Posts

“A Man Called Otto”, Film yang Mengajak Kita untuk Memperhatikan Sekitar Kita

Oleh Cynthia Sentosa, Surabaya
Sumber gambar: IMDB

A Man Called Otto adalah sebuah film yang dibintangi oleh aktor papan atas Tom Hanks. Film ini bercerita tentang seorang kakek bernama Otto yang merasa kehilangan warna dalam hidupnya setelah istrinya meninggal. Dia berubah menjadi seorang yang pemarah dan tertutup pada orang sekitarnya karena dia merasa tidak ada orang yang sebaik istrinya. Bergulat dengan kesepian dan rasa kosong, dia pun berniat mengakhiri hidup. Namun, takdir malah membawanya bertemu dengan tetangga baru yang cerewet dan peduli padanya. Melalui tetangga barunya itu, perlahan Otto kembali melihat warna dalam hidupnya.

Kesepian dan merasa hampa seperti yang dialami Otto, mungkin juga pernah kita alami. Ketika kita kehilangan seseorang, harta benda yang kita punya, kemampuan yang kita andalkan, atau hal-hal lain yang kita pegang erat akan membuat kita merasa kecewa dengan dunia. Rasanya seakan tak ada lagi yang bisa mengisi rasa kesepian dan kekosongan di hati kita.

Nilai-nilai dunia seringkali mengajar kita bahwa nilai diri dan kebahagiaan kita terletak pada sesuatu atau seseorang yang kita pegang erat. Namun, tak ada yang abadi di dunia ini. Apa yang kita kagumi dan pegang erat, bisa saja mengecewakan, menyakiti, bahkan meninggalkan kita. Namun, satu hal yang aku sendiri telah merasakannya, bahwa yang kekal, kasih yang dapat mengisi kekosongan, yang tidak pernah mengecewakan, dan yang dapat mengusir kesepian hatiku adalah TUHAN. Mazmur 147:3 mengatakan, “Ia menyembuhkan orang-orang yang patah hati dan membalut luka-luka mereka”, dan Mazmur 34:19 juga mengatakan, “TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya.”

Perasaan frustrasi yang dialami oleh Otto memang belum pernah aku rasakan, namun aku pernah merasakan kekecewaan, kekosongan, dan kesepian ketika aku memegang erat hal yang aku pikir bisa andalkan dan bukan mengandalkan Tuhan. Namun, ketika Tuhan menegur aku yang tidak mengandalkan Dia, aku menjadi sadar bahwa apa yang aku andalkan selama ini tidak benar. Setelah aku memutuskan untuk bertobat dan mengandalkan Dia, aku menemukan kepuasan di dalam-Nya. Perasaan negatif itu memang terkadang masih muncul, namun ketika aku berlari kembali kepada Tuhan, kepuasan di dalam Tuhan itu selalu dapat aku temukan dan dapat aku rasakan.

Salah satu di antara para tokoh Alkitab yang juga pernah mengalami perasaan ini adalah Ayub. Bayangkan betapa kecewanya Ayub melihat apa yang dia punya habis dengan cepat. Betapa kesepiannya dia tidak dihibur oleh istrinya dan teman-temannya. Dia tidak punya apa-apa lagi yang bisa diandalkannya, namun akhir kisah Ayub seperti yang kita tahu, dia tetap percaya kepada Tuhan dan tetap mengandalkan-Nya, hingga pada akhirnya Tuhan memulihkan keadaannya.

Teman-teman, mungkin sekarang kita sama seperti Otto yang menutup diri dari dunia karena takut dikecewakan dan disakiti. Dalam kesempatan ini, aku mau mengajak kita untuk kembali datang dan mengandalkan Tuhan, Sang Kasih Sejati dan Penyembuh patah hati kita yang sesungguhnya dekat dengan kita (Mazmur 34:19). Mari kita perhatikan sekitar, siapa tahu tanpa kita sadari selama ini ada orang-orang yang benar-benar tulus mengasihi kita dan mengajak kita untuk melihat dan merasakan kasih Tuhan sehingga kita dapat dengan yakin menyerukan “Ia menyembuhkan orang-orang yang patah hati dan membalut luka-luka mereka dan TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya.”

Kemudian, tidak berhenti di titik ini, setelah kita sadar dan merasakan kasih-Nya yang begitu besar, aku mau mengajak kita untuk melakukan perintah-Nya yang tertulis dalam Yohanes 15:12: “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.”

Seperti tetangga Otto, mari kita mengasihi dan memperhatikan orang-orang sekitar kita, terlebih untuk orang-orang seperti Otto yang rindu merasakan kasih sejati dari Tuhan yang sedang mencari hal yang dapat memberikan warna dalam hidupnya. Agar seseorang yang tadinya sudah menyerah terhadap dunia, dapat menemukan pengharapan baru di dalam Tuhan, sehingga ia dapat bergantung pada Sang Kasih Sejati yang tidak pernah mengecewakan.

Melalui Depresi, Aku Mengalami Anugerah Tuhan

Oleh Prillia Setiarini, Jakarta

Kira-kira sudah sepuluh tahun aku menjalani hari-hariku sebagai penyintas gangguan emosi manik-depresif. Aku ingat beberapa bulan sebelum psikiater mengeluarkan vonis tersebut, aku seringkali tercetus pemikiran untuk mengakhiri hidup. Saat itu aku masih menjalani rutinitasku sebagai mahasiswa. Namun, pemikiran-pemikiran yang negatif terus menghantuiku. Aku berpikir seakan tidak ada harapan buat masa depanku, dan aku juga kehilangan semua minat terhadap hobi-hobiku. Bahkan pada saat itu, aku merasa untuk bangun dari tempat tidur merupakan hal yang sangat berat.

Aku banyak berdiskusi dengan psikiaterku. Tentu saja aku ingin mengetahui mengapa aku mengalami hal seperti ini—mengapa pikiranku cenderung negatif dan aku seolah-olah tidak memiliki energi untuk bangun dari tidur. Psikiaterku menjelaskan dengan sabar. Gejala yang kualami mengindikasikan aku mengalami Bipolar, yang terdiri dari dua kata: “bi” yang berarti dua; dan “polar” yang berarti kutub. Ini bukan berarti penyintas bipolar memiliki dua kepribadian. Penyintas bipolar memiliki dua ‘kutub’ emosi yang berpindah sangat cepat atau bahkan mungkin mengalami dua ‘kutub’ emosi tersebut di saat yang bersamaan.

Secara sains apa yang aku alami disebabkan oleh genetik yang berarti keturunan, lingkungan yang mungkin membuat ada pencetusnya, atau lain sebagainya. Pada kasusku, penyebabnya merupakan kombinasi dari semuanya. Hanya saja, aku teringat satu hal yang benar-benar membuatku menjadi orang yang perfeksionis. Secara tidak langsung, sikap itu memengaruhiku dan menjadi alasan yang kuat mengapa aku begitu hilang harapan saat aku mengalami kegagalan.

Dari aku kecil, aku termasuk orang yang berprestasi. Aku dapat membuat daftar apa-apa saja yang sudah aku capai semenjak aku menginjak pra-sekolah. Hal ini terus memberi ‘makan’ ego yang aku miliki. Hingga suatu ketika, aku belajar Biologi di salah satu institut terbaik di Indonesia. Aku benar-benar merasa seperti ‘orang biasa’ tanpa prestasi saat bersekolah di sana. Aku mengalami yang aku maksud sebagai kegagalan. Aku dibawa ke psikiater pada saat pergantian semester dari semester 6 ke semester 7. Pada saat itu keluarga, teman-teman, dan rekan-rekan semuanya tidak mengerti mengapa aku bisa sampai divonis mengalami bipolar. Memang dari luar aku terlihat tidak apa-apa. Namun, di dalam hati aku merasa aku adalah orang gagal.

