Posts

Apakah Ia Benar Jodohku? Kehendak Tuhan vs. Kehendak Manusia, Why Not Both?

Oleh Kenny Tjhin, Jakarta

Dear single fighter maupun muda-mudi yang sedang pacaran, ada yang notice-kah dengan berita yang sedang trending akhir-akhir ini? Wakil Presiden kita, Pak Ma’ruf Amin, mengimbau anak-anak muda (yang termasuk Generasi Z) untuk tidak menunda nikah. Beliau melandaskan imbauannya pada laporan adanya pengurangan jumlah kelahiran di Indonesia. Reaksi warganet pun beragam, salah satunya adalah komentar di Instagram Story pacarku mengenai isu tersebut, “Ya, gapapa, sih, Pak asal sama orang yang bener.” Mungkin sebagian kita yang masih single akan mengangguk-angguk dengan pernyataan warganet itu. Bahkan ketika membaca komentarnya, kita (dan aku) yang sedang berpacaran mungkin juga memikirkan kembali, “Apakah benar pacarku yang sekarang ini memang adalah pasangan yang benar?” Toh siapa yang mau punya pasangan yang “salah”?

Terlepas dari faktor-faktor seperti kesiapan finansial, mental, kesehatan, keluarga, dan lain-lain, banyak di antara kita mendambakan pasangan yang “benar” atau “tepat”. Oke, deh, mungkin ideal ini tidaklah sama dengan spesifikasi tampang artis Korea dan tingkat spiritualitas pendeta, tetapi setidaknya dia mau sama-sama berjuang dan tidak punya ciri-ciri red flag

Omong-omong, ciri-ciri calon pasangan yang tidak red flag itu apa, sih?

Secara garis besar, ciri-ciri tersebut tampak pada orang-orang yang mau peduli dengan faktor-faktor yang sudah disebutkan di atas. Di antaranya adalah peduli dan bersedia mempersiapkan diri secara finansial, mental, kesehatan, serta keluarga asalnya maupun pasangannya. Mungkin kita sudah memahami prinsip ini, tetapi kenyataannya tidak jarang kita bisa meragukan “kelayakan” orang lain menjadi pasangan kita, atau bahkan ragu apakah kita “layak” menjadi pasangan baginya.

Fenomena ini membawaku merenungkan tentang pelayan Abraham yang mencari jodoh untuk Ishak (Kejadian 24). Secara kasat mata, mungkin kebanyakan anak muda akan alergi dengan yang namanya perjodohan oleh orang tua. Akan tetapi, jika memang kita pernah berdoa dijodohkan Tuhan, perikop ini tetap relevan bagi kita dengan satu pesan, yaitu mencari pasangan itu bukan adu-aduan antara kehendak Allah dan manusia, melainkan cerminan relasimu dengan Tuhan. Berikut adalah doa sang pelayan ketika memohon bimbingan Tuhan dalam memilih istri bagi Ishak, anak dari bapa segala bangsa itu:

Lalu berkatalah ia: “TUHAN, Allah tuanku Abraham, buatlah kiranya tercapai tujuanku pada hari ini, tunjukkanlah kasih setia-Mu kepada tuanku Abraham. Di sini aku berdiri di dekat mata air, dan anak-anak perempuan penduduk kota ini datang keluar untuk menimba air. Kiranya terjadilah begini: anak gadis, kepada siapa aku berkata: Tolong miringkan buyungmu itu, supaya aku minum, dan yang menjawab: Minumlah, dan unta-untamu juga akan kuberi minum—dialah kiranya yang Kautentukan bagi hamba-Mu, Ishak; maka dengan begitu akan kuketahui, bahwa Engkau telah menunjukkan kasih setia-Mu kepada tuanku itu.” (Kejadian 24:12-14 (TB 1974)).

Secara sepintas, doa pelayan ini begitu sederhana, tetapi aku justru melihat imannya kepada Allah di tengah-tengah kebingungan yang dialaminya. Jika mau sedikit berempati, kita akan melihat bahwa pelayan ini takut akan pilihannya yang tidak sesuai dengan keinginan tuannya—yaitu Abraham—dan Ishak. Ketika mengutus sang pelayan, Abraham hanya berpesan untuk mencari perempuan bukan Kanaan. Ya, hanya kriteria itu yang dicatat di Alkitab. Kita tahu bahwa Kanaan adalah bangsa penyembah berhala, sehingga secara tersirat Abraham tidak ingin Ishak justru mengikuti penyembahan berhala. Namun, apakah Ishak tidak punya kriteria sendiri? Bukankah salah satu anak Ishak yang bernama Yakub punya kriteria pasangan dan bisa memilih Rahel dibandingkan Lea, padahal kedua perempuan itu adalah kakak-beradik (Kejadian 29:18)? Jika demikian, tentu wajar bagi pelayan Abraham untuk meminta Ishak ikut bersamanya dalam pencarian istri. Sayangnya, permintaan itu tidak dikabulkan oleh Abraham. Tidak heran jika pelayan itu merasa khawatir dan takut untuk membawa pulang calon pasangan yang tidak sesuai bagi Ishak.

Di dalam kelelahan dan kekhawatirannya, pelayan itu berdoa kepada Tuhan. Jika kita mau mundur ke pembukaan doa sang pelayan itu, sesungguhnya kita dapat menemukan bahwa dia melihat jelas betapa hidupnya relasi antara Abraham dan Tuhan:

“TUHAN, Allah tuanku Abraham, buatlah kiranya tercapai tujuanku pada hari ini, tunjukkanlah kasih setia-Mu kepada tuanku Abraham.

Ungkapan ini bukanlah pembukaan doa semata, melainkan sebuah pernyataan iman atas kedaulatan Tuhan di dalam hidup Abraham. Sangat mungkin jika kita melihat pelayan ini menyaksikan hidup Abraham yang bergaul erat dengan Tuhan, sehingga ia pun bisa berdoa seperti yang dilakukan tuannya. Tidak hanya kebiasaan berdoa, pelayan ini juga mengenal Allah Abraham sebagai Allah yang penuh kasih dan—mungkin juga—mengenal janji Allah kepada Abraham yang akan memberkati keturunannya. Ungkapan pelayan ini mencerminkan relasi pribadi antara manusia dengan Allah yang autentik dan erat, sehingga dirinya mengenal siapa Allah yang mengutusnya mencari pasangan bagi Ishak.

Di samping pengenalan akan Tuhan yang begitu baik, pelayan ini juga mengenal dirinya sendiri. Seperti ungkapan seorang teolog bernama John Calvin, Without knowledge of self, there is no knowledge of God (tanpa pengenalan akan diri, tidak ada pengenalan akan Allah),” pelayan ini tahu apa yang dia butuhkan untuk memenuhi mandat tuannya. Selain berdoa, pelayan itu mengenal kebutuhannya, bahkan rela untuk menjadi rapuh dengan meminta air dari perempuan—yang tidak lain adalah Ribka—pada saat itu. Iya, perjalanan yang sangat jauh tentu menguras tenaga sang pelayan, bukan?

Mengenal diri dan menjadi rapuh adalah poin yang penting di dalam proses pengenalan diri, tetapi tentunya memerlukan waktu bagi kita untuk mencernanya dan melalui proses pendewasaan yang tidak mudah. Tuhan mengizinkan kita untuk menguji-Nya di dalam ketaatan (lihat Maleakhi 3:10, Efesus 5:10, 1 Tesalonika 5:2), tetapi kita juga perlu rendah hati untuk diuji Tuhan (lihat Mazmur 26:2; 139:23). Di satu sisi, kita diajarkan bahwa Tuhan ingin kita mencari pasangan yang sepadan dengan kita, seperti Adam dan Hawa. Di sisi lain, kita juga perlu sadar bahwa Tuhan membiarkan Adam untuk bekerja dan mencari terlebih dahulu di antara ciptaan-ciptaan-Nya, sehingga dia sadar bahwa tidak ada yang sepadan dengannya sampai Allah menyediakan Hawa baginya (lihat Kejadian 2:20).Bagi sebagian kita, pengalaman mencari pasangan mungkin adalah pengalaman yang penuh perasaan menggebu-gebu. Perasaan seperti ini tidak terhindarkan, tetapi kita perlu mewaspadainya dengan membuka mata maupun telinga lebar-lebar untuk mengenal dan dikenal pasangan. Lalu, bagaimana dengan yang sudah “pesimis” terhadap kata-kata cinta karena pernah dikecewakan dan menelan rasa pahit? Pikiran pesimistis itu pun tidak terhindarkan saking menyakitkannya jika terulang lagi. Namun, momen-momen pahit itu juga dapat menjadi tanda kita untuk kembali berefleksi dan berdiam diri di hadapan Sang Pencipta yang senantiasa menerima segala kelemahan dan kerapuhan kita.

Pengalaman mengenal orang lain sesungguhnya tidak pernah lepas dari pengalaman kita mengenal Tuhan dan diri. Sebagai laki-laki, aku berpikir bahwa secara tanpa sadar, sering kali kriteria pasangan ditentukan oleh bagaimana sang laki-laki berelasi dengan ibunya (wahai kaum laki-laki, bagaimana menurut kalian?). Sebagai contoh, aku mendambakan perempuan yang mindful, ramah, dan detail dalam mengurus berbagai hal. Ternyata, aku tidak menyadari bahwa sifat-sifat tersebut telah ditunjukkan terlebih dahulu oleh ibuku. Sebagai konsekuensi, sering kali aku perlu menerima komentar detail dari pasanganku, misalnya tentang tata bahasa tulisan. Dikritik itu tidak mudah, dan sering kali aku memerlukan kerendahan hati sebagai laki-laki. Di sisi lain, aku juga bisa merasa terganggu jika pasangan tidak punya kerapian dalam berpakaian, berpenampilan, dan mengurus barang. Dari mana asal ketidaknyamanan itu? Dari orang tua tentunya. Apakah aku terganggu? Iya, tetapi melaluinya aku mengenal diri dan sifatku, serta belajar menerima pasangan yang memang Tuhan sudah berikan bagiku saat ini.

