Artikel asli dalam bahasa Inggris: 4 Misconceptions about Following Jesus
Apa sih artinya mengikut Yesus? Apakah itu cuma tugas dan kewajiban, tentang apa yang boleh dan tidak?
Kadang cara kita memandang kehidupan Kristen bisa jadi hambatan buat pertumbuhan iman kita. Ibaratnya kamu punya daftar panjang aktivitas yang harus dilakukan, tapi kamu tahu kamu tidak bisa maksimal melakukannya… jadi kamu pun berjuang susah payah untuk mencapai target. Kita tahu bahwa perbuatan baik kita bukanlah syarat untuk diselamatkan dan menerima kasih Allah, tapi kita juga tahu bahwa kita diselamatkan untuk melakukan perbuatan baik, dan kasih Allah yang memampukan kita untuk mengasihi dan berbuat baik.
Dalam upaya kita untuk menemukan titik terang dari pengajaran ini, mudah bagi kita untuk terlalu berfokus pada satu atau dua kebenaran dengan mengorbankan kebenaran lainnya. Akhirnya kita pun jatuh pada sudut pandang yang ekstrem, yang membuat perjalanan kita mengikut Yesus jauh dari sukacita.
Jika kamu sulit mengalami sukacita dalam relasimu dengan Tuhan, mungkin itu karena kamu memercayai beberapa miskonsepsi tentang kasih Allah.

Miskonsepsi #1: Hidup orang Kristen itu isinya cuma penderitaan dan gak ada kebahagiaan sama sekali
Kebenarannya: Allah ingin kita mengalami kebahagiaan sejati yang berasal dari kepuasan di dalam-Nya.
Kita sering diberitahu bahwa penderitaan adalah bagian tak terpisahkan dari hidup Kristen (1 Petrus 4:12; 1 Yohanes 3:13)… yang jika kita pahami dengan parsial akan membuat kita berpikir kalau yang Allah mau ialah kita hidup menderita dan tak boleh bahagia.
Alkitab tidak berkata bahwa mengikut Tuhan berarti menjalani hidup yang tidak bahagia. Faktanya, Alkitab memberi tahu sebaliknya—kebahagiaan dan kepuasan datang dari Allah (Pkh 3:12-13; Kis 14:17), dan Dia memanggil kita untuk bersukacita (Fil 4:4), berpuas di dalam-Nya (Maz 37:4). Perjanjian Lama mencatat banyak momen perayaan dan sukacita bagi umat Allah, dan ketika Yesus melayani di bumi, Dia bercengkrama dengan anak-anak, makan bersama, bahkan diundang ke pesta perkawinan.
Si Jahat mau kita berpikir bahwa penderitaan dan kebahagiaan tidak bisa berjalan berdampingan, dan jika Allah mengizinkan penderitaan, Dia jelas tidak suka dengan kebahagiaan. Kita pun mudah terjebak pada pemahaman bahwa bahagia itu selalu terkait dengan kenyamanan, memanjakan diri sendiri, dan hidup yang minim masalah. Semuanya tentang apa yang aku mau, apa pun kondisinya.
Allah ingin kita mengerti bahwa Dia peduli akan kebahagiaan kita dan Dia memberikannya melalui berbagai cara, entah itu dari menikmati ciptaan-Nya, merayakan hari-hari istimewa dengan orang terkasih, atau menemukan kepuasan dari pekerjaan kita. Yang terpenting, Allah ingin kita tahu bahwa kebahagiaan datang dari taat pada-Nya (Mazmur 68:3). Yesus memberi tahu kita untuk tinggal tetap di dalam kasih-Nya dengan menaati perintah-Nya supaya “sukacitamu menjadi penuh” (Yohanes 15:10-11).
Lebih dari sekadar perasaan atau khayalan, kebahagiaan yang sejati datang dari memercayakan hidup kita sepenuhnya kepada Pribadi yang tahu betul siapa kita, yang memberi hidup-Nya bagi kita semua, dan yang hanya akan melakukan yang terbaik buat kita.

Miskonsepsi #2: Segala sesuatu dirancangkan Tuhan untuk “mendatangkan kebaikan”, jadi pada akhirnya semua harus berhasil!
Kebenarannya: Tidak semua hal pasti berhasil, tetapi Allah selalu bekerja di dalam segala sesuatu dan melalui kita untuk kemuliaan-Nya.
Beberapa dari kita mungkin punya pemahaman dari sisi ekstrem: bahwa jika kita sungguh percaya pada Yesus, Dia akan membantu dan menjadikan semuanya berhasil seturut pikiran kita.
Namun, gagasan tentang ‘kebaikan’ versi kita seringkali berbeda dari versinya Tuhan. Dalam ayat Roma 8:28, kita mungkin berpikir bahwa “…mendatangkan kebaikan” itu kebaikan yang sesuai dengan yang kita harapkan.
Hasilnya, ketika keadaan kita tidak membaik, kita menerka-nerka apakah Tuhan tidak peduli, atau mungkin iman kita kurang besar? Kita terbiasa dengan pemahaman “kerja keras pasti sukses”, dan kita pun akhirnya menciptakan pemikiran sendiri akan isi Alkitab bahwa ketika Yesus menjanjikan hidup yang ‘penuh’ itu berarti tentang menerima lebih dan lebih. Jika kerangka pikir ini kita pakai, alhasil kita akan bingung: apa arti ikut Tuhan kalau gak membuat hidup kita jadi lebih baik?
Roma 8:28 memang membahas soal ‘kebaikan’, tetapi konteks sebenarnya adalah Allah tidak hanya rindu untuk mengubah keadaan kita, tetapi Dia bekerja di dalam dan melalui kita untuk kebaikan kita dan kemuliaan-Nya, supaya kita menjadi serupa dengan Putra-Nya (Roma 8:29). Artinya, meskipun hasil baik yang kita harapkan tidak terwujud, Allah bekerja di dalamnya sehingga kita diubah menjadi semakin baik. Kita bertumbuh dewasa, lebih sabar, dan semakin serupa dengan Kristus melalui momen-momen sulit.
Karena itulah kita dapat tegar beriman meskipun keadaan ada di luar kendali kita. Seperti orang-orang kudus yang telah mendahului kita, menaati perintah-Nya, percaya pada pribadi dan waktu-Nya, Allah sendiri yang akan meneguhkan iman kita dengan Roh Kudus-Nya dan Dia berjanji menyertai kita setiap saat.

