Posts

Menjumpai Tuhan Melalui Penyakit Kronis yang Kualami

Oleh Claudia Tanubrata, Bandung

Tahun 2022 bukanlah tahun yang mudah untuk kulalui. Memasuki bulan Februari, aku positif COVID disertai asma dengan tiga penyakit penyerta lainnya, yaitu: asma, diabetes melitus tipe dua, dan takikardia (gangguan irama jantung) di tengah kuliah blok yang harus kuselesaikan.

Penyakit yang hadir secara sekaligus sungguh menyulitkanku beraktivitas. Jika kuliah kutinggalkan sejenak, maka sederet keterlambatan pastinya akan memunculkan masalah lebih lanjut. Tapi, tak berhenti sampai di situ, komentar dari orang-orang di sekitarku cukup memukulku. Ada yang berkata bahwa aku seperti dikutuk karena masih muda tapi sudah penyakitan seperti orang yang sudah berumur. Dosa apa yang sudah kulakukan sampai sakit seperti ini, dan banyak komentar lainnya. Barulah di hari ketujuh hasil PCR-ku negatif, tapi dokter tetap menambah obat selama lima hari ke depan supaya penyakit ini tidak merembet ke hal-hal lainnya.

Waktu pun terus berjalan. Obat-obatan yang kuminum disesuaikan kembali jenis dan dosisnya seturut keadaan fisiologi dan hasil penunjang seperti laboratorium dan radiologi. Setelahnya, aku kembali dirujuk ke dokter spesialis jantung konsultan aritmia oleh dokter internis konsultan paruku. Adaptasi tubuhku atas obat-obatan yang dirombak cukup berdampak besar. Totalnya, aku dikontrol oleh tiga dokter spesialis.

Menjalani pengobatan sambil tetap memenuhi tuntutan kuliah membuatku kewalahan. Namun, pada akhirnya semuanya dapat kulalui dengan baik dan aku pun bisa hidup layaknya orang normal yang hidup tanpa penyakit dan obat rutin.

Pengalaman yang kualami sepanjang tahun itu membawaku merenung. Pada Perjanjian Lama, penyertaan Allah tampak begitu jelas bagi Samuel sehingga dia dapat berkata Eben-Haezer yang artinya “sampai di sini Tuhan menolong kita” (1 Samuel 7:12).

Eben-haezer sebenarnya bukan berbicara tentang pertolongan Tuhan yang telah selesai. Eben-haezer berbicara tentang bagaimana pertolongan Tuhan yang telah dimulai pada masa lalu dan akan berlanjut terus. Hal ini penunjuk bahwa Tuhan senantiasa menyertai umat-Nya, secara khusus untukku pribadi.

Mengalami sendiri penyertaan Tuhan

Meskipun sakit yang kualami waktu itu membuatku sungguh sulit, namun Tuhan setia menyertai dan memberiku pertolongan. Orang-orang yang mengetahui keadaanku memberi dukungan dana maupun nasihat agar aku tetap kuat untuk menjalani hidup yang ada. Aku sempat merasa terpuruk dan mempertanyakan kembali kehadiran serta keputusan Tuhan atas semua yang terjadi. Aku menjadi begitu sangat pendiam dan menarik diri dari lingkunganku. Namun, Tuhan yang mencariku lebih dulu. Dia mengutus orang-orang di sekitarku untuk datang menghampiriku dan memberiku dukungan moral dan moril. Di situlah aku menyadari penyertaan Tuhan yang tidak terlihat menjadi nyata seperti yang aku perlukan. Masa sakit dan masalah yang kualami membuktikan penyertaan Tuhan yang tidak pernah pudar dimakan oleh musim, baik musim panen maupun musim paceklik. Penyertaan Tuhan selalu baru setiap pagi, seperti yang ditulis oleh Ratapan 3:23, “Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!”

Positif COVID disertai asma dengan dengan tiga penyakit penyerta bukanlah akhir dari segalanya. Aku masih tetap bisa survive dan akhirnya sembuh, meskipun dilewati dengan tidak mudah. Anugerah Tuhan sungguh nyata buatku. Aku tetap diizinkan melanjutkan hidupku.

Melalui penyakit kronis yang kualami, aku menyadari bahwa Tuhan menginginkanku untuk menjadi pribadi yang tidak mudah menyerah pada keadaan. Secara manusia mungkin keadaan yang kualami terlampau berat, tapi dari situ aku seolah dituntun untuk menjadi lebih kuat dari waktu ke waktu. Semuanya dapat kulalui dengan anugerah-Nya yang menyertaiku. Aku dituntun untuk menjadi seseorang yang kuat menghadapi tantangan demi tantangan, baik tantangan besar maupun tantangan kecil.

Tuhan menghendakiku untuk mampu menyelesaikan, mampu menghadapi segala persoalan hidup, dan Dia menjadikanku menang atas setiap tantangan yang ada.

3 Perenungan untuk Menyambut Natal

Oleh Yohanes Bensohur

Wah! Gak terasa sudah mau Natalan dan tahun baru lagi.