Jadi, apakah ada pasangan yang adalah pasangan yang benar? Hanya Tuhan yang tahu persis skenario kisah cinta anak-anak-Nya, dan biarlah Dia yang menguji tiap relasi yang terjalin. Bagian kita adalah terus mengenal siapa Tuhan, diri sendiri, dan dia yang berelasi dengan kita. Sesungguhnya, musuh dari relasi bukan sekedar kebencian, melainkan keangkuhan hati yang membuat kita berasumsi sudah mengenal pasangan “sepenuhnya”. Ingatlah, setiap manusia—siapa pun itu—pasti menyimpan kerapuhan dan kelemahan yang tidak mudah diterima. Ketika menikahi seseorang kelak, kita tidak hanya “menikahi” kecantikan dan kebaikannya, melainkan juga kelemahan, keberdosaan, kerapuhan, dan ketidaksempurnaannya.

Pada akhirnya, mencari pasangan bukanlah tentang permasalahan cocok-cocokan, melainkan sebuah cerminan relasi kita secara pribadi dengan Tuhan. Aku pernah mendengar curhat dari seorang perempuan bahwa menurutnya laki-laki di gereja itu adalah laki-laki yang “lempeng-lempeng (mudah ikut arus) aja hidupnya”, sehingga dirinya tidak memiliki tujuan hidup. Bagaimana jika anggapan ini benar-benar menggambarkan semua laki-laki yang mengaku percaya kepada Kristus, Sang Kepala Gereja yang mengasihi umat-Nya dan menjadi teladan bagi laki-laki dan perempuan untuk saling mengasihi dalam sebuah relasi? Bagaimana jika semua perempuan beranggapan serupa, sehingga mereka memilih untuk mencari laki-laki yang lebih “membawa gairah”—bahkan meskipun itu berarti mencarinya di luar persekutuan orang percaya? (lihat 2 Korintus 6:14).

Hai, laki-laki, angkat kepalamu, arahkan matamu kepada Tuhan yang memberikan mandat untuk mengelola hidupmu dan sesamamu. Kasihilah perempuan seperti Kristus mengasihi umat-Nya, yaitu tidak dengan paksaan—melainkan dengan kerelaan.

Hai, perempuan, terima kasih sudah menjadi penolong yang sepadan bagi kami. Kiranya hidupmu senantiasa terang berkilau seperti mahkota raja yang selalu membawa kami melihat Sang Raja dan Sahabat kami, yaitu Yesus Kristus.

Kiranya Tuhan senantiasa menyertai kita di dalam perjalanan mencari pasangan dan membangun rumah tangga Allah. Amin.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Dari Kisah “Letter in the Wallet”, Aku Belajar Suatu Hal tentang Cinta

Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu

Pada bulan September 1985, Readers Digest memuat sebuah cerita berjudul “Letter in the Wallet” yang dikisahkan oleh Arnold Fine. Fine menceritakan tentang suatu momen ketika ia menemukan sebuah dompet di jalan. Di dalam dompet itu, terdapat uang tiga dolar bersama sepucuk surat usang yang tertulis tanggal enam puluh tahun lalu.

“Michael yang terhormat.” Begitulah suratnya dimulai. Lalu dilanjutkan dengan kata demi kata yang menyesakkan dada karena hubungan yang harus diakhiri atas desakan orang tua si pemudi. Dan beginilah suratnya ditutup, “Aku akan selalu mencintaimu, Michael.” Lalu disertai tanda tangan, “Milikmu, Hannah.”

Setelah membacanya, Arnold Fine terdorong untuk menemukan pemilik dompet itu. Hal yang sama yang akan kulakukan juga jika aku penemunya. Fine beruntung, alamat pengirim suratnya, Hannah, masih terbaca jelas dalam surat itu. Dengan upayanya, Fine mendapatkan sebuah nomor telepon dan segera menghubunginya. Namun, ia menjadi kecewa mendengar informasi bahwa Hannah beserta keluarganya sudah cukup lama pindah dari rumah itu. Akan tetapi keberuntungan masih memihak Fine, karena ia mendapatkan informasi sebuah tempat di panti jompo, di mana kemungkinan Hannah tinggal sekarang. Fine bergegas dan setibanya di sana, ia diberitahu bahwa Hannah sedang menonton TV di lantai tiga. Segeralah ia naik, bertemu dengan Hannah yang sudah tidak muda lagi, dan memperkenalkan dirinya. Akhirnya, ia pun menanyai siapa penulis surat itu.

Tidak mengejutkan, Hannah mengaku dialah yang menulis surat itu dan melanjutkan, “Aku mengirimkan surat ini kepada Michael karena aku baru berusia enam belas tahun dan ibuku tidak mengizinkan kami bertemu lagi. Dia sangat tampan, Anda tahu, seperti Sean Connery.” Fine bisa melihat pancaran kebahagiaan dari mata Hannah ketika ia membahas si pemilik dompet itu. “Ya, Michael Goldstein adalah namanya. Jika anda menemukannya, beri tahu dia bahwa aku sering memikirkannya dan tidak pernah menikah dengan siapa pun. Tidak ada yang pernah cocok denganku”. Fine berterima kasih, lalu pergi.

Ketika Fine akan meninggalkan tempat itu, seorang perawat di sana bertanya tujuan kedatangan Fine. Ia lalu menceritakan apa yang sudah terjadi dan berkata, “Setidaknya aku bisa mendapatkan nama belakang darinya. Namanya, Michael Goldstein.”

“Goldstein?” tanya perawat itu. “Ada Michael Goldstein yang tinggal di sini di lantai delapan.”

Cepat-cepat Fine kembali ke dalam dan menuju lantai delapan sambil ditemani sang perawat. Pada saat berhadapan dengan Michael Goldstein, perawat itu membuka percakapan, “Pria ini menemukan sebuah dompet dan mungkin Andalah pemilknya. Fine lalu menyerahkan dompet itu dan saat Michael memandangnya, dia tersenyum lega.

“Oh, ya, aku kehilangannya saat aku keluar jalan-jalan beberapa hari yang lalu,” jawab Michael.

Michael sangat bahagia dan berterima kasih, sampai akhirnya Fine mengaku telah membaca surat di dalam dompetnya bahkan tahu tempat tinggal pengirim surat itu, Hannah.

“Bisakah kau memberitahuku di mana dia? Aku ingin sekali meneleponnya. Kamu tahu, ketika surat itu datang kepadaku, hidupku rasanya berakhir. Aku belum pernah menikah. Aku tidak pernah berhenti mencintainya.”

Fine memegang tangan Michael dan membawanya turun ke lantai tiga, sebuah tempat yang dapat melelehkan hati sekeras baja.

“Hannah, apakah kamu kenal pria ini?” tanya perawat yang menemani Fine dan Michael.

Hannah menyesuaikan kacamata yang dipakainya, menatap Michael, dan menggali kembali ingatannya, sampai akhirnya Michael membuka mulutnya, “Hannah, ini Michael.”

Hannah langsung terkesiap dan berseru, “Michael! Michaelku! Sungguhkah itu kamu?”

Mereka berpelukan, berpegangan, duduk, bercerita dan menangis.

Beberapa minggu setelahnya, Arnold Fine menerima sebuah undangan pernikahan. Hannah yang berusia tujuh puluh enam tahun, dengan Michael, tujuh puluh delapan.

Kisah ini ditutup Fine dengan kalimat, “Betapa baiknya pekerjaan Tuhan.”

Mungkin kamu sejenak menahan nafas dan menyeka air mata di pipimu setelah membaca kisah itu. Namun, percayalah padaku, dengan segala rasa hormatku pada Fine, Michael, dan Hannah, kisah itu tidak akan mampu menandingi sebuah kisah tentang seorang “Pangeran Langit” yang mencintai segerombolan penjahat. Ia datang jauh-jauh meninggalkan sorga yang mulia dan melayani dunia bercela. Ia memulainya dari Betlehem, pada sebuah palungan di kandang domba. Sebenarnya Ia tidak punya kesulitan apapun untuk datang dengan kemegahan diiringi terompet para Malaikat. Namun, Ia memilih rahim seorang wanita sederhana yang telah bertunangan dengan seorang pria yang juga sederhana, bahkan mungkin oleh sebagian orang dianggap hina.

Sebagai taruk Ia tumbuh di hadapan Tuhan dan sebagai tunas dari tanah kering. Ia tidak tampan dan semarak-Nya pun tidak. Ia benar-benar tidak cukup mempesona bagi para penguasa Romawi dan dianggap tidak lolos kualifikasi bagi para Saduki dan Farisi.

Sebenarnya Ia telah membangkitkan orang mati yang dikasihi-Nya, dan itu berarti Ia mampu mematikan para pembenci-Nya hanya dengan sekejap mata.

Tetapi, Ia memilih salib, yang bagi sebagian orang adalah batu sandungan, dan bagi sebagian lainnya adalah kebodohan. Ia dihina dan dihindari orang. Seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan.

Seharusnya Ia duduk di atas takhta megah dan layak mengenakan mahkota emas bersama jubah paling mahal, tetapi Ia malah membiarkan diri-Nya “ditelanjangi” dan mengenakan mahkota duri, lalu digantung di atas salib sebagai tontonan memalukan.

Melihat itu, ada yang menangis, ada yang ketakutan, dan ada yang puas. Namun banyak yang tidak tahu, bahwa penyakit kitalah yang ditanggung-Nya dan kesengsaraan kitalah yang dipikul-Nya. “Pangeran Langit” ini tertikam oleh pemberontakan kita dan diremukkan oleh kejahatan kita. Ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepada-Nya. Oleh bilur-bilur-Nya kita disembuhkan.

Pasang telinga baik-baik dan dengarkan kenyataan ini:

“Kamu dan akulah gerombolan penjahat itu dan Yesus Kristus “Pangeran Langitnya”!

Beberapa dari kita mungkin saja duduk termenung, dan bertanya, “Mengapa Ia melakukannya?”

Jawabannya adalah: Kasih.

Kasih yang jauh lebih besar dari kasih Hannah pada Michael juga kasih Michael pada Hannah.

Dalam kasih-Nya, ada pengorbanan yang jauh lebih agung daripada pengorbanan Arnold Fine.

Tidak salah jika kita mengagumi kisah Michael dan Hannah, sama halnya kita kagum dengan Romeo dan Juliet. Namun, sekarang kita harus ingat, kita bukan lagi sekadar penonton.