Psikiater memberikanku terapi, yang salah satunya menggunakan metode medisinal alias pemberian obat. Aku diberikan beberapa obat seperti anti-depresan, anti-cemas, obat tidur, dan obat-obat lainnya yang mendukung aku agar bisa beraktifitas seperti semula. Aku juga pergi ke konselor di gereja untuk meminta bantuan. Dukungan doa sangat membantuku untuk pulih. Selain itu aku juga melakukan terapi mindfulness, meditasi Firman Tuhan, memperbaiki pola tidurku dan pola makanku. Semenjak itu aku menjalani pola hidup sehat baik secara fisik maupun rohani.

Perjalananku untuk pulih tidak seratus persen mulus. Ada satu hal yang membuatku sakit hati saat itu, yaitu ketika aku diharuskan untuk mengambil cuti kuliah. Tidak pernah terbayang olehku sebelumnya untuk mengundur kelulusanku hanya karena riwayat kesehatanku ini. Namun, aku benar-benar diingatkan melalui renungan akan Firman bahwa Tuhan tidak membiarkanku jauh dari-Nya dan bahwa aku tidak boleh memprioritaskan pencapaian-pencapaianku di atas segalanya. Ayat yang terus aku ingat pada saat aku menyadari akan hal ini diambil dari Keluaran 20:3: “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku.”

Setelah apa yang aku alami, aku sadar bahwa aku dulu orang yang begitu sombong. Dulu aku menjadikan pencapaian-pencapaianku sebagai pijakan; tempat di mana aku dapat menyandarkan identitas, latar belakang aku, dan harga diri, sehingga saat aku merasa gagal, aku merasa harga diriku sangat rendah. Padahal Tuhan tidak menginginkan hal-hal tersebut dialami oleh aku dan oleh kamu. Aku yakin Tuhan ingin kita menjadikan Dia sebagai batu penjuru dan prioritas utama di hidup kita.

Sampai sekarang aku masih belajar untuk menyerahkan hidupku sepenuhnya untuk Tuhan. Aku menyerahkan identitasku, pencapaian-pencapaian, masa lalu, masa kini, masa depan, harga diri, semuanya aku serahkan kepada Allah Bapa.

Aku yakin Ia akan menjamin semuanya. Aku juga yakin Ia akan menjamin hidup teman-teman juga. Apakah kamu juga mau menyerahkan hidupmu seutuhnya kepada Allah Bapa, sang Juruselamat?

Aku Pendeta dan Aku Bergumul dengan Depresi

Ditulis oleh Hannah Go, berdasarkan cerita dari Jordan Stoyanoff
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Confessions Of A Pastor Who Wrestles With Anxiety

Aku memulai perjalanan karierku sebagai pendeta muda yang bersemangat, yang punya mimpi mengubah dunia. Aku mau melakukan apa pun yang bisa kulakukan buat Tuhan… tapi di tahun kedua pelayananku, aku bergumul dengan depresi dan kecemasan.

Setiap hari, aku merasa waktuku tidak cukup untuk memenuhi semua tuntutan. Kesibukan makin banyak dan setiap kritik terasa menyengat. Aku tidak bisa berpikir jernih, dan seringkali merasa frustrasi hanya karena hal-hal kecil.

Bebanku terasa makin berat, ditambah lagi beban dari harapan-harapan yang aku sendiri dan orang lain buat untukku. Aku berpikir bagaimana seharusnya aku memperhatikan orang-orang muda yang Tuhan hantarkan kepadaku. Suatu hari nanti aku harus mempertanggungjawabkan bagaimana aku telah membina dan menggembalakan mereka karena kita sedang berurusan dengan kehidupan kekal mereka kelak.


Semua ekspektasi itu membuatku tertekan. Aku mengalami burnout dan kelelahan. Semua harapanku lenyap. Aku tidak bisa membayangkan keadaanku akan membaik. Penderitaan mentalku terlalu besar, sampai-sampai aku merasa satu-satunya jalan keluar adalah mengakhiri hidupku dan segera bertemu Yesus.

Pemikiran itu membuatku kaget sendiri. Padahal selama ini aku menganggap diriku itu orang yang tabah dan kuat, sehingga gulatan perasaan seperti ini sungguh terasa aneh dan tidak nyaman.

Setelahnya, kupikir aku butuh liburan karena aku kelelahan. Mungkin pergi liburan akan menolongku lepas dari stres dan menjernihkan pikiran untuk menyusun rencana ke depan. Aku perlu mencari tahu bagaimana caranya bertahan melayani di pelayanan anak-anak muda, tidak sekadar jadi pendeta yang cuma hadir lalu gagal. Maka aku pun mengambil cuti seperti yang disarankan oleh salah satu mentorku, dan orang-orang di sekitarku yang mengerti pergumulanku.

Tapi, liburan selama satu minggu tidaklah cukup, dan aku tahu itu. Aku harus kembali lagi ke pekerjaanku, berjibaku kembali dengan rutinitas yang menantang. Meskipun ada sesi follow-up setelahnya, itu tidak menyelesaikan masalah utama. Tidak ada seorang pun yang hadir untuk mengajakku bicara terkait masalahku. Aku tetap tampil ‘baik-baik saja’, sementara dalam diriku bergumul hebat.

Semua hal ini membuatku bertanya-tanya. Aku meragukan imanku dan motivasi pelayananku. Di satu titik, semua beban itu bertumpuk dalam kepalaku.

Sebagai pendeta, aku memiliki kemampuan intelektual yang ‘baik’ tentang siapa Tuhan dan apa yang Dia katakan tentang aku. Namun, yang kutemukan setelahnya adalah justru aku tidak memahami diriku sendiri dengan baik, sehingga tidak dapat menerapkan kebenaran tentang siapa aku di hadapan Tuhan. Aku tahu keadaanku cukup sulit, tapi aku masih merasa cukup kuat untuk mengatasinya. Aku tidak menyadari bagaimana dunia di sekitarku mempengaruhiku dan turut berkontribusi menghadirkan pola-pola negatif di hidupku.

Bagaimana konseling menolongku mengatasi pergumulan

Suatu malam, aku berada di titik nadir. Harapan yang ditumpukan orang kepadaku terasa amat berat, dan aku merasa tidak sanggup lagi. Aku diliputi keputusasaan. Aku yakin aku tidak layak mengemban tanggung jawab di hadapanku. Aku lalu pergi ke sofa, dan tidur meringkuk seperti bola. Aku tak bisa berpikir jernih, tak bisa berbuat apa-apa. Kusadari kalau aku sedang tidak baik-baik saja. Aku butuh bantuan.

Malam itu juga, atas arahan dari salah seorang pendeta, aku pergi menjumpai seorang dokter umum yang memberiku obat dan menyarankan agar aku berkonsultasi dengan psikolog.

Melihat ke belakang, aku merasa tindakan dokter yang segera memberiku obat bukanlah langkah yang tepat. Kadang obat-obatan memang bisa dipakai Tuhan untuk mengatasi masalah, tapi itu bukan solusi sesungguhnya. Kurasa ada banyak dokter di luar sana juga seperti itu, langsung memberi resep obat antidepresan kepada pasien yang belum pernah menjalani psikoterapi. Meski merasakan banyak progres positif, tetapi setelah sembilan bulan mengonsumsi obat, aku berhenti.

