Posts

Bagaimana Aku Bisa Melayani dengan Sikap Hati yang Benar?

Oleh Constance Goh, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: How Can I Serve With The Right Heart?
Artikel diterjemahkan oleh Arie Yanuardi

Pada suatu waktu, aku pernah melayani di tujuh pelayanan dan menghadiri lima rapat gereja dalam satu akhir pekan. Aku tidak sedang berusaha menunjukkanmu betapa sucinya aku. Justru, aku sedang memberitahumu betapa konyolnya aku.

Aku sangat sibuk, berpindah dari satu rapat ke rapat lainnya, berusaha menyelesaikan setumpuk tugas yang kumiliki. Dari luar, aku terlihat seperti orang yang sangat suci, tapi di dalam—dan di mata Tuhan—aku sesungguhnya berada di tempat yang paling jauh dari kesucian.

Aku takut menghadapi akhir pekan karena aku tahu kalau di sanalah aku harus menghadapi “serangan-serangan” berupa rapat, latihan, dan tugas. Aku menyeret badanku yang letih untuk datang ke rapat-rapat itu, dan menanti-nantikan kapan rapat itu selesai. Di dalam rapat-rapat itu, aku berdoa, tapi aku tidak mengerti dan mengimani apa yang kukatakan pada Tuhan.

Aku juga jadi orang yang tidak sabaran, dan kehilangan kasih dalam tindakan dan perkataanku. Ketika melihat orang lain, yang kulihat bukanlah bagaimana usaha mereka untuk memberikan yang terbaik buat Tuhan, aku malah melihat kesalahan-kesalahan mereka. Hidupku terasa menyedihkan dan aku hidup di dalam dosa.

Perlahan tapi pasti, aku menyadari bahwa aku semakin menjauh dari Tuhan. Aku hanya membaca sekilas ayat-ayat Alkitab yang tertera di dalam renungan saat teduhku, tanpa berusaha untuk meresapi apa makna ayat-ayat itu buatku. Aku merasa malu untuk menghampiri Tuhan dalam kondisiku yang penuh dosa. Untuk menutupi rasa bersalahku, aku berkilah kalau aku tidak perlu lagi meluangkan waktu bersaat teduh bersama Tuhan, karena sudah berjam-jam waktuku kugunakan untuk pelayanan. Pada akhirnya, aku berhenti bersaat teduh sama sekali.

Kupikir, aku berada pada kondisi seperti ini karena aku terlalu banyak mengambil pelayanan, maka aku memutuskan untuk mengambil jeda istirahat sejenak dari semua komitmen pelayananku.

Sejujurnya, niatku untuk berhenti sejenak adalah supaya aku bisa beristirahat dan berhenti berurusan dengan orang-orang yang membuatku merasakan kepahitan. Tapi, Tuhan dengan lembut menggunakan waktu itu untuk kebaikanku. Dia bekerja di dalam hatiku. Selama waktu itu, aku menyadari bahwa selain menanyakan pertanyaan: “Apakah oke untuk berkata tidak pada pelayanan?” pertanyaan lain yang dapat kutanyakan adalah: “Bagaimana caranya agar aku bisa melayani dengan sikap hati yang benar?

Inilah empat poin yang membantuku mengarahkan kembali fokusku:

1. Ketahui batasan-batasanmu

Di dalam sebagian besar waktu-waktuku menjalani kehidupan sebagai orang Kristen, aku merasakan sukacita dalam pelayanan. Tuhan selalu memberiku anugerah untuk melihat bahwa talenta apapun yang kupunya adalah milik-Nya. Bagiku, hari Minggu adalah hari terbaik dalam satu minggu. Aku merasa sangat gembira untuk berada di gereja setiap hari Minggu. Aku menikmati pelayananku untuk Tuhan, dan aku merasakan kehadiran-Nya bersamaku seiring aku melayani umat-Nya.

