Posts

Tipe Teman yang Kita Semua Inginkan Hadir dalam Hidup [dan tips dari Alkitab]

Kisah-kisah pertemanan adalah kisah yang turut hadir dalam Alkitab.

Pada banyak kesempatan, kata ‘teman’ digunakan bersamaan dengan kata ‘saudara’ untuk menunjukkan kedekatan. Bahkan, Tuhan sendiri disebut sebagai teman bagi Abraham, Musa, Yakub, dan orang-orang yang mengikut-Nya (Mazmur 25:14 terjemahan ESV).

Kita semua ingin punya teman yang baik, dan kita pun sudah selayaknya dan seharusnya jadi teman yang baik pula.

Inilah 5 tokoh Alkitab yang dari mereka kita bisa belajar untuk menjadi kawan yang baik.


Artspace ini diterjemahkan dari YMI.Today dan didesain oleh @merrakisstart

Satu Penyebab Kekalahan dalam Bertanding

Oleh Antonius Martono

“Hampir master nasional,” begitu komentar GM Susanto terhadap permainan catur Pak Dadang Subur.

Pak Dadang Subur dikalahkan secara telak dalam duel persahabatan dengan WGM Irene Sukandar. Duel ini disiarkan langsung dari kanal Youtube miliki Deddy Corbuzier dan ditonton oleh jutaan orang. Menariknya, dari polling yang dibuat oleh Deddy Corbuzier, banyak netizen yang menunggu kemenangan Pak Dadang ketimbang Irene. Padahal, Pak Dadang tidak mendedikasikan hidup dan pengalamannya untuk dunia catur seperti Irene. Sepertinya netizen ingin melihat kisah Pak Dadang mengulang keberhasilan Daud muda mengalahkan Goliat, prajurit yang memiliki segudang pengalaman perang. Terlepas dari keperkasaan Goliat, sebenarnya dia kehilangan satu pengalaman penting di hidupnya yang menjadi penyebab kekalahannya kelak.

Dalam kisah Daud melawan Goliat, kita cenderung melihat Daud dari sudut pandang Saul, yang menganggap remeh. Ketika Goliat menantang pasukan Israel untuk bertarung, Daud berinisiatif untuk menghadapinya. Daud lalu menemui Raja Saul dan meminta izin untuk bertarung dengan Goliat. Saul ragu, dia memandang Daud dan Goliat bukanlah lawan yang sepadan. Goliat telah mendedikasikan seluruh hidupnya untuk berperang dan bertarung, sedangkan Daud masih sangat muda dan tidak memiliki pengalaman bertarung yang memadai. Namun, Daud tidak sependapat dengan Saul. Alkitab mencatatnya demikian:

Tetapi Daud berkata kepada Saul: “Hambamu ini biasa menggembalakan kambing domba ayahnya. Apabila datang singa atau beruang, yang menerkam seekor domba dari kawanannya, maka aku mengejarnya, menghajarnya dan melepaskan domba itu dari mulutnya. Kemudian apabila ia berdiri menyerang aku, maka aku menangkap janggutnya lalu menghajarnya dan membunuhnya. Baik singa maupun beruang telah dihajar oleh hambamu ini. Dan orang Filistin yang tidak bersunat itu, ia akan sama seperti salah satu dari pada binatang itu, karena ia telah mencemooh barisan dari pada Allah yang hidup.” Pula kata Daud: “TUHAN yang telah melepaskan aku dari cakar singa dan dari cakar beruang, Dia juga akan melepaskan aku dari tangan orang Filistin itu.” Kata Saul kepada Daud: “Pergilah! TUHAN menyertai engkau.” (1 Samuel 17:34-37)

Jika kita cermati sosok Daud, dia bukanlah pemuda polos tanpa persiapan dan pengalaman. Dia tidak mengandalkan keberuntungan. Sebagai gembala, padang rumput adalah tempat pelatihannya, sehingga bisa dibilang kalau Daud sama berpengalamannya dengan Goliat untuk bertarung. Namun, Daud cukup bijak untuk tidak hanya mengandalkan pengalamannya bertarung sebagai satu-satunya modal kemenangan. Justru dalam pengalamannya, Daud sadar bahwa sumber kemenangannya berasal dari Tuhan. Pengalaman inilah yang menjadi titik buta bagi Goliat yang tidak pernah merasakannya.