Aku memutuskan menemui konselor Kristen karena aku tahu pada intinya, masalah yang kuhadapi adalah masalah spiritual. Aku membutuhkan Yesus untuk mengubah hati dan pikiranku, sebab konselor sekuler hanya akan menolongku mengatasi gejala-gejala klinis dari masalah yang sebenarnya. Aku perlu memahami diriku seperti cara Tuhan melihatku. Aku perlu menemukan identitasku dalam Kristus, bukan dalam berhasil atau gagalnya pelayananku. Aku membutuhkan pertolongan dari sesama orang Kristen.

Hal lain yang juga menolongku (pada tahun-tahun menjelang pernikahanku), adalah bagaimana aku belajar mengasihi seseorang yang juga pernah mengalami depresi dan kecemasan—istriku sendiri.

Istriku pernah melalui tantangan-tantangan mental seperti yang kualami ini sebelumnya, maka aku pun paham bahwa menemui konselor adalah keputusan yang baik. Aku tahu bahwa aku tak perlu menjadi sempurna—karena pada dasarnya memang kita tak bisa sempurna, dan itu tidak masalah. Melihat sendiri bagaimana istriku melewati masa-masa tersebut, memberiku keberanian untuk mencari pertolongan, meskipun aku masih merasa kaget karena tidak pernah terpikir olehku bahwa aku akan mengalami masalah seperti ini juga. Selama proses konseling berlangsung, aku tetap melanjutkan peranku sebagai pendeta sampai beberapa tahun setelahnya.

Menjalani konseling merupakan hal yang paling penting, pertolongan terbesar yang kudapat dalam perjalananku mengatasi kesehatan mental. Konseling adalah tempat yang aman karena segala data dan informasi kita bersifat rahasia. Dari sana, aku mulai mengerti bahwamasalah yang kualami itu berkaitan dengan identitasku, dan kemudian aku melihat bagaimana identitasku itu menentukan apa yang kulakukan. Sebelumnya, aku punya konsep sendiri tentang siapakah aku, bagaimana dunia itu, dan siapakah Tuhan—beberapa konsepku itu tidaklah sejalan dengan perspektif Yesus. Cara pandangku akan realitas tidaklah benar, baik, dan sejalan dengan apa yang Yesus katakan padaku. Aku butuh Yesus untuk menunjukkan kebohongan yang telah kupercaya selama ini, baik secara sadar maupun tidak. Aku butuh percaya kebenaran dari Yesus melebihi apa yang kupikir dan kurasa.

Sesi-sesi konseling menolongku mengurai masalahku. Aku juga mendapat terapi perilaku kognitif Kristiani yang menolongku untuk mengerti apa yang terjadi dalam pikiranku, alasan mengapa aku melakukan sesuatunya, sehingga aku bisa merespons dengan efektif terhadap pikiran-pikiran, perasaan, tindakan, serta melepas konsep yang keliru.

Sebelumnya, aku tak menyadari bahwa iman berkaitan dengan kesehatan mental. Aku tidak sepenuhnya mengerti bahwa identitasku dalam Kristus juga berkaitan dengan masalahku. Sungguh penting mengetahui siapa kita sebenarnya di dalam Kristus.

Pemulihan dari burnout

Pulih dari burnout adalah proses yang panjang, namun aku tetap menjalankan tanggung jawabku sebagai pendeta sampai Tuhan bilang saatnya untuk pindah. Butuh dua tahun untukku beranjak dari posisiku sebagai pendeta ke tanggung jawabku yang sekarang. Semua karena anugerah-Nya saja.

Masih ada momen-momen ketika aku melihat kendala dalam diriku, entah itu kurangnya rasa belas kasihan, bertindak di luar karakterku, atau bergumul untuk lebih tenang. Semua itu memaksaku berhenti dan berpikir: apa keyakinan yang mendasari di sini? Bagaimana aku bisa menyelaraskan diriku dengan kebenaran Tuhan di situasi ini?

Satu hal yang kupelajari tentang menghadapi masalah kesehatan mental di dalam gereja adalah kurangnya kesadaran akan kesehatan mental dari sudut pandang Kristen. Beberapa orang terlalu serius menanggapi persoalan mental orang lain seolah-olah itu penyakit menular, yang akhirnya malah membuat seseorang semakin takut untuk membuka diri. Sikap ini menunjukkan sebuah tembok yang dibangunoleh orang-orang di gereja—tidak mampu untuk secara terbuka berbagi kisah tentangapa yang sedang dialami, dan tak ada orang yang bisa memvalidasi pengalaman mereka.

Di sisi lainnya, aku juga melihat bagaimana orang bisa begitu berempati dan berbelas kasih terhadap mereka yang bergumul, tetapi pada akhirnya malah terlalu banyak menceritakan pengalaman mereka sendiri, yang belum tentu tepat. Pada kasusku, penting untuk tidak merasa kita adalah juruselamat bagi orang lain dan kitalah yang paling bisa menolong. Aku harus melakukan apa yang bisa kulakukan, tapi aku pun harus percaya bahwa pada akhirnya, Tuhanlah yang memelihara mereka.

Pada akhirnya, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan. Kita tak bisa memaksa mereka yang bergumul dengan masalah kesehatan mental untuk menemui dokter atau konselor. Biarlah mereka sendiri yang memutuskan. Perjalanan menuju pemulihan adalah urusan orang itu sendiri dengan Yesus. Kita sebagai temannya bertanggung jawab menemani dia. Bukan sebagai juruselamat atau ahli kesehatan mental, tapi sebagai kawan.

Bunuh Diri Tak Pernah Jadi Solusi

Kita tak asing dengan istilah ‘bunuh diri’.

Ada figur publik, bahkan mungkin orang yang kita kenal, pernah terbersit atau nahasnya mengakhiri hidupnya dengan cara ini.

Bunuh diri adalah sebuah gunung es dari permasalahan kesehatan mental yang tak diatasi dengan benar. Tidak peduli seberapa baik penampilan seseorang di luarnya, mungkin saja ada sesuatu yang mereka gumulkan di dalam.

Izinkan mereka yang paling dekat dengan kita mengetahui betapa kita mengasihi mereka, dan betapa mereka berarti buat kita tak peduli apapun musim yang sedang mereka hadapi.

Ayo kita tunjukkan kasih dan empati kita.

Ketika Beban di Pundakmu Terasa Terlalu Berat

Oleh Bramantyo

“Brakkkkk!”, kereta api yang tengah melaju kencang menghantam sesuatu.

Bukan motor atau mobil yang ditabrak oleh kereta itu, melainkan sesosok manusia yang sengaja menabrakkan dirinya dengan cara bertengkurap di rel. Kisah pilu ini terjadi di kota Jogja, pada bulan Mei 2013. Tidak ditemukan identitas apa pun pada lokasi kejadian selain ciri-ciri fisik korban yang berkulit sawo matang dan disinyalir berusia sekitar 40 tahunan.