Tepat di tempat kamu membaca tulisan ini, “Pangeran Langit” yang pernah mati bagimu itu sedang memandang dengan penuh cinta dan berjanji akan menemanimu selama-lamanya. Yohanes 3:16 adalah yang dikirimkan-Nya untukmu.

Sekali lagi, “Betapa baiknya pekerjaan Tuhan!”

Sedalam Apa Kamu (Mau) Membangun Cinta Bersamanya?

Oleh Tabita Davinia Utomo, Jakarta

Apa hal pertama yang terlintas di benak teman-teman ketika membicarakan tentang cinta? Biasanya, yang muncul pertama kali di benak kita adalah perasaan. Ya, topik seputar cinta (terutama ketika berada di seminar atau kelas yang membosankan) kerap kali menjadi “dopamin” ketika rasa ngantuk melanda. Disadari atau tidak, kita cenderung akan lebih antusias ketika topik pembicaraan beralih ke percintaan lawan jenis (hayo, benar enggak, wahai muda-mudi?)

Tidak heran jika cinta juga menjadi salah satu topik yang paling banyak dibahas dalam berbagai karya, baik secara lisan maupun tertulis. Iya, semudah itu kita excited ketika berbicara soal cinta, sampai-sampai ada sebuah pepatah populer yang familiar bagi kita:

Cinta itu kuat seperti maut.

Ungkapan yang tertulis dalam Kidung Agung 8:6 ini menggambarkan bahwa saking kuatnya, cinta seolah-olah memiliki daya tarik bagi manusia untuk berkorban bagi mewujudkan perasaan cintanya kepada pasangannya. Ketika sebuah relasi dimulai, perasaan cinta yang “kuat seperti maut” juga seakan-akan menggiring pada imajinasi bahwa kita dapat memberikan “diri sendiri” kepada orang yang dikasihi. Perasaan menggebu-gebu ini seolah-olah divalidasi oleh ajaran-ajaran tentang pengorbanan Yesus Kristus, sang Anak Allah yang mati di atas kayu salib (Yohanes 3:16, Filipi 2:5-8). Kita merasa bisa menjadi “Kristus kecil” setidaknya bagi orang yang kita cintai itu. Namun, tulisan ini tidak berhenti pada “cinta yang kuat seperti maut”, melainkan melampauinya dengan “cinta yang membangun kehidupan”.

“Loh, bukannya cinta hingga rela mati itu lebih besar, ya, dibandingkan cinta selama masih hidup? Kan, Tuhan Yesus rela membuktikan cinta-Nya bagi kita sampai mati di atas kayu salib.”

Betul, tetapi menurut Paulus, kasih melampaui yang namanya kematian. Paulus menjelaskannya dalam 1 Korintus 13:3:

Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku.

“Seheroik” apa pun anggapan kita terhadap tindakan yang kita (atau pasangan) lakukan dalam relasi, maknanya akan sia-sia tanpa kasih di dalamnya. Nah, kasih yang sejati digambarkan oleh Paulus dalam dan Yohanes demikian:

Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. 𑁋1 Korintus 13:4-7

Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih. Dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya. Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita. 𑁋1 Yohanes 4:7-8, 10

So what? Bagiku dan pasanganku, tantangan terbesar bagi kami bukanlah mewujudkan “cinta hingga mati” melainkan membangun cinta di dalam Allah. Jika Kristus hanya mati untuk kami, maka sia-sia pengorbanan-Nya. Namun, Ia bangkit, naik ke surga, dan akan datang kedua kalinya untuk menggenapi janji keselamatan kekal manusia. Karena itulah, relasi kami sesungguhnya adalah wujud nyata bagaimana Kristus menyucikan dan menguduskan hidup kami.

“Ah, kok holy banget, sih. Skip, ah.”

Tunggu, tunggu. Kami juga manusia biasa yang juga punya drama dalam relasi, teman-teman 🤣 Anyway, poin di atas adalah prinsip yang perlu kita terus perjuangkan dalam membangun relasi; bukan hanya dalam percintaan, tetapi juga bentuk kasih kita kepada setiap orang yang kita jumpai. Jadi, prinsip Alkitabiah ini bersifat umum, ya. Nah, sekarang, izinkan kami membagikan sisi psikologis dari pengalaman kami dalam membangun relasi.

1. Berani terbuka pada kerapuhan diri tidak menjamin bisa mendekatkan satu sama lain

Dalam sebuah relasi, makin terbuka pada diri sebenarnya membuka kesempatan untuk melihat sisi lain kehidupan pasangan maupun diri sendiri. Idealnya demikian, kan? Melalui keterbukaan pada kerapuhan diri, kita lebih peka pada kebutuhan emosi dan menyampaikannya secara tepat pada pasangan. Aku belajar cukup banyak dalam berelasi dengan pasanganku, karena sebelumnya aku belum sepenuhnya menyadari bahwa aku punya isu parentless yang cukup mendistorsi konsep relasi yang aku miliki. Uniknya (dan kami percaya ini tidak lepas dari belas kasihan Tuhan), kami sudah mulai bisa memperkenalkan kerapuhan diri masing-masing sejak dia mendekatiku.

By the way, berikut beberapa poin kerapuhan diri yang kami buka dalam proses pendekatan (PDKT), termasuk setelah kami mulai berpacaran:

a. Pola asuh dalam keluarga, karena hadir atau absennya orang tua punya andil besar dalam membentuk kami jadi pribadi yang sekarang
b. Pelajaran dari relasi di masa lalu
c. Sisi kepribadian kami yang bisa jadi bibit konflik dalam relasi
d. Trauma maupun pengalaman pribadi yang tidak menyenangkan di masa lalu

“Kapan kita bisa mulai membuka kerapuhan diri ke (calon) pasangan?”

Tergantung kesiapan keduanya, dan kesiapan ini pun dipengaruhi oleh banyak hal. Dari pengalaman kami, proses perkuliahan dan konseling pribadi dari kampus yang sama menolong kami untuk memiliki kesiapan dalam membuka kerapuhan diri, serta peka pada kerapuhan orang lain. Namun, kita juga perlu waspada agar tidak segera mengizinkan (calon) pasangan mengenali kerapuhan kita jika belum ada kepercayaan (trust) di antara kedua pihak.

Mengapa? Karena kerapuhan kita bisa menjadi “keuntungan” baginya. Tentunya kita tidak ingin kerapuhan kita menjadi sesuatu yang “dieksploitasi” orang lain, kan? Itulah sebabnya kita perlu belajar membuka diri setahap demi setahap. Kalau kita maupun (calon) pasangan memiliki “tembok” yang terlalu tinggi dalam relasi, kita perlu mempertanyakan ulang keputusan untuk berelasi dengannya. Yesh, ada risiko-risiko yang perlu diambil ketika berelasi dengan orang lain, karena itulah Pdt. Wahyu Pramudya pernah mengungkapkan, “Mencintai hanya untuk pemberani.” Dibutuhkan keberanian untuk merapuh, terluka, dan kembali merajut cinta.

2. Relasi membutuhkan komunikasi yang terus-menerus dilatih

Poin pertama tadi berkaitan dengan poin ini. Yesh, tanpa ada komunikasi yang dilatih, kita tidak akan terbiasa untuk mengembangkan relasi yang terbuka satu sama lain. Nah, relasi yang terbuka membutuhkan kepercayaan dan empati, dan untuk menumbuhkannya membutuhkan waktu dan kesiapan hati kedua pihak.

Mungkin teman-teman sering membaca atau mendengarkan pernyataan serupa dari berbagai sumber yang membahas tentang relasi. Kenyataannya, belajar berkomunikasi dengan pasangan tidaklah semudah yang kita harapkan: kita dan pasangan saling tahu apa yang kita maksudkan tanpa banyak ba-bi-bu, dan bisa saling peka dengan tiap kodenya secara langsung.

Aku𑁋yang telah belajar psikologi dan konseling𑁋pun tidak luput dari kesulitan ini. Ada kalanya aku melukai pasangan dengan pernyataan yang kurang tepat, meskipun aku tidak bermaksud melakukannya. Begitu pula dengannya yang juga perlu terus belajar memberikan validasi emosiku. Namun, di situlah kami akhirnya menyadari bahwa komunikasi adalah seni yang dipengaruhi oleh banyak warna dari kehidupan kami. Warna itu berasal dari perlakuan orang tua kami (kalau bisa bertemu dengan orang tua masing-masing, itu akan menolong pengenalan kita terhadap pasangan menjadi lebih utuh), tempat asal yang berbeda, pengalaman dari relasi sebelumnya, maupun pergaulan yang dimiliki memengaruhi kepribadian, cara pandang, dan bentuk komunikasi kami.

Perbedaan-perbedaan ini ada kalanya memicu konflik, sehingga kami (melalui konseling pasangan) belajar untuk mengembangkan pola I-statement dalam berkomunikasi. I-statement ini menolong kita untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran berdasarkan sudut pandang kita; berbeda dari you-statement yang menitikberatkan konflik pada orang lain. Contohnya seperti ini:

I-statement: “Ken, kamu kelihatan enjoy, ya, sama game-nya, tapi aku merasa enggak diperhatiin waktu kamu dengerin ceritaku sambil bermain game.”

You-statement: “Kamu bener-bener, ya, nggak perhatian sama sekali!

Dalam komunikasi, kata “tidak … sama sekali”, “tidak pernah”, dan “selalu” perlu kita waspadai𑁋khususnya saat menghadapi konflik. Rasanya tidak menyenangkan, ya, ketika kita sudah mencoba berusaha memperbaiki diri, tetapi mendapatkan respons yang bernada kamu-enggak-pernah-berusaha-berubah. Tidak heran kalau sebuah konflik bisa menjadi “bom waktu”, belum lagi pengaruh dari pembelajaran kita terhadap pola komunikasi antara ayah dan ibu kita (baik-buruknya mereka pun kita pelajari sejak kecil secara sadar maupun tidak).

Ada kalanya membangun komunikasi yang sehat bersama (calon) pasangan itu tidak mudah. Namun, ketika kita berinisiatif belajar untuk mengembangkan komunikasi bersamanya, jalan itu terbuka lebar, kok. Teman-teman bisa mencari permainan yang mendorong pertanyaan bermunculan seperti yang ada di sini.

