Posts

Ayo Renungkan Kembali Alasan Mengapa Kita Merayakan Natal

Oleh Debra Ayis
Artikel asli dalam bahasa Inggris: It’s Time To Re-examine Why You Celebrate Christmas

Kita telah memasuki bulan Desember, suatu masa ketika lampu-lampu Natal bersinar terang di lingkungan tempat tinggalku yang baru. Tapi, yang paling berkesan buatku adalah ketika lagu-lagu Natal yang ceria berkumandang setiap pagi.

Suasana Natal yang kental tidak hanya terasa di jalanan depan rumahku, tapi juga hampir di seantero kota Manhattan, Amerika Serikat—di toko, kantor, restoran, juga di rumah-rumah. Di rumahku, lagu-lagu Natal dari penyanyi terkenal mengalun dari speaker-ku, membuat atmosfer Natal di setiap ruangan terasa semakin hidup.

Meskipun semua suasana itu seolah menjadikan Natal sebagai momen paling indah sepanjang tahun, aku tahu bahwa tidak semua orang menganggapnya demikian. Bagi beberapa orang, Natal adalah momen yang dipenuhi rasa stres, masa di mana orang sibuk membeli ini dan itu untuk diberikan sebagai hadiah. Akibatnya, banyak orang menjadi lupa akan apa alasan utama dari perayaan ini. Beberapa orang lainnya tidak dapat menikmati sukacita karena mereka tidak mengerti arti Natal. Mungkin mereka memiliki pandangan yang berbeda terhadap agama, atau mungkin juga mereka tidak beragama.

Suatu ketika, di perjalananku ke suatu wilayah di Tiongkok, aku tidak melihat adanya dekorasi Natal ataupun semangat merayakan liburan. Cuaca di sana tidak sedang bersalju dan masyarakatnya tidak berfokus kepada Kekristenan. Aku merasa seperti pergi ke sebuah realita yang berbeda.

Selama tinggal di sana, aku mendapati diriku tidak banyak memikirkan tentang Natal. Aku memang tidak berhenti berdoa, bersekutu dengan Tuhan, membaca Alkitab, atau melakukan hal-hal rohani lainnya. Tapi, aku tidak lagi membaca renungan yang secara khusus disiapkan untuk menikmati masa-masa Advent, yang sebelumnya kutemukan secara online.

Pengalaman itu, beserta mood untuk merefleksikan perjalananku selama setahun ke belakang, membuatku menanyakan kembali beberapa pertanyaan sulit dan aku menguji kembali apa yang menjadi motivasiku merayakan Natal:

1. Apakah aku mau menghormati kelahiran Kristus di hari yang spesifik sekalipun budaya yang ada di sekelilingku tidak melakukannya?

2. Aku bersyukur atas pengorbanan Kristus setiap harinya dalam hidupku, tapi apakah aku harus benar-benar meluangkan waktu di suatu hari yang simbolis untuk mensyukurinya lagi?

3. Apakah Natal—seperti yang kita ketahui dirayakan di berbagai belahan dunia—membawa kemuliaan bagi Tuhan?

Perjalananku ke Tiongkok menunjukkan fakta bahwa aku mudah dipengaruhi oleh budaya dan lingkungan sekitarku. Inilah yang kemudian memaksaku untuk memikirkan kembali apa arti Natal bagiku dan mengapa aku berusaha untuk merayakannya.

Jawabannya bagiku cukup jelas: Jika tidak ada Natal, tidak ada harapan bagi kita semua. Natal, seperti juga Paskah, adalah dua momen yang berkaitan dalam kisah keselamatan. Jika Yesus tidak merendahkan diri-Nya, mengambil rupa seorang bayi, mengalami kelemahan, pencobaan, sukacita, sakit, dan kemudian mati di kayu salib untuk menggantikan kita, maka kita tidak akan pernah didamaikan dengan Allah. Tanpa Kristus, kita tidak akan memiliki harapan untuk menjalani kehidupan dan setiap tantangan di dalam-Nya. Inilah alasan mengapa aku merayakan Natal, di manapun aku berada.

Kita bisa mengungkapkan rasa syukur kita atas pengorbanan-Nya setiap hari, namun adalah praktik yang baik apabila kita meluangkan satu hari secara khusus untuk memperingati kelahiran Kristus, merenungkan dampak apa yang diberikan kelahiran-Nya, mengagumi, dan menyembah-Nya.

Kita mungkin merasa kecewa dengan cara budaya kita merayakan Natal yang sepertinya menghapus makna Natal yang sejati. Tapi, alih-alih kita menyalahkan acara-acara seperti perayaan, kumpul keluarga, dan tukar kado, bagaimana jika kita mengingatkan diri kita untuk bersyukur atas keadaan yang memungkinkan kita untuk merayakan Natal dan menyembah Tuhan dengan bebas?

Sebagai orang Kristen, kita dapat memilih untuk berpegang pada kebenaran yang Alkitab katakan tentang Natal, bahwa Allah mengutus Anak-Nya yang tunggal untuk menjadi serupa seperti aku dan kamu, supaya manusia dapat diperdamaikan dengan-Nya (Yohanes 3:16-21).

Terlepas dari segala suasana Natal dan tradisi-tradisi terkait Natal yang kulakukan, aku bersyukur karena di tahun ini aku bisa lebih memahami alasan di balik perayaan Natal yang telah kulakukan bertahun-tahun.

Baca Juga:

Saat Kehilangan Menjadi Momen yang Membawaku Kembali pada Tuhan

Dokumen tesis yang sudah kukerjakan susah payah hilang karena laptopku eror. Aku stres, namun melalui peristiwa inilah aku ditegur dan mendapatkan kembali sukacita yang sejati.

