Posts

Untuk Kamu yang Sedang Berbeban Berat

Ditulis oleh Carol Lerh
Gambar oleh Emilia Ting

Kami mungkin tidak tahu apa yang harus kami katakan atau ungkapkan bahwa kami sungguh peduli kepadamu, tapi kami tahu bahwa Tuhan mampu menghiburmu dan Dia ada bersamamu. Melalui firman-Nya, Dia berbicara kepada aku dan kamu. Kiranya kamu dikuatkan oleh janji-janji-Nya.

5 Hal yang Bisa Kamu Lakukan Ketika Temanmu Mengalami Gangguan Kejiwaan

Oleh Karen Kwek, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When You Find Out Your Friend Has A Mental Illness

Aku dan Simone* adalah teman saat kuliah di Inggris bertahun-tahun yang lalu. Simone merupakan seorang yang pintar dan populer dengan selera humor yang sarkastik. Di samping itu, bila dilihat sekilas, Simone sepertinya adalah seorang wanita yang memiliki segalanya: dia punya iman Kristen yang kuat, teman-teman dekat, prestasi akademik yang gemilang, juga kesempatan besar untuk melanjutkan studi tentang musik di jenjang pasca-sarjana. Sebagai wakil dari Outdoor Activites Club di kampus kami, Simone selalu penuh dengan ide-ide ambisius untuk mengisi perjalanan akhir pekannya. Dia suka aktivitas menaklukkan puncak gunung, hiking melalui hutan, menyisiri pantai, atau mengikuti pertandingan mendayung di musim panas.

Namun, hal itu berubah ketika kami berada di tingkat akhir masa kuliah, ketika aku, Simone, dan dua perempuan Inggris lainnya tinggal bersama di sebuah apartemen yang dikhususkan bagi mahasiswa. Di situlah aku mulai melihat sisi lain dari seorang Simone. Kami semua tahu bahwa Simone memiliki kesulitan tidur, tetapi biasanya aku hanya bertemu dengannya di ruang makan atau saat pertemuan kelompok saja. Aku tidak pernah memperhatikan bahwa Simone adalah seorang yang cepat lelah dan penyendiri.

Suatu malam, kami sangat terkejut dan khawatir karena Simone mengunci dirinya di kamar mandi dan menangis sejadi-jadinya. Tapi, keesokan harinya, Simone nampak baik-baik saja dan menjalani harinya seperti biasa. Kejadian serupa sempat terulang kembali beberapa kali. Namun, karena kami semua sedang menghadapi ujian yang cukup membuat stres, kupikir inilah alasan di balik perilaku Simone yang tidak biasa tersebut. Aku sering begadang untuk belajar bersama Simone, dan kami juga berdoa bersama saat dia merasa stres. Saat Minggu pagi, kami beribadah di gereja bersama-sama. Di musim panas tahun itu, akhirnya kami pun lulus dan melanjutkan studi kami ke program S-2 di universitas yang berbeda—Simone pergi ke Prancis, sedangkan aku ke Amerika Serikat.

Mungkin kamu jadi bertanya-tanya: bagaimana bisa kisah Simone ini dikatakan sebagai gangguan kejiwaan? Atau mungkin, seperti aku sebelumnya, kamu berpikir bahwa pengalaman Simone tersebut tidak cukup membuktikan bahwa dia pantas untuk mendapatkan label sebagai seorang yang memiliki gangguan kejiwaan.

Tapi, faktanya adalah isu tentang gangguan kejiwaan saat ini jauh lebih umum terjadi dibandingkan dengan apa yang kita pikirkan. Di negaraku (Singapura), sebuah studi pada tahun 2010 mengungkapkan bahwa 1 dari 8 orang di Singapura menderita gangguan kejiwaan. Sedangkan di Amerika Serikat, pada tahun 2016 secara angka jumlahnya adalah 1 dari 6 orang, dengan prevalensi tertinggi (22,1%) di antara orang-orang muda (usia 18-25 tahun). Menurut data dari World Health Organization (WHO), pada tahun 2017 terdapat lebih dari 300 juta oarng, atau 4,4% dari populasi global menderita depresi.

Selain depresi dan kecemasan sebagai bentuk paling umum dari gangguan kejiwaan dalam skala global, banyak juga yang menderita kondisi mental yang kompleks, termasuk Autism Spectrum Disorder (AS), Attention Deficit and Hyperactivity (ADHD), dan epilepsi.

Aku tidak menuliskan ini berdasarkan pandangan menyeluruh dari seorang yang profesional di bidang kesehatan. Tetapi, aku menuliskannya dari sudut pandangku sebagai orang beriman yang tidak luput dari kekurangan, yang juga mengetahui kesulitan yang dialami oleh beberapa temanku. Sebagai seorang yang juga pernah mengalami depresi dan kecemasan, menurutku tidak ada perbedaan antara “kita” dan “mereka”.

Setiap kita pasti pernah mengalami pergumulan hidup yang sedikit banyak memberi dampak terhadap kesehatan kejiwaan kita; yang membedakannya hanya tingkatannya. Aku menceritakan kisah Simone di sini karena dialah yang pertama kali membantuku memahami situasi ini dengan lebih baik, serta mengajarkanku untuk bagaimana menjadi teman sekaligus saudari yang lebih baik dalam Kristus.

Jika kamu memiliki teman yang memiliki masalah kesehatan kejiwaan, inilah beberapa langkah yang bisa kamu ambil untuk membantunya.

1. Berempati dan dukung dia untuk meminta bantuan bila diperlukan

Jantung berdebar-debar, panik, mual, muntah, tangisan yang berlebihan, perilaku berisiko ekstrem, kekerasan, melukai diri sendiri—perilaku psikis dan fisik ini bisa jadi dipicu oleh stres, kecemasan berlebih, dan bentuk penyakit kejiwaan.

Temanmu mungkin saja sedang melalui proses penyesuaian diri yang sementara terhadap kehilangan atau trauma. Jika demikian, dengan kamu ada di sampingnya sebagai teman untuk berbicara dan berbagi, kamu dapat membantunya meringankan bebannya. Mungkin, memang inilah yang temanmu perlukan.

Namun, apabila masalahnya lebih serius atau kronis (terjadi berulang kali), sarankan dia untuk meminta bantuan dari seorang pendeta, konselor, atau dokter. Beberapa orang seringkali merasa malu untuk menceritakan tentang gejala yang mereka alami, seperti mendengar “suara-suara”, berhalusinasi, rasa ketakutan yang berlebihan atau paranoid, rasa ingin bunuh diri, atau pikiran seperti seorang pembunuh.

Kehadiranmu itu sangat penting karena biasanya ada sebuah stigma sosial yang sering disematkan kepada orang yang menderita gangguan kejiwaan, termasuk di dalam lingkungan orang Kristen sendiri. Orang yang mengalami kondisi gangguan kejiwaan merasa takut akan sesuatu yang tidak kita mengerti. Oleh sebab itu, biasanya mereka dikucilkan dari relasi. Akibatnya, mereka tidak dapat menikmati relasi layaknya orang “normal”, baik itu di rumah, kantor, dan gereja. Mereka biasanya tidak dihiraukan saat bersenda gurau, dibiarkan dalam rasa malu, atau didiamkan saja, dan juga dianggap sebagai orang lain.

Jadi, apabila temanmu sudah terbuka kepadamu tentang kesehatan jiwanya, ketahuilah bahwa inilah tanda dia mempercayaimu. Sangat mungkin apabila selama ini dia merasa sendirian dan disalahpahami, atau mungkin dia merasakan hal ini di masa lalu.