3. Yuk, konseling!

Dua poin di atas kami pelajari bersama melalui interaksi sehari-hari kami, termasuk dalam proses konseling pasangan yang sedang kami jalani. By the way, konseling pasangan ini berbeda dari bina pranikah di gereja, ya 😂 Kalau bina pranikah biasanya membahas tentang persiapan sebelum memasuki pernikahan (termasuk mempelajari pernikahan dari sudut pandang teologi, hukum, dan kesehatan keluarga), konseling pasangan adalah salah satu cara kami untuk saling mengenal diri (dibantu konselor tentunya, karena kadang-kadang kami mengalami stuck kalau sedang berkonflik). Selain itu, di dalam konseling, ada alat tes yang menolong kami untuk mengenali bibit-bibit konflik yang bisa muncul ketika ada pemicunya.

“Yah, tapi kalau konseling kayak gitu bayar, kan?”

Nah, kalau soal ini, silakan tanyakan pada lembaga konseling terdekat, ya. Teman-teman bisa juga hubungi beberapa layanan konseling di akhir artikel ini untuk informasi lebih lanjut.

Relasi kami memiliki lika-likunya masing-masing, begitu pula dengan teman-teman yang sedang menjalin relasi dengan kekasih hati. Yesh, tiap relasi itu unik adanya dan demikianlah Tuhan pun menciptakan manusia. Tiga poin di atas juga hanya sepersekian dari pembelajaran yang kami dapatkan selama berelasi. Namun, poin yang paling penting adalah kita memerlukan hikmat dan anugerah Tuhan dalam berproses menjadi pribadi yang dipulihkan untuk membangun relasi yang sehat. Keduanya hanya dapat dialami ketika kita dan (calon) pasangan memiliki hubungan pribadi dengan Tuhan, sehingga perlahan-lahan kita𑁋dengan tuntunan Roh Kudus𑁋dimampukan untuk mengasah kepekaan rohani dalam merajut kisah kasih bersama-Nya. Jadi, mohon doanya juga, ya, teman-teman, agar kami terus bertumbuh makin serupa Kristus melalui relasi ini.

Kiranya setiap pertumbuhan dan pengenalan diri yang disingkapkan membawa kita makin mengagumi dan memuliakan Tuhan yang berkarya melalui relasi kita. Selamat membangun cinta di dalam anugerah Sang Kasih!

Beberapa list lembaga konseling (silakan ditambahkan oleh teman-teman, ya)
1. Lifespring Counseling and Care Center
2. Gading Counseling & Empowerment Center
3. HOPE Counseling Center
4. Konseling Kristen (by hotline)
5. PERHATI Counseling & Care Center

Bacaan lebih lanjut:

Rogers, Shane L., Jill Howieson, dan Casey Neame, “I understand you feel that way, but I feel this way: the benefits of I-language and communicating perspective during conflict,” PeerJ (2018), 1-13.

Tsai, George, “Vulnerability in intimate relationships,” The Southern Journal of Philosophy 54 (2016), 166-182.

***

Terima kasih pada Kenny Tjhin yang menolongku menuliskan sudut pandang teologi tentang “cinta yang kuat seperti maut”. I thank God for you.

 

Ke Mana Pun Aku Pergi, Tuhan Menjaga yang Aku Cintai

Oleh Bintang Lony Vera, Ambon

Bunyi petasan bersahut-sahutan dan kembang api turut menambah warna langit malam satu bulan yang lalu saat pergantian tahun. Jika biasanya anak-anak sudah tidur, malam itu pada pukul 00.00 mereka berlari kian kemari di halaman rumah dan jalan-jalan. Teman-teman dan kerabat bepergian keluar kota atau ke rumah sanak saudara. Semua ikut menyambut tahun baru dengan sukacita.

Kurasa hanya aku yang berdiam diri dalam kamar yang remang-remang. Duduk termangu sambil menghela napas. Badanku sehat dan tampak utuh berada di rumah, namun pikiranku melayang pada sebuah pertanyaan yang diajukan oleh seorang ibu, jemaat di gereja. Beliau bertanya beberapa hari sebelumnya, “Siapa sekarang yang menjaga Bapak dan Mama di Jakarta? Mereka kan sudah tua”. Pertanyaan ini dilontarkan di halaman gereja sepulang ibadah Natal dan terus terngiang-ngiang selama beberapa hari setelahnya.

Sejak pertengahan tahun lalu, aku harus meninggalkan keluarga untuk pergi bekerja di sebuah kampus yang ada di Kepulauan Aru, Ambon. Sebuah pekerjaan yang sudah kudoakan sejak beberapa tahun lalu. Namun, hatiku yang semula mantap, rapuh juga dengan pertanyaan itu. Setelah aku renungkan, benar adanya. Masa tua adalah masa di mana mereka [orang tuaku] sebaiknya dikelilingi anak-anak yang berada dekat di sisi untuk menjaga, mengasihi, dan menolong mereka. Seiring senjanya usia, fungsi organ tubuh yang mulai berkurang dan badan yang mulai melemah pasti akan orang tuaku alami.

Aku kehilangan semangat bahkan sempat berpikir bahwa aku telah salah membuat keputusan untuk mengajar di sini. Sampai suatu ketika, aku membaca sebuah pesan WhatsApp dari seorang kerabat. Pesan itu dikutip dari 2 Korintus 12:9,

“Tetapi jawab Tuhan kepadaku: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu , sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.

Hatiku pelan-pelan berbisik, bukankah sudah cukup kasih karunia-Nya? Aku diberikan sebuah kesempatan untuk mengajar di timur Indonesia, sebuah cita-cita yang telah aku doakan sejak lama. Aku juga telah disertai-Nya selama kurang lebih enam bulan bertugas di sana. Aku diterima dan disambut dengan hangat oleh masyarakat sekitar. Aku dapat memahami dan menikmati pekerjaan baruku secara perlahan melalui rekan sekerja yang turut mendampingi dan mengajariku. Aku beroleh persekutuan. Kasih karunia Tuhan sangat besar dalam kehidupanku, maka akupun percaya kasih karunia Tuhan juga besar bagi orang tuaku.

Kami dipisahkan jauh dan aku sangat terbatas untuk menjaga orang tuaku. Namun, restu dari mereka menguatkan hatiku untuk tetap mengerjakan panggilan ini. Ayah dan ibuku mendukungku untuk pergi dan mengerjakan pekerjaan yang telah Tuhan percayakan. Ayah pernah berpesan agar aku mengabdikan diriku sepenuh hati di kota itu. Pesan dan restu dari orangtuaku memampukanku meninggalkan mereka sementara waktu dengan hati yang damai sejahtera.

Lewat Firman-Nya Tuhan juga meneguhkan hatiku. Sebuah perikop yang kubaca ketika waktu teduh menjelang keberangkatan pertama ke tempat tugas kubuka kembali dan aku membacanya pelan-pelan, demikian bunyinya.

“Beginilah firman TUHAN yang menciptakan engkau, hai Yakub, yang membentuk engkau, hai Israel: Janganlah takut, sebab Aku telah menebus engkau, Aku telah memanggil engkau dengan namamu, engkau ini kepunyaan-Ku. Apabila engkau menyeberang melalui air, Aku akan menyertai engkau, atau melalui sungai-sungai, engkau tidak akan dihanyutkan; apabila engkau berjalan melalui api, engkau tidak akan dihanguskan, dan nyala api tidak akan membakar engkau. Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau, maka Aku memberikan manusia sebagai gantimu, dan bangsa-bangsa sebagai ganti nyawamu” (Yesaya 43:1-7).

Kalimat “Apabila engkau menyeberang melalui air, Aku akan menyertai engkau” benar nyatanya. Tuhan selalu melindungiku dalam perjalanan laut saat menyebrang dari kota Ambon ke Pulau Aru. Aku belajar untuk menyimpan dalam hatiku dan memegang teguh janji setia-Nya secara terus-menerus. Aku menyerahkan Ayah dan Ibu juga kedua adikku dalam tangan kasih Tuhan. Aku tidak selalu bisa menjaga mereka namun tetap dapat mengetahui kondisi mereka melalui pesan WhatsApp atau telepon yang biasa kami lakukan setiap malam dan mendoakan mereka.

Aku belum tahu keputusan apa yang harus dibuat dalam jangka waktu panjang namun saat ini aku memutuskan untuk menetap disana karena sedikitnya tenaga pengajar. Sesungguhnya jarak yang memisahkan menjadikan kerinduan dan kasih sayang di antara ayah, ibu, aku, dan adik-adikku semakin bertumbuh. Jika saat ini kamu harus pergi meninggalkan orang terkasihmu untuk mengerjakan tugas panggilanmu, kiranya hatimu beroleh kekuatan karena Tuhan selalu menjaga dan memelihara mereka.

Boleh “Bucin” Asal…

Oleh Jovita Hutanto

Dulu waktu masih sekolah, mamaku suka bilang begini, “Cinta itu buta. Eek pun bisa jadi serasa coklat!” Lain mamaku, lain temanku. Mereka sering berkata, “Dasar, bucin lo!” buat teman-teman yang rela melakukan apa saja demi ‘cinta’.

Jika kita cermati, rasa cinta itu memanglah luar biasa. Bukan saja dapat mengubah rasa pahit jadi manis, kita bahkan rela melakukan apa pun untuk sosok yang kita cintai. Jika kita ingat masa-masa awal berpacaran, pasti maunya nempel terus. Tapi, seiring waktu, lama-kelamaan bunga dan warna pelangi cinta di mata kita pun memudar. Buatku pribadi yang sudah cukup lama memelihara masa lajang, mungkin aku hampir lupa rasanya mencintai dan dicintai. Yang kuingat seperti makan permen nano-nano, banyak rasa.

Namun, cinta yang tampaknya luar biasa itu pada realitanya seringkali bersifat menuntut. Contoh kasusnya, saat kita siap berpacaran, kita tentu sudah memikirkan kriteria lelaki atau perempuan seperti apa yang ingin kita pacari. Apakah itu yang baik, ganteng, kaya, beriman. Atau, malah semuanya harus ada dalam satu pribadi? Kurasa yang ‘sempurna’ seperti ini cuma ada di drama Korea dan film-film Disney ya. Semua kriteria yang kita tetapkan jika mau jujur ujung-ujungnya adalah untuk ‘aku’.

