Posts

Jika Awalnya Saja Sudah Buruk, Sungguhkah Nanti Lebih Baik?

Oleh Chia Poh Fang, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why Such A Bad Start To 2020?

“Kuharap tahun barumu dimulai dengan baik.”

Sepenggal kalimat itu mengisi sebuah email yang dikirimkan kepadaku, sebuah ucapan yang tulus.

Namun, serentetan kabar buruk yang kubaca dan tonton di media belakangan ini telah mempengaruhi orang-orang yang kukenal sampai ke tataran kehidupan pribadi mereka.

Di hari pertama 2020, hujan lebat di sekitar Jakarta membuat debit air meninggi dan banjir di mana-mana. Seorang temanku sampai terpisah dari anak-anaknya selama beberapa hari karena mereka harus mengungsi di rumah sang nenek. Temanku yang lain, seharusnya terbang ke Malaysia untuk rapat, tapi dia tidak bisa pulang mengambil barang bawaannya karena banjir. Dia harus membeli baju baru di Malaysia.

Kemudian, kita juga mendengar berita tentang gunung meletus di Filipina. Lima relawan penerjemah dari kantor kami tinggal di dekat lokasi bencana tersebut. Rumah mereka ditutupi abu vulkanik. Tiga dari mereka sesak nafas karena debu yang terlampau tebal, dan mereka hidup tanpa air dan listrik selama tiga hari.

Sementara itu, di Australia, kebakaran hutan merambat dengan masif. Seorang temanku yang sedang dalam penerbangan pulang ke Canberra tak dapat mendarat karena asap yang terlampau pekat. Penerbangannya dialihkan dan membuatnya meratap ingin segera pulang ke rumah.

Kabar buruk masih belum berhenti. Berita terbaru yang kita dengar dan menghiasi media di seluruh dunia adalah kabar tentang penyebaran virus Corona yang telah merenggut lebih dari 427 nyawa sejak penyebarannya yang pertama pada 31 Desember 2019.

Meski secara pribadi aku tidak kenal siapa pun yang tertular virus tersebut, namun aku bisa sedikit merasakan bagaimana pedihnya kehilangan. Dalam 17 hari pertama tahun ini, ada tiga kematian yang terjadi di antara orang-orang dekatku. Ada seorang sepupuku yang meninggalkan istrinya selamanya, seorang pria yang kehilangan teman hidupnya selama 40 tahun lebih, dan seorang ibu yang harus meninggalkan anaknya yang berusia lima tahun.

Mengatakan bahwa tahun ini tidak diawali dengan baik rasanya bukanlah pernyataan yang berlebihan.

Mungkin ada di antara kita yang kehidupannya terdampak oleh salah satu dari sekian banyak kabar buruk di atas, diliputi ketakutan, kekhawatiran, kemarahan, atau kesedihan. Jika ya, bolehkah aku mengatakan hal ini kepadamu?

Tidak apa-apa untuk mengatakan kamu sedang tidak baik-baik saja

Adalah wajar untuk marah karena kematian yang merenggut orang yang kamu kasihi. Kamu mungkin merasa takut atau pun panik akan perubahan iklim yang mengakibatkan banjir dan kebakaran hutan, atau mungkin pula khawatir karena penyebaran virus Corona.

Aku berduka karena kematian sepupuku, dan bertanya-tanya mengapa kehidupan seseorang yang masih muda direnggut begitu cepat. Aku dan teman-temanku pun berduka atas penderitaan yang harus dihadapi orang-orang yang berjuang pulang karena kebakaran hutan, atau mereka yang harus bekerja ekstra membersihkan rumah mereka pasca banjir dan letusan gunung berapi.

Jika kita membuka Alkitab kita, kita melihat Yesus pun menunjukkan gejolak emosinya saat berada di pemakaman. Ketika dia mendapati Maria yang saudara laki-lakinya, Lazarus, meningal dunia, “hati-Nya sedih, dan Ia tampak terharu sekali” (Yohanes 11:33 BIS)

Mengapa Yesus bersedih? Mungkin, Yesus kecewa dan marah karena dosa dan konsekuensi yang diakibatkannya. Allah tidak menjadikan dunia supaya dipenuhi dengan kesakitan, penderitaan, dan maut, tapi dosa memasuki dunia dan menodai rencana mulia Allah.

Ketika keadaan tidak baik, ketahuilah ini bukanlah akhir

Ada banyak pertanyaan tentang kesakitan dan penderitaan yang belum kutemukan jawabannya yang paling memuaskan. Namun, ketika aku bergumul dengan keraguan, aku ingat bahwa Yesus hadir ke dunia dua ribu tahun silam dan menunjukkan pada kita bagaimana Allah sesungguhnya.

Tangan-Nya menyentuh yang sakit kusta (Markus 1:41); Pandangan-Nya tertuju kepada janda yang sakit di Nain (Lukas 7:11-17). Dia tersakiti ketika kita merasa sakit. Kita memiliki Juruselamat yang peduli dan menderita bersama kita. Namun, lebih daripada itu semua, Yesus mati dan bangkit dari maut. Dialah satu-satunya Pribadi yang mati, bangkit, dan tidak pernah mati kembali! Dia telah mengalahkan maut. Kita punya harapan yang hidup dalam Yesus, sebab Juruselamat kita adalah Tuhan yang hidup.

Dan, Yesus pun berjanji kelak akan tiba waktunya di mana segala kesakitan akan berakhir (Wahyu 21:4). Ketika kita tak dapat menghentikan kesakitan dan dosa menggerogoti tubuh kita yang fana saat ini, sebagai anak-anak-Nya, kita kelak akan menerima tubuh yang baru dan mulia (1 Korintus 15:42-43). Inilah kisah akhir dari sejarah manusia yang teristimewa dapat kita ketahui saat ini.

Apakah hari-harimu di tahun ini juga dimulai dengan kisah getir? Teguhkanlah hatimu sebab ini bukanlah akhir. Allah sedang bekerja untuk memulihkan; Allah bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi orang-orang yang mengasihi-Nya (Roma 8:28).

Seiring 2020 terus berlanjut, kita mungkin akan masuk ke dalam situasi yang mengharuskan kita hanya dapat bergantung dan percaya pada-Nya. Bersediakah kamu bersama-sama denganku untuk memusatkan pandanganmu kepada Yesus? Harapan kita hanya di dalam-Nya, dan bersama-Nya segala sesuatu dapat kita lalui.

Baca Juga:

Di Balik Hambatan yang Kita Alami, Tuhan Sedang Merenda Kebaikan

Meski kamu melalui jalan yang berbelok-belok, atau bahkan berbatu-batu, dan meski seringkali kamu menemukan dirimu tidak memahami maksud Tuhan dalam hidupmu, tetaplah percaya kepada-Nya. Bila Tuhan yang menyertaimu, Dia pasti akan memberikan pertolongan dan tuntunan-Nya dalam segala sesuatu yang kamu kerjakan.