Simone, temanku itu bertahan seorang diri dan menyimpan pergumulannya selama lebih dari 10 tahun sebelum masa-masa suram itu semakin sering terjadi dan dia berusaha mengakhiri hidupnya berulang kali. Pacarnya (yang sekarang telah menjadi suaminya) yakin bahwa ada sesuatu yang sangat salah, dan kemudian membawanya untuk mencari bantuan. Pada tahun 2015, dia didiagnosis mengidap gangguan bipolar. Diagnosis ini membantu keluarga dan teman-teman Simone untuk sedikit lebih mengerti tentang apa yang Simone telah alami semenjak masa remaja.

2. Hindari menjejali temanmu dengan ayat-ayat Alkitab saat itu juga dan membuat asumsi tentang kondisi kejiwaannya

Meskipun Simone sudah didiagnosis dan kemungkinan besar dicap sebagai pasien gangguan kejiwaan oleh sebagian orang, bagiku dia tetaplah Simone yang selalu menjadi temanku. Dukungan ini sangat berarti bagi Simone.

Walaupun cap tersebut sebenarnya tidak mendefinisikan temanmu, cobalah mengerti sebanyak mungkin yang bisa kamu mengerti tentang isu kesehatan jiwa temanmu secara spesifik karena tidak semua kondisi itu sama. Mintalah temanmu untuk mendeskripsikan apa yang dia hadapi. Bacalah bacaan-bacaan yang relevan yang dipublikasikan oleh institusi-institusi yang mendukung tentang kesehatan kejiwaan.

Mitos yang paling menghancurkan adalah pernyataan yang berkata: hanya orang lemah yang memiliki gangguan kesehatan kejiwaan; masalah ini seharusnya bisa diselesaikan begitu saja; ini adalah hukuman yang pantas didapatkan oleh dia; imannya tidak cukup kuat sih; atau, orang yang dewasa secara rohani pasti tidak akan mengalami gangguan kejiwaan, atau pasti selalu bisa sembuh.

Gangguan kejiwaan biasanya disebabkan oleh faktor yang kompleks antara genetik, biologis, psikologis, dan lingkungan yang saling mempengaruhi. Dalam banyak kasus yang kronis, bahkan penyebabnya tidak diketahui. Gejala-gejala psikologis juga dapat terjadi secara tidak menentu, seolah-olah tubuh mengabaikan instruksi dari otak dan bekerja di luar kendali. Kamu harus peka. Ketika berbagi ayat-ayat Alkitab dengan temanmu yang sedang mengalami gangguan kejiwaan, jangan sampai itu sampai mengecilkan hati atau bahkan menyakitinya seakan-akan dia adalah seorang yang tidak taat atau tidak beriman!

Simone menderita gangguan bipolar, yaitu sebuah gangguan yang disebabkan oleh ketidakseimbangan unsur-unsur kimia yang berada di dalam otaknya. Ketika dia sedang ceria, pikirannya menjadi tidak stabil dan tidak realistis—“tidak teratur, terserak ke mana-mana”, begitulah dia menyebutnya. Yang lebih sering daripada itu adalah keputusasaannya. Selama masa-masa ini, Simone dapat mengingat bacaan-bacaan Alkitab tentang bersukacita dan menemukan pertolongan di dalam Tuhan. Tapi, semua itu terasa hampa. Simone tidak dapat merasakan emosi positif ataupun benar-benar berdoa selain memohon kepada Tuhan untuk mengakhiri hidupnya saja karena dia merasa sangat terkucilkan dari segalanya. Simone juga pernah tiba-tiba mengalami ketakutan yang membuatnya tidak berdaya, jantungnya berdegup kencang, sesak nafas, menangis, bahkan ketika dia sedang bersenang-senang dengan teman-temannya.

3. Tawarkan persaudaraan dan harapan Kristiani

Kalau kamu berpikir seperti yang kupikirkan, kamu mungkin akan menimbang ulang untuk terlibat membantu temanmu. Bukan karena kamu tidak peduli, tetapi mungkin karena kamu khawatir akan membuat masalah menjadi semakin kacau. Namun, Simone meyakinkanku: “Menunjukkan kasih dan kepedulian tidak akan membuat keadaan jadi lebih buruk.”

Galatia 6:2 berkata: “Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.” Hukum Kristus adalah kasih kepada Tuhan dan sesama. Jadi, kita diajarkan bagaimana mengasihi sesama secara konkrit. Penanggung beban yang utama adalah Yesus Kristus sendiri, yang telah menanggung dosa-dosa kita dan mati supaya kita dapat hidup (Galatia 2:20).

Simone diberikan resep obat yang mengandung lithium untuk menyeimbangkan unsur-unsur kimia di otaknya. Simone juga diajarkan untuk tidak mengizinkan suara-suara negatif di pikirannya mengalahkan kebenaran bahwa sesungguhnya dia dikasihi dan diselamatkan oleh Tuhan. Namun, tetap saja Simone menemukan kesulitan untuk bersosialisasi saat dia tengah mengalami depresi dan khawatir apabila dia tidak dapat memenuhi kebutuhan orang lain, ataupun tidak dapat berbagi kebahagiaan.

Namun, ketika Simone dapat menerima persaudaraan dari kami, dia menemukan dukungan yang besar di dalam cinta kasih, kepedulian, dan komunitas Kristen. Menjejalkan ayat-ayat Alkitab tanpa disertai hikmat sama saja seperti menghakimi dan tidak mengasihi sama sekali. Sebaliknya, firman Tuhan yang dibagikan dalam konteks kepedulian dan dipelajari bersama-sama dalam kelompok pendalaman Alkitab (PA) telah menjadi penyelamat Simone. Melalui hal ini, Simone diajarkan dan diingatkan bahwa di kekekalan nanti, dia tidak hanya disembuhkan, melainkan akan dibaharui.

Pada kenyataannya, kehancuran pikiran Simone sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kehancuran yang umum terjadi pada diri kita, para pendosa. Ketika Simone jatuh ke dalam keputusasaan yang mendalam, harapan yang menolongku ternyata juga menolongnya; itu adalah suatu kepastian dari warisan yang takkan pernah mati, rusak, ataupun pudar, karena telah dimenangkan oleh Yesus (1 Petrus 1:3-7). Betapa berharganya pengertian bahwa pemberian ini disimpan di surga bagi setiap kita, dan bahwa kekuatan Tuhan menjaga kita melalui iman kita, bahkan ketika kesedihan yang kita alami saat ini sangat hebat! Ketika Yesus kembali, kepercayaan kita di dalam Dia terbukti semakin kuat karena kita telah menderita, dan ini akan semakin memuliakan Tuhan.

4. Perhatikan dirimu

Jika kamu adalah satu-satunya orang yang mendampingi temanmu, cobalah meminta beberapa teman yang dapat dipercaya untuk mendampinginya juga. Kamu sendiri perlu beristirahat secara fisik dan kamu juga perlu waktu untuk terus memperkuat relasimu dengan Tuhan. Ingatlah bahwa satu-satunya harapan temanmu adalah di dalam Tuhan, maka peranmu haruslah merefleksikan kasih-Nya dan membawa temanmu kepada-Nya. Jika kamu mencoba menjadi seorang yang memiliki jawaban atas segalanya atau membuat temanmu terlalu bergantung kepadamu, ini bukanlah solusi yang terbaik untuk jangka panjang.