Barulah setelah aparat kepolisian melakukan investigasi, terungkap teka-teki siapa identitas korban dan mengapa dia nekat melakukan aksi tragis tersebut. Dia [korban] adalah ayah dari anak semata wayang, suami dari seorang istri, dan ketua panitia dari sebuah konser musik. Kesalahan komunikasi pada gelaran musik yang diketuainya membuatnya jadi bulan-bulanan dari banyak pihak yang melemparkan caci maki untuknya di media sosial. Konser musik akbar yang didamba berjalan mulus rupanya didera banyak masalah; mulai dari urusan promosi yang tak jalan, persoalan dana yang kurang, dan para artis yang akhirnya membatalkan partisipasi karena belum menerima honor. Sebagai ketua panitia, korban mencari cara untuk menutupi kekurangan uang. Dia berutang, tapi hasil utangan itu tidak cukup. Konser yang seharusnya berjalan dua hari, hanya jadi sehari. Pendapatan dari tiket masuk dan sponsor pun tetap tidak balik modal. Segala kemelut ini menghimpit pundaknya, dan bebannya menjadi terlampau berat ketika caci-maki dilemparkan padanya.

“Trimakasih atas sgala caci maki….ini gerakan.. Gerakan menuju Tuhan.. Salam,” tulis korban pada akun twitternya. Ini adalah status terakhirnya sebelum dia ditemukan tak lagi bernyawa.

* * *

Aku ingat kisah itu pernah kubaca di sebuah koran cetak. Pada tahun 2013, aku masih menjadi mahasiswa semester dua di kota Jogja, masa-masa yang banyak kuisi dengan terlibat di berbagai kepanitiaan kampus. Aku bergidik membaca kisah pilu itu. Aku tak dapat membayangkan betapa beratnya menjadi seorang ketua panitia yang dicap gagal menjalankan sebuah event. Bagi kita yang pernah terlibat dalam sebuah kepanitiaan, entah itu untuk acara festival di kampus, atau acara kebaktian Natal di gereja, kita mungkin setuju bahwa menjadi seseorang yang bertanggung jawab atas sebuah acara tidaklah mudah.

Jika beban untuk sebuah acara yang berlangsung dalam hitungan jam atau hari saja terasa berat, kita tidak menampik bahwa beban-beban hidup lainnya pun tak kalah berat. Malahan, ia harus ditanggung setiap hari dan kita tak tahu kapan dan di mana garis finishnya. Ketika studi kita terganggu karena kesulitan keuangan, ketika beban pekerjaan semakin membuat letih karena tuntutan yang semakin tinggi dari atasan, atau ketika segala impian dan harapan kita karam karena penyakit yang menggerogoti tubuh kita. Segala beban tersebut seringkali membuat pundak kita seolah remuk. Dan, pada banyak kasus pikiran kita meresponsnya dengan memunculkan gambaran solusi instan: mengakhiri kehidupan.

Data dari Bank Dunia mencatat pada 2016 kasus bunuh diri di Indonesia berada di angka 3,4 per seratus ribu populasi . Kasus-kasus ini bukanlah statistik semata, itu menyajikan pada kita sebuah realitas: bahwa kehidupan ini rentan. Siapa pun tidak kebal dari godaan untuk mengakhiri masalah secara instan. Aku pun pernah beberapa kali mengutarakan keinginan ini dalam tangisanku. Kehidupanku sebagai anak yang lahir di luar pernikahan sah, yang tak mendapat perhatian cukup dari orang tua seringkali membuatku dirundung kesepian. Aku beranggapan jika keluarga yang katanya orang terdekatku saja tidak peduli denganku, maka siapalah aku ini hingga aku perlu melanjutkan hidup.

Namun, syukur kepada Allah karena dalam momen terkelam sekalipun sejatinya Dia tidak pernah meninggalkan kita (Ibrani 13:5). Melalui berbagai kesempatan—rangkulan hangat dari seorang kawan yang tetiba mengajakku mengobrol, sapaan apa kabar dari teman lama, alunan musik yang lirik dan nadanya meneduhkan hati, atau dari pandanganku akan ciptaan Allah di sekelilingku yang dipelihara-Nya dengan cantik, meneguhkan kembali pondasi hatiku yang rapuh. Aku dan kamu, kita semua berharga dan dipelihara-Nya, sebagaimana Allah memelihara kehidupan pada burung-burung pipit di udara yang tidak menabur dan menuai. Bahkan, kita jauh melebihi daripada burung-burung itu. (Matius 6:26).

Menguatkan kembali pundak yang didera beban terlampau berat sungguh bukanlah pekerjaan yang mudah. Itu upaya yang akan melibatkan derai air mata, dan bukan tidak mungkin pula keputusasaan selalu mengetuk hati kita. Tetapi ingatlah…

Ketika beban di pundakmu terasa terlalu berat, mungkin hati dan bibirmu enggan untuk mengakuinya. Mungkin kamu malah menghakimi kalau dirimu terlalu lemah untuk menanggung semua ini.

Ketika beban di pundakmu terasa terlalu berat, mungkin akan ada orang-orang yang tetap mencibirmu karena mereka tak melihat betapa panjang dan sulitnya perjalanan yang telah kamu tempuh.

Ketika beban di pundakmu terasa terlalu berat, mungkin air matamu akan menetes dan pandangan di depanmu tampak kelam. Kamu tak tahu bilamana permasalahan ini akan berujung.

Tetapi…

Ketika beban di pundakmu terasa terlalu berat, ingatlah kembali dengan perlahan bahwa ada Pundak lain yang turut menanggungnya bersamamu. Ingatlah bahwa di atas pundak itu pernah tertanggung segala cela dan hina yang seharusnya mengantar seluruh umat manusia kepada kebinasaan.

Ketika beban di pundakmu terasa terlalu berat, ingatlah kembali dengan perlahan bahwa ada janji mulia yang dianugerahkan kepadamu. Bahwasannya segala penderitaan yang kamu alami akan mendatangkan bagimu kemuliaan kekal.

Ketika beban di pundakmu terasa terlalu berat, ingatlah kembali dengan perlahan bahwa Dia yang turut menanggung bebanmu, berkuasa untuk membalut luka-luka hatimu dan meneguhkan kembali langkahmu yang gontai. Dia mungkin tidak mengubah keadaan dengan sekejap, pun melenyapkan segala beban itu, tetapi dalam tuntunan-Nya, Dia akan membawamu menang sampai ke garis akhir.

Aku berdoa, kiranya dalam perjalanan berat yang kamu lalui, kamu senantiasa dapat merasakan kehadiran Allah yang memelihara. Bersama Dialah, perjalananmu akan mengantarmu kepada tujuan yang telah Dia tetapkan untukmu.

Tuhan memberkatimu.

Baca Juga:

Kasih yang Melukai

Banyak dari kita beranggapan bahwa wajah yang ceria mencerminkan kehidupan yang mudah. Namun, dibalik senyuman terlebar pun, setiap orang punya cerita. Aku berharap setelah membaca ini, kita semua dapat menjadi pribadi yang lebih memiliki empati terhadap orang lain.

Ketika Sulit Tidur Mengingatkanku akan Kesetiaan Tuhan

Oleh Still Ricardo Peea, Tangerang

Sulit tidur, sulit memulai tidur, insomnia ataupun masalah-masalah tidur lainnya, pernahkah kamu rasakan? Menjaga pola tidur sehat adalah keharusan karena jika kita gagal melakukannya, dampaknya bukan hanya ke kesehatan fisik tapi juga berdampak terhadap kesehatan mental kita.

Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa selama masa pandemi, lebih banyak orang mengalami masalah-masalah tidur, termasuk aku. Aku sudah tiga minggu lebih pindah ke tempat tinggal sementaraku yang baru, sebuah asrama yang menampung petugas kesehatan yang merawat pasien Covid. Tapi, ketika orang lain bisa dengan mudah beradaptasi dengan lingkungan baru, aku mengalami beberapa kendala. Aku punya masalah hidung sensitif dan kesulitanku beradaptasi dengan lingkungan baru memicu kambuhnya insomnia. Kupaparkan gejala-gejalaku pada seorang kawanku yang dokter, dan dia setuju kalau apa yang kualami sungguh gejala insomnia. Jujur, aku malah jadi stress dengan hal ini dan terpikir untuk menyerah saja. Dia menawariku obat tidur sebagai solusi sementara, tetapi aku tidak memilih opsti itu.

Tiga minggu berkutat dengan insomnia membuatku bergumul. Kualitas dan kuantitas tidurku berkurang drastis. Aku baru bisa tidur pulas sekitar jam 3 atau 5 subuh meskipun aku sudah mendengar musik, membaca, atau melupakan kepenatan sepanjang hari yang kualami. Kelelahan fisik yang tak teratasi melalui tidur pulas juga mempengaruhi kondisi psikisku. Ketika aku terjaga di malam hari, pikiran-pikiran buruk datang: bilaku lulus nanti, apakah aku mampu jadi orang yang Tuhan dan orang tuaku inginkan?

Namun, di tengah pikiran-pikiran negatif yang muncul itu, aku teringat akan kisah seorang Gerasa, anak Yairus, dan perempuan yang sakit pendarahan. Kisah tiga tokoh ini tercatat dalam Markus 5:1-43. Tokoh pertama ialah seorang di Gerasa yang kerasukan roh jahat. Ayat ke-4 mencatat saking kuatnya kendali roh jahat atas tubuh orang tersebut, tak ada satupun orang yang sanggup menjinakkannya, padahal orang itu sudah diikat dan dibelenggu bahkan oleh rantai. Hingga akhirnya ketika Yesus datang dan berseru, “Hai engkau roh jahat! Keluar dari orang ini!” (ayat 8), keluarlah roh jahat dari tubuh orang Gerasa itu.

Tokoh kedua ialah Yairus yang tersungkur di depan kaki Yesus. “Anakku perempuan sedang sakit, hampir mati, datanglah kiranya dan letakkanlah tangan-Mu atasnya, supaya ia selamat dan tetap hidup” (ayat 22), ucap Yairus memelas. Yesus memenuhi permintaan Yairus, Dia pun pergi ke rumah untuk menjumpai anak yang terbaring sakit itu. Di tengah perjalanan, muncullah tokoh ketiga, sang perempuan yang sudah dua belas tahun menderita sakit pendarahan. Tak ada obat maupun tabib yang mampu menyembuhkannya. Ketika dia tahu ada Yesus di dekatnya, segera dia berpikir, “Asal kujamah saja jubah-Nya, aku akan sembuh” (ayat 28). Perempuan itu ternyata sembuh setelah menjamah jubah Yesus hingga ia pun tersungkur di kaki-Nya. Kesembuhan juga dialami oleh anak Yairus. Ketika orang-orang di rumah meratap dan menangisi anak yang dianggap sudah mati itu, Yesus malah membangkitkannya.

Bagian ayat Alkitab ini bergema kuat di hatiku. Selama kita hidup, kita tidak akan pernah bisa luput ataupun kebal dari pencobaan, masalah, penyakit, juga dosa, seperti yang dialami juga oleh ketiga tokoh di atas. Upaya kita sendiri untuk ‘sembuh’ seringkali menemui jalan buntu. Namun, di sinilah kabar baiknya: kendati kita mungkin tak berdaya menghadapi segala penderitaan itu, Yesus berkuasa untuk mengatasinya. Yang kita perlukan hanyalah datang kepada-Nya dan mengakui ketidakmampuan kita.

Aku sadar aku tak berdaya mengatasi gangguan sulit tidurku ini, dan ketakutanku yang muncul setiap kali insomnia akan menelanku jika aku tidak segera datang tersungkur ke kaki Tuhan. Saat mulutku enggan berkata dan mengakui apa saja yang kuresahkan, Yesus hadir dan menyapaku. Belas kasihan-Nya menjawab seruanku, bahkan yang tak terkatakan sekalipun. Aku percaya ketika aku bergumul hebat dengan kesulitan tidurku, Yesus turut hadir menemani dan menjamahku. Hingga tanpa kusadari, di akhir bulan kedua ini aku jatuh tertidur lebih awal dan ketika bangun di pagi hari aku telah tiba di bulan yang baru.

Insomniaku mungkin tidak akan hilang dalam sekejap. Ketika aku pindah ke tempat yang baru atau mengalami kondisi yang mengguncangkan jiwa, mungkin aku akan bergumul lagi dengan gangguan ini. Tapi, saat ini aku merasa lebih baik. Aku mencoba lebih disiplin lagi dalam hal-hal sederhana yang sebelumnya belum kulakukan maksimal. Aku menjaga tubuhku terhidrasi dengan minum air yang cukup, juga mengompres kepala dan hidungku saat mandi, atau membaca buku dan mendengarkan musik dengan volume yang kupastikan tidak mengganggu teman sekamarku, serta tidak tidur siang supaya malamnya aku lebih mudah tertidur.

Aku perlu untuk tetap disiplin melakukannya dan tidak menyerah karena hal ini tidak terjadi satu dua kali. Aku juga perlu sadar akan keterbatasan diri, tidak selamanya dan tidak selalu tubuhku mampu untuk dapat berespons dengan cepat.
Untuk kamu yang masih bergumul dengan hal ap apun itu, jangan menyerah ataupun berhenti untuk datang dan melekat pada-Nya, Ia tak akan menyerah atas kita dan mau selalu beserta kita.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Disiplin Rohani: Perlukah Menjadi Orang Saleh di Abad Ke-21?

Disiplin rohani dan kesalehan, kita mungkin tidak asing dengan dua istilah ini, tapi sejauh mana kita memahami keduanya sebagai sebuah cara hidup orang Kristen? Yuk temukan jawabannya di artikel pertama dari #SeriDisiplinRohani ini.

Menemukan Pemeliharaan Tuhan lewat Tenaga Profesional Kesehatan Mental

Oleh Listiyani Chita Ellary

Isu kesehatan mental dan komplikasinya adalah isu yang dulunya asing bagiku. Beberapa tahun yang lalu, aku belum mengenal arti pentingnya memiliki kesadaran soal merawat kesehatan mental bagi setiap orang, dan bagaimana kita bisa saling menolong untuk menjaga kewarasan rohani. Yang aku pahami adalah bahwa kesehatan mental setiap orang diukur dengan tolak ukur yang sama dan tentu saja menjadi tanggung jawab pribadi masing-masing untuk menjadi tetap kuat. Sebelumnya aku merasa bahwa cara terbaik merawat kondisi mental pribadi adalah dengan terlihat baik-baik saja dan memendam semua emosi. Tabu pula untuk mengakui perasaan sedih, marah, kecewa, sakit hati, serta ekspresi emosi “negatif” lainnya.

Caraku memperlakukan pergumulan mental selama ini, dengan berusaha menyimpan untuk digumuli sendiri dan mencoba terlihat baik-baik saja di mata orang lain, juga membuatku sedikit asing dengan profesi konselor, psikolog, juga psikiater. Lagi-lagi aku berasumsi bahwa ketiga profesi tersebut akan dibutuhkan hanya bagi seseorang dengan gangguan jiwa yang parah, yang mungkin juga dipengaruhi oleh kurangnya iman yang teguh. Namun semua asumsiku soal isu kesehatan mental dan profesi yang berkaitan dengannya luntur ketika aku sendiri harus menghadapi serangkaian peristiwa pahit yang cukup menggoyahkan hidup.