Tetapi, semua itu berubah ketika aku mengambil lebih banyak pelayanan. Aku harap aku memiliki hikmat untuk mengetahui kapan dan bagaimana cara yang tepat untuk berkata tidak. Ketika orang-orang menemuiku dan mengajakku bergabung dalam upaya pelayanan mereka, aku menganggukkan kepalaku untuk menunjukkan seolah aku adalah orang Kristen yang “baik”. Padahal, aku tahu kalau jadwalku sudah penuh. Inilah yang kemudian mencuri sukacitaku dan membuatku semakin sulit menikmati pelayananku.

Menurutku, sukacita yang hilang itu merupakan peringatan bagi kita untuk kembali mengevaluasi dan mengarahkan kehidupan kita. Berbeda dengan rasa senang yang merupakan perasaan sementara yang bergantung pada keadaan, sukacita adalah rasa syukur dan nikmat yang Tuhan berikan, yang dapat kita rasakan bahkan dalam keadaan yang tidak menyenangkan sekalipun. Ketika kita memiliki sukacita, kita tetap dapat menikmati pelayanan meskipun itu membuat kita merasa lelah. Merasakan sukacita dalam pelayanan adalah berkat Tuhan bagi kita.

Sebelum kita setuju untuk menambah bidang pelayanan kita, adalah baik apabila kita memeriksa jadwal dan menguji kembali komitmen kita atas pelayanan-pelayanan yang sudah kita ikuti sebelumnya. Aku menyadari bahwa menjawab “ya” pada setiap ajakan pelayanan tidak hanya membahayakan efektivitasku pada komitmen pelayanan yang sedang kuikuti, tapi juga relasi pribadiku dengan Tuhan. Hal ini kelak hanya akan jadi pengorbanan yang melelahkan.

Tuhan jauh lebih menyukai hati yang penuh dengan kerelaan dan sukacita daripada kegiatan pelayanan yang didasari perasaan kewajiban semata. Jika dengan menambah tanggung jawabku di gereja bisa mengikis sukacita dan kehangatan relasiku dengan Tuhan, bisa jadi semua pelayananku jadi percuma.

2. Ketahuilah bahwa Tuhan memberi kita waktu istirahat

Aku pernah berpikir bahwa jika aku menyibukkan diriku dengan pelayanan, maka Tuhan akan lebih senang padaku. Maka, dengan asumsi tersebut, aku tidak pernah menolak setiap tawaran pelayanan yang diberikan kepadaku.

Tapi, ketika aku mengambil waktu untuk beristirahat dari pelayanan dan meluangkan lebih banyak waktuku dengan Tuhan, aku belajar bahwa beristirahat adalah hal yang sangat Alkitabiah. Nyatanya, Tuhan sendiri beristirahat pada hari Sabat setelah menciptakan alam semesta (Kejadian 2:2). Dengan melakukan hal itu, Tuhan memberi kita contoh yang sempurna untuk kita ikuti.

Kita beristirahat—secara jasmani dan rohani—setelah seharian bekerja. Aku diingatkan oleh Mazmur 127:1-2 bahwa “percuma” bekerja dengan “susah payah” dari pagi-pagi sampai jauh malam, karena Tuhan memberi anak-anak yang dikasihi-Nya pada waktu mereka beristirahat. Ayat-ayat ini tidak menuntun kita untuk berhenti bekerja, tetapi mengingatkan kita untuk memiliki sikap yang bergantung dan berserah pada Tuhan ketika kita bekerja.

Pada suatu malam, aku merenungkan kembali waktu-waktu yang dulu pernah kulalui dengan kerepotan karena tugas-tugas pelayananku, memastikan semuanya dikerjakan dengan sempurna, dan sekarang aku sangat sedih setelah menyadari bahwa fokusku sedang berada di tempat yang salah. Tentu tidak ada yang salah dengan mengejar hasil yang terbaik. Masalahnya muncul ketika pengejaran akan kesempurnaan ini adalah untuk menyenangkan diri sendiri, bukan untuk Tuhan. Hal ini akan menjadi obsesi yang tidak sehat, yang tentunya tidak menyenangkan hati Tuhan. Tuhan tidak memanggil kita untuk menjadi pekerja-pekerja yang sempurna, Dia memanggil kita untuk menjadi anak-anak-Nya yang menikmati kehadiran-Nya selagi kita melayani.

