Posts

Belajar Melihat Hidup dari Kacamata Orang Lain

Oleh Charles, Jakarta

Ketika aku dan beberapa temanku sedang makan malam di sebuah rumah makan, seorang anak kecil mendatangi kami. Dia berjualan tissue dan menawarkannya kepada kami.

Kami tidak memberikan respons apa-apa karena kami tidak berminat membeli tissue saat itu. Namun, anak itu dengan pantang menyerah tetap berdiri di sana dengan muka memelas. Hingga akhirnya seorang temanku bertanya, “Tissuenya berapa harganya, dik?”

“Lima ribu,” jawabnya.

Temanku lalu mengeluarkan selembar uang lima ribu dan membeli satu pak tissue yang dijualnya. Kemudian anak itu pun beralih ke meja lain.

Aku lalu teringat bahwa aku pernah membeli tissue yang serupa di sebuah toko beberapa waktu yang lalu. Harganya juga lima ribu. Kemudian aku juga teringat kalau tissue di mobilku sudah mau habis. Jadi kupikir tidak ada ruginya membeli tissue dari anak itu. Sebelum meninggalkan rumah makan itu, aku menghampiri anak itu dan menyodorkan selembar lima ribu untuk membeli satu pak tissue yang dijualnya.

Setelah meninggalkan rumah makan tersebut, dalam perjalanan pulang tiba-tiba ada beberapa hal yang terlintas dalam pikiranku.

Aku lalu berpikir, seandainya tadi aku beli semua tissue yang dibawanya (dia hanya bawa 5 pak tissue) dan aku memberikannya uang Rp 50.000 tanpa meminta kembali, kira-kira apa yang dirasakannya?

Mungkin dia akan merasa lega karena dia dapat beristirahat sejenak karena dagangannya sudah laku semua.

Mungkin juga dia menganggap hal itu menjadi bukti bahwa kerja keras akan menghasilkan hasil, dan itu memotivasinya untuk bekerja dengan tekun setiap hari.

Dan lebih daripada itu, mungkin juga dia menjadi percaya sebuah hal: Masih ada orang di dunia ini yang ingin berbuat baik kepadanya. Masih ada yang peduli dengannya, masih ada yang mengasihi dia.

Tiba-tiba, aku menjadi menyesal karena aku hanya membeli satu pak tissue seharga lima ribu Rupiah darinya. Aku telah melewatkan kesempatan untuk mencerahkan hati seorang anak yang mungkin sedang haus kasih sayang.

Namun, peristiwa singkat ini memberikan sebuah pelajaran berharga bagiku.

Mengapa pola pikirku bisa berubah drastis ketika aku ada di rumah makan dan ketika aku ada dalam perjalanan pulang? Jawabannya sederhana. Di rumah makan, aku hanya melihat kebutuhanku: “Apakah aku sedang butuh tissue?”, “Apakah harga tissuenya masuk akal?”, “Haruskah aku ingin membantu anak ini?” Semua fokusnya ada di “aku”. Namun, ketika dalam perjalanan, aku melihat dari sudut pandang yang berbeda. Aku memikirkan kebutuhan anak itu: “Berapa penolakan yang telah dilaluinya?”, “Cukupkah uang yang dihasilkannya untuk biaya hidupnya?”, “Apakah dia mendapatkan kasih sayang yang layak didapatkannya?”. Semua fokusnya beralih dari “aku” kepada “dia”. Dan inilah yang mengubah pemikiranku.

Sekali lagi Tuhan mengingatkanku bahwa hidup ini terlalu sayang untuk dijalani dengan hanya memperhatikan kepentingan diriku semata. Banyak kesempatan-kesempatan emas yang dapat kuambil hanya dengan mengubah sudut pandangku dan mulai memperhatikan kepentingan orang lain seperti aku memperhatikan kepentinganku.

Ketika Tuhan memanggil kita suatu saat nanti, aku percaya Tuhan tidak akan menanyakan, “Seberapa banyak keuntungan yang telah kamu hasilkan di dunia?”. Yang Dia akan tanyakan adalah, “Seberapa banyak kasih yang telah kamu bagikan dengan sesamamu manusia?”

Marilah kita perluas sudut pandang kita dan mulai melihat hidup ini dari kacamata orang lain juga, termasuk musuh-musuh kita. Perhatikanlah apa yang menjadi kebutuhan mereka. Jika kita setia melakukannya, aku yakin hati kita dan dunia ini bisa menjadi lebih indah dan damai.

Baca Juga:

10 Tahun Bekerja dengan Sikap Hati yang Salah, Inilah Cara Tuhan Menegurku

Selama 10 tahun bekerja, aku takut kalau aku dicap sebagai orang yang ceroboh dan tidak kompeten. Bukannya belajar dari kesalahan-kesalahan yang telah kuperbuat, yang ada aku malah merasa kesal. Hingga akhirnya, Tuhan pun menyadarkanku dari sikap hatiku yang salah.

Sebuah Perenungan: Hidup Ini Tidak Adil!

Oleh Charles, Jakarta

Ada 3 orang anak: Ani, Budi, dan Chandra. Ani mendapatkan 5 buah apel, Budi mendapatkan 10 buah apel, dan Chandra mendapatkan 15 buah apel. Apakah itu adil?

Mungkin kamu akan menjawab, “Tidak adil!” Seharusnya kalau mau adil, Ani, Budi, dan Chandra sama-sama mendapatkan 10 buah apel. Benar begitu?

Pertanyaannya, jika kamu adalah Chandra yang mendapatkan 15 buah apel, apakah kamu juga akan mengatakan hal yang sama?

Banyak orang mengeluh, “Hidup ini tidak adil!” Ketika ditanya, kenapa tidak adil?, jawaban mereka biasanya seperti ini