Posts

Mengapa Menikah Bukan Satu-Satunya Cara Mengalami Cinta Sejati

Penulis: Adriel Yeo, Singapura
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: Why Marriage Isn’t The Only Way To Experience True Love

Mengapa-Pernikahan-Bukan-Satu-Satunya-Cara

Pada saat aku masih remaja, masa akil baliq itu salah satunya ditandai dengan izin untuk bisa membeli minuman beralkohol. Namun, ketika para pemuda sudah menyelesaikan wajib militer dan para pemudi menyelesaikan kuliah, hal itu sudah bukan sesuatu yang istimewa lagi.

Kita mulai memasuki fase pertumbuhan yang baru, dan muncullah ukuran yang baru untuk menandai kedewasaan itu. Aku mengamatinya pertama kali di akun Facebook-ku. Ya, aku sedang membicarakan tentang status “Hubungan”.

Masih segar di ingatanku hari Valentine dua tahun lalu, saat setidaknya empat temanku bertunangan. Setahun kemudian aku menghadiri pernikahan mereka satu demi satu. Meski aku tahu saat-saat itu akan datang, aku tidak menyangka datangnya akan secepat itu.

Sembari ikut bersukacita atas pernikahan teman-temanku, aku menyadari ada semacam pola pikir yang umum dijumpai di kalangan kaum muda Kristen. Banyak yang memiliki persepsi bahwa seseorang hanya dapat mengalami secara penuh apa yang disebut kasih “agape” atau kasih Allah yang tak bersyarat, melalui pernikahan. Mereka yang tidak dapat menemukan pasangan hidup, tidak akan pernah bisa mengalami kasih ini.

Aku tidak sependapat.

Jangan salah paham: Aku percaya bahwa pernikahan Kristen haruslah menyatakan kasih yang rela berkorban, tanpa syarat, sebagaimana yang telah ditunjukkan Kristus kepada jemaat (Efesus 5:25). Sebab itu, benar bahwa seseorang pasti dapat mengalami dan mempraktikkan kasih Kristus dalam hubungan pernikahan. Tetapi, aku tidak percaya bila dikatakan bahwa kasih Kristus hanya dapat dialami dalam pernikahan.

Yesus berkata kepada para murid-Nya: “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu” (Yohanes 15:12). Perintah ini sangat jelas: komunitas Kristen diminta untuk menunjukkan kasih yang mencerminkan kasih Kristus kepada umat-Nya, kasih yang membawa-Nya ke atas salib.

Perintah ini menantang sekaligus memberi penghiburan. Menantang, karena perintah ini meminta kita untuk menunjukkan kasih yang rela berkorban, yang tidak bersyarat kepada semua orang, sama seperti Allah yang telah lebih dulu menunjukkan kasih-Nya kepada kita, orang-orang yang tadinya tidak layak untuk dikasihi. Memberi penghiburan, karena perintah ini mengingatkan kepada kita bahwa kasih Kristus dapat kita alami baik kita menikah maupun tidak menikah.

Perintah Yesus tidak dimaksudkan agar kita hanya mengasihi pasangan kita, tetapi agar kita mengasihi satu sama lain. Senada dengan itu, 1 Yohanes 4:19—“Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.”—tidak hanya ditujukan kepada pasangan yang sudah menikah, juga tidak membicarakan kasih yang hanya ada dalam pernikahan. Firman itu ditujukan kepada setiap orang yang mengaku percaya kepada Allah.

Pemahaman tentang kasih yang diajarkan Alkitab ini dapat menolong kita untuk lebih percaya diri. Bayangkan jika yang bisa mengalami kasih tak bersyarat hanyalah orang yang menikah. Bukankah itu berarti orang-orang yang tidak menikah kurang penting di mata Allah? Benar bahwa seseorang dapat mengalami kasih Allah di dalam pernikahan melalui hubungan kasih di antara suami dan istri yang seharusnya mencerminkan kasih Kristus kepada jemaat. Tetapi, sama benarnya dengan itu, seseorang juga dapat mengalami kasih Allah sebagai orang yang tidak menikah, melalui hubungan dengan sesama orang percaya dalam jemaat Tuhan.

Meskipun dengan sedih kita harus mengakui, banyak di antara kita gagal menunjukkan kasih Kristus dalam komunitas orang percaya, solusinya bukanlah dengan mencari kasih itu di dalam pernikahan atau berpikir bahwa kasih semacam itu hanya ada di dalam pernikahan. Solusinya adalah kembali kepada Sumber Kasih—Allah sendiri. Hanya di dalam Allah, kita dapat melihat kasih yang benar dan sempurna, yang telah ditunjukkan-Nya di dalam Pribadi Yesus Kristus, yang telah mengasihi kita dan menyerahkan nyawa-Nya bagi kita.

Seks: Untuk Apa Menunggu?

Penulis: Kezia Lewis, Thailand
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Sex: What Are You Waiting For?