3. Ketahui alasan mengapa kamu melayani

Jika kamu menerima kesempatan melayani karena kamu merasa itu membuatmu terlihat suci atau lebih baik, sebaiknya jangan. Jika kamu menerima kesempatan melayani karena kamu merasa terhormat bahwa seseorang menawarimu kesempatan ini, sebaiknya jangan. Ironisnya, hal-hal tersebut adalah alasan utamaku yang membuatku berulang kali mengambil komitmen pelayanan baru.

Tentu alasan-alasan ini ditutupi oleh alasan-alasan klise pada umumnya yang terdengar Kristen, seperti untuk memuliakan Allah dengan talentaku, atau menggunakan waktuku dengan lebih bijak untuk Tuhan. Tapi, dengan motivasi tersembunyi yang salah dalam diriku, sulit untuk terus berjuang dalam pelayanan ketika aku merasa kelelahan dan hasil-hasil pelayananku mengecewakanku. Tentu, pujian dan perhatian dari orang-orang di gereja, dan dorongan tambahan dari “reputasi Kristen”ku membuatku merasa baik. Tapi, pada akhirnya, hal-hal itu tidak memberiku sukacita yang hanya dapat diberikan oleh Tuhan.

Motivasi seperti keinginan untuk menggunakan talenta kita buat Tuhan, atau untuk melayani bersama komunitas orang percaya, adalah niatan baik yang bisa kita miliki. Tapi, adalah penting buat kita sungguh-sungguh memeriksa kembali apa yang menjadi motivasi utama kita ketika melayani. Jika niatan kita masih didasari oleh dosa, akan lebih bijak apabila kita menunggu dan memohon Tuhan untuk menyingkirkan setiap pikiran kita yang egois dan menggantinya dengan kerinduan akan diri-Nya. Ketika kita benar-benar didorong dengan tujuan melayani yang berasal dari Tuhan, kita akan melayani-Nya dengan sukacita dan kerelaan yang sejati.

4. Ketahui Siapa yang kamu layani

Meskipun dari luar aku terlihat sangat suci, aku tahu bahwa aku adalah orang yang munafik. Aku menyamarkan niat untuk melayani diri sendiri seolah-olah aku ini sedang melayani Tuhan. Aku melayani hatiku yang menuntut pujian dan perhatian dari orang-orang di sekitarku.

Dalam waktu istirahat yang kuambil, aku menyadari—pertama kalinya dalam 18 tahun selama aku berada di gerejaku—bahwa ada sekelompok ibu-ibu dan bapak-bapak yang setia, yang datang lebih pagi setiap hari Minggu untuk merebus air dalam panci besar untuk menyediakan kopi bagi jemaat. Orang-orang jarang berterima kasih pada mereka, dan mereka selalu “tidak terlihat”. Meski begitu, mereka melakukan pelayanan ini dengan setia dan tidak mengeluh.

Pengalaman itu membuatku bertanya, siapakah yang menjadi penontonku ketika aku pertama kali ingin bermain gitar dalam pelayanan? Jika sungguh-sungguh hanya Tuhan yang menjadi satu-satunya penontonku, apakah aku akan puas dan bersukacita jika aku bermain di belakang, di balik sebuah tirai penutup, tidak pernah dikenal atau bahkan menerima ucapan terima kasih dari jemaat? Apakah aku benar-benar memainkan gitar itu hanya untuk Tuhan?