Berkali-kali sudah Daud merasakan bagaimana Tuhan menyelamatkannya dari mulut singa dan beruang. Telah berulang kali Tuhan membuktikan diri-Nya sebagai pribadi yang sanggup dan mau melindungi Daud. Pengalaman ini memupuk iman percaya Daud kepada Tuhan. Bayangkan pengalaman pertama Daud dalam menghadapi seekor singa lapar. Jika dia bisa selamat dari cakar dan mulut singa tersebut tentu itu adalah pengalaman luar biasa yang dimilikinya. Bagaimana mungkin seorang anak muda dapat selamat melawan seekor singa lapar? Daud melihat keselamatan dirinya bukan berasal dari keahliannya melawan binatang buas, melainkan terletak pada Tangan yang sama yang membentuk gigi-gigi tajam seekor singa. Tangan yang sama juga yang akan melepaskan Daud dari tangan Goliat yang kecil.

Sedangkan Goliat sendiri tidak pernah mengalami pengalaman ini. Selama hidupnya Goliat hanya mengandalkan kekuatan, ketangkasan, dan kemahirannya untuk bertarung. Dia sudah terbiasa bergantung pada semua hal itu untuk menyelamatkan hidupnya. Dia tidak tahu tempat lain selain dirinya untuk diandalkan. Goliat tidak mengerti betapa amannya hidup ketika bersandar kepada Tuhan yang hidup.

Lantas, bagaimana dengan kita? Apa yang selama ini menjadi sumber kekuatan kita? Sangat mungkin bagi kita untuk mengandalkan Tuhan di setiap pengalaman pertama kita mencoba sesuatu. Namun, seiring berjalannya waktu, kita semakin terbiasa. Kita merasa semakin mahir dan semakin tahu apa yang harus kita lakukan. Pelan-pelan kita akhirnya tidak lagi memiliki tingkat kebergantungan yang sama kepada Tuhan seperti saat awal kita mencoba hal tersebut. Kita mulai mempercayai pengalaman-pengalaman dan hikmat yang pernah kita pelajari di dalamnya.

Budaya di sekitar kita terus mengatakan bahwa tidak ada orang lain yang dapat menolong kita selain diri sendiri. Secara tidak sadar hal ini membuat diri kita frustasi. Kita sibuk terus meng-upgrade diri tapi, tetap merasa tidak cukup. Kita merasa hidup masa depan bergantung pada besarnya kapasitas diri. Di lain pihak, lubuk hati kita sadar bahwa diri ini tidak sanggup diandalkan.

Tuhan sendiri tahu betapa rapuhnya manusia yang tidak mampu menebak masa depan. Dia selalu membuka lebar tangan-Nya agar setiap orang yang mau berpegang pada-Nya dapat menikmati penyertaan-Nya. Sehingga setiap kali kita mengalami kesulitan atau kemustahilan tidak lagi menjadi penghalang untuk mencapai tujuan kita. Melainkan kesulitan diubah menjadi sebuah kesempatan untuk memperdalam iman percaya kita kepada Tuhan, seperti Daud.

Pada akhirnya kita memang harus melatih diri dan memiliki jam terbang yang tinggi. Tuhan tidak meminta kita hanya berpangku tangan menunggu hujan keajaiban dari langit. Namun, adalah hal naif jika kita pikir kemampuan diri kita saja sanggup diandalkan. Selalu banyak faktor di luar diri yang sanggup merobohkan kita. Jangan sampai kita terlalu berfokus kepada diri dan kehilangan pengalaman yang utama dalam hidup kita, yaitu pengalaman kekal bersandar pada Tuhan yang perkasa.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

“Dengan Segenap Keberadaan”: Mengenal Tuhan Lewat Disiplin Rohani Belajar

Disiplin rohani pada dasarnya adalah sebuah ‘disiplin’. Kita perlu komitmen, juga perjuangan untuk melakukannya dengan sungguh.

Yuk baca artikel terakhir dari #SeriDisiplinRohani ini.