5. Berdoalah untuk dan dengan temanmu

Terkadang Simone merasa terlalu sedih untuk berdoa. Tapi, dia tentu memiliki Roh Kudus bersamanya di saat-saat sulit sekalipun. Apakah kami berdoa supaya Tuhan menyembuhkan gangguan bipolarnya? Tentu saja! Tetapi, mungkin Tuhan tidak memilih untuk melakukannya saat ini juga, dan mungkin kita tidak akan mengerti alasan-Nya seumur hidup kita. Walaupun begitu, kami tahu bahwa Kristus telah memberikan arti hidup, tujuan hidup, dan harapan bagi Simone, bahkan ketika Simone hidup dengan gangguan kejiwaan. Dengan pengobatan dan dukungan dari teman-temannya, Simone kini dapat kembali pada pekerjaannya, yaitu menjadi seorang guru musik.

Hidup selalu penuh dengan suka dan duka bagi kita semua, namun yang pasti, kita sangat diberkati karena kita dapat mengimani dan mengatakan seperti yang Petrus tuliskan dalam suratnya di 1 Petrus 1:3-7:

Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, yang karena rahmat-Nya yang besar telah melahirkan kita kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati, kepada suatu hidup yang penuh pengharapan, untuk menerima suatu bagian yang tidak dapat binasa, yang tidak dapat cemar dan yang tidak dapat layu, yang tersimpan di sorga bagi kamu. Yaitu kamu, yang dipelihara dalam kekuatan Allah karena imanmu sementara kamu menantikan keselamatan yang telah tersedia untuk dinyatakan pada zaman akhir. Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan. Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu—yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api—sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya.

*Bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Apa Pemberian Terbaik yang Bisa Kamu Berikan pada Seseorang?

Menurutmu, apa pemberian terbaik yang bisa kamu berikan kepada seseorang?

Tidak Ada yang Sia-Sia

Senin, 12 Juni 2017

Tidak Ada yang Sia-Sia

Baca: 1 Korintus 15:42-58

15:42 Demikianlah pula halnya dengan kebangkitan orang mati. Ditaburkan dalam kebinasaan, dibangkitkan dalam ketidakbinasaan.

15:43 Ditaburkan dalam kehinaan, dibangkitkan dalam kemuliaan. Ditaburkan dalam kelemahan, dibangkitkan dalam kekuatan.

15:44 Yang ditaburkan adalah tubuh alamiah, yang dibangkitkan adalah tubuh rohaniah. Jika ada tubuh alamiah, maka ada pula tubuh rohaniah.

15:45 Seperti ada tertulis: “Manusia pertama, Adam menjadi makhluk yang hidup”, tetapi Adam yang akhir menjadi roh yang menghidupkan.

15:46 Tetapi yang mula-mula datang bukanlah yang rohaniah, tetapi yang alamiah; kemudian barulah datang yang rohaniah.

15:47 Manusia pertama berasal dari debu tanah dan bersifat jasmani, manusia kedua berasal dari sorga.

15:48 Makhluk-makhluk alamiah sama dengan dia yang berasal dari debu tanah dan makhluk-makhluk sorgawi sama dengan Dia yang berasal dari sorga.

15:49 Sama seperti kita telah memakai rupa dari yang alamiah, demikian pula kita akan memakai rupa dari yang sorgawi.

15:50 Saudara-saudara, inilah yang hendak kukatakan kepadamu, yaitu bahwa daging dan darah tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Allah dan bahwa yang binasa tidak mendapat bagian dalam apa yang tidak binasa.

15:51 Sesungguhnya aku menyatakan kepadamu suatu rahasia: kita tidak akan mati semuanya, tetapi kita semuanya akan diubah,

15:52 dalam sekejap mata, pada waktu bunyi nafiri yang terakhir. Sebab nafiri akan berbunyi dan orang-orang mati akan dibangkitkan dalam keadaan yang tidak dapat binasa dan kita semua akan diubah.

15:53 Karena yang dapat binasa ini harus mengenakan yang tidak dapat binasa, dan yang dapat mati ini harus mengenakan yang tidak dapat mati.

15:54 Dan sesudah yang dapat binasa ini mengenakan yang tidak dapat binasa dan yang dapat mati ini mengenakan yang tidak dapat mati, maka akan genaplah firman Tuhan yang tertulis: “Maut telah ditelan dalam kemenangan.

15:55 Hai maut di manakah kemenanganmu? Hai maut, di manakah sengatmu?”

15:56 Sengat maut ialah dosa dan kuasa dosa ialah hukum Taurat.

15:57 Tetapi syukur kepada Allah, yang telah memberikan kepada kita kemenangan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita.

15:58 Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia.

Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia. —1 Korintus 15:58

Tidak Ada yang Sia-Sia

Sudah tiga tahun saya bergumul dengan perasaan putus asa dan depresi karena penyakit kronis yang membatasi gerak-gerik saya. Saya pun mencurahkan isi hati saya kepada seorang teman, “Tubuhku sangat rapuh, dan aku merasa tidak lagi punya sesuatu yang berharga untuk kuberikan kepada Allah atau kepada siapa pun.” Ia pun meletakkan tangannya di atas tangan saya. “Apakah maksudmu tak ada gunanya aku menyapamu dengan senyuman dan mendengarkanmu? Apakah maksudmu tidak ada gunanya aku mendoakanmu dan mencoba untuk menghiburmu?”

Saya pun tertunduk malu. “Tentu saja bukan itu maksudku.”

Sambil mengerutkan kening, ia kembali berkata, “Lalu kenapa kamu mengucapkan semua kebohongan itu pada dirimu sendiri? Kamu sendiri sudah melakukan semua itu bagiku dan juga bagi orang lain.”

Saya bersyukur kepada Allah karena telah mengingatkan saya bahwa apa pun yang kita lakukan untuk-Nya, tidak ada satu pun yang sia-sia.

Di 1 Korintus 15, Paulus meyakinkan kita bahwa tubuh kita yang sekarang lemah ini kelak akan “dibangkitkan dalam kekuatan” (ay.43). Karena Allah berjanji bahwa kita akan dibangkitkan bersama Kristus, kita dapat mempercayai bahwa Dia akan memakai setiap persembahan dan hal kecil yang kita lakukan bagi-Nya untuk memberikan pengaruh dalam Kerajaan Allah (ay.58).

Meski terbatas secara jasmani, setiap senyuman, dorongan, doa, atau ungkapan iman yang kita nyatakan di tengah pergumulan dapat dipakai Allah untuk memberkati sesama anggota tubuh Kristus yang beraneka ragam dan saling membutuhkan. Dalam pelayanan kepada Tuhan, tidak ada karya atau kasih kita yang sia-sia. —Xochitl Dixon

Yesus, terima kasih Engkau menghargai kami dan mau memakai kami untuk membangun sesama.

Lakukan yang terbaik dengan apa yang kamu punya, lalu serahkanlah hasilnya kepada Allah.

Bacaan Alkitab Setahun: Ezra 3-5 dan Yohanes 20

Jangan Melompat, Masih Ada Harapan!

jangan-melompat-masih-ada-harapan

Oleh Leslie Koh, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Please Don’t Jump, There’s Hope

Hari itu, aku baru saja bersiap akan berangkat kerja ketika seorang polisi datang dan mengetuk pintu kamar apartemenku. “Permisi, apakah kamu mengenal seorang wanita tua yang tinggal di lantai ini?”