Kita tidak memungkiri bahwa ada pelayanan-pelayanan yang lebih terlihat jika dibandingkan dengan pelayanan lainnya. Sebagai anak-anak-Nya yang melayani, kita mudah terperangkap dalam apresiasi dan pengakuan manusia. Kita melupakan Pribadi yang selalu memperhatikan kita setiap saat. Tetapi, pada kenyataannya, hati kita tidak akan pernah dipuaskan oleh pujian dari manusia. Kita butuh Tuhan sendiri yang berkenan pada kita agar kita bisa benar-benar menikmati melayani-Nya.

Aku mengambil waktu istirahat dari pelayananku selama enam bulan dan belajar untuk menikmati Tuhan dan kehadiran-Nya lagi. Selama masa itu, Tuhan menyadarkanku dari niatan-niatan egoisku, hatiku yang mengeras, dan kurangnya kasihku kepada saudara-saudara seiman.

Teruntuk kalian yang sedang mempertimbangkan melayani untuk pertama kalinya, maupun mempertimbangkan untuk menerima pelayanan baru, aku sungguh-sungguh berdoa agar kalian tidak mengambil pelayanan ini untuk memuaskan diri sendiri ataupun orang lain. Hal ini akan menuntun pada kesengsaraan, kepahitan, dan kepenatan yang serius—kenyataan pahit yang pernah kurasakan.

Tuhan tidak cuma melihat apa yang kita layani, Dia juga melihat hati kita ketika kita melayani-Nya.

Baca Juga:

Ketika Konflik Terjadi di Gerejaku

Di gerejaku sih banyak konflik. Bagaimana mungkin gereja gereja bisa jadi gambaran surga yang ada di dunia kalau di dalamnya ada persaingan dan permusuhan?

Ketika Seorang Teman Meninggalkan Imannya

Oleh Constance Goh, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When A Friend Leaves The Faith

Seorang teman dekatku mengirimiku pesan yang isinya berkata kalau dia tidak lagi menjadi orang Kristen. Aku segera menanggapinya dengan bertanya, “Kamu serius?”

Temanku itu tumbuh besar di gereja yang sama denganku, dan kami pernah melakukan pelayanan bersama. Meski dia lebih muda dariku, dia dapat berbicara dengan lebih bijak; aku selalu melihatnya sebagai seseorang yang secara rohani lebih dewasa daripadaku.

Oleh karena itu, pernyataannya bahwa dia tidak lagi menjadi orang Kristen itu mengejutkanku. Aku membaca pesan itu lagi dan lagi, berharap kalau aku yang salah mengerti isi pesannya. Tapi, tidak ada hal yang ambigu di pesan itu. Apa yang seharusnya aku katakan sekarang? Apakah karena dia tidak percaya lagi maka dia tidak mau aku membagikan kabar Injil kepadanya?

Sebagai seorang introver, aku cenderung bergaul hanya dalam lingkaran teman-teman yang erat di gereja, dan aku tidak melangkah ke luar untuk melayani orang lain. Aku takut akan penolakan. Aku selalu menganggap bahwa menjangkau orang-orang yang meninggalkan imannya adalah tanggung jawab mereka yang lebih ekstrover dan lebih dewasa kerohaniannya daripada aku.

Tapi, ketika seorang temanku sendiri yang meninggalkan imannya, aku tahu aku tidak bisa hanya duduk diam dan tidak melakukan apapun. Sebagai temannya, aku perlu bertindak. Namun, ketika aku tahu betul bahwa aku harus melakukan sesuatu untuk menjangkaunya, aku tidak tahu pasti bagaimana atau di mana aku harus memulainya.

Seiring aku bergumul untuk kembali berelasi dengan temanku, lima hal inilah yang mungkin dapat kita pikirkan:

1. Temanmu tetaplah temanmu

Setelah temanku mendeklarasikan pernyataannya yang mendadak, aku bergumul untuk memandangnya tetap sebagai teman yang kepadanya aku bisa meluangkan waktu berjam-jam untuk berbicara. Ketika mengobrol tentang buku-buku atau kejadian-kejadian konyol dalam kehidupan kami, aku terganggu dengan pemikiranku sendiri yang seolah menganggap bahwa hubungan kami tidak lagi sama. Mungkin dia pun memiliki pertanyaan yang sama: apakah teman-teman Kristennya akan memperlakukannya dengan berbeda karena sekarang dia tidak lagi percaya pada Tuhan? Apakah mereka pula akan meninggalkannya karena keputusan yang dia ambil?