Belajar dari Daud: Bukan Kekuatan Kita Sendiri yang Mampu Mengubah Kita

Oleh Christine Emmert
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Learned The Secret To Time Management

Hari sudah terlampau siang. Aku masih duduk di depan komputerku, mengedit sebuah artikel yang harus segera ditayangkan. Anak lelakiku duduk di lantai dan bermain mobil-mobilan dengan berisik—sebuah pengingat bagiku kalau siang itu aku tidak punya waktu untuk bermain dengannya. Selain itu, aku pun masih harus memasak makan malam sebelum suami dan saudariku pulang ke rumah.

Tapi, bukannya memperhatikan kata-kata dan tanda baca di artikel, atau mengerjakan aktivitas lain yang harus segera kukerjakan, aku malah mencari tahu buku-buku apa yang baru temanku baca di postingannya di media sosial.

Itu terjadi ketika sebuah notifikasi muncul di layarku, memberitahuku kalau setahun lalu aku telah membaca 19 buku.

Sebagai seorang kutu buku, angka itu membuatku merasa tidak percaya. Biasanya aku bisa membaca buku dua kali lipat dari angka itu. Mengapa sangat sedikit buku yang kubaca saat ini?

Selama beberapa minggu setelahnya, pertanyaan ini menggantung di benakku. Aku mulai memerhatikan bagaimana caraku meluangkan waktuku. Tidak butuh lama untuku menyadari bahwa pekerjaanku mengambil jatah waktu lebih lama daripada seharusnya. Bukan karena beban kerja yang meningkat tajam, tapi karena aku sering mengambil waktu “break” untuk scrolling media sosial atau situs berita daripada berfokus ke pekerjaanku. Waktu-waktu jeda ini seringkali memakan waktu lebih lama dari yang kurencanakan, dan membuatku jadi lupa akan pekerjaan utamaku.

Menanggapi fakta yang baru kutemukan ini, aku memutuskan untuk membuat pagi hariku lebih bermakna. Aku pergi ke kedai kopi yang mahal di kotaku, dan memikirkan cara terbaik apa yang bisa kulakukan untuk ‘menyelamatkan’ waktu-waktuku di masa depan. Aku merasa senang dengan langkah-langkah praktis yang telah kupikirkan. Lalu, untuk mengingatkan diriku tentang langkah-langkah yang bisa ditindaklanjuti ini, aku menuliskannya di sticky notes, dan menempelnya di komputer.

Hari pertama, strategi ini berhasil. Aku bisa menggunakan waktuku dengan maksimal. Tapi, seminggu berselang, aku kembali berjuang melawan kebiasaan lamaku. Aku lupa untuk mengendalikan waktuku atau menggunakan waktu jedaku jauh dari komputer. Aku tergoda dan mulai menjelajahi Internet ketika seharusnya aku mengerjakan beberapa riset untuk pekerjaanku. Ada beberapa hari yang kurasa aku bisa kembali menjalankan manajemen waktuku, tapi di hari-hari lainnya, kupikir aku tidak jauh lebih baik dari sebelumnya.

Tak peduli seberapa keras aku berjuang, rasanya aku masih menjadi hamba dari tiap-tiap distraksi yang muncul. Dan segala perenungan dan langkah-langkah praktis yang sudah kususun tidak banyak membuatku berubah.

Hingga akhirnya, ketika aku membaca Alkitabku, aku membuka Mazmur 51. Pasal ini bercerita tentang mazmur pertobatan Daud setelah dia berbuat zinah dan membunuh (2 Samuel 11-12). Ada satu ayat yang menyentakku:

“Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh!” (Mazmur 51:12).

Apa yang menegurku adalah ketika menyesali perbuatannya dan memperbaiki diri, Daud tidak fokus kepada bagaimana memperbaiki dirinya sendiri yang berdosa. Dia tidak mengucap janji untuk menjadi lebih baik di masa depan. Daud berbalik kepada Tuhan dan belas kasihan-Nya, dan meminta Tuhan untuk memperbarui hatinya.