Menanti-cinta-sejati

Aku tumbuh dalam keluarga non-Kristen yang disfungsi. Namun, ibuku berusaha sebaik mungkin mendidikku untuk menjadi orang yang bertanggung jawab, menjunjung tinggi tradisi, dan selalu bersikap hati-hati. Beliau tidak mengatakan secara langsung bahwa aku harus menunggu sampai aku menikah nanti baru boleh melakukan hubungan seks, tetapi aku tahu bahwa itulah yang seharusnya aku lakukan. Sebab itu aku menunggu.

Dan ternyata, menunggu itu tidak mudah. Aku memutuskan untuk menunggu, bukan karena Tuhan (saat itu aku belum mengenal Tuhan), tetapi karena diriku sendiri. Aku menunggu karena aku takut dengan konsekuensi yang harus kuhadapi bila melakukan hubungan seks di luar nikah. Aku menunggu karena aku takut hubungan itu bisa membuatku hamil. Aku menunggu karena keluargaku miskin, dan aku tidak mau memperburuk situasi yang kami hadapi. Untuk makan sehari-hari saja kami sulit, bagaimana bila aku tiba-tiba punya anak? Aku hanya akan menambah beban ibuku.

Pada saat itu aku pikir aku bisa mempertahankan diri karena kekuatanku sendiri. Kini aku menyadari bahwa Tuhanlah yang sesungguhnya telah melindungi aku dari godaan seks di luar nikah dengan mengingatkan aku terus-menerus tentang keluargaku.

 
Menanti Cinta Sejati

Ketika aku menjadi seorang Kristen, aku menjadi akrab dengan slogan “True love waits” [Cinta sejati menunggu], yang mendorong orang untuk berkata tidak pada hubungan seks di luar nikah. Slogan itu sangat mengena di hatiku. Terdengar sangat mulia, bijak, dan masuk di akal. Cinta sejati berarti bersedia menunda hubungan seks hingga tiba saatnya kita mengucapkan janji nikah. Mengkhususkan diri kita hanya untuk pasangan kita seorang, adalah hadiah terbaik yang bisa kita berikan baginya. Untuk itu aku perlu menunggu.

Aku mendengar dan juga bertemu dengan sejumlah orang Kristen yang telah menandatangani kartu komitmen, memakai cincin tanda kesucian, menunggu selama sepuluh bahkan dua puluh tahun, lalu merasa lelah dengan penantian itu. Mereka merasa tidak berarti, sendirian, dan kesepian. Sebagian merasa penantian mereka sia-sia. Mereka melihat teman-teman mereka menikmati seks di luar nikah. Sepertinya mereka telah melewatkan sesuatu yang sangat menyenangkan dan menggairahkan, sesuatu yang bisa memuaskan jiwa mereka. Sebab itu, mereka pun membuang kartu komitmen dan cincin mereka, lalu berhenti menjaga kekudusan hidup mereka.

Sebagian lagi merasa bahwa pernikahan adalah jawaban atas kebutuhan mereka. Mereka pun berusaha untuk cepat-cepat menikah. Mereka sangat bersemangat memasuki rumah tangga dan berharap pasangan mereka akan memuaskan kebutuhan mereka. Lalu mereka menyadari kebenaran yang pahit: ranjang pernikahan tidak cukup untuk mengisi kekosongan hati mereka. Harapan mereka tidak terpenuhi, hati mereka hancur dan dilingkupi rasa kecewa.

Sebagian lagi berusaha tetap menjaga komitmen yang telah mereka buat untuk tetap hidup kudus karena mereka takut dimurkai Tuhan. Akibatnya, hubungan mereka dengan Tuhan menjadi sekadar kewajiban tanpa sukacita. Beberapa orang bahkan memandang Tuhan tak lebih dari sekadar penentu jodoh dalam perjalanan mereka menemukan cinta sejati.

Secara pribadi aku tidak punya masalah dengan slogan “Cinta sejati menunggu”, dan aku pikir slogan itu dapat menjadi pengingat yang baik agar kita dapat tetap menjaga kekudusan hidup. Namun alangkah baiknya jika kita tidak sekadar berfokus pada sebuah janji untuk tidak berhubungan seks, tetapi berfokus pada makna sesungguhnya mengikut Yesus. Menunggu tidak dapat menguduskan kita. Pribadi Yesus dapat. Satu-satunya Pribadi yang dapat memenuhi kebutuhan kita, menjadikan kita sebagai kepunyaan-Nya. Dia bukanlah sebuah jalan untuk menemukan seorang pribadi yang bisa membahagiakan kita. Dia sendirilah Pribadi yang bisa membahagiakan kita. Kepuasan kita yang sejati ada pada Tuhan, bukan pada pernikahan atau hubungan seks. Sebaik apa pun pernikahan atau hubungan seks, keduanya tidak akan memenuhi kebutuhan jiwa kita yang terdalam. Hanya Tuhan yang dapat memenuhkannya.

