikel asli dalam bahasa Inggris: What My 20s taught Me About Relationships

Ketika aku memasuki usia 21 tahun—angka yang dianggap sebagai tahun pencapaian di banyak budaya—aku merasa yakin kalau aku sudah punya cukup kemampuan dan kedewasaan untuk menjalani kehidupan. Aku tinggal bersama dua kawan dekatku di kota yang indah. Kami menghabiskan kebanyakan waktu kami untuk belajar, mengobrol, dan jalan-jalan bareng. Sebentar lagi aku akan melanjutkan studi di program pasca sarjana. Masa depan yang cerah menanti di depanku.

Aku pun pulang ke kota asalku dan melanjutkan studi pasca sarjanaku di sana. Namun, aku jadi berpisah dengan teman-temanku dekatku di perantauan dulu. Dan, yang menyebalkan adalah: setelah bertahun-tahun hidup mandiri, aku merasa benci tinggal di rumah. Dengan segera jadwal kuliah yang super padat menghancurkan kepercayaan diri yang telah kubangun. Masalah-masalah datang silih berganti: kekhawatiran akan keuanganku, kesepian, dan relasiku dengan keluargaku yang tegang. Masalah-masalah ini terus ada sampai hampir sepuluh tahun. Kendati ada masa-masa sulit yang kulalui, ada pula beberapa pelajaran berharga yang mengubah hidupku yang bisa kupelajari.

Inilah beberapa pelajaran tersebut:

1. Bangun relasimu

Jelang akhir kuliahku, aku tinggal bersama sembilan mahasiswi lain. Satu di antara mereka sangat ramah dan selalu mengobrol denganku setiap kali aku pulang kuliah malam. Kami sama-sama Kristen dan punya selera humor yang sama pula. Aku menyayangi dia dan bersyukur karena kami bisa jadi kawan karib. Namun, aku sering khawatir setiap kali mulai mengerjakan tesis sehingga tiap pembicaraan singkat dengan temanku itu selalu terasa menyenangkan. Aku berusaha terhubung dengannya di liburan semesteran, tapi seringkali aku menunda untuk menghubunginya sampai akhirnya proses kuliah berjalan lagi. Aku terlanjur jadi sibuk lagi.

Di musim panas, aku mendapat kabar bahwa temanku itu telah meninggal dunia. Aku kaget setengah mati ketika menyadari aku tak akan lagi bisa berjumpa dengannya, berdoa bersama, atau sekadar mengirimkan kata-kata penguatan buatnya. Aku dipenuhi penyesalan, seharusnya aku bisa memanfaatkan libur di jeda semester untuk bertemu dan membangun relasi dengannya.

Dalam 1 Petrus 4:7-8, Petrus menulis: “Kesudahan segala sesuatu sudah dekat. Karena itu kuasailah dirimu dan jadilah tenang, supaya kamu dapat berdoa. Tetapi yang terutama: kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain, sebab kasih menutupi banyak sekali dosa.” Meski aku sudah tahu ayat ini, aku sekarang lebih menyadari betapa keluarga, teman-teman, dan rekan sekerja kita di bumi punya waktu yang terbatas untuk bersama-sama dengan kita. Oleh karenanya, aku secara aktif berusaha mencari kesempatan untuk berbuat baik pada mereka. Aku berusaha mengingat tanggal-tanggal penting. Dan, walau otakku pelupa, Google Calendar tidak. Aku meluangkan waktuku bersama teman-teman yang mengajakku untuk mengobrol bersama. Meskipun dulu aku suka menolak jika diajak bertemu karena aku tak suka aktivitas yang dilakukan, sekarang aku melihat ajakan itu sebagai waktu-waktu berharga yang bisa kunikmati bersama.

2. Jangan mudah tersinggung

Di awal-awal usia 20-anku, aku sering mengeluhkan para staf pelayan yang sering mengecewakanku. CS dari maskapai penerbangan yang kutelepon nada suaranya menjengkelkan. Penata rias yang produknya kubeli menolakku untuk menukar produknya. Operator internetku tak bisa menjelaskan kenapa aku diminta membayar padahal koneksiku saja terputus.

Aku pernah marah karena aku menganggap orang-orang yang kuhubungi tersebut kasar dan tidak solutif. Perbuatan mereka menunjukkan sikap tak jujur dan tak peduli. Aku menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengomel ke teman-temanku tentang orang-orang tersebut.

Tapi setelah aku bekerja di rumah sakit selama beberapa tahun, aku mengubah caraku menghadapi marah dan rasa tersinggung. Dalam pekerjaanku, aku melihat bagaimana penyakit fisik sering pula membawa ketakutan, kesakitan, ketergantungan, dan beban finansial yang berat bagi pasien dan keluarga mereka. Aku melihat bagaimana orang-orang seperti ini tetap harus menjalani rutinitas, bekerja, dan berinteraksi dengan dunia meskipun mereka tengah mengalami beban berat dan kepedihan hati. Aku menyadari bahwa orang-orang yang bersikap kasar kepadaku mungkin saja tengah menghadapi penderitaan yang tak dapat kupahami.

Alkitab secara jelas menegaskan agar kita berjalan dalam kasih dan tidak mudah marah (1 Korintus 13:5). Kita juga diminta untuk sabar dan mengampuni (Kolose 3:13). Hari-hari ini, ketika tindakan seseorang melukaiku, aku akan berhenti sejenak dan berpikir positif, “Mungkin mereka tak bermaksud begitu.” atau, “Mungkin mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”

Berpikir positif tersebut menolongku untuk mempraktikkan belas kasih, yang adalah penawar yang ampuh atas rasa marah. Hidup jadi lebih menyenangkan tanpa memendam amarah dan rasa sakit hati.