Di belakang tempat polisi itu berdiri, ada sebuah kursi yang berada persis di sebelah pagar pembatas apartemen. Setahuku, kursi itu bukanlah kursi milik tetanggaku. Saat aku mengamati keadaan, aku melihat beberapa polisi telah hadir dan mereka membentangkan garis pembatas di sepanjang koridor lantai apartemenku. Melihat peristiwa itu, rasanya tidak sulit bagiku untuk menebak apa yang sedang terjadi. Di tahun-tahun yang lalu, apartemen tempat tinggalku adalah tempat yang populer untuk orang-orang bunuh diri karena dulu jarang ada gedung lain yang setinggi apartemenku.

“Sebenarnya, kebanyakan penghuni apartemen di sini sudah lansia,” jawabku kepada polisi. Kemudian aku teringat akan tetangga di sebelahku. Kulirikkan mataku ke arah jendelanya yang hanya berjarak 60 sentimeter dari tempatku berdiri. Melihat mataku terarah ke jendela, polisi itu pun mengikuti apa yang kulakukan, kemudian dia mengangguk dan berkata, “Tetanggamu ada di dalam kamarnya.” Aku pun merasa lega.

Kemudian, aku jadi teringat lagi tentang tetanggaku yang lain. Seorang yang tinggal beberapa kamar dari tempatku sebenarnya sedang mengalami depresi berat karena cacat yang dialaminya. Aku melirik ke arah kamarnya dan melihat pintu telah terbuka. Polisi-polisi yang datang terus menyusuri koridor dan mengetuk setiap pintu-pintu kamar. Aku melihat bayangan tangan tetanggaku itu, dan hatiku pun lega karena aku tahu dia sedang baik-baik saja.

Polisi yang berbicara denganku tadi kemudian bertanya kepadaku apakah aku keberatan untuk melihat foto wajah wanita tua itu. Dia ingin mengetahui apakah aku mengenal wanita itu atau tidak, namun setelah aku melihat fotonya, ternyata aku tidak mengenalnya sama sekali.

Wanita tua itu mungkin tidak tinggal di apartemen ini. Mungkin saja dia tinggal di apartemen lain, dan sepertinya dia sudah merencanakan tindakan bunuh diri. Kursi yang kulihat itu mungkin saja adalah kursi yang dia bawa sendiri ke lantai 10 di gedung apartemenku, kemudian, di ujung koridor yang sepi ini dia memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan melompat. Apartemenku adalah wilayah yang paling sepi di daerah ini, sehingga aksi bunuh diri yang dilakukan wanita itu tidak terelakkan karena tidak ada orang lain yang melihatnya.

Tidak ada lagi yang bisa kulakukan untuk membantu polisi itu. Aku pun melangkah keluar kamar dan pergi bekerja. Tapi, aku sempat melirik sejenak pagar pembatas itu. Tepat 10 lantai di bawah pagar, aku dapat melihat jenazah sang wanita tua itu tergeletak dan telah dibungkus dengan kain.

Aku berpamitan dengan polisi itu, berjalan melewati garis pembatas dan bergegas menuju lift. Sambil melangkah keluar, aku merasakan kesedihan di hati. Aku tidak mengenal siapa wanita tua itu, namun aku merasakan kesedihan mendalam. Tidaklah sulit untuk menebak alasan mengapa di apartemen yang banyak dihuni lansia ini ada seorang wanita tua memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan melompat.

Mungkin dia hidup sebatang kara dan tak memiliki keluarga. Atau, jika dia memiliki keluarga, mungkin saja tidak tidak akrab dan merasa terbuang. Mungkin dia mengidap penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Mungkin dia merasa bahwa tidak ada lagi alasan baginya untuk terus hidup. Hidup tanpa kasih, tanpa tujuan, hanya ada rasa kesepian dan hidup yang hampa. Tidak ada lagi yang tersisa selain dari rasa putus asa.

Tidak ada lagi alasan untuk terus hidup. Tidak ada harapan.

Memilih kematian seolah menjadi satu-satunya jalan keluar. Satu-satunya sumber kelegaan.

Kalau saja aku dan istriku ada di luar kamar saat wanita tua itu hendak bunuh diri, maka bisa saja kami menghentikan aksi nekatnya itu. Jika saja ada seseorang yang memiliki kesempatan untuk memberitahu wanita itu: Jangan melompat! Harapan masih ada.

Harapan. Terkadang hanya harapanlah yang menjadi satu-satunya alasan bagi seseorang untuk terus melanjutkan hidupnya.

Ketika kamu kehilangan segalanya, dan seolah tidak ada masa depan lagi dalam hidupmu. Ketika semua hal tidak berjalan baik, dan juga seakan tidak mungkin membaik.

Apakah yang akan menghentikan kita untuk memilih jalan pintas? Apakah yang akan menghentikan kita untuk pergi ke lantai tertinggi sebuah gedung atau meminum obat sampai over dosis?

Harapan. Harapan bahwa suatu saat, entah bagaimana caranya, sesuatu akan membaik. Ada harapan di tengah rasa kesepian, ada seseorang di luar sana yang masih peduli kepada kita dan berkata, “Kamu sangat berarti bagiku. Jangan pergi, aku membutuhkanmu di dalam hidupku.” Masih ada harapan, sekalipun itu di tengah rasa keputusasaan. Seseorang akan datang mengulurkan tangannya, memberikan sebuah pelukan dan ia berkata, “Jangan khawatir, karena aku ada bersamamu. Aku akan berjalan bersamamu.”

Hanya ada satu Pribadi yang dapat memberikan kita harapan. Hanya ada satu Pribadi yang berjanji kepada kita bahwa Dia akan selalu ada di setiap langkah kita. Hanya ada satu Pribadi yang dapat memegang janji itu, karena Dia selalu bersedia mendengarkan kita. Hanya ada satu Pribadi yang tidak akan pernah mengecewakan kita. Hanya ada satu Pribadi yang dapat berkata kepada kita dengan penuh kepastian, “Jangan khawatir, Aku memiliki kuasa. Aku tahu bagaimana keadaanmu, dan Aku tahu apa yang harus diperbuat. Aku tahu apa yang kamu butuhkan.”

Pribadi itu adalah Yesus. Dia pernah hidup sebagai manusia biasa, Dia sangat tahu apa yang sesungguhnya kita rasakan. Kesedihan, kesepian, keputusasaan yang kita rasakan. Sebagai Anak Allah, Dia memiliki kuasa ilahi untuk mengatasi tiap situasi yang kita hadapi. Dia mengetahui bagaimana cara mendukung dan menghibur kita, dan Dia dapat memberikannya bagi kita.

Sebagian dari kita mungkin masih tetap harus menghadapi situasi yang sulit, namun kita memiliki sebuah jaminan pasti bahwa Dia akan berjalan bersama kita setiap hari, setiap jam, setiap menit. Dan yang paling penting di atas semuanya adalah, kita dapat terus melanjutkan hidup ini karena kita tahu Yesus mengasihi kita. Bagi Yesus, aku begitu berharga hingga Dia rela mati untuk menyelamatkanku. Dia memiliki tujuan untukku. Dia menempatkanku di dunia untuk suatu alasan. Dia mau aku hidup bagi-Nya.

Ketika seolah tidak ada lagi alasan untuk tetap hidup, ketika kita telah kehilangan segalanya, kita masih memiliki satu hal. Yesus memberi kita harapan. Harapan untuk hidup. Harapan untuk tetap percaya.