Tepatnya setahun lalu sejak kepindahanku ke Jakarta, ibu kota negara yang tekanan hidupnya amat berbeda dan unik, banyak adaptasi yang ternyata tidak selalu berjalan mulus. Awal-awal tinggal di Jakarta, hampir setiap harinya aku merasa stres harus menahan marah melihat kemacetan khas Jakarta dan desak-desakan antar penumpang di dalam bus dan kereta, transportasi yang aku gunakan setiap hari saat berangkat dan pulang dari tempat kerja.

Hal ini masih ditambah lagi dengan berbagai pergumulan personal, misalnya banyak pertikaian dalam relasi dengan pacar, juga peristiwa-peristiwa lain yang tidak jarang menguras banyak energi dan emosi. Pada momen-momen inilah aku merasa kewalahan untuk hidup sebagai seorang manusia. Aku merasa seperti mayat hidup, mengalami kekosongan dalam diri, seringkali merasa lelah dan hilang arah, hingga berakibat pada jatuhnya relasiku dengan Tuhan.

Dalam kondisi yang kacau saat itu, aku hanya menggunakan cara bertahan yang selama ini aku tahu; bahwa semua kekacauan tersebut menjadi tanggung jawabku pribadi, dan tidak baik membagikan kerapuhan kepada orang lain. Ketakutan terbesarku ketika mencoba membagikan kerapuhan kepada orang lain adalah respons negatif berupa penghakiman dari mereka ketika melihat bagian diriku yang kelam yang semakin membuatku terpuruk, padahal ketakutan tersebut belum tentu akan terjadi. Namun sikap yang kutunjukkan dalam keseharian tak bisa bohong. Orang terdekatku melihat banyak keanehan dalam diriku seperti banyak murung, mudah menangis tanpa alasan jelas, juga banyak ungkapan pesimis terlontar dari mulutku.

Akhirnya seseorang mendorongku untuk datang ke sebuah lembaga konseling Kristen di Jakarta. Tentu saja mulanya aku menolak habis-habisan. “Aku masih waras kok,” begitu pikirku. Namun dorongan beberapa orang terdekat dan kemurahan hati seorang kawan yang bersedia menemaniku ke tempat konseling membuatku bersedia menemui seorang konselor. Tentu saja, pertemuan pertama membuatku takut. Bagaimana mungkin aku harus membuka luka kepada orang asing yang sama sekali tidak mengenalku?

Tapi lagi-lagi, ketakutan serta asumsiku sama sekali tidak terbukti. Sepulang dari konseling, aku merasa amat dilegakan seperti sebagian beban hidupku terangkat. Aku bersyukur sekali ketika dipertemukan dengan seorang konselor yang amat hangat sehingga membuatku nyaman dan aman dalam membagikan banyak persoalanku tanpa sama sekali keluar penghakiman darinya, justru sambutan hangat dan positif yang tidak henti-henti kudapatkan. Di akhir sesi, beliau memberikan saran yang ternyata sederhana untuk menguraikan emosi dalam diriku: menulis. Akhirnya aku mulai mendisplinkan diri untuk mulai menuliskan berbagai emosi yang aku rasakan. Hasilnya cukup membantuku, yakni aku mulai belajar memetakan isi kepala terhadap semua respons emosi yang aku alami terhadap suatu peristiwa.

Benar, datang untuk konseling tidak menjamin permasalahan hidup akan selesai atau menemukan jalan keluar seketika. Namun menemukan seorang penolong profesional yang lebih mampu melihat secara jernih akar permasalahan dan memiliki sudut pandang obyektif ternyata mampu membuatku melihat banyak benang kusut dalam permasalahan hidup yang sedikit demi sedikit mampu diuraikan.

Hal ini mengingatkanku kepada nabi Elia, yang pernah mengalami kejatuhan mental dan depresi, juga bagaimana Tuhan menolongnya. Dalam kitab 1 Raja-raja 19 disebutkan bahwa Elia diancam dibunuh oleh Ratu Izebel yang geram akibat tindakan Elia yang membuktikan kekuasaan Allah dan kepalsuan nabi-nabi Baal. Di ayat 3 dan 4, dia, di luar dugaan kita akan nabi yang tangguh dalam Allah, justru meminta Tuhan untuk mengambil nyawanya karena begitu takutnya dia akan ancaman pembunuhan Izebel.

Lalu apa respons Tuhan? Dia ternyata mendengar ketakutan Elia dan menyatakan penyertaan-Nya, namun dengan cara yang tidak terlihat megah, malah remeh, yakni lewat roti bakar dan air (ayat 5-8) yang mendampingi istirahatnya, serta angin sepoi-sepoi yang menghampiri Elia (ayat 12).

Aku sering menganggap bahwa pertolongan Tuhan kepada para nabi pasti dengan cara dahsyat, namun kenyataannya Tuhan memperlengkapi dan menjaga semua anak-anak-Nya hari lepas hari dengan cara yang tidak terduga namun selalu mencukupkan.

Melalui nabi Elia yang berani mengutarakan ketakutannya kepada Tuhan, aku menyadari bahwa tidak apa-apa mengungkapkan dan mengekspresikan rasa takut atau emosi yang selama ini dianggap negatif alih-alih dipendam baik-baik agar nampak kuat. Aku pun melihat bahwa semua respons emosi juga Tuhan izinkan, tujuannya tentu saja untuk mengingat bahwa kita manusia yang memerlukan Tuhan untuk menolong semua kerapuhan kita.

Aku pun dituntun untuk belajar melihat dengan rendah hati serta menerima bahwa diri ini penuh kerapuhan dan memerlukan pertolongan Tuhan untuk menguatkan. Juga untuk tidak menganggap remeh bentuk-bentuk pertolongan yang Tuhan sediakan, termasuk melalui profesional di bidangnya yang membagikan pemahaman yang objektif serta pertolongan yang nampak simpel tapi sejatinya amat menguatkan.

Aku tahu di masa-masa sukar ini kita semua sedang sama-sama berjuang melaluinya. Tidak jarang kita merasa sendirian, kecewa, sakit hati, atau bahkan kehilangan harapan. Namun semoga kita semua selalu ingat bahwa kita selalu diperlengkapi dengan banyak pertolongan-pertolongan yang sederhana namun mencukupkan. Tugas kita hanyalah untuk mau rendah hati mengakui kerapuhan dan memiliki kesediaan untuk mau ditolong. Aku berdoa agar apapun yang sedang kita alami saat ini, semoga tidak pernah kehilangan harapan hidup di dalam Allah yang senantiasa mengasihi kita dengan cara-Nya yang unik.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Jalan Sulit dan Memutar

Kita tidak ingin menjumpai masa-masa sulit, tetapi Tuhan seringkali mengizinkan masa-masa itu hadir untuk membentuk kita. Pembentukan seperti apakah yang Tuhan inginkan terjadi bagi kita?

Membuka Luka Lama untuk Menerima Pemulihan

Oleh Aurora*, Jakarta

Suatu malam, aku mengendarai motorku dengan kencang di sebuah flyover di Jakarta sambil menutup mata. Pikiranku kalut. Saat itu, aku hanya ingin mati. Tiga kali aku mengitari flyover yang sama dengan kecepatan tinggi, dan ternyata aku masih hidup.