Rasanya baru kemarin, tetapi sekarang kita sudah akan memasuki tahun ketiga hidup bersama pandemi.

Teringat masa-masa di awal ketika orang-orang panik—memborong stok makanan, harga masker, sampai jahe pun jadi melangit. Ibadah dan persekutuan berubah menjadi online, semua berdoa agar pandemi berlalu.

Namun, kenyataan tidak demikian. Pertengahan tahun 2020, jumlah orang yang terpapar COVID semakin melonjak. Segala harapan untuk keadaan membaik seolah tampak sirna. Beberapa orang mungkin berpikir kenapa begitu lama pandemi ini terjadi, kenapa Tuhan mengizinkan hal ini, bahkan ekstremnya ada orang yang mempertanyakan tentang kebaikan Tuhan: jika Tuhan baik dan berkuasa mengapa mengizinkan kesulitan dan pandemi ini terjadi?

Sebaliknya, ada sebagian orang yang menanti kondisi terus membaik, melihat bagaimana Tuhan tetap berkuasa dan bekerja di dalam dan melalui pandemi. Memasuki tahun 2021 keadaan pun tidak lebih baik dari sebelumnya, peningkatan juga terus melonjak, ditambah dengan munculnya jenis varian baru. Kita semua menghadapi gelombang kedua yang membuat rumah sakit dan petugas medis kelabakan dalam mencari tempat dan merawat pasien, kita seperti terjebak di rumah, banyak orang di PHK, tidak bisa kerja, dsb.

Sekarang, 2021 hendak kita tutup dan tahun yang baru segera datang. Aku mengajakmu untuk berefleksi sejenak ke dalam diri melalui tiga pertanyaan ini:

1. Masih setiakah kita berdoa?

Ketika awal-awal pandemi, kita semua takut. Bersama komunitas gereja, persekutuan, atau secara pribadi kita berdoa memohon Tuhan memulihkan keadaan.

Namun, ketika pandemi tak juga kunjung usai, masih setiakah kita berdoa?

Doa-doa yang kita naikkan mungkin tidak akan mengubah keadaan dalam sekejap, tetapi ketika berdoa, kita sedang mengizinkan agar damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal memelihara hati dan pikiran kita (Filipi 4:7). Dan, janganlah kiranya kita pun lupa, bahwa doa orang benar bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya (Yakobus 5:16).

2. Apakah kita bertumbuh?

Sebelum pandemi, dinamika kehidupan kita pun ada naik-turunnya. Lalu, pandemi hadir dan rasanya membuat dinamika naik turun itu semakin parah. Tetapi, ibarat grafik denyut jantung yang naik turun, demikian jugalah kehidupan.

Naik dan turun adalah tanda bahwa kita hidup. Pertumbuhan apa yang nampak dalam diri kita? Apakah kita bertumbuh semakin serupa dengan Kristus?

3. Bagaimana kita memaknai Natal tahun ini?

Perasaan seperti apa yang sedang kita rasakan dalam menantikan Natal? Sedang biasa saja? Merasa lelah? Tidak begitu bersemangat? Apa yang sebenarnya menjadi kerinduan kita dalam natal dan tahun baru ini?

Natal kali ini, Kita dapat melatih hati kita untuk melihat kebesaran karya Allah. Dia, yang Mahabesar hadir dalam rupa bayi yang kecil dan rapuh, tapi dari sosok bayi inilah hadir pula dampak yang begitu besar terhadap dunia.

Raja Herodes khawatir apabila ada sosok yang akan mengganggu kekuasaanya sehingga ingin membunuh seluruh bayi di bawah dua tahun. Para Gembala menjadi orang-orang terpilih untuk menjumpai bayi dibungkus lampin seperti yang dijanjikan malaikat. Orang Majusi jauh dari timur mencari dan menemui Yesus melalui petunjuk bintang serta memberikan persembahan kepada-Nya.

Kiranya Natal tahun ini kita boleh kembali menata hati kita, mempertanyakan kembali di manakah posisi kita saat ini dihadapan Tuhan, sehingga kita tidak melewati Natal dan tahun baru ini begitu saja.

We wish you merry Christmas and Happy New Year. Kiranya yang menjadi kerinduan kita akan Natal dan tahun baru ini bukanlah suatu hal yang rendah dan tak bernilai, tapi Kristuslah yang boleh menjadi kerinduan terbesar kita, Dia yang benar-benar kita nantikan, kita muliakan dan kita juga rindu agar orang-orang boleh memiliki kerinduan yang besar pula akan Dia.