Ketika teman kita meninggalkan iman, itu bisa menjadi pukulan yang telak buat kita. Buatku sendiri, itu mungkin terasa seperti pengkhianatan. Tapi, aku percaya bahwa Tuhan ingin kita terus menjadi teman yang sama bagi mereka, memperlakukan mereka sama seperti dulu kita memperlakukannya. Tuhan mau kita memandang mereka sebagai anak-anak-Nya dan sesama orang berdosa yang membutuhkan kasih dan perhatian Tuhan—seperti kita semua (Roma 5:8).

Teman-teman kita yang telah meninggalkan iman kita bukanlah “proyek baru” yang harus kita segera paksa untuk kembali ke iman Kristen. Mereka masih teman kita, teman yang memiliki kebutuhan, keinginan, dan hobi yang tidak berubah.

2. Luangkan waktu dan dengarkanlah mereka

Apa yang temanku butuhkan saat itu bukanlah orang yang mengajaknya untuk segera kembali ke iman Kristen. Dia tidak membutuhkan pemaparan Injil yang dikemas secara komprehensif atau menarik atau lainnya. Yang dia butuhkan adalah seorang teman untuk mendengarkannya.

Meluangkan waktu untuk memahami mengapa teman kita meninggalkan imannya dan bagaimana proses itu dapat terjadi adalah hal yang penting. Kita perlu mengingat bahwa banyak dari mereka telah melalui proses yang menyakitkan dan mereka akan lebih menghargai seseorang yang cukup sabar untuk mendengarkan mereka, daripada seseorang yang sangat bersemangat untuk menginjili mereka kembali seolah-olah mereka belum pernah mendengar Injil sebelumnya. Hal ini juga menunjukkan respek kepada teman kita, menyadari bahwa mereka tidak mengambil keputusan ini dengan enteng, dan mungkin mereka juga terbawa oleh pengaruh emosional.

Ketika kita memahami mereka terlebih dulu, kita menunjukkan kasih dan perhatian Tuhan buat mereka. Mendengarkan mereka juga adalah cara untuk meyakinkan mereka bahwa pertemanan adalah tempat yang aman untuk mereka berbagi dan terbuka dengan jujur tentang apa yang sesungguhnya mereka hadapi.

3. Ketahui iman yang kamu nyatakan

Aku malu untuk mengakui bahwa inilah yang menjadi pergumulan terbesarku. Aku tidak berpikir bahwa mengetahui iman kita itu sama artinya dengan kemampuan untuk menjawab setiap pertanyaan apologetika sulit yang dilontarkan ke kita. Tapi, setidaknya, kita harus mengetahui jelas mengapa kita menjadi orang Kristen.

Ketika di suatu makan malam temanku bertanya mengapa aku menjadi orang Kristen, pikiranku mendadak bingung. Aku sadar aku tidak memikirkannya dengan hati-hati atau menyiapkan jawaban yang tepat. Pada akhirnya, sambil tergagap-gagap aku berusaha menjawab jawaban yang bahkan aku sendiri tidak yakin.

Alasan mengapa kita yakin dengan iman kita adalah pertanyaan umum yang diajukan oleh orang bukan Kristen, dan Alkitab menasihati kita untuk “selalu siap untuk memberi jawaban kepada setiap orang yang bertanya mengenai harapan yang kalian miliki” (1 Petrus 3:15 BIS). Ketika kita tidak melengkapi diri untuk memberikan jawaban dengan yakin, kita kehilangan kesempatan yang berharga dari Tuhan untuk membagikan kesaksian tentang apa arti iman bagi kita pribadi kepada orang lain, pun kita bisa saja kehilangan kesempatan untuk berbicara dari hati ke hati dengan mereka.