3. Belajar untuk berkata “tidak”

Aku termasuk kategori people-pleaser, ingin menyenangkan semua orang. Aku takut kalau menolak ajakan atau permohonan akan membuat orang lain berpikir aku malas dan egois, jadi aku pun mengiyakan hampir semuanya. Aku pernah menjadi relawan di banyak pelayanan gereja sampai-sampai aku merasa tak ada lagi waktu untuk beristirahat. Aku memberi uang lebih besar daripada pendapatanku untuk lembaga-lembaga amal. Aku jarang mengungkapkan pendapatku di kelompok. Di satu sisi, aku mengambil pekerjaan paruh waktu di samping pekerjaan utamaku karena aku tidak ingin menyinggung orang lain dengan menolak ajakan untuk memberi. Hari-hariku jadi terasa mencekik dan membosankan karena semua waktu luangku dihabiskan untuk melakukan aktivitas yang menguras tenaga.

1 Korintus 12 memberi tahu kita bahwa sebagai anggota tubuh Kristus, setiap kita punya karunia yang berbeda. Paulus menekankan perbedaan-perbedaan ini dengan memberi analogi bagian-bagian tubuh kita. “Andaikata tubuh seluruhnya adalah mata, di manakah pendengaran? Andaikata seluruhnya adalah telinga, di manakah penciuman?” Dengan kata lain, Tuhan menciptakan kita dengan karunia tertentu untuk suatu tujuan. Rencana Tuhan adalah setiap karunia yang diberikan-Nya pada kita bisa digunakan untuk “kebaikan bersama” (1 Korintus 12:7). Aku dapat melayani seturut karunia yang Tuhan sudah berikan. Berusaha menjadi orang lain dan mengingkari diri sendiri tidak akan memberi kebaikan bagi orang lain.

Sekarang aku belajar untuk menolak dengan halus ketika diminta untuk melakukan sesuatu yang tidak tepat buatku. Melalui pertolongan dari seorang konselor, aku belajar pula untuk membuat keputusan yang lebih baik: Apakah aku punya kemampuan, semangat, atau peran tertentu? Apakah ada komitmen lain yang telah kubuat? Aku juga belajar untuk menunda menjawab suatu keputusan supaya aku punya waktu lebih untuk memikirkannya.

4. Pikirkan ulang caramu menolong orang lain

Seperti poin sebelumnya, aku sering berusaha untuk menyenangkan orang lain. Aku berusaha untuk memperbaiki masalah orang lain. Kupikir aku sedang melakukan tugasku sebagai orang Kristen yang dipanggil untuk saling menanggung beban (Galatia 6:2).

Suatu ketika, seorang temanku curhat tentang relasi dengan pacarnya yang membuat dia menderita. Kata-kata dan perbuatan pacarnya itu melukai hatinya dan membuat dia jadi rendah diri. Aku menyarankan dia untuk ikut konseling, memberinya daftar artikel bertopik relasi, dan berkata lebih baik jika dia putus saja. Tapi, betapa stresnya aku ketika semua saran itu tidak dilakukan dan dia selalu kembali curhat dengan masalah yang sama.

Momen itu membuatku menyadari bahwa aku gagal untuk membedakan apakah temanku itu butuh sekadar nasihat atau pertolongan. Aku tak pernah menyadari bahwa Paulus mengimbangi nasihatnya untuk saling menanggung beban dengan pernyataan lain dari Galatia 6:5, “Sebab tiap-tiap orang akan memikul tanggungannya sendiri.” Dengan naifnya aku berasumsi bahwa aku bisa membuat masalah yang rumit hilang dalam sekejap, padahal masalah teman-temanku adalah tanggung jawab dari pilihan yang telah mereka buat. Dan, jika yang sejatinya diinginkan oleh temanku hanyalah seseorang yang mau mendengarkan ceritanya, mungkin nasihat-nasihat yang kuberikan terasa sangat merendahkan mereka.

Ada banyak cara untuk saling menanggung beban orang lain tanpa menjadikan masalah mereka sebagai masalah kita pribadi. Kata-kata yang baik dapat menggembirakan hati (Amsal 12:25). Kita juga dapat menangis dengan mereka yang menangis (Roma 12:15). Hari-hari ini, aku belajar untuk mendengar dengan seksama dan bertanya secara spesifik apa yang sebenarnya mereka butuhkan. Aku berdoa agar mereka dikuatkan; dan aku menahan lidahku untuk tidak berkomentar atas masalah mereka. Aku belajar pula untuk sabar saat mendengar, dan berdamai dengan ketidakberdayaanku untuk mengatasi semua masalah teman-temanku. Tuhan sanggup dan mampu bekerja seturut waktu-Nya.

Itulah pembelajaran yang kudapat di usia 20-anku. Secara garis besar, aku telah belajar untuk bersukacita atas relasiku dengan orang-orang di sekitarku, lebih bermurah hati, menanggapi dengan sukacita, dan menyadari keterbatasanku. Kuharap tulisan ini menolongmu untuk menapaki jalan hidupmu di depan.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Bersukacita Karena Persekutuan Injil

Sukacita terbesar dalam melayani seseorang adalah bukan hanya ketika mereka mengetahui tentang Tuhan, tetapi ketika melihat mereka mengalami pertumbuhan di dalam pengenalan dan kasih mereka kepada Tuhan.