 
Mengubah Sudut Pandang Kita

Tuhan merancang kita dengan hasrat untuk memiliki hubungan-hubungan yang bermakna dengan sesama manusia. Salah satu hubungan bermakna yang dapat kita miliki adalah hubungan seksual, menyatu dengan seorang manusia lainnya. Tuhan menetapkan hubungan yang indah ini menjadi puncak perayaan pernikahan kita. Tidaklah mengherankan bila kita memiliki hasrat hati untuk dekat secara seksual dengan lawan jenis kita, namun hubungan ini hanya dapat dinikmati dalam ikatan pernikahan.

Kita harus menahan diri untuk tidak melakukan hubungan seks di luar nikah karena itulah yang dikehendaki dan ditetapkan Tuhan bagi kita. Akan sulit menjaga komitmen ini bila kita tidak merasa kehendak Tuhan itu baik dan penting. Kita hanya akan terus gelisah menunggu keluarnya “izin” untuk berhubungan seks. Seorang temanku pernah berkata, “Membuat komitmen untuk hidup kudus itu mudah, menjaga komitmen tersebut adalah sebuah tantangan.”

Perkataannya sangat sesuai dengan apa yang kita hadapi hari ini. Berusaha hidup kudus dengan kekuatan kita sendiri di tengah zaman yang penuh dengan pornografi dan masyarakat yang sangat toleran terhadap perbuatan asusila, bisa dibilang hampir mustahil. Jika kita sekadar menanti-nantikan pernikahan demi bisa berhubungan seks, pertanyaan yang pasti akan timbul adalah: seberapa jauh hubungan yang diperbolehkan sebelum menikah?

Aku sendiri mengajukan pertanyaan yang sama berulang kali saat aku belum menikah. Dan sekalipun aku tetap menahan diri, aku masih terus memikirkan berbagai alasan untuk membenarkan kecenderungan hatiku. Faktanya adalah: keinginan hati kita begitu kuat sehingga godaan untuk berhubungan seks sangat sulit untuk ditolak. Beberapa orang bisa mengendalikan keinginan hati mereka, tetapi kebanyakan orang tidak bisa. Fakta ini jelas terlihat dengan menurunnya standar moral terkait seks dalam masyarakat kita saat ini.

Bagaimana bila kita mengubah sudut pandang kita untuk menjawab tantangan ini? Bagaimana bila kita tidak lagi berfokus hanya pada kapan dan bagaimana kita bisa menikmati hubungan seks, tetapi pada nilai-nilai yang dikehendaki Tuhan dalam hidup kita? Ketika kita berfokus untuk melakukan apa yang menyenangkan hati Tuhan, kita akan mengajukan pertanyaan yang berbeda: Bagaimana aku dapat menghormati Tuhan dengan pikiranku dan dengan tubuhku?

 
Bagaimana Memulainya

Bagaimana kita dapat mulai mengubah sudut pandang kita dan menemukan identitas sejati kita di dalam Tuhan? Kita perlu menumbuhkan kepekaan kita pada tuntunan Roh Kudus dan mematikan keinginan daging kita. Berikut ini beberapa hal yang bisa mulai kita lakukan:

1. Sediakanlah waktu yang berkualitas bersama Tuhan secara teratur melalui doa dan pembacaan Alkitab setiap hari.
2. Layanilah Tuhan menurut panggilan yang diberikan-Nya kepada kita
3. Serahkanlah pergumulan kita kepada-Nya setiap hari
4. Miliki teman-teman yang dewasa rohani, orang-orang yang mengasihi Tuhan, yang dapat menyemangati kita untuk terus menjaga komitmen kita di dalam Tuhan,
5. Bantulah orang lain untuk juga hidup sebagai murid Kristus

Di atas semua itu, teruslah rindu mengenal dan menikmati hubungan dengan Tuhan setiap hari. Jadikan Yesus sebagai pusat kehidupan kita. Aku sendiri mengalami bahwa ketika hidupku makin berpusat pada Tuhan, aku pun makin tidak ingin melakukan sesuatu yang tidak menghormati-Nya. Kita akan menemukan kekuatan untuk menolak godaan, kita akan lebih termotivasi untuk melakukan apa yang benar sekalipun hal itu sulit dan tidak ada orang yang memperhatikannya. Hubungan seks tidak lagi menjadi terlalu penting karena perhatian kita lebih banyak tertuju kepada Tuhan. Kita akan lebih peduli tentang bagaimana Tuhan memandang hubungan-hubungan yang kita miliki dan apa yang Tuhan ingin lakukan melalui hidup kita ketimbang mencari kebahagiaan kita di dalam hubungan-hubungan tersebut.

Aku ingin mengakhiri tulisan ini dengan mengatakan bahwa: mengkhususkan diri kita untuk pasangan kita, bukanlah hadiah terbaik yang bisa kita berikan baginya. Hadiah terbaik yang bisa kita berikan adalah hubungan kita dengan Tuhan. Ketika kasih manusia memudar, kasih Tuhan cukup untuk menjaga hubungan kita dengan pasangan kita hingga maut memisahkannya.