4. Renungkanlah bagaimana kita mungkin bisa memberi dampak dalam keputusan mereka

Meskipun keputusan untuk meninggalkan iman pada akhirnya bergantung pada individu dan masing-masing kita bertanggung jawab atas tindakan kita sendiri di hadapan Tuhan, mungkin ada faktor-faktor lain yang bisa mempengaruhinya.

Di dalam kasus temanku, aku—bersama teman-teman lainnya—telah berpikir salah bahwa hanya karena dia aktif pelayanan, relasi dia dengan Tuhan ada dalam keadaan yang baik. Jadi, kami pun abai untuk melayani dia. Kami meluangkan lebih banyak waktu kami bersama mereka yang masih enggan datang ke gereja atau merasa tidak terhubung dengan gereja, tapi kami pula bahwa seseorang di antara kami pun ternyata butuh perhatian yang sama.

Mungkin itulah hal-hal kecil yang menyebabkan mereka merasa jauh dari Tuhan. Kita mungkin tidak mengabaikan, mengucilkan, atau menolak mereka menjadi bagian dari komunitas tempat kita dipanggil; tapi mungkin kita terlalu lambat untuk mendengarkan apa yang jadi pergumulan mereka, atau kita terlalu berfokus untuk mengasihi dan menghabiskan waktu bersama orang lain.

Apa yang kita lakukan (dan yang tidak kita lakukan) yang membuat mereka merasa jauh dan meragukan Tuhan? Apakah ada hal-hal yang bisa kita lakukan untuk menarik mereka lebih dekat pada Tuhan? Langkah-langkah praktis apakah yang harus kita lakukan untuk meningkatkan cara kita berperilaku? Dalam kata lain, bagaimana caranya kita menjadi teman yang lebih baik? Bagaimana caranya kita bisa lebih peka terhadap kebutuhan mereka?

Menyadari kebenaran yang sulit ini menolong kita untuk menjadi teman yang baik, dan juga menjadi kesaksian yang lebih baik tentang Kristus bagi orang-orang di sekitar kita.

5. Sadari bahwa hati Tuhan jauh lebih pedih daripada kita

Kalau teman kita itu berharga buat kita, terlebih lagi Tuhan memandang mereka. Kalau kita, para pendosa, dapat mengasihi teman kita, terlebih lagi Tuhan yang sempurna dapat mengasihi mereka.

Kalau kita ingin teman kita bersekutu kembali dengan Tuhan, terlebih lagi Tuhan sendiri, yang telah mengutus anak-Nya untuk melakukannya (Yohanes 3:16). Kita bisa yakin bahwa hati Tuhan adalah untuk semua pendosa yang berbalik kepada-Nya dalam pertobatan (Yehezkiel 18:23). Sebagaimana Tuhan yang adalah penyabar dan tidak akan pernah lalai terhadap anak-anak-Nya (2 Petrus 3:9), kiranya kita belajar untuk tidak pernah menyerah mendoakan teman-teman kita.

Marilah kita belajar untuk percaya dalam Tuhan, tidak meragukan kasih setia dan kebaikan-Nya, serta berpegang pada janji-janji-Nya dalam Alkitab bahwa Tuhan akan menyelesaikan setiap pekerjaan baik yang telah dimulai-Nya di dalam setiap kita (Filipi 1:6).

Aku berharap temanku akan kembali kepada Kristus suatu hari nanti. Dan hingga saat itu tiba, aku akan terus berdoa memohon Tuhan mengubah hati mereka berbalik kepada-Nya, mempercayai dan menyerahkan hidup mereka pada kehendak Tuhan yang berdaulat.

Baca Juga:

Anthonius Gunawan Agung: Teladan Hidup dari Sang Pahlawan di Tengah Bencana

Selamat jalan Anthonius, kisah kepahlawananmu adalah setetes madu yang manis di tengah getirnya bencana.