Miskonsepsi #3: Kamu gak boleh punya keinginan, semuanya hanya tentang maunya Tuhan, iya kan?
Kebenarannya: Allah memberi kita keinginan dan kehendak bebas. Ketika kita membawa semua ini kepada-Nya, Dia akan menolong kita tumbuh dewasa supaya keinginan kita selaras dengan kehendak-Nya.
Miskonsepsi ketiga adalah kita berpikir bahwa ketika Yesus memanggil kita untuk ‘menyangkal diri’ (Matius 16:24), seolah Dia berkata bahwa kita tidak boleh lagi punya keinginan karena itu dianggap tidak penting. Sederhananya: kita hanya boleh ingin apa yang Tuhan juga inginkan.
Namun, cara berpikir ini membuat kita melihat dunia dari sudut pandang yang salah. Kita secara tak sadar membagi dua, antara yang ‘rohani’ dan ‘duniawi’. Contoh: kita hanya boleh membaca Alkitab dan tidak menonton Neteflix; kita hanya boleh pergi ke gereja daripada nongkrong dengan teman yang bukan Kristen… Alhasil segala aktivitas yang kita nikmati kita anggap sebagai tidak saleh dan tidak berkenan bagi Tuhan.
Ketika Allah memanggil kita untuk menyangkal diri, yang Dia minta adalah kita menyerahkan hasrat keberdosaan kita—bukan keinginan dan kepribadian kita yang unik yang Dia berikan pada kita. Jika Allah tidak peduli akan keinginan dan siapa kita, Dia tidak akan memberi kita kehendak bebas agar kita membuat pilihan. Jika yang Allah inginkan hanyalah mematahkan setiap rencana kita agar kita seperti robot, rencana penebusan-Nya dengan menunjukkan kasih bagi kita tak akan mungkin.
Coba pikirkan ini: ketika kita muda, sulit untuk mengerti mengapa orang tua kita mengatakan “tidak”, atau ketika mereka memberi sesuatu yang bukan keinginan kita. Namun, saat kita dewasa dalam berpikir, lebih mudah untuk mengerti apa yang jadi kehendak dan isi hati para orang tua.
Dengan cara yang sama, Paulus berulang kali memanggil gereja untuk bertumbuh dewasa (Ef 4-5, Fil 3) agar mereka (juga kita) mencintai hal-hal yang menyenangkan Tuhan, dan mengerti bagaimana caranya menyelaraskan talenta dan keinginan kita dengan rencana-Nya bagi kita.

Miskonsepsi #4: Yang penting mengampuni, selebihnya ya udah terserah orang itu
Kebenarannya: pengampunan itu tidak bicara soal menoleransi dosa, tetapi memilih untuk tidak membenci atau tidak berdiam diri dalam rasa sakit.
Sebagai orang Kristen, kita diajar untuk mengampuni sebagaimana kita telah diampuni, dan pembalasan itu hak Tuhan (Roma 12:19)… jadi tugas kita cuma ‘ampuni’ lalu ‘biarkan’. Pemahaman ini sering berujung menjadi rasa cuek yang justru menunjukkan ‘penerimaan’ kita terhadap perilaku berdosa tanpa meminta orang tersebut bertanggung jawab atas perbuatannya.
Kitab Mazmur menegaskan kita bahwa Alkitab tidak menganggap lalu begitu saja kejahatan dan ketidakadilan, tetapi semuanya akan dibawa pada Allah pada akhirnya. Pemazmur juga secara gamblang berseru agar Allah memberi hukuman, yang di zaman modern ini membuat kita berpikir “kok bisa Allah yang katanya penuh kasih malah begitu?”
Perjanjian Baru memberikan contoh yang tampak berkontradiksi. Orang-orang percaya dipanggil untuk saling menegur dan memperbaiki (Matius 18:15-17, Lukas 17:3), tapi di lain ayat malah dipanggil untuk jangan lagi bergaul dengan pendosa (1 Kor 5:9-12, 2 Tes 3:6, Titus 3:10).
Melalui ayat-ayat ini, kita melihat bahwa pengampunan bukanlah tentang dengan sengaja menoleransi atau mengabaikan untuk memperbaiki apa yang jelas-jelas salah, terutama di dalam tubuh Kristus, tetapi memilih untuk tidak menyimpan kebencian atau memikirkan luka yang kita alami.
Jangan biarkan pemikiran ekstrem ini mengurangi pemahamanmu tentang kasih Tuhan. Ketika keraguan dan kekecewaan muncul, larilah kepada-Nya dan mintalah pengertian. Mintalah Dia untuk membantumu merasakan dan melihat bahwa Dia baik.
Dan ketika kita belajar untuk menaati perintah-Nya bagi kita, kita juga perlu menerima ketentuan dan janji-Nya—bahwa Yesus yang hidup di dalam kita, Rohlah yang memberi kita pengertian dan kuasa, dan Allah Bapa yang akan menyelesaikan pekerjaan baik yang telah Dia mulai di dalam kita.