Jadi, bagaimana sih selayaknya kita berelasi sebagai manusia yang terbatas dan berdosa?

1. Kasih bertahan karena komitmen yang mendasarinya

Berantem itu wajar. Beda pendapat itu lumrah. Kita ini manusia berdosa; relasi yang terjalin juga sudah pasti penuh dengan cacat cela. Semakin kita dekat dan kenal dengan orang tersebut, semakin banyak masalah yang akan timbul. Kalau kata orang, “mulai keliatan deh tuh karakter aslinya.” Menurutku, ini sangat dapat dimaklumi… mengapa? Semakin kita yakin dan nyaman dengan orang-orang pilihan kita, semakin kita terbuka pada mereka. Dengan seiring berjalannya waktu juga kita tidak dapat lagi menyembunyikan tabiat asli kita. Begitu juga dengan lawan relasi kita. Namun, setelah tahu warna asli mereka yang sesungguhnya, apakah kita akan mempertahankan relasi kita dengannya? Di sinilah peran penting komitmen mengasihi yang membuat kita bertahan dengan orang tersebut.

Aku sering mendengar cerita pasangan yang baru menikah dan tinggal serumah. Mereka kaget dengan perilaku pasangannya. “Ihh, kok ternyata berantakan,” atau “tidurnya ngorok gede banget.” Ya! Skakmat deh tuh! Komitmen di dalam berelasi itu sama dengan langkah skakmat alias tidak ada kemungkinan untuk melarikan diri. Yang namanya sudah komit di hadapan Tuhan untuk sehidup dan semati, apapun keadaannya, tetap harus dijalankan dan diperjuangkan. Terdengar berat ya, dan memang kenyataannya berat, berdasarkan orang-orang yang sudah lebih berpengalaman menjalaninya lho ya, bukan kataku sendiri.

Nah… supaya yang berat itu tidak terasa berat, komitmen ini perlu didampingi dengan kasih. Kasih akan memampukan seseorang untuk melakukanna dengan rela, yang tentunya akan membuat seseorang merasa lebih enteng menjalaninya.

Kehidupan orang Kristen itu erat hubungannya dengan kasih karena Allah itu kasih, dan Ia memberikan perintah agar setiap orang yang percaya untuk mengasihi. Dalam terjemahan bahasa Inggrisnya, “You shall love your neighbor.” Perhatikan kata “shall” yang artinya harus; mengasihi sudah merupakan kewajiban orang Kristen. Lalu, kepada siapa kita harus mengasihi? Tuhan Yesus tidak menggunakan kata teman atau pasangan maupun keluarga; Tuhan menggunakan kata “sesamamu.” Dengan kata lain kasih kepada “sesamamu” tidak terbatas pada orang yang kamu kenal, namun kepada siapapun yang kamu temui.

2. Kita mengasihi dalam kerangka konsep Kristus

Untuk melengkapi ilmu tentang kasih, perlu kita ketahui bahwa ada 4 tipe kasih dalam Alkitab (terjemahan bahasa Yunani): Storge adalah kasih yang hadir di antara orang tua dan anak; Filia merupakan kasih persaudaraan atau persahabatan, seperti kita dengan sahabat kita; Eros mengacu pada cinta yang seksual atau romantis, layaknya pasangan suami dan istri; dan yang terakhir adalah Agape, cinta yang sempurna, abadi, dan tanpa syarat, tidak ada kasih agape di dunia ini selain kasih Kristus.

Jadi… dalam mengasihi pasangan, keluarga, maupun teman kita, apapun bentuk kasih yang kita miliki, seluruhnya harus didampingi oleh kasih agape. Dikarenakan kasih agape ini tidak ada dalam manusia yang berdosa, filsuf Kierkegaard menciptakan istilah baru, yaitu “Christian love.” Kierkegaard menjelaskan bahwa Christian love adalah wujud kasih Kristus yang hidup dalam hati para pengikutnya lalu dibagikan kepada sesamanya. Christian love ini tidak sempurna seperti kasih Kristus, namun statusnya lebih tinggi dari bentuk-bentuk kasih manusia lainnya. Karena tanpa Christian love ini, kasih antar manusia sifatnya sementara yang menyebabkan adanya perceraian suami istri dan pertikaian pertemanan dan keluarga.

Sifat kasih eros dan filia bergantung pada aspek yang dimiliki objek yang dikasihinya. Seperti, “aku mencintai dia karena dia cantik,” jadi kalau dia jelek, maka aku tidak cinta lagi. Sebaliknya, Kierkegaard (dalam terjemahanku) menjelaskan bahwa Christian love mengandung unsur kemurnian dan ketulusan hati, tanpa syarat dan tuntutan, ikhlas memberi tak harap kembali. Christian love tidak bergantung pada objek yang dikasihi. Tidak peduli latar belakang ataupun karakter seperti apa yang mereka miliki, apapun kendala yang akan kita hadapi bersama mereka, sudah menjadi kewajiban orang percaya untuk tetap mengasihi mereka.

Menurut aku, Christian love itu bucin (budak cinta) yang sesungguhnya. Budak cinta itu tidak dipengaruhi oleh sifat lawan relasimu. Apapun wujud asli mereka, kita tetap cinta, namanya juga budak cinta, ya budaknya si cinta bukan budaknya si Asep (atau Betty). Boleh disimpulkan bahwa Christian love ini kunci dari awetnya sebuah relasi karena sifatnya longlasting (panjang umur bahagia sentosa), baik dalam relasi suami istri, keluarga, maupun pertemanan.

3. Christian Love harus diaplikasikan

Aku suka merasa lucu kalau bertanya ke mereka-mereka yang sudah berpacaran lebih dari 7 tahun.

“Jadi apa nih kunci benteng pertahanannya?” Lalu jawaban para lelaki, “sabar-sabar aja, sering-sering lah minta maaf,” atau ada juga yang bilang, “semuanya perlu komunikasi yang baik.”

Pada dasarnya semua jawabannya mengindikasikan adanya masalah yang perlu diselesaikan. Belum pernah aku temukan jawaban seputar, “soalnya aku sudah jatuh cinta,” karena tidak ada lagi tuh ya cinta-cintaan lewat 1 atau 2 tahun. Menurutku ini normal dan tidak jadi masalah, dan sama seperti yang dikatakan Alkitab bahwa kasih itu banyak wujudnya (1 Korintus 13:4-8). “Kasih itu sabar,” “kasih itu murah hati,” termasuk kasih itu juga banyak-banyak minta maaf.

Kasih itu tidak terikat pada satu buah perilaku positif, namun seluruh perilaku positif. Kasih atau Christian love atau bucin itu adalah kebebasan ekspresi dari setiap orang yang sudah menerima kasih Kristus. Apapun bentuknya, asalkan didasari dengan ketulusan hati, maka selamat! Anda telah bergabung di dalam komunitas bucin yang sesungguhnya!

Tak Hanya Tentang Rasa, Cinta Membutuhkan Kesiapan

Sebuah cerpen oleh Jenni, Bandung

Setelah menjemput keponakannya, Chelin, pulang sekolah, Sasa mengajaknya ke sebuah kafe. Rencananya, siang itu Sasa akan mengajak main Chelin dan mamanya. Sembari menunggu mama Chelin yang datang menyusul, Sasa memperhatikan wajah keponakannya itu yang tampak begitu kusut. Sedari tadi dahinya ditekuk dan matanya tak lepas dari layar ponsel. Bahkan jus alpukat kesukaannya tidak bisa membuatnya tersenyum.

“Kenapa, tuh, kok cemberut gitu?” Sasa bertanya lembut tapi Chelin bergeming. “Chelin?” tanyanya lagi.

Pertanyaan itu akhirnya dijawab dengan helaan nafas. Chelin meletakan ponselnya dan hampir mau bercerita, tapi dia mengurungkan niatnya.

“Tante ga akan ngerti, deh,” gerutu Chelin bermuram durja.

“Looh, cerita dulu,… baru setelah itu Tante bisa tahu kira-kira bakalan ngerti ga,nih.”

“Ah, tapi nanti Tante pasti cerita sama mama,” celetuk Chelin, yang lalu menutup mulutnya, menyesal keceplosan mengutarakan pikirannya.

“Mana rahasia antara kita yang pernah bocor ke mama? Gak ada, loh…”

“Ga jadi, ah!”

Sebersit kerunyaman masih tersisa di wajah Chelin yang duduk di kelas VII SMP, namun menurut bibinya masih unyu-unyu.

“Kalau tentang apanya Tante boleh tahu?” Sasa kembali bertanya dengan lembut.

Chelin menyeruput jusnya sambil mengayun-ayunkan kakinya dengan gugup. “Yaa tentang … biasalah anak muda,” ujarnya dengan pembawaan dewasa.

“Percintaan?” Celetukan Sasa membuat Chelin menelan cepat. Insting detektif Sasa bangkit. Ternyata tebakannya tepat. Demi mengembalikan rona ceria di wajah keponakan unyu-unyunya, Sasa pun melancarkan strategi.

“Tante punya cerita percintaan. Kita tukeran cerita, gimana?”

Chelin segera saja terpikat. Tawaran itu merubuhkan pertahanan yang membentengi rahasianya.

“Janji dulu jangan bilang mama papa.” Chelin mengangkat jari manisnya, untuk cantelan, simbol perjanjian yang selalu mereka lakukan. Sasa segera menyambutnya, mengaitkan jari kelingking dan menempelkan jempol mereka, “Janji!”

“Oke, jadi,… ” Chelin mengembuskan nafas, “Chelin tuh lagi suka banget sama temen sekolah Chelin. Kami saling suka, tapi orang tua kami ga mengijinkan pacaran, soalnya masih sekolah.”

Raut sedih menghiasi wajah Chelin. Dia kembali melanjutkan, “Jadi, kami lagi mikir buat backstreet aja. Tapi Chelin ragu karena kalau backstreet bakalan ribet dan banyak bohongnya. Andai diberi ijin, kami ga perlu seribet ini. Kami sudah besar, bisa jaga diri, kok!”