Jika saat ini kamu merasa putus asa, jika kamu ingin menyerah di dalam hidup ini, jika kamu telah mengambil sebuah kursi dan berjalan menuju lantai tertinggi, berhentilah. Aku mohon, berhentilah. Masih ada satu Pribadi yang mengasihimu. Yesus teramat sangat mengasihimu.

Baca Juga:

Mengapa Mission Trip Tidak Selalu jadi Program yang Tepat?

Pernahkah kamu mengikuti mission trip yang diadakan oleh gerejamu? Pada kenyataannya, kegiatan perjalanan misi yang nampak menyenangkan ini tidak selalu berjalan sebagaimana mestinya. Mengapa demikian?

Aku Mengalami Depresi dan Inilah yang Aku Ingin Kamu Tahu

aku-mengalami-depresi-dan-inilah-yang-aku-ingin-kamu-tahu

Oleh Wendy W.
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Have Depression and This Is What I Want You to Know

Aku tidak pernah terpikir bahwa aku akan mengalami depresi. Aku pikir hanya orang lain saja yang mengalami depresi. Bahkan ketika seorang teman dekatku berjuang melawan depresi beberapa tahun lalu, aku tak dapat memahami kesulitan yang dia hadapi. Aku menganggap itu hanyalah sebuah titik bawah kehidupan yang dialami oleh beberapa orang dan pada akhirnya mereka akan lepas daripadanya, jika saja mereka berusaha cukup keras.

Depresi adalah sebuah konsep yang asing bagiku, dan “depresi” adalah sebuah kata yang biasa aku gunakan secara gampang saja ketika aku merasa sedih. Aku tidak mengerti apa itu depresi—sampai ketika aku mengalaminya.

Berdasarkan Studi Kesehatan Mental Singapura yang diadakan tahun 2010, depresi klinis (major depressive disorder) menjadi penyakit mental yang paling umum ditemui. Satu dari 17 orang di Singapura pernah menderita depresi klinis pada satu waktu di dalam hidup mereka.

Membaca statistik atau cerita tentang masalah kesehatan mental adalah sebuah hal; namun mengalami dan hidup dengan masalah kesehatan mental tersebut adalah sebuah hal yang berbeda.

Bagiku, depresi adalah sebuah awan hitam yang menggantung di atas kepalaku, sebuah rasa dingin yang masuk ke dalam hatiku, sebuah tudung yang menutupi penglihatanku. Depresi adalah hari-hari yang bergerak dengan lambat, malam-malam yang penuh dengan air mata dan pikiran yang tak terbendung. Depresi adalah amukan terhadap keluargaku, namun di saat yang sama juga berpura-pura berlaku seakan aku baik-baik saja di sekolah, gereja, dan di luar rumah. Depresi adalah menangis tersedu-sedu di satu waktu dan tidak merasa apa-apa di waktu yang lain. Depresi adalah merasa diriku telah menjadi lebih baik di satu hari, dan merasa diriku benar-benar hancur keesokan harinya.

Tiga bulan telah berlalu sejak aku menemukan bahwa apa yang sedang kualami saat ini ternyata mempunyai sebuah nama.

Aku mengalami depresi, dan inilah yang aku ingin kamu tahu.

1. Tidak ada yang salah dengan apa yang kamu rasakan

Ada begitu banyak stigma tentang kelainan mental yang membuatku merasa bingung dan bersalah ketika merasakan perasaan depresi ini. Bukankah orang Kristen seharusnya senang setiap waktu? Jika aku mengalami depresi, apakah itu berarti aku telah melakukan kesalahan? Apakah mengalami depresi adalah semacam dosa?

Sebuah artikel yang kutemukan di Christianity Today mengatakan: “Meskipun masalah spiritual—seperti kebiasaan berdosa atau dosa yang tidak diakui, kurangnya iman, atau, dalam kasus-kasus yang langka, serangan Iblis—dapat memicu depresi, hal-hal itu seringkali adalah akibat dari depresi, bukan penyebabnya.”

Jangan salahkan dirimu karena mengalami depresi, karena itu bukanlah kesalahanmu. Apa yang kamu sedang alami adalah sebuah penyakit mental yang mungkin berasal dari banyak kemungkinan sebab, seperti kelemahan genetik, momen-momen luar biasa dalam hidup, masalah personal, atau penyakit. Sama seperti kamu tidak akan menyalahkan masalah spiritual sebagai penyebab kamu menjadi demam atau mengalami patah kaki, kamu juga tidak seharusnya langsung berasumsi hal yang sama untuk masalah depresi atau penyakit mental lainnya.

Dalam kasusku, depresi yang kualami dipicu oleh sebuah pengalaman yang pernah aku lalui.

Namun, jika kamu merasa depresimu diakibatkan oleh masalah spiritual, bicaralah dengan pendetamu atau dengan seorang konselor Kristen.

2. Percayalah bahwa Allah selalu besertamu dan peduli denganmu

Ada banyak malam ketika aku merasa sendirian dan begitu malang. Ada banyak kali ketika kesedihan yang kurasakan terlalu berat untuk dapat kutanggung, dan sekilas pikiran tentang kematian melintas di pikiranku. Aku merasa seperti aku sedang menyia-nyiakan hidupku, seperti hidupku telah kehilangan warnanya dan tidak ada hal lain yang dapat kupegang.

Beberapa minggu lalu, seorang pengkhotbah di gerejaku mengatakan sebuah kalimat dalam khotbahnya yang menancap di kepalaku, dan yang telah memberikanku banyak penghiburan: Allah beserta kita dan peduli dengan kita.

Bahkan meskipun kamu merasa segalanya seakan tidak ada gunanya saat ini, percayalah bahwa Allah selalu berdaulat, mahatahu, berkuasa, bermurah hati, menyayangi, mengasihi, dan baik.

Depresi tak dapat memisahkanmu dari kasih Allah, meskipun kamu tak merasakan kasih itu (Roma 8:38-39). Meskipun malam-malam terasa panjang dan penuh dengan ratapan, ingatlah bahwa sukacita akan datang di pagi hari (Mazmur 30:6). Dia adalah Bapa segala rahmat dan Allah segala penghiburan, yang menghibur kita dalam segala penderitaan kita (2 Korintus 1:3).

Allah ingin menolongmu. Dia ada di sisimu dalam perjuanganmu. Dia membuatmu bertahan dan memberimu kekuatan. Yang kamu perlu lakukan hanyalah memanggil nama-Nya dan mendekat kepada-Nya.

Sebuah cara untuk mengingat kebenaran yang berharga tentang Allah ini adalah dengan mengingatkan dirimu setiap hari tentang kebenaran-kebenaran tersebut—bahkan lebih sering ketika kamu sedang menghadapi perang terhadap pikiran dan perasaan depresi.

3. Datanglah kepada-Nya di dalam doa, penyembahan, dan firman-Nya

Datang kepada Tuhan dapat menjadi sebuah hal yang sulit, khususnya ketika derajat depresi yang kamu alami begitu berat sampai-sampai membuka Alkitab atau mengucapkan doa terasa seperti sebuah pekerjaan. Aku tahu, karena aku merasa seperti itu—dan kadang masih seperti itu.

Kesalahanku adalah karena aku bepaling kepada hal-hal lain yang lebih rendah untuk menghibur diriku, yang hanya akan menyembuhkan mati rasaku untuk sementara waktu tanpa benar-benar mengisi lubang yang menganga di hatiku.