Dinyatakan Positif COVID-19: Sepenggal Ceritaku Menjalani Isolasi Bersama Tuhan

Oleh Dian Mangedong, Makassar
*Kisah ini ditulis berdasarkan kesaksian dari NA

“Hasil tes swab pegawai sudah keluar, dan kamu hasilnya positif…”

Aku NA, salah satu anggota tim perawatan isolasi Covid di rumah sakit swasta. Mendengar kabar itu dari balik telepon, seketika duniaku runtuh. Aku menangis sejadi-jadinya. Bahkan sakit sekali, mengabari bapak di kampung yang hari itu tepat berulang tahun. Aku tiba-tiba menyesal, kenapa mesti menjadi bagian tim Covid di rumah sakit tempatku bekerja. Masa depanku kurasa hilang begitu saja. Semangat yang biasa kuberi kepada pasien Covid yang kurawat, sekarang hanya sekadar kata-kata belaka. Sebab aku sudah tertular dan positif!

“Jangan panik, jangan stress, percaya saja Tuhan selalu lindungi..” suara direktur rumah sakit dari balik telepon. Walau pagi itu ucapan semangat bertubi-tubi datang kepadaku, baik dari orang tua, sahabat, teman kerja, sungguh tidak ada pengaruhnya. Kukunci kamar dan kubanjiri kasurku sampai basah dengan air mata. Rasa bersalah karena dapat menjadi pembawa virus bagi orang sekitar. Rasa hancur karena diberikan cobaan seperti ini dari Tuhan. Bahkan marah! Kenapa saat aku memberi diri melayani sebagai petugas medis isolasi Covid, Tuhan malah membiarkanku terjangkit virus ini.

Melalui beberapa waktu sendiri, aku bangkit dan bersiap menuju rumah sakit. Aku akan menjalani perawatan isolasi. Di saat itu aku bahkan kesal saat orang-orang hanya mengirimkanku pesan tanpa berani menjengukku. Seketika ilmu yang kupelajari mengenai Covid hilang begitu saja. Aku panik, khawatir, egois, bahkan marah oleh karena pikiran yang kuciptakan sendiri.

Setelah melalui hari yang panjang. Aku merasa lelah dan tetap tidak damai. Aku masuk kategori orang tidak bergejala (OTG) dan perlahan mulai menerima keadaan ini. Satu-satunya cara adalah kembali kepada Tuhan. Seorang pendeta meneleponku dan mengingatkanku lagi tentang kisah Yusuf. Ia dibuang saudaranya, dijual, difitnah, tetapi di balik itu semua Tuhan punya rencana yang besar. Pula tentang Ayub yang tetap bersyukur dan memuliakan Tuhan di setiap pergumulan yang ia hadapi.

Di ruang isolasi aku merenungi semua yang terjadi. Saat itu aku berdoa dan mencurahkan semua kesedihanku kepada Tuhan. Air mata mengalir tetapi hati benar-benar damai. Kutahu Tuhan sudah menunggu saat-saat seperti ini bersamaku. Berdua saja. Intim dan khidmat. Kuingat lagi kata mamaku bahwa kejadian ini bukan petaka namun menjadi waktuku bersama Tuhan, untuk lebih dekat lagi, membaca Alkitab, berkomunikasi dengan-Nya, bahkan berserah penuh.

Sebagai manusia biasa, aku sadar telah melalui masa-masa penolakan dan stress luar biasa. Tetapi dibalik semua aku sangat bersyukur dan jiwaku lega menyadari ada satu jalan tempatku kembali dan merasakan damai, yaitu di dalam Tuhan. Bahkan Tuhan bukannya membuatku terasing di ruangan isolasi ini. Setiap hari kulihat bagaimana cinta nyata-Nya terwujud melalui sesama manusia terhadapku. Mendukungku dengan segala macam cara dan bentuk. Sungguh manis dan mengharukan kasih Tuhan melalui kehadiran kasih mereka.

“Perang baru dimulai!” kataku dengan penuh kekuatan. Aku berusaha menjalani hari-hariku di ruang isolasi dengan energi positif dari firman Tuhan yang senantiasa menguatkan dan menemaniku setiap hari. Hari-hari kulalui dengan bersyukur. Selain menjalani terapi fisik, perbaikan hubungan bersama Tuhan adalah yang paling kurasakan. Bagaimana sempurnanya kasih Tuhan yang bahkan mencintaiku disaat-saat terpuruk sekalipun.

“Satu kali Allah berfirman, dua hal yang aku dengar: bahwa kuasa dari Allah asalnya, dan dari pada-Mu juga kasih setia, ya Tuhan” (Mazmur 62:12-13a).

Ya, aku percaya Tuhan berkuasa atas hidupku, maka aku tenang.

Hari-hari isolasiku telah usai. Hasil tes swab keduaku sudah negatif. Puji Tuhan… Masih perlu satu kali swab lagi untuk menyatakan aku benar-benar bersih dari virus ini. Sampai kumenulis ini tidak ada gejala sama sekali yang kurasakan. Sungguh Tuhan teramat baik terhadap umat-Nya.

Baca Juga:

Kehendak-Nya Tidak Selalu Tentang Mauku

Ketika sesuatu terjadi tak sesuai mau kita, kita mungkin membombardir Tuhan dengan deretan pertanyaan kenapa. Tapi, mengapa tidak menjadikan momen ini sebagai kesempatan untuk melihat dari sudut pandang-Nya?