Sasa diam untuk beberapa saat. Ia mencondongkan tubuhnya dan menatap keponakannya dengan lembut. “Tante bukan belain orang tua kamu, ya. Tapi kalau berkaca dari pengalaman Tante, di usia Chelin lebih baik jangan dulu pacaran, apalagi backstreet.”

Langsung saja wajah Chelin menjadi kusut lagi. Sasa segera angkat suara sebelum keponakannya itu terlanjur kecewa.

“Pas banget, nih, Tante mau cerita ini ke Chelin. Dulu waktu Tante kelas satu SMA, tuh, tante pernah punya pacar. Awalnya sebatas teman duduk sebelahan dan gak langsung cocok. Tapi lama-lama, kok, kayak nyambung,ya sama dia. Kaya klik banget! Terus lama-lama, kok, jadi happy ya kalau bareng dia? Yang tadinya mau ga masuk karena sakit, karena inget dia, sakitnya hilang. Jadi rajin masuk sekolah, loh. Terus, yang tadinya malas sama pelajaran kelompok, karena sekelompok sama dia, Tante jadi semangat! Waah, pokoknya sejak dekat dengan dia tuh, jadi semangat sekolahnya, dan kayaknya dia juga sih, soalnya jarang absen. Hebat banget, kan kekuatan cinta kita!” tutur Sasa penuh semangat.

Chelin menyimak dengan antusias. “Terus gimana? Oma Opa beri izin pacaran?”

“Saat itu dunia berasa punya berdua. Kami merasa sudah cukup dewasa dan bisa menentukan jalan sendiri. Kami abaikan nasihat, apalagi izin orang tua. Langsung saja kami jadian! Wah berbunga-bunga rasanya. Ke mana-mana bareng. Indah banget deh, pokoknya. Tapi, ternyata pacaran itu sebuah komitmen, bukan hasil dari sekadar saling suka. Perlu pribadi yang dewasa untuk dapat sanggup menjalani komitmen. Dan, bagi Tante yang waktu itu belum dewasa, hal itu terlalu berat. Kami berdua belum siap.”

Sasa berhenti sebentar. Ditatapnya Chelin yang ternyata menyimak dengan serius.

“Hubungan kami berjalan agak sulit. Banyak berantem karena masalah sepele. Saling Nuntut. Ga mau ngalah, apalagi ngertiin kelemahannya. Ego kami terlalu besar. Waktu itu kami belum mengerti apa itu cinta dan komitmen. Kami ga paham apa itu relasi, dan bagaimana membangunnya. Lalu, karena ketidakpahaman itu, kami saling melukai. “

Chelin diam menyimak, tanpa disadari jus alpukatnya sudah habis. “Apa pacar Tante yang itu jadi suami Tante?”

“Hahaha,” polosnya Chelin menggelitik hati Sasa. “Maksud Tante cerita ini bukan tentang apakah pacarannya bisa sampai ke jenjang pernikahan atau engga. Karena, ada yang berakhir, tapi ada juga yang langgeng sampai menikah. Walaupun, menurut Tante perjalanannya mungkin sulit karena menjalaninya sambil berproses mengenal diri sendiri. Pendapat Tante, sih, dulu Tante terlalu cepat memutuskan untuk pacaran.”

“Berdasarkan pengalaman Tante,… masa muda sebaiknya diisi untuk mengenal diri sendiri. Perdalam ilmu, gali minat dan bakat, belajar bergaul yang benar, memahami bagaimana mengelola emosi. Hal-hal itu, selain baik untuk diri sendiri, juga baik untuk membina hubungan. Nah, barulah bisa coba menjalin hubungan,” sambung Sasa.

“Tapi kalau sudah terlanjur suka gimana, dong?” celetuk Chelin.

“Chelin, mungkin ada yang bilang cinta itu buta. Tapi, sebenernya jatuh cinta itu adalah pilihan. Kita bisa, kok mengendalikan perasaan kita. Gimana caranya? Dengan ga mudah jatuh cinta. Kendalikan dan kenali perasaan kita. Bisa jadi, yang kita anggap cinta ternyata hanya sekadar suka. Itulah mengapa kita pun jangan mengambil hati orang kalau belum kenal betul dengan perasaan kita.” Sasa mengambil ponselnya dan membuka aplikasi Alkitab.

“Tante jadi inget Firman Tuhan, nih, di kitab Kidung Agung 2:7,… jangan membangkitkan dan menggerakan cinta sebelum diingininya. Maksudnya, kalau belum saatnya, jangan cepat-cepat jatuh cinta.”

“Tapi Chelin cinta banget sama dia… Asal cinta kami kuat, Chelin yakin bisa lewati banyak kesulitan,” ujar Chelin dengan yakin.

“Chelin, kekuatan cinta itu memang kuat, tapi kita juga harus sanggup menjalaninya. Inget di sekolah Minggu ada kisah Yakub, dia rela bekerja 14 tahun demi bisa menikahi Rahel. Tujuh tahun kedua baginya hanya beberapa hari saja. Cinta memberinya kekuatan untuk melalui semua itu. Begitulah cinta, memberi kekuatan untuk berkorban. Tapi gimana kalau pribadi kita belum sanggup? Bisa-bisa setelah berkorban malah menuntut balas budi, atau sebagai penerimanya kita tidak bisa memberikan respon yang benar karena belum paham makna pengorbanan itu.”

Chelin mengangguk-angguk. Ia bertopang dagu pada kedua tangannya. “lya juga, ya,” ujarnya.

“Cinta memang kuat dan bisa menghasilkan sesuatu yang hebat, seperti apa yang Tuhan Yesus lakukan untuk kita,” Sasa memandang keponakannya dengan hangat. “Tuhan Yesus rela mengorbankan nyawa-Nya demi menebus jiwa dari dosa. Dan ga hanya itu, setelah bangkit Tuhan Yesus juga memberikan Roh Kudus untuk menyertai dan memimpin setiap orang. Itulah buah dari cinta-Nya, keselamatan.”

Chelin terdiam sebentar, tangannya memegang erat gelas jus alpukat yang sudah kosong.

“Jadi pacaran itu tentang komitmen antara dua orang, ya? Dan supaya membuahkan hasil yang baik, komitmen itu memerlukan kedewasaan, pengorbanan dan ketulusan. Kalau sejauh itu, Chelin jadi ga tahu kira-kira kami siap atau engga, ya menjalani hubungan,” ujar Chelin agak merenung.

“Kalau kami berteman dulu dan masing-masing meningkatkan diri sendiri dulu, mungkin ga ya nanti kita tetap pacaran?”

“Tante pun enggak tahu. Seiring berkembangnya pribadi kalian, bagaimana perasaan kalian nanti di masa depan, kita nggak tahu”

“Kira-kira kalau nanti berjodoh akan seperti apa ya hasil relasi kami nanti?” Chelin makin penasaran.

“Wah, kalau itu hanya Tuhan yang tahu,” sahut Sasa sambil tertawa lebar. Tiba-tiba ponselnya berbunyi, ternyata mama Chelin menelepon. Sasa segera mengangkatnya dan bercakap-cakap sebentar.

“Chelin, mama sudah sampai di dekat kafe. Yuk, kita berangkat!” ajak Sasa sambil membereskan bawaan dan memastikan tak ada yang tertinggal. Setelah siap, Chelin meraih tangan bibinya. Keponakannya itu menatapnya dengan mata berbinar, “Soal yang tadi, Chelin akan coba pikirin… Nanti kelanjutannya, Chelin cerita lagi ke Tante, ya!” ucapnya dengan pelan. Sasa tersenyum dan mengelus kepala keponakannya. “Oke, Chelin!”

Ketika Si Dia Kujadikan Berhala

Apa pun yang ada dalam hidup ini dapat menjadi berhala. Berhala bukan hanya patung atau gambar sesembahan, berhala juga bukan sekedar hal-hal buruk yang menjadi candu dalam kehidupan kita, namun berhala juga dapat berasal dari hal-hal baik dalam hidup ini yang lebih kita ingini daripada Allah.

Pasangan hidup juga dapat menjadi berhala, yaitu ketika gairah cinta dan semangat kita pada Tuhan mulai tergeser, beralih kepada orang yang kita cintai.

Hendaknya kita mengimani dan melakukan dengan sungguh, firman Tuhan Yesus untuk mencari, “dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semua itu akan ditambahkan kepadamu.”

Karena ketika yang terutama dalam hati kita adalah Yesus dan Kerajaan-Nya, kita akan memahami bagaimana cara mencari dan mencintai pasangan kita dengan pantas.

Artspace ini didesain oleh Patricia Renata @ptrx.renata dan merupakan project kolaborasi antara WarungSaTeKaMu dan Grace Alone Ministries @gracealoneministry

Apa Yang Salah dengan Keinginanku?

Sebuah cerpen oleh Meili Ainun, Jakarta

11:59:50.

Ah…sebentar lagi.

Suaraku bergairah menandakan semangatku yang sedang naik.

Tiga..Dua..Satu…Akhirnya.
Selamat ulang tahun.

Tuhan yang baik.
Terima kasih untuk hari ini ya.
Aku sudah berumur 22 tahun.
Tuhan, Kau tahu hanya satu keinginanku.
Berharap banget Tuhan mau kabulkan di tahun ini.
Punya pacar yang sayang padaku.
Terima kasih, Tuhan.
Amin.

Aku membuka mataku, merasa puas sudah menaikkan doa kepada Tuhan. Seperti biasa, selama lima tahun terakhir ini, tepat ketika jarum jam menunjukkan pukul 12:00:01
aku selalu memanjatkan doa yang sama kepada Tuhan. Aku menjadikan hal ini seperti suatu tradisi, bagi diriku sendiri.

Tradisi ini berawal ketika aku berusia 17 tahun.

Hari itu tepat sebelum hari ulang tahunku, Emily menarik tanganku dengan tergesa-gesa begitu melihatku masuk melewati gerbang sekolah.

“Melody. Ayo, ikut aku. Ada yang ingin aku ceritakan,” katanya penuh teka-teki. Aku mengikutinya ke ruang aula yang kosong pada pagi itu.

“Ada apa?” tanyaku.