Namun Tuhan akan melakukan hal-hal yang luar biasa ketika kita memilih untuk berpaling kepada-Nya. Firman-Nya telah menghiburku begitu luar biasa saat ini—terutama kitab Mazmur, yang biasanya begitu membosankan bagiku. Tapi kini, di tengah air mataku, aku akhirnya dapat berempati dengan para pemazmur yang menuliskan mazmur mereka ketika mereka sedang berada di tengah penderitaan yang hebat atau ada di ujung kematian. Ada banyak mazmur yang menceritakan penderitaan para pemazmur, bagaimana mereka memalingkan pandangan mereka kepada Tuhan, mengingat kasih setia-Nya dan kasih-Nya yang kokoh, dan ditolong oleh tangan-Nya yang berkuasa (Mazmur 23, 30, 31, 62, 143).

Aku menuliskan ayat-ayat yang Tuhan pakai untuk mengatakan tentang damai ke dalam hatiku. Ayat-ayat itu melebihi segala pengertian, dan akan senantiasa kubawa dan kubaca dengan keras kepada diriku sendiri ketika aku mulai merasa depresi. Aku juga mendengarkan lagu-lagu penyembahan yang berpusat pada Kristus sebagai dasar bagiku. Secara khusus aku berterima kasih kepada album dari musisi Kristen Amerika bernama Steffany Gretzinger, The Undoing, yang berbicara kepadaku dengan banyak cara.

Diperlukan usaha untuk melihat ke luar dan ke atas kepada Tuhan. Tapi hanya Tuhan saja yang dapat memberikan kita kedamaian dan penghiburan yang kita cari dan butuhkan.

4. Ceritakan kepada seseorang yang dapat menolongmu

Pada awalnya, aku tidak dapat menceritakan apa yang sebenarnya kurasakan atau sedang kuhadapi. Semua yang aku tahu adalah aku menangis tanpa sebab yang jelas, selalu meratap, melalui sebuah kesedihan yang dalam dan tidak pernah pergi. Aku selalu dekat dengan keluargaku, khususnya orang tuaku, tapi aku tidak dapat dan tidak tahu bagaimana menceritakan apa yang terjadi pada diriku.

Aku pun pergi dan menceritakannya kepada teman-teman dekatku, seorang mentor di gereja dan bibiku, kepada mereka yang berdoa bersama denganku. Ada masa-masa di mana aku bereaksi dengan buruk dan Tuhan memakai saudari-saudariku ini untuk membagikan ayat-ayat Alkitab denganku, sebuah lagu atau kata-kata yang menguatkan yang aku butuhkan saat itu.

Akhirnya, aku mulai menemui seorang konselor Kristen. Selama dua bulan terakhir, dia telah membantuku melalui berbagai masalah yang memicu depresiku.

Penting bagimu untuk menemui teman-teman dan kerabat yang dapat dipercaya yang dapat mendukungmu di saat yang kamu butuhkan. Jika perlu, kamu juga mungkin dapat mempertimbangkan bertemu dengan seorang konselor Kristen atau dengan seorang dokter jika kamu terus mengalami depresi. Aku tahu betapa menakutkannya untuk memberitahu orang-orang yang kamu kasihi, dan untuk memulai pertemuan dengan seorang profesional, tapi aku bersyukur karena aku melakukannya. Karena tanpa dukungan mereka, aku tahu aku masih berada di tempat yang sangat buruk.

Sejak saat itu, dalam kebaikan dan kesetiaan Tuhan, Dia telah mengangkat kabut dari depresiku, sedikit demi sedikit. Dalam masa-masa yang sulit dan gelap, Dia telah menjadi cahayaku, kekuatanku, dan nyanyianku. Dia telah menempatkan orang-orang di dalam hidupku yang menunjukkan kasih Kristus kepadaku melalui penguatan, dukungan, dan doa-doa mereka. Dan yang terpenting, dalam proses tersebut Dia membuatku melihat lebih dalam tentang siapa diri-Nya, dan dengan halus berjanji kepadaku bahwa “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.” (Roma 8:28).

Untuk itu, aku berterima kasih kepada-Nya.

Aku ingin kamu tahu bahwa kamu tidak pernah dan takkan pernah sendirian. Kamu dikasihi sebagai seorang anak Allah, yang telah, sedang, dan selalu bersama denganmu dan peduli kepadamu. Beristirahatlah dan tenanglah di dalam kasih-Nya, saudara-saudariku yang terkasih.

Ke mana aku dapat pergi menjauhi roh-Mu,
ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu?
Jika aku mendaki ke langit, Engkau di sana;
jika aku menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, di situpun Engkau.
Jika aku terbang dengan sayap fajar,
dan membuat kediaman di ujung laut,
juga di sana tangan-Mu akan menuntun aku,
dan tangan kanan-Mu memegang aku.
Jika aku berkata: “Biarlah kegelapan saja melingkupi aku,
dan terang sekelilingku menjadi malam,”
maka kegelapanpun tidak menggelapkan bagi-Mu,
dan malam menjadi terang seperti siang;
kegelapan sama seperti terang.
— Mazmur 139:7-12

Baca Juga:

Pelaku Teror Bom di Gereja Medan Itu Ternyata Satu Sekolah Denganku

Beberapa minggu lalu, di kampung halamanku di Medan, Sumatera Utara, Indonesia, seorang tersangka pembawa bom bunuh diri masuk ke dalam sebuah gereja ketika kebaktian Minggu sedang dilangsungkan, dan mencoba untuk meledakkan sebuah bom.

4 Cara Berhenti Mengasihani Diri

Penulis: Yahya A. Tioso

Aku punya banyak sekali alasan untuk mengasihani diri sendiri. Salah satu alasan terbesar adalah kondisiku yang tunarungu sejak lahir. Aku tunarungu berat dan tidak bisa bicara hingga usia sekolah. Orangtuaku kemudian menyekolahkan aku ke SLB-B Pangudi Luhur. Sejak kecil, aku selalu merasa paling nyaman di rumah bersama keluargaku dan di sekolah bersama teman-teman tunarungu. Aku sering merasa minder jika harus berinteraksi di tempat umum, misalnya saat memesan makanan di food court. Aku takut ditertawakan karena merasa suaraku bakal terdengar aneh dan orang tidak akan mengerti apa yang kukatakan. Sebab itu, aku sering meminta orang tua atau kakak memesankan makanan untukku. Aku menempatkan diri sebagai “korban”, pihak yang harus dikasihani orang lain, dan tidak berani melakukan banyak hal. “Apa boleh buat, aku ‘kan tunarungu, jadi memang perlu ditolong,” alasanku setiap kali. Saat itu aku tidak menyadari bahwa sikap mengasihani diri sendiri yang terus menerus dilakukan setiap hari justru bisa merusakku, membuatku kehilangan kesempatan untuk mengembangkan potensi dan talenta yang Tuhan berikan di dalam diriku.

Tetapi, Tuhan bekerja menunjukkan kasih dan kuasa-Nya yang tidak terbatas di dalam hidupku yang serba terbatas. Dia mengajarku untuk mengganti kebiasaan mengasihani diri sendiri itu dengan kebiasaan-kebiasaan baru yang sesuai firman-Nya. Kupikir, empat kebiasaan berikut ini dapat menolongmu juga setiap kali perasaan mengasihani diri datang menghampiri:

1. Mengandalkan Tuhan dalam segala hal.
Setelah lulus dari SLB-B, orangtua menyekolahkan aku ke SMP Jubilee, sebuah sekolah normal yang tidak menyediakan penanganan khusus bagi siswa tunarungu seperti aku. Sekolah ini termasuk sekolah nasional plus yang memiliki kurikulum bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Meski aku tahu orangtuaku telah banyak berdoa minta petunjuk Tuhan sebelum menyekolahkan aku di sana, tetap saja aku merasa takut. Aku merasa orang normal pasti jauh lebih pintar dan lebih kuat daripada aku.

Benar saja, saat mulai bersekolah di sana, aku merasa sangat frustrasi. Dunia tunarungu dan dunia normal itu sangat berbeda. Aku selalu merasa sendirian dan terkucil. Tidak ada teman sekelas yang mengajakku berbicara atau mendekati aku. Aku sama sekali tidak mengerti pelajaran yang diberikan karena gurunya berbicara terlalu cepat. Semua di luar kemampuanku. Aku sering sekali menangis di toilet. Di sekolahku dulu, para guru berbicara pelan-pelan dan aku mengerti pelajaran yang mereka berikan. Teman-teman tunarungu selalu memahamiku, bisa bermain dan ngobrol denganku. Semua menyenangkan dan mudah.

Suatu kali aku memberanikan diri mengangkat tangan dan meminta guru mengulangi kalimat yang tidak aku mengerti. Spontan, teman-teman sekelas tertawa mendengar suaraku. Aku menjadi makin minder dan menutup diri. Aku tidak mau berbicara lagi di sekolah. Kesehatanku mulai terganggu karena stres. Aku sering sakit diare. Namun, ketika dibawa ke rumah sakit, obat diare yang diberikan tidak efektif. Dokter menyimpulkan bahwa penyebab sakitku bukanlah bakteri, melainkan stres.

Di puncak stres aku minta orangtuaku untuk memindahkan aku ke sekolah khusus tunarungu. Mereka tidak setuju. Mereka bertanya, apa yang kubutuhkan agar bisa tetap bertahan. Aku langsung menjawab, “Satu teman.” Mereka pun mengajakku berdoa dengan sungguh-sungguh, meminta satu teman dari Tuhan.

Dan, Tuhan mendengar! Tanpa kuduga, ada satu teman yang kemudian menghampiriku dan bertanya apakah aku bisa bicara.

“Bisa sedikit,” kataku.

Teman itu sangat baik dan mau belajar berkomunikasi denganku. Ia minta aku mengulangi ucapanku jika ia tidak dapat menangkap maksudku. Bila setelah tiga kali diulang ia masih juga belum mengerti, barulah aku menulis apa yang kumaksudkan di sebuah buku. Demikian pula sebaliknya. Jika ia berbicara kepadaku dan aku tidak memahami maksudnya hingga tiga kali, ia juga akan menuliskannya di sebuah buku. Perlahan-lahan aku mulai berani bicara lagi.

Sungguh ini merupakan jawaban Tuhan yang luar biasa dan sangat sesuai dengan kebutuhanku untuk beradaptasi di sekolah. Aku terkagum-kagum. Pengalaman itu membuat imanku bertumbuh makin kuat. Aku percaya bahwa Tuhan itu hidup, dan Dia mendengarkan doa anak-anak-Nya. Aku dapat bergantung kepada-Nya dalam segala hal. Ketika masalah datang, aku belajar untuk tidak mengasihani diri, tetapi segera datang kepada Tuhan dan memohon pertolongan-Nya.

2. Mengucap syukur.
Sikap mengasihani diri membuat kita berfokus pada hal-hal yang negatif dan lalai memperhatikan kebaikan-kebaikan Tuhan. Kita sibuk membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Kita menyalahkan situasi, menyalahkan orang lain, bahkan menyalahkan Tuhan.
“Mengapa Tuhan menciptakan aku seperti ini?”
“Mengapa aku tidak secantik/setampan orang lain?”
“Mengapa Tuhan mengizinkan aku dilahirkan di keluarga ini dan bukan di keluarga itu?”
“Mengapa orang tuaku tidak sebaik orangtua temanku?”
“Seandainya aku seperti orang itu, hidup pasti jauh lebih menyenangkan dan lebih mudah.

Mengucap syukur adalah sikap hati yang mengubah fokus tersebut.

Tuhan membuka mataku untuk melihat bahwa sebenarnya ada begitu banyak hal yang bisa kusyukuri setiap hari. Dia memberiku keluarga yang menyayangi aku, tempat untuk tinggal, makanan yang cukup, kesempatan bersekolah, teman-teman yang baik, guru-guru yang sabar, dan banyak lagi.

Yang lebih luar biasa, Dia mengizinkan aku mengenal-Nya dan mengalami kasih-Nya. Firman Tuhan memberitahukan bahwa Dia menciptakan setiap orang—termasuk aku—secara istimewa (Mazmur 139:13-14). Karena begitu besar kasih-Nya kepada dunia ini, Dia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup kekal (Yohanes 3:16). Kalau Tuhan itu tidak baik, tidak mengasihi kita, Yesus tidak akan turun ke dunia dan mati di kayu salib, dan kita tidak akan punya kesempatan menjadi anak-anak-Nya.

Ketika aku mulai berfokus pada kebaikan Tuhan, hatiku menjadi ringan dan penuh sukacita. Masalah yang aku hadapi jadi tampak sangat kecil dibandingkan dengan semua yang sudah Tuhan berikan kepadaku. Masalah-masalah itu memang tidak serta-merta pergi, tetapi aku mendapatkan kekuatan untuk menghadapinya bersama dengan Tuhan. Fokusku tidak lagi tertuju pada masalah, tetapi pada kebesaran Tuhan.

3. Menyerahkan hak pribadiku kepada Tuhan.
Sikap mengasihani diri membuat kita merasa berhak untuk diperhatikan, ditolong, dilayani, diberi perlakuan istimewa. Kita berfokus pada diri kita sendiri, dan kecewa ketika orang lain tidak memenuhi harapan kita. Aku pribadi mendapati diriku sering mengeluh, ”Ah, mengapa tidak ada orang yang memperhatikan aku, membantu aku, dan mau menjadi temanku?” Secara tidak sadar aku berharap orang lain melakukan ini dan itu untukku karena aku tunarungu. Ketika semua harapan itu tidak terwujud, aku menjadi sangat stres.

Aku ingat saat aku mulai kuliah di Malaysia dan untuk pertama kalinya harus hidup jauh dari keluarga dan teman-temanku di sana. Aku merasa sangat tertekan dan sulit beradaptasi. Aku berdoa, tetapi situasiku tidak kunjung membaik. Di tengah rasa frustrasi itu, Tuhan berbicara di dalam hatiku, “Anak-Ku, serahkan semua hak pribadimu kepada-Ku. Hak untuk diperhatikan. Hak untuk dibantu. Hak untuk mempunyai teman.”

Aku sungguh terkejut dengan permintaan Tuhan yang menurutku aneh dan sangat bergumul untuk menanggapi-Nya. Namun, akhirnya aku memutuskan untuk taat. Aku menyerahkan semua hak pribadiku kepada Tuhan, sekalipun aku belum begitu memahami apa artinya itu.

Keesokan harinya, hatiku berubah drastis. Aku menjadi sangat tenang. Pikiranku yang tadinya frustrasi kini diliputi damai sejahtera. Aku baru mengerti maksud Tuhan. Menyerahkan hak pribadi berarti aku tidak lagi menuntut orang lain untuk membantu, memperhatikan, dan memberiku perlakuan yang khusus karena situasiku. Sebaliknya, aku belajar percaya bahwa Tuhan akan menyediakan semua kebutuhanku pada waktu-Nya. Sebuah perubahan pola pikir yang radikal! Namun melaluinya, aku sungguh mengalami bagaimana Tuhan menyediakan semua yang terbaik bagi anak-anak-Nya!

4. Menerima dan mempercayai apa yang Tuhan rancangkan atas hidupku.
Waktu kecil, aku sering bertanya kepada mama, “Mengapa aku dilahirkan tunarungu?” Mama biasanya menjawab, “Oh karena mama sakit waktu hamil.” Tetapi, jawaban itu tidak pernah memuaskan aku. Suatu hari, aku bertanya lagi. Mama membuka Alkitab, lalu mengajak aku membaca Yohanes 9:1-3 bersamanya:

Waktu Yesus sedang lewat, Ia melihat seorang yang buta sejak lahirnya. Murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya: “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” Jawab Yesus: “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.”

Jawaban Yesus sungguh luar biasa. Banyak yang berpikir bahwa cacat adalah hukuman atas dosa, baik dosa orang cacat itu sendiri ataupun dosa orangtuanya. Namun, Yesus menegaskan bahwa kondisi cacat itu berasal dari Allah sendiri, karena ada pekerjaan Allah yang harus dinyatakan dalam diri orang tersebut.

Hatiku diliputi rasa tenteram mendengar jawaban itu. Aku menjadi tenang karena tahu bahwa aku bukan sebuah produk gagal. Tuhan punya rencana dengan menciptakan aku dalam kondisi yang tunarungu. Aku belum mengerti bagaimana pekerjaan Tuhan dapat dinyatakan di dalam hidupku, tetapi aku berusaha belajar dan melakukan segala sesuatu dengan sebaik mungkin. Aku mau hidup untuk menyenangkan Tuhan.

Seiring berjalannya waktu, aku mulai mendapatkan lebih banyak teman dan bisa mengikuti pelajaran di sekolah dengan baik. Tanpa disangka, aku bahkan menjadi langganan juara 1. Aku kemudian mendapat kesempatan belajar di luar negeri, bekerja, dan bahkan membangun rumah tangga sendiri.

Menengok ke belakang, aku mulai mengerti bagaimana Tuhan menyatakan pekerjaan-Nya melalui hidupku. Jika orang normal bisa berprestasi, itu hal biasa. Tetapi, jika orang seperti aku yang susah berkomunikasi dan sulit menangkap apa yang disampaikan guru di kelas sampai bisa meraih juara pertama, jelas itu bukan hal yang bisa kulakukan dengan kemampuan sendiri.

Aku pernah melihat orang yang tidak punya tangan, tetapi bisa melukis dengan kaki jauh lebih indah daripada orang normal, membuat banyak orang takjub. Kupikir, Tuhan memakai orang cacat dan mereka yang dianggap lemah oleh dunia untuk menyatakan bahwa Dia sungguh HIDUP. Kesadaran ini membuatku tidak lagi punya alasan untuk mengasihani diri sendiri. Kelemahanku ternyata justru menjadi sarana Tuhan menyatakan kebesaran-Nya kepada banyak orang. Tuhan sanggup memakai situasi terburuk untuk mendatangkan kebaikan bagi anak-anak-Nya (Roma 8:28).

Temukan kisah lengkapnya di http://godisnotdeaf.com/

Saat-Saat Terkelam

Rabu, 27 Agustus 2014

Saat-Saat Terkelam

Baca: 1 Raja-Raja 19:1-8

19:1 Ketika Ahab memberitahukan kepada Izebel segala yang dilakukan Elia dan perihal Elia membunuh semua nabi itu dengan pedang,

19:2 maka Izebel menyuruh seorang suruhan mengatakan kepada Elia: "Beginilah kiranya para allah menghukum aku, bahkan lebih lagi dari pada itu, jika besok kira-kira pada waktu ini aku tidak membuat nyawamu sama seperti nyawa salah seorang dari mereka itu."

19:3 Maka takutlah ia, lalu bangkit dan pergi menyelamatkan nyawanya; dan setelah sampai ke Bersyeba, yang termasuk wilayah Yehuda, ia meninggalkan bujangnya di sana.

19:4 Tetapi ia sendiri masuk ke padang gurun sehari perjalanan jauhnya, lalu duduk di bawah sebuah pohon arar. Kemudian ia ingin mati, katanya: "Cukuplah itu! Sekarang, ya TUHAN, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku."

19:5 Sesudah itu ia berbaring dan tidur di bawah pohon arar itu. Tetapi tiba-tiba seorang malaikat menyentuh dia serta berkata kepadanya: "Bangunlah, makanlah!"

19:6 Ketika ia melihat sekitarnya, maka pada sebelah kepalanya ada roti bakar, dan sebuah kendi berisi air. Lalu ia makan dan minum, kemudian berbaring pula.

19:7 Tetapi malaikat TUHAN datang untuk kedua kalinya dan menyentuh dia serta berkata: "Bangunlah, makanlah! Sebab kalau tidak, perjalananmu nanti terlalu jauh bagimu."

19:8 Maka bangunlah ia, lalu makan dan minum, dan oleh kekuatan makanan itu ia berjalan empat puluh hari empat puluh malam lamanya sampai ke gunung Allah, yakni gunung Horeb.

Seorang malaikat menyentuh [Elia] serta berkata kepadanya: “Bangunlah, makanlah!” —1 Raja-Raja 19:5

Saat-Saat Terkelam

Charles Whittlesey adalah seorang pahlawan sejati. Sebagai pemimpin dari unit yang disebut “Batalyon yang Hilang” dalam Perang Dunia I, ia dianugerahi Medali Kehormatan atas keberaniannya di tengah keadaan unitnya yang terjebak di belakang garis musuh. Dalam peresmian Makam untuk Prajurit Tak Dikenal di Amerika Serikat, Charles dipilih sebagai salah satu pengangkat keranda bagi prajurit pertama yang dimakamkan di sana. Dua minggu kemudian, diduga ia mengakhiri hidupnya sendiri dengan meloncat keluar dari sebuah kapal pesiar di tengah laut.

Seperti Nabi Elia (1Raj. 19:1-7), Charles tampil sebagai orang yang tangguh di muka umum, tetapi di luar penampilannya itu, jiwanya dipenuhi perasaan putus asa. Banyak orang pada masa kini sering merasa tidak mampu menghadapi keadaan hidup yang begitu membebani mereka. Terkadang kelelahan membawa rasa putus asa yang berlangsung sementara, seperti yang dialami oleh Elia. Ia baru saja mengalami kemenangan besar atas nabi-nabi Baal (18:20-40), tetapi kemudian ia begitu takut kehilangan nyawa dan melarikan diri ke padang gurun (19:1-3). Namun sering kali, yang kita alami lebih dari sekadar perasaan putus asa dan itu tidak berlalu begitu saja. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk membicarakan tentang depresi secara terbuka dan penuh kasih.

Allah rindu mendampingi kita di saat-saat terkelam dalam hidup ini, agar kemudian di lain waktu, kita dimampukan menjadi perwakilan-Nya untuk mendampingi sesama kita yang tengah terluka. Berseru meminta pertolongan—baik kepada orang lain maupun kepada Allah—justru menunjukkan kekuatan hidup kita. —RKK

Bapa, berilah kami keterbukaan untuk mengakui kepada satu sama
lain bahwa terkadang beban hidup begitu menekan kami. Berilah
kami keberanian untuk menolong orang lain agar mereka tertolong—
dan kerelaan untuk meminta pertolongan saat kami membutuhkannya.

Harapan datang melalui pertolongan Allah dan sesama.