Aku Menjalani Hidup yang Sulit di Afrika, tapi Aku Bersyukur Karena Satu Hal Ini

aku-menjalani-hidup-yang-sulit-di-afrika

Oleh Debra Ayis, Nigeria
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Africa: The Secret Behind Faith And Hope

Aku tinggal di Nigeria, sebuah negara yang menjadi pemenang negara paling optimistis di dunia tahun 2011 dan negara paling bahagia ke-6 di Afrika tahun 2016. Selama aku tinggal di negara ini, aku belajar sesuatu. Seringkali yang penting bukanlah seberapa kaya kita terlihat di penampilan luar, tapi seberapa kaya kita di dalam diri kita.

Tidak peduli apa pun situasi yang kita hadapi, kita selalu mempunyai pilihan: tenggelam dalam kesedihan atau berharap yang terbaik; menyalahkan lingkungan atau mengizinkan mereka membangun karakter kita; mengeluh sepanjang waktu atau bersyukur untuk setiap hasil positif.

Ketika aku dibesarkan, keluargaku dipandang “beruntung” di mata banyak orang karena kedua orangtuaku mempunyai pekerjaan untuk menghidupi keluarga mereka. Meskipun demikian, kami tinggal di apartemen dengan 3 kamar tidur yang tidak memiliki keran air, dan listrik hanya datang sewaktu-waktu. Ketika tidak ada listrik, kami menggunakan lentera dan seringkali tidur di luar rumah, menikmati lingkungan sekitar dan membiarkan angin yang sejuk menerpa kami.

Seperti banyak keluarga lainnya, ketika aku dibesarkan aku juga mengenal bagaimana rasanya kelaparan. Namun, selain itu aku juga belajar, di usia yang dini, untuk berbicara kepada Tuhan dan memiliki iman kepada-Nya. Aku berusia 5 tahun ketika aku menerima Kristus.

Saat itu, aku mulai mengerti mengapa ibuku memberi makan aku dan saudara-saudaraku satu sendok kacang rebus untuk sarapan kami, tapi ibuku sendiri tidak makan.

Aku mengerti mengapa ibuku harus meminjam garam untuk memasak makanan kami.

Aku mengerti mengapa ciciku memetik buah dalam kebun kami yang kecil sehingga dia dapat menjualnya ke anak-anak sekolah untuk mendapatkan cukup uang bagi kami untuk membeli makan siang.

Aku mengerti mengapa peternak sapi diizinkan memberi makan sapi-sapinya di halaman depan rumah kami sebagai ganti susu sapi segar.

Aku mengerti mengapa kami mendapat baju baru hanya pada saat Natal.

Aku mengerti mengapa kami mengais tanah yang baru dipanen untuk mencari kentang-kentang dan kacang tanah yang terjatuh.

Aku juga mengerti mengapa kami harus mencari air setiap hari dari sebuah sumur atau lubang.

Tapi, aku tidak kecewa dengan ini semua. Aku selalu memiliki iman bahwa Allah akan menjaga keluarga kami dan menyediakan apa yang kami perlukan setiap hari (Mazmur 37:19).

Kisahku tidaklah terlalu berbeda dengan kebanyakan orang lain di benuaku. Meskipun tingginya tingkat pengangguran dan banyaknya masalah sosial dan ekonomi di sekitarku, aku telah menyaksikan orang-orang menemukan sukacita ketika berbagi “satu sendok kacang” mereka dengan tetangga-tetangga yang membutuhkan. Aku melihat keluarga-keluarga dan komunitas-komunitas datang bersama untuk menghadapi berbagai tantangan, percaya sepenuhnya di tengah berbagai kesulitan, bahwa tidak ada yang dapat memisahkan mereka dari kasih Allah (Roma 8:31-39). Aku juga telah melihat saudara-saudari dalam Kristus bersatu bersama dalam pengharapan yang seakan mustahil, percaya hanya kepada satu nama yang berkuasa (Kisah Para Rasul 4:12).

Dan aku telah menyaksikan berbagai mukjizat pemeliharaan Tuhan seperti yang ada di dalam Alkitab, karena iman yang teguh kepada Tuhan yang empunya segalanya. Aku telah melihat Tuhan datang kepada para saudara-saudari yang mengorbankan segala yang mereka punya, sampai koin mereka yang terakhir, untuk memberitakan Injil.

Sepanjang hidupku, aku menyadari bahwa aku butuh berdoa setiap hari untuk kebutuhan-kebutuhan kami, seperti yang ada dalam Doa Bapa Kami (Matius 6:9-16). Namun, itu justru membuatku menyadari betapa aku membutuhkan Tuhan dalam kehidupanku. Aku menjadi benar-benar mengerti arti dari “berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya” yang ada dalam Doa Bapa Kami. Percaya kepada Tuhan menjadi sesuatu yang nyata. Situasi hidupku telah membuatku mengandalkan Dia untuk memimpin, melindungi, menjagaku. Dan hal itu membuatku semakin dekat dengan Tuhan, sesuatu yang lebih berharga daripada harta yang berlimpah.

Tuhan memberikan ujian kepada kita untuk membawa kita mendekat kepada-Nya. Untuk itu, aku memuji Dia dan senantiasa bersyukur karena aku telah dilahirkan di Nigeria.

Baca Juga:

Perpisahan Brad Pitt & Angelina Jolie – Inikah Akhir dari Cinta?

Itulah yang dikatakan dalam beberapa artikel, setelah berita yang merebak kemarin tentang pasangan emas Hollywood, Angelina Jolie dan Brad Pitt, yang mengakhiri pernikahan mereka yang berusia 2 tahun—setelah 12 tahun hidup bersama dan memiliki 6 anak.