Emily tidak langsung menjawab. Kuperhatikan wajahnya bersemu merah. Binar matanya yang indah berkejap-kejap menandakan berita yang disampaikan pastilah berita gembira. Emily meraih tanganku dan dengan suara berbisik tetapi terdengar jelas di telingaku, berkata,”Aku sudah punya pacar. Baru saja kemarin. Iwan menembakku dan aku langsung bilang iya.”

Selama beberapa detik, aku termangu tidak menyangka. Emily menatapku menunggu reaksiku. “Wah… Selamat ya. Itu berita gembira.”

Emily memelukku. “Kamu tahu, aku sudah mendoakan ini selama satu tahun sejak aku suka sama Iwan. Dan Tuhan mengabulkannya.”

Saat itulah aku memutuskan untuk berdoa hal yang sama. Meminta agar Tuhan memberikan seorang pacar untukku, seperti yang sudah Dia berikan kepada sahabatku. Dan untuk menjadikannya lebih bermakna, aku memintanya tepat ketika aku berulang tahun.

Namun, tahun itu berlalu tanpa ada kejadian yang dapat dijadikan sebagai jawaban atas doaku. Maka aku kembali memanjatkan doa yang sama di ulang tahun berikutnya. Awalnya aku tidak merasa keberatan menunggu. Bukankah Tuhan baru memberi pacar kepada Emily setelah satu tahun berdoa? Begitu pikirku. Mungkin terhadapku, Tuhan akan memberikan sedikit lebih lama. Aku berusaha berpikir optimis.

Setahun berganti menjadi dua dan tidak terasa sudah memasuki lima tahun. Dan doa yang sama itu pun akhirnya menjadi seperti tradisi di hari ulang tahunku.

Aku tersentak dari lamunanku. Tiba-tiba, beberapa notifikasi pesan terdengar dari ponsel yang kuletakkan di tempat tidur. Aku tahu itu pasti berasal dari teman-teman yang mengucapkan selamat ulang tahun. Aku tidak menggubrisnya. Sebaliknya, aku malah memandang cermin di meja riasku, seakan-akan di sana ada tertulis alasan mengapa doaku tidak kunjung dijawab oleh Tuhan.

Wajah di cermin balas menatapku. Bentuk wajah yang oval, alis mata yang cukup tebal, bentuk bibir yang penuh dan merah, aku tahu aku tidak begitu cantik, namun aku cukup manis. Apalagi dengan tinggi badan yang memadai dan porsi tubuh yang cukup ideal, aku dapat dikatakan menarik. Bukannya aku memuji diriku, tapi itulah yang dikatakan beberapa teman dekatku. Tentu itu dapat menjadi alasan aku bisa mendapat pacar, bukan? Aku berkata pada diriku sendiri.

Dengan kepribadianku yang ceria dan mudah bergaul, aku memiliki banyak teman, dan di antaranya ada teman-teman pria yang pernah dekat juga denganku. Beberapa malah sempat kupikir sebagai jawaban atas doaku. Namun ternyata, tidak ada satu pun yang benar-benar dapat disebut sebagai pacar.

Misalnya Bram. Aku kenal dia ketika kami sama-sama melayani di persekutuan kampus. Dia adalah koodinator kelompok kecil dan aku adalah sekretaris. Kerja sama kami dapat dikatakan baik sehingga sepanjang tahun kami melayani, buah pelayanan kami terlihat. Beberapa kelompok kecil terbentuk dan berjalan dengan baik. Kami pun cukup dekat, akan tetapi tidak ada perasaan suka di antara kami. Aku tidak, Bram juga tidak. Ketika Bram kemudian membawa teman wanitanya yang berasal dari kampus lain untuk dikenalkan kepadaku, aku ikut senang untuk dia.

Ada juga Hendri. Pacar Emily yang mengenalkannya kepadaku. Hubunganku dengan Hendri dapat dikatakan sangat dekat. Selain karena dia teman baik dari pacar Emily, kami memiliki banyak kesamaan sehingga tidak pernah habis bahan obrolan. Ada saja yang diobrolkan dan mengasyikkan. Kami pun suka makan, apalagi jika ada kuliner baru yang lagi viral, kami akan langsung ke sana dan mencobanya. Ditambah dengan pergi bersama Emily dan pacarnya, orang lain mungkin melihatnya sebagai kencan ganda. Tetapi aku terpaksa menolaknya, karena dia bukan orang Kristen. Di balik semua kesamaan kami, hanya ada satu yang tidak sama, yaitu iman kami. Maka meski sedih dan berat hati, kami memutuskan hanya menjadi teman.

Lalu ada juga beberapa pria lain yang cukup dekat denganku. Namun ada saja hal-hal yang tidak dapat menjadikan mereka sebagai pacar. Ada yang baru berkenalan selama beberapa bulan, sudah suka menyuruhku melakukan ini dan itu untuk dia. Tentu aku tidak mau punya pacar seperti itu. Ada juga yang sangat suka bicara, dan tidak mau mendengarkan. Meski aku juga suka bicara, tetapi jika dua-duanya bicara, siapa yang akan mendengarkan?

Aku menghela nafas. Kembali berpikir, apa yang salah dengan diriku? Atau lebih tepatnya, apa yang salah dengan keinginanku? Hampir semua teman-temanku punya pacar. Mereka terlihat sangat bahagia dengan hidupnya. Jika mereka bisa dan boleh punya, mengapa aku tidak?

Mataku melirik sebuah buku di atas meja riasku. Buku itu kuberi nama Quote Diary. Beberapa temanku suka menulis buku harian, tetapi aku tidak begitu suka menulis keseharianku. Selain karena hal itu bersifat rahasia, dunia tulis menulis bukan duniaku. Namun aku suka mengumpulkan kutipan-kutipan yang menarik. Ada yang kudapat ketika aku sedang berselancar dalam dunia maya. Aku simpan dan mencetaknya. Ada juga yang mengirimkan dalam obrolan grup lalu aku akan tulis ulang. Aku cukup bangga dengan bukuku karena indah dilihat dan cukup menarik.

Aku membolak-balik buku ini. Tertawa saat membaca beberapa kutipan yang kadang lucu. “Udah bikin kopi tapi tetep ngantuk. Eh, ternyata lupa, belum minum”. Atau coba yang ini: “Manusia itu emang susah nyalahin diri sendiri. Leher pegal dibilang salah bantal.”

Mataku lalu berhenti pada satu kutipan.

God doesn’t always give what you want, but He always gives what you need.

Aku baca sekali lagi. Aku melihat tanggal di atas kutipan itu. Tanggal ulang tahunku dua tahun yang lalu. Seorang teman yang sedang kuliah di luar negeri, yang mengirimkannya. Katanya sebagai hadiah ulang tahun.

Aku tidak pernah memikirkan kalimat ini sebelumnya secara serius. Waktu itu hanya sekilas membacanya dan berpikir bagus maka kutuliskan dalam buku.

God doesn’t always give what you want, but He always gives what you need.

Tuhan tidak selalu memberi apa yang kamu inginkan, tetapi selalu memberikan apa yang kamu perlukan. Aku lalu teringat akan doaku. Kalau begitu, keinginan untuk mendapatkan pacar, apakah keinginan atau kebutuhan? Aku meletakkan buku itu lalu duduk di atas tempat tidur.

Pacar itu adalah keinginanmu atau kebutuhanmu? Aku bertanya pada diriku sendiri.

Jangan-jangan selama ini bukannya Tuhan tidak menjawab doaku, hanya akunya yang tidak mau mendengar Dia karena jawaban-Nya adalah tunggu. Tuhan tidak memberikan pacar kepadaku sekarang karena aku belum membutuhkannya. Kalau aku ingat-ingat lagi, ada benarnya juga. Jika dulu semasa sekolah dan kuliah Tuhan memberikan kepadaku pacar, mungkin pendidikanku bisa berantakan. Karena aku orang yang mudah terdistraksi maka mungkin sekali konsentrasi belajarku buyar akibat asyik pacaran. Atau juga karena aku belum bisa bertanggung jawab akan hidupku, maka Tuhan menundanya dulu.

Aku tidak tahu alasan pasti mengapa Tuhan belum memberikannya. Tetapi satu hal yang pasti, hal itu untuk kebaikanku. Aku memejamkan mataku, kembali berdoa.

Tuhan.
Terima kasih untuk jawaban-Mu.
Ampuni aku yang selama ini tidak menyadari jawaban atas doaku.
Tolong aku ya Tuhan.
Aku masih menginginkan seorang pacar, namun biarlah itu terjadi jika Kau mau memberikannya kepadaku. Pada waktu-Mu yang Engkau anggap paling baik.
Berilah kepadaku kesabaran untuk menunggu.
Terima kasih Tuhan.
Amin.

Aku tersenyum setelah membuka mataku. Aku akan menikmati hari-hariku bersama dengan Tuhan, dengan atau tidak punya pacar.

Demi Cinta, Aku Akhirnya Berserah, Menyerah, dan Terserah

Oleh Edwin Petrus, Medan

“Sudah, kamu berserah sama Tuhan saja, ikut saja apa maunya Tuhan!” Itulah yang selalu aku dengar dari pacarku setiap kali aku menceritakan pergumulan berat yang sedang aku hadapi. Dan tiap kali juga, aku merespons pacarku dengan pernyataan: “Aku tahu kok, dan aku sudah berserah. Ya sudah, aku ikut saja dengan yang Tuhan mau.”

Aku mencoba untuk berdamai dengan kondisi yang ada. Aku memaksakan diri untuk mengerjakan “apa yang Tuhan mau.” Namun, aku sendiri tidak menikmati hari-hariku. Rasanya aku ingin menyerah. Aku menceritakan lagi segala keluh kesahku, dan pacarku kembali mengulangi kata-kata yang sama. Aku pun membalasnya lagi dengan jawaban yang sama. Selama lebih kurang enam bulan, pergumulan ini sering mewarnai pembicaraan kami. Gara-gara isu ini, perbincangan kami memanas dan memicu pertengkaran.

Sampai suatu kali, di sebuah acara makan malam pernikahan, aku bertemu dan duduk semeja dengan seorang saudara di gereja. Di sela-sela percakapan, dia bertanya: “Bro, kamu tahu gak apa yang membuat aku akhirnya bisa keluar dari masalah-masalah hidupku selama ini?” Aku tersentak dengan pertanyaan itu. Tatapan mataku langsung terfokus kepadanya. Aku sangat menantikan sebuah jawaban yang tidak biasa. Aku berharap bisa segera keluar dari rentetan panjang problema hidupku yang sudah membuat aku lelah.

“Berserah sama Tuhan saja. Aku rasanya plong dan lega banget ketika aku berserah sama Tuhan. Terserah Tuhan mau ngapain!” Sambil tersenyum, saudara itu berkata-kata dengan santai. Kemudian, dia pun melanjutkan kisah hidupnya tentang bagaimana Tuhan memampukan dia untuk mengatasi perkara-perkara yang sulit ketika dia menyerah dan membiarkan Tuhan yang mengerjakan apa yang dipandang baik oleh-Nya.

Kawan, aku percaya kalau kamu ada di posisiku saat itu, kamu juga pasti akan kesal dengan jawaban yang itu-itu lagi. Awalnya aku juga tidak puas hati, sampai suatu hal membuka hati dan pikiranku.

Singkat cerita, seperti biasa, aku dan pacarku pasti selalu mengobrol sembari menanti jam tidur. Aku kembali mengangkat isu tentang masalahku yang belum selesai. Pacarku tampaknya sudah kehabisan akal untuk menasihatiku. Dia terdiam sejenak. Aku pun terdiam karena tidak tahu lagi harus mengucapkan apa.

Dalam keheningan itu, ada satu kata yang terlintas dalam pikirkanku: pride (kesombongan). Sel-sel di otakku memberikan respons yang cepat terhadap kata itu. Tidak lama kemudian, aku melanjutkan obrolan dengan pacarku: “Jangan-jangan, selama ini aku sombong dengan kemampuan diriku. Aku bilang aku cinta Tuhan. Aku mau mengasihi Tuhan. Aku bilang berserah sama Tuhan. Tapi, aku tidak mau menyerah pada apa yang dikehendaki oleh Tuhan. Aku justru mau bangun pride dalam diriku, bukan mau terserah sama maunya Tuhan.”

Kawan, malam itu aku disadarkan oleh Tuhan, kalau selama ini cintaku kepada Tuhan masih lemah dan rapuh. Dengan gampangnya, aku sanggup menghafalkan hukum yang terutama: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu” (Matius 22:37). Namun, ketika Tuhan memintaku untuk mempercayakan seluruh hidupku kepada rencana baik-Nya, aku masih enggan.

Aku teringat dengan kisah seorang murid Yesus, Simon Petrus, yang dicatat di Injil Yohanes pasal 21. Pengalaman iman dari Petrus ini terjadi pasca kebangkitan Yesus. Pada saat itu, Yesus menampakkan diri lagi kepada murid-murid-Nya untuk di pantai danau Tiberias. Dari kisah ini, aku merefleksikan tiga hal:

1. Berserah kepada Sang Cinta

Petrus dan beberapa murid Yesus yang lain pergi ke tengah danau untuk menangkap ikan. Sudah semalaman mereka menjala, tetapi pulang dengan tangan kosong. Yesus datang dan meminta mereka untuk menebarkan jala di sebelah kanan. Ketika Petrus menyadari bahwa Pribadi yang menyapa mereka adalah Yesus yang dikasihinya, dia dan teman-temannya kembali ke danau untuk sekali lagi menebarkan jala. Mirip dengan peristiwa yang terjadi kira-kira tiga tahun silam, ketika Petrus dan teman-temannya dipanggil untuk mengikuti Yesus, mereka mendarat dengan sejumlah banyak ikan.

Petrus juga pernah “ngotot” pada Yesus saat mereka makan malam bersama sebelum Yesus disalibkan. Yesus mengingatkannya untuk waspada karena iman mereka akan digoyahkan pada malam itu. Dengan lantang dan sombong, Petrus menjamin bahwa kasihnya kepada Sang Cinta, Yesus, tidak mungkin tergantikan. Namun, nyatanya itu hanya sekadar ucapan. Demi menjaga keselamatan dirinya, Petrus menyangkal Yesus sebanyak tiga kali dengan berkata bahwa ia tidak mengenal Yesus.

Petrus amat kecewa dengan dirinya yang gagal menyatakan kasih kepada Sang Cinta. Karena itu, Petrus memastikan dirinya untuk tidak lagi mengecewakan Yesus. Petrus berserah pada apa yang diminta oleh Sang Guru yang dicintainya. Dia mengikuti arahan Yesus untuk menebarkan jala di sebelah kanan, dan dia berhasil menangkap 153 ekor ikan yang besar. Jala yang dipakainya pun tidak koyak sama sekali (Yohanes 21: 11). Ketika Petrus berserah dan mengerjakan apa yang dikehendaki oleh Sang Cinta, dia menemukan bahwa kehendak Sang Cinta adalah yang terbaik bagi dirinya.

2. Menyerah demi Sang Cinta

Tiga tahun yang lalu, Petrus diminta Yesus untuk meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia. Karena itu, Petrus tidak lagi berurusan dengan bidang perikanan. Yesus memanggil Petrus untuk mengemban tugas yang lebih besar: tidak lagi menjala ikan, tapi menjala manusia bagi kerajaan Allah.

Namun, bingung dan sedih dirasakan Petrus dan rekan-rekannya karena kematian Yesus di kayu salib. Mereka tidak mengerti bahwa memang inilah rancangan Allah sejak semula untuk memberikan anugerah keselamatan kepada manusia berdosa. Yesus telah menang terhadap kuasa dosa dan bangkit dari kematian. Walaupun Yesus sudah bangkit dan pernah menampakkan diri kepada para murid-Nya, Petrus masih ragu. Dalam pikiran Petrus, terbesit ide untuk kembali menaiki kapal dan pergi menangkap ikan (Yohanes 21:1-3).

Yesus menghampiri Petrus untuk mengonfirmasi seberapa serius Petrus mengasihi-Nya. Tiga kali berturut-turut, Yesus bertanya: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi aku?” Petrus memberikan respons yang sama: “Aku mengasihi Engkau.” Jikalau demikian, Petrus perlu menyerah pada dirinya demi Sang Cinta. Petrus bukan hanya berserah untuk siap mengerjakan perintah Sang Cinta, tetapi menyerahkan seluruh hidupnya dengan penuh komitmen demi Sang Cinta. Sang Cinta memintanya untuk menggembalakan domba-domba-Nya.

3. Terserah kepada Sang Cinta

Di akhir percakapan dengan Petrus, Yesus menunjukkan kepadanya sebuah konsekuensi dari berserah demi cinta dan menyerah kepada cinta. Yesus memberikan sebuah penggambaran yang mengenaskan tentang akhir hidup Petrus. Ketika Petrus sudah menjadi tua, dia akan diikat dan dibawa ke tempat yang tidak dikehendaki olehnya (Yohanes 21:18-19). Para penafsir Alkitab meyakini bahwa ilustrasi ini berkaitan dengan kematian Petrus yang juga dalam kondisi tersalib. Bahkan, Petrus sendiri merasa ia tidak layak tersalib sebagaimana Yesus tersalib, sehingga ia meminta untuk disalib secara terbalik.

Setelah itu, Petrus melihat seorang murid yang dikasihi oleh Yesus. Orang tersebut adalah Yohanes, sang penulis Injil. Petrus mempertanyakan akhir hidup dari saudaranya ini kepada Yesus. Yesus menjawab Petrus: “Jikalau Aku menghendaki, supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu….” (Yohanes 21:22). Tampaknya, nasib Yohanes ini jauh lebih baik dari Petrus. Para pakar sejarah Alkitab mencatat bahwa Yohanes adalah murid Yesus yang usia hidupnya paling panjang.

Di tahap akhir ini, ketika Petrus sudah bisa berserah kepada Sang Cinta dan menyerah demi Sang Cinta, dia sudah tidak lagi mempermasalahkan bagaimana Sang Cinta merancang hidupnya. Petrus sudah belajar untuk berkata, “Terserah pada Sang Cinta saja!” Sebab, dia meyakini bahwa Sang Cinta memiliki rencana yang mendatangkan kebaikan bagi semua orang yang mengasihi Dia (Roma 8:28). Kitab Kisah Para Rasul menarasikan antusiasme dan kegigihan dari Petrus yang dipenuhi oleh kasih dari Sang Cinta untuk menggembalakan domba-domba-Nya. Petrus tidak pantang menyerah untuk mewartakan nama Yesus walaupun dia diperhadapkan dengan tantangan dan masalah yang datang silih berganti. Sampai pada akhirnya, oleh karena Sang Cinta, dia harus mengorbankan nyawanya.

***

Dari kisah Simon Petrus di Yohanes 21, aku menyadari bahwa ketidakmampuanku untuk menemukan solusi dan jalan keluar yang permanen terhadap masalah hidupku dikarenakan ketidakmauanku untuk melepaskan diriku dan menuruti kehendak-Nya. Aku mempertahankan ego dan kesombonganku untuk menyelesaikan masalahku. Selama ini, aku hanya mengaku di bibir saja kalau aku mau mencintai Tuhan dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi; tetapi pada praktiknya, aku justru mau Tuhan yang mengikuti pikiran dan rancanganku sebagai pilihan yang terbaik. Padahal, Yesus sendiri menawarkan: “Marilah kepada-Ku semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” (Matius 11:28).

Kawan, aku telah menemukan jawaban yang telah kucari-cari selama ini.
Ternyata, hal yang membuatku berat dalam menjalani pergumulanku adalah egoku sendiri. Aku mengerti kalau untuk berserah kepada Sang Cinta, menyerah demi Sang Cinta, dan terserah kepada Sang Cinta memang tidak mudah. Namun, aku sadar, justru Sang Cinta itu sendirilah yang menarikku untuk bisa mengalami cinta-Nya ketika aku bersedia menyerahkan keegoisan dan kesombonganku.

Lagipula, aku percaya jikalau Tuhan mengizinkan masalah dan pergumulan terjadi dalam hidup kita, Tuhan tidak pernah tinggal diam karena Dia sendiri yang berjanji: “Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.” (1 Korintus 10:13).