Aku ingat dengan jelas, malam itu aku mencoba bunuh diri. Setelah merantau beberapa tahun di Jakarta, aku merasa begitu depresi karena semua tekanan. Jakarta bukanlah kota yang mudah ditaklukkan. Kehidupannya begitu keras. Mulai dari tuntutan pekerjaan hingga persoalan relasi dengan teman-teman. Aku tidak bisa menemukan seorang sahabat yang bersamanya aku bisa menuangkan semua isi perasaanku seperti yang aku lakukan pada sahabatku di kota yang lama.

Perasaan sepi dan sendiri itu membuatku ingin menyakiti diriku sendiri karena ketika aku berelasi dengan orang lain, dan merasa tertolak, aku akan berpikir bahwa akulah sumber masalah. Aku tidak layak dan tidak pantas. Aku mencoba untuk memenuhi semua kriteria pertemanan di sekitarku, agar aku mudah diterima. Hingga akhirnya aku lelah menjadi “orang lain”dan aku pun terjebak dalam depresi.

Aku menyadari kondisi psikisku yang tidak beres sehingga dengan sadar aku pun memutuskan untuk menemui psikolog. Dengan gemetar aku datang ke sebuah ruangan konseling. Aku berpikir ruangan itu sangat menyeramkan. Namun, ternyata sebaliknya. Ruangan itu menjadi ruangan ternyaman bagiku untuk menjadi diriku apa adanya.

Aku berpikir sang psikolog akan memberikanku segudang solusi untuk masalah yang aku hadapi. Namun, ternyata tidak. Setelah melalui beberapa tes, dia malah membuatku untuk menyelidiki diriku sendiri. Aku ingat, aku diberi tugas untuk menuliskan tentang masa laluku, apa yang kusuka dan kubenci. Setelah melakukan beberapa kali konseling, aku memahami bahwa aku bukanlah orang yang bisa mengontrol emosiku. Aku cenderung meluangkan emosiku dengan marah yang tidak terkendali. Tanpa sadar, aku dibesarkan menjadi orang yang begitu membenci penolakan. Aku benci jika aku tidak dianggap atau aku gagal. Kecenderunganku adalah menyalahkan dan menyakiti diri sendiri.

Di ruangan berukuran 4×5 meter itu, aku menangis. Konseling ini seperti membuka semua luka lamaku dan menyiramnya dengan alkohol. Sakit dan perih, namun aku tahu, aku bisa sembuh suatu saat.
Konselorku membuatku menyadari bahwa aku masih menyimpan “dendam” pada masa laluku—ketika aku jauh dari orang tua, dan itu membuatku sulit menjalani relasi sosial dengan orang lain. Beberapa kali setelah selesai konseling, dia memelukku erat dan berucap “Well Done. You did a great job. Be patient with yourself. And remember that God loves you no matter what.”

Setelah dari konseling, aku merasa semakin membaik (seharusnya). Tapi ternyata, menyembuhkan luka itu tidaklah instan.

Suatu sore, aku dan temanku bertengkar hebat. Aku merasa tidak diterima dengan baik dan merasa tidak lagi berharga. Temanku mengeluarkan kalimat-kalimat kasar dan yang menciutkan semangatku. Sepulang dari pertemuan dengan temanku itu, aku menyetir motor untuk kembali ke kos. Pikiranku kalut. Aku menangis dan ingin menyudahi hidupku. “Aku ingin mati”, begitulah pikiranku saat itu. Lalu aku menutup mata, memutar gas motor dengan kencang melewati sebuah flyover. Satu kali putaran, tapi aku tidak kecelakaan. Lalu kuulang lagi hingga yang ketiga kalinya.

Saat menutup mata dan menangis, aku seolah mendengar suara yang berbisik di telingaku “Akulah Tuhan, Aku menyayangimu. Aku selalu bersamamu. Aku mengasihimu. You are precious.” Mendengar itu, aku membuka mata dan berhenti di atas flyover. Setelah cukup tenang, aku kembali mengendarai motorku pelan-pelan pelan hingga tiba di kos. Dalam perjalanan pulang, kata-kata konselorku kembali terngiang di kepalaku.

Aku tahu bahwa perjalanan ini tidaklah mudah. Seringkali aku lupa kalau aku tidak berjalan sendirian. Ada Tuhan Yesus yang selalu memegang erat tanganku dan berjalan bersamaku. Hari itu, aku ingin mengakhiri hidupku. Namun, di saat yang sama, Tuhan mengingatkanku lagi bahwa aku berharga dan Dia mengasihiku. Jika Tuhan sudah menolong dan menyertai perjalanan hidupku selama 25 tahun, bukankah Dia juga Tuhan yang sama yang akan menolongku di tahun-tahun yang akan datang?

Beberapa hari setelah kejadian itu, aku kembali ke konselorku. Aku menceritakan semua hal yang terjadi padaku malam itu, dan dia cuma berkata, “Be patient. Setiap orang punya waktu yang berbeda untuk pulih. Ada yang cepat, dan ada yang lambat. Tidak masalah selama proses itu “tidak diam di tempat”. Dan yang terpenting, Tuhan Yesus menemanimu di masa-masa terkelam kamu. Dia, Tuhan yang tidak akan pernah meninggalkanmu.”

Hingga hari ini, aku masih rutin melakukan konseling. Semakin hari semakin membaik walau prosesnya mungkin lambat. Aku tidak pernah terlintas untuk menyakiti diriku sendiri lagi. Walau dalam masa pandemi seperti ini, Tuhan masih tetap menyertaiku.

“Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan.” (Yesaya 41:10)

Aku tahu bahwa keputusanku pergi ke konselor tidaklah pernah salah. Bagi kamu yang sedang membaca ini dan menemui kesulitan bahkan depresi, aku menyarankan kamu untuk menemui konselor profesional maupun juga orang yang kamu percaya di komunitas Kristiani kamu. Terlebih lagi, ceritakanlah itu melalui Doa pada Tuhan. Dia mendengar doamu dan akan menjawab seturut waktu-Nya.

*Bukan nama sebenarnya.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Meruntuhkan Rasa Egois untuk Menjadi Seorang Pemimpin

Memimpin. Satu kata yang sederhana namun sulit dilakukan. Banyak orang ingin menjadi pemimpin dan punya otoritas. Namun, tak semua paham bahwa arti memimpin yang sesungguhnya adalah melayani.

Serba-serbi Kesehatan Mental: Tren, Fakta, dan Jalan untuk Mengasihi Diri

Oleh Ari Setiawan, Yogyakarta

Kesadaran akan kesehatan mental sedikit banyak meningkat, terlebih setelah film karya DC berjudul Joker (2019) sukses di berbagai layar bioskop. Namun, kesadaran tersebut disertai dengan dampak negatif. Karena melihat suatu film yang menunjukkan karakter pengidap mental illness, ada penonton yang merasa cocoklogi. Karena mengisi kuis dari Facebook, ada orang-orang yang merasa dirinya pasti mengidap penyakit mental tertentu. Dan lucunya, orang-orang yang cocoklogi, merasa dirinya mengalami gangguan psikologis, merasa keren, disebarkan di sosial media; seolah menjadi tren.Sebagai seorang yang rutin ke psikolog, aku merasa sedih melihat fenomena ini dan rasanya penting untuk berdialog mengenai fakta seputar kesehatan mental.

Menguji Kesehatan Mental Butuh Uji Ilmiah, Bukan Cocoklogi

Pada awal pandemi Covid-19 masuk di Indonesia, masyarakat menjadi waspada kesehatan. Ketika aku berada di suatu tempat, dan bersin, sontak seisi ruangan menoleh ke arahku. Apakah aku pasti terjangkit Covid-19? Menurut ilmu cocoklogi, mungkin wajar kalau aku diduga demikian. Namun, sebagai bangsa yang cerdas, kita pun bisa tahu seseorang mengalami Covid-19 melalui uji ilmiah, berupa Rapid Test, Swab Test atau PCR.

Hal yang sama terjadi pada kesehatan mental kita. Kuis yang ada di sosial media maupun Google, hanyalah kisi-kisi yang belum tentu akurat 100%. Kecocokan karakter pada film atau novel yang kita baca, tidak bisa membatasi karakter dan kondisi psikologis kita. Maka, untuk mengetahui kesehatan mental kita, datanglah ke ahli kesehatan mental, di mana sang psikolog, psikiater, terapis atau konselor akan berbincang-bincang bersama kita untuk mengetahui kondisi kita.

Penting banget ya untuk datang ke psikolog, psikiater, terapis, atau konselor? Secara logika, ketika sakit gigi, tentu kita datang ke dokter gigi, bagi ibu hamil tentu memeriksa kandungannya datang ke obgyn atau dokter kandungan. Lantas jika kita mengalami gangguan psikis, datanglah juga ke tenaga profesional, yang tentunya dapat membantu kita, bukan sekadar tebak-tebakan kuis.

Datang ke Konselor, Bukan Sekadar Curhat ke Teman

“Tapi aku sudah cerita ke temanku, si A, mahasiswa psikologi, atau si B, mahasiswa teologi, apa masih perlu ke konselor?”

Jawabannya? Tergantung kebutuhanmu. Jika butuh didengarkan, carilah orang yang benar-benar mampu mendengarkanmu. Namun, jika kamu butuh dibantu secara mendalam, bagaimana merespons kondisi psikis kamu dan mengelolanya, maka datanglah kepada tenaga ahli.

Tanpa bermaksud mengecilkan latar belakang mereka yang sedang atau menempuh studi psikologi, teologi maupun orang-orang berlatar pendidikan humaniora lainnya, datang ke konselor (terlebih yang sudah bersertifikat) memiliki poin kelebihannya tersendiri. Kelebihan pertama ialah sisi profesionalitasnya, di mana kita sudah membayar (secara langsung atau melalui BPJS di beberapa klinik) dan kita tentu bisa menaruh ekspektasi lebih daripada bantuan teman biasa. Kedua, mereka telah menaruh sumpah untuk menjaga rahasia dari kita, sebagai klien. Hal ini menjadi jaminan bahwa cerita kita akan terjaga dengan baik, dan kita bisa menuntut apabila hal itu tersampaikan kepada khalayak umum. Ketiga, karena tidak memiliki kedekatan personal, tenaga profesional mungkin dapat memberikan saran yang lebih obyektif dibandingkan dengan orang-orang yang mengenal dekat dengan kita dan pendapatnya condong mendukung kita.

Tentu aku tidak melarangmu untuk curhat ke teman, aku pun masih curhat ke teman. Namun dalam batasan tertentu, kita perlu melihat kedalaman privasi cerita yang disampaikan dan apa yang kita harapkan setelah cerita kita tersampaikan.

Konseling Tidak Sepenuhnya Langsung Menyelesaikan Masalah

Lantas buat apa ke psikolog kalau masalah tidak selesai? Buang-buang uang dong? Nyatanya, konseling memang tidak langsung menyelesaikan masalah kita. Kondisi keluarga kita tidak akan langsung harmonis. Orang yang kita cintai belum tentu akan kembali, masalah pendidikan atau pekerjaan mungkin masih tetap ada. Datang ke ahli, seperti, psikolog, psikiater bahkan pendeta, tidak sama seperti kita datang ke tukang sulap maupun tukang ketok magic; ada proses yang perlu kita lalui.

Kembali menggunakan perumpamaan di bidang kesehatan, kita perlu mengingat pengalaman kita ke dokter. Kala kita mengonsultasikan kesehatan kita, sang dokter memeriksa dan memberikan resep obat. Prosesnya tidak berhenti di situ. Harus ada aksi yang kita lakukan, yaitu menebus resep dan meminum obat tersebut secara berkala, sesuai petunjuk dokter. Dengan skala waktu tertentu, kita akan merasakan pemulihan secara perlahan dan jika kita masih merasa sakit, kita perlu kembali memeriksanya kembali ke dokter bukan?

Hal yang sama juga kita alami ketika kita melakukan konseling kesehatan mental kita, di mana memiliki tingkat kompleksitasnya tersendiri. Dalam pertemuan pertama, kita akan banyak menceritakan perasaan dan pikiran kita, di mana cerita tersebut masih seperti puzzle yang tercerai-berai. Bersama dengan tenaga profesional, kita diajak untuk mencari akar permasalahannya, baik dengan ragam metode kesadaran jasmani maupun di bawah kesadaran, sesuai permintaan kita dan kemampuan sang konselor tersebut. Dalam pertemuan kedua, ketiga dan selanjutnya kita akan mencoba mencari metode bersama-sama, cara yang tepat agar kita memiliki ketenangan dalam menentukan pilihan tindakan dan pikiran kita. Proses setiap orang tentunya tidak akan sama, aku harus sesi 4 kali, mungkin kamu bisa kurang dan bisa lebih, hingga dirasa memiliki kondisi mental yang baik.

Konseling Bagian dari Kita Menghargai Anugerah Tuhan

Seperti yang dijelaskan Vika, dalam artikel 4 Alasan untuk Tidak Perlu Takut Bertemu Ahli Kesehatan Mental, aku rasa mungkin setiap orang berpotensi memiliki gangguan kesehatan mental kok. Tentu gangguan kesehatan mental jangan dianggap negatif, karena spektrum dan tingkatannya sangat luas. Kita tidak bisa menyempitkan orang yang mengalami gangguan kesehatan mental hanyalah orang yang melakukan tindakan sadis saja. Ketika kita merasa sedih yang berlarut-larut, mengalami ketakutan yang berlebih, hal itu pun sudah termasuk gangguan kesehatan mental, dengan spektrum yang berbeda dengan pelaku tindakan sadis.

Teman-teman mungkin hafal dengan hukum kasih kedua, yang tertulis dalam Matius 22:39, “Dan Hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Melalui ayat tersebut, aku memahami bahwa mengasihi diri sendiri adalah hal yang tak kalah pentingnya dengan mengasihi sesama. Bentuk mengasihi diri tentunya bermacam-macam, salah satunya rutin melakukan cek kesehatan, USG, kontrol gula, kontrol gigi, yang kerap kita maupun orang tua kita lakukan secara berkala. Mental kita pun perlu diperiksa juga, tentu dengan kesadaran bahwa kita mengasihi diri kita, sebagaimana Allah juga telah mengasihi diri kita.

Dengan kondisi mental kita yang baik, didukung juga oleh kondisi fisik dan spiritual yang baik, aku yakin bahwa kita jauh lebih optimal memuliakan nama Tuhan lewat berbagai aspek hidup kita. Dan bagi kamu yang merasa sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja, it’s okay to not be okay. Datanglah ke tenaga ahli, dan saya juga turut berdoa bagi kamu. God bless us!


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!