Dalam perjuanganku mengatur manajemen waktu yang baik, aku telah menuliskan tujuan-tujuan dan langkah-langkah yang bisa kulakukan—mempercayai kekuatanku sendiri untuk membuat perubahan dan menjadikan pekerjaanku berhasil. Tapi, tak ada satupun yang berhasil! Aku melupakan apa yang Daud ketahui dengan sangat baik—Tuhan tidak hanya mampu mengampuni, tetapi Dia juga mampu untuk menjadikan hati kita murni dan memperbaruinya dengan roh yang teguh!

Siang itu, aku menempelkan sticky notes yang baru di depan komputerku. Bukan catatan tentang langkah-langkah praktis yang kupikir sendiri, aku hanya menuliskan ayat Mazmur 51:12, dan menjadikan ayat itu sebagai doa pribadiku. Ketika aku duduk untuk bekerja, ketika aku menikmati waktu jeda, dan bahkan ketika aku tergoda untuk terlarut dalam Internet, aku memandang kepada catatan kecil itu dan berdoa, “Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh!”

Kamu tahu bagaimana dampaknya? Siang itu pun terasa luar biasa. Aku bisa bekerja dengan fokus, sesuatu yang jarang terjadi di tahun-tahun belakangan. Dan, bukan hanya aku bisa mengerjakan pekerjaanku secara cepat, tapi juga dengan baik. Aku bahkan punya waktu lebih untuk mencuci baju, merapikan rumah lebih rapi daripada biasanya, dan mengajak anakku bermain—semua itu kulakukan sebelum aku memasak makan malam untuk keluargaku.

Dua minggu pun berlalu setelah hari itu. Ada hari-hari di mana aku merasa kurang fokus dan bekerja lebih lama dari waktu yang seharusnya. Kadang pula makan malam kusajikan sedikit terlambat. Tapi, secara keseluruhan, aku merasa punya waktu lebih dan pekerjaan yang kulakukan hasilnya jauh lebih baik.

Yang menjadi inti adalah, aku telah mencoba mengatur waktuku dengan kekuatanku sendiri, dan aku gagal. Ketika aku menyadari bahwa aku tidak bisa melakukannya sendiri, aku memohon pertolongan Tuhan. Aku berdoa agar Dia mengubah hatiku supaya aku tidak dengan mudah terdistraksi, dan bisa lebih fokus pada pekerjaanku. Aku memohon Tuhan untuk memampukanku melakukan apa yang kuanggap sebagai kemustahilan untuk kucapai.

Dan, Tuhan dengan murah hati menjawab doaku. Dengan anugerah-Nya saja, aku dimampukan-Nya untuk bekerja dengan baik dan bertanggung jawab atas waktu-waktuku.

Pengalamanku ini adalah sebuah pengingat bahwa Tuhan mampu mengubah hati. Dia menciptakan hati yang murni untuk Daud. Dia telah memperbarui hatiku di masa lalu, dan melakukannya kembali secara ajaib di dalam dua minggu yang lalu. Dan aku tahu, Tuhan akan terus memperbarui hatiku di masa depan, menolongku untuk mengalahkan dosa-dosa dan kesalahanku ketika aku tak dapat melakukannya. Hingga suatu hari, aku kelak akan menghadap-Nya dengan penuh kegembiraan dan tak bernoda di hadapan kemuliaan-Nya (Yudas 1:24).

Temanku, saat ini adakah suatu hal yang sedang kamu gumulkan dalam hidupmu? Adakah tujuanmu yang ingin kamu capai namun kamu belum mampu mewujudkannya? Mohonlah supaya Tuhan memberimu hati yang baru.

Perubahan mungkin tidak terjadi dalam semalam. Beberapa doaku ada yang dijawab Tuhan setelah bertahun-tahun. Tapi, meskipun di dalam masa kita menanti, ktia dapat memohon Tuhan untuk menolong kita mempercayai-Nya dan bersandar pada kekuatan-Nya. Bahkan ketika kita tersandung dan jatuh lagi, kita tahu bahwa Tuhan terus membentuk dan menguduskan kita. Ketika kita terus berdoa dan percaya, Tuhan memperbarui kita dari hari ke hari. Tuhan sedang bekerja untuk mengubah hati. Tuhan ingin memberikan kita hati yang baru dan Dia pun memperbarui roh kita; yang perlu kita lakukan adalah meminta kepada-Nya.

Baca Juga:

Ketika Tuhan Mengizinkanku untuk Menunggu dalam Masa Mencari Pekerjaan

Aku melamar kerja ke banyak perusahaan, menanti, dan berharap hingga akhirna mendapatkan pekerjaan. Mungkin kisah seperti ini terdengar klise, tapi ada pelajaran berharga yang Tuhan ajarkan kepadaku.

Pertolongan Pertama Ketika Kita Jatuh dalam Dosa

Oleh Aryanto Wijaya, Jakarta

Dosa. Kata ini tidak asing di telinga kita sebagai orang Kristen. Karena dosa, manusia diusir dari taman Eden. Karena dosa, maut pun datang. Dosa membawa akibat buruk.

Kendati demikian, sebagai manusia biasa, berulang kali kita mendekati dosa. Tak jarang terjun pula ke dalamnya. Seorang temanku pernah curhat dengan nada putus asa. Dia kecanduan masturbasi. Dia tahu kalau aktivitas ini adalah dosa dan setiap kali usai melakukannya, dia selalu diliputi rasa penyesalan yang hebat. “Gue harus gimana?” keluhnya. Rasa penyesalan yang sering diikuti janji “ini terakhir kalinya”, seringkali tak cukup kuat untuk mencegah kita kembali jatuh ke dalam dosa, entah itu dosa yang sama atau beda.

Pertanyaan gue harus gimana yang diajukan temanku itu menjadi titik pembahasan yang menarik. Tak hanya temanku, aku pun pernah berada di posisi itu. Ketika dosa meninggalkan kita dalam perasaan tak berdaya dan hancur, apa yang seharusnya kita lakukan? Adakah pertolongan pertama untuk menyelamatkan diri saat kita terjatuh ke dalam jurang dosa?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu menyelediki kebenaran apa yang Alkitab tuliskan untuk kita. Mari kita bahas secara perlahan.

Pertama, kita perlu tahu bahwa Allah sesungguhnya tidak pernah menjauh dari kita.

“Sesungguhnya, tangan TUHAN tidak kurang panjang untuk menyelamatkan, dan pendengaran-Nya tidak kurang tajam untuk mendengar; tetapi yang merupakan pemisah antara kamu dan Allahmu ialah segala kejahatanmu, dan yang membuat Dia menyembunyikan diri terhadap kamu, sehingga Ia tidak mendengar, ialah segala dosamu” (Yesaya 59:1-2)

Dua ayat pertama dari Yesaya 59 memberi kita gambaran jelas akan di mana peranan dosa dalam kehidupan kita. Dosa menciptakan jurang antara kita dengan Allah. Semakin kita bertekun dengan dosa, semakin dalam pula jurang tercipta. Kendati demikian, dari ayat pertama kita tahu bahwa Tuhan adalah Mahakuasa. Tangan-Nya tidak kurang panjang untuk menolong dan pendengaran-Nya tidak kurang tajam untuk mendengar.

Hanya, di ayat kedua dituliskan, kitalah yang melarikan diri dari-Nya. Ketika terjatuh ke dalam dosa, kita membiarkan dosa itu menguasai diri kita dengan cepat. Lewat rasa penyesalan yang tidak terkontrol, lewat rasa takut, atau bahkan lewat rasa nikmat, kita membiarkan jurang dosa semakin dalam. Kemudian pikiran kita berkata kalau Allah itu terasa jauh, atau mungkin juga kita merasa jijik dengan diri sendiri hingga kita takut untuk datang kepada-Nya.

Di sini, kita mendapati bahwa sebenarnya kita memiliki peranan aktif dalam menentukan respons seperti apa yang mau kita berikan dalam menyikapi kejatuhan dalam dosa. Seringkali, kita merespons kejatuhan kita dalam dosa dengan menjauh dari Allah, bergumul sendirian, dan berpikir kalau inilah respons yang paling baik. Namun, Alkitab memberitahu kita bahwa ini bukanlah cara yang dapat membawa kita kepada kemerdekaan dari dosa.

Alkitab mencatat kisah tentang Daud. Jika kita menilik kembali kisahnya dalam 2 Samuel 11:1-5, kita mendapati bahwa Daud telah berdosa di hadapan Allah karena dia berzinah dengan Batsyeba. Lalu, demi memperistri Batsyeba, Daud berbuat jahat kepada Uria dengan cara menempatkannya di garis depan pertempuran supaya dia mati terbunuh (2 Samuel 11:14). Daud tahu apa yang dia lakukan itu jahat, namun dia menyembunyikannya hingga akhirnya firman Tuhan datang menegur.

Proses pemulihan Daud dari dosa tidak dia jalani sendirian. Allah tahu bahwa Daud membutuhkan orang lain untuk menolongnya bangkit dari jurang dosa. Oleh karena itu Allah mengutus Nabi Natan untuk menegur Daud dan memberitahukan hukuman Allah kepadanya (ayat 11-12). Di titik ini Daud sadar dan dia berkata, “Aku sudah berdosa kepada Tuhan” (ayat 13). Daud berani membuka diri dengan mengakui dosanya dan menanggung hukuman yang Allah berikan kepadanya.

Perjalanan Daud untuk pulih itu kemudian dia tuliskan dalam mazmur-mazmurnya. Salah satu mazmur yang menggambarkan pergumulan Daud akan dosa-dosanya dapat kita lihat di kitab Mazmur 51.

“Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar! Bersihkanlah aku seluruhnya dari kesalahanku, dan tahirkanlah aku dari dosaku! Sebab aku sendiri sadar akan pelanggaranku, aku senantiasa bergumul dengan dosaku” (ayat 3-5).

Mazmur ini diawali dengan seruan: “Kasihanilah aku ya Allah,” Daud menyadari betul bahwa dia hanya bisa pulih oleh belas kasihan Allah. Oleh karena itu dia berseru nyaring kepada Allah untuk mencurahkan belas kasih kepadanya. Kesadaran Daud akan kasih setia Allah itulah yang kemudian membuatnya berani untuk meminta ampun dan memohon Allah menghapuskan segala pelanggarannya seturut kasih setia-Nya.

Dari Daud, kita dapat belajar bahwa ketika kita terjatuh ke dalam dosa, pertolongan pertama dan terbaik adalah mendekat pada Allah dan orang percaya yang dapat membimbing kita. Kita mungkin merasa malu dan jijik, tetapi ingatlah bahwa Allah adalah Allah yang penuh dengan kasih setia dan belas kasih. Dia ingin kita berbalik kepada-Nya karena hanya inilah yang mampu menolong kita lepas dari jeratan dosa.

Seperti Daud yang membutuhkan kehadiran Nabi Natan untuk menegur dan membimbingnya pulih dari dosa, kita pun tidak dapat berjalan sendirian untuk pulih dari dosa. Mungkin Tuhan tidak mengirmkan orang seperti Nabi Natan yang datang dan langsung menegur kita, namun kita bisa membuka diri kita kepada sesama orang percaya yang memiliki kapasitas untuk mendukung kita.

Ketika aku berkomitmen untuk pulih dari dosa, kuakui proses itu bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Ada rasa malu ketika aku harus berkata jujur tentang dosa-dosaku di hadapan Allah dan saudara seimanku. Namun, proses inilah yang akhirnya menolongku untuk pulih dari jeratan dosa.

Satu hal yang perlu kita ingat: menjauhi Allah dan menyembunyikan dosa itu berbahaya karena kita akan semakin rawan diserang oleh dosa. Namun, kita juga perlu tahu bahwa berbalik kepada Allah membutuhkan kebesaran hati untuk jujur di hadapan-Nya dan sesama orang percaya akan keberdosaan kita, seperti Daud yang bersedia jujur di hadapan Allah dan Nabi Natan. Dari titik inilah perjalanan pemulihan kita akan dimulai.

Jika hari ini kamu sedang terjerembab dalam dosa dan merasa Allah telah menjauh darimu, berdoalah dan nyatakanlah kesungguhan hatimu untuk pulih kepada Allah juga kepada orang percaya yang dapat membimbingmu.

Baca Juga:

3 Alasan untuk Tidak Melakukan Hubungan Seks Sebelum Menikah

Hari-hari ini, bahkan orang Kristen sendiri pun tidak mengerti mengapa—selain “karena sebuah buku kuno berkata tidak”—seseorang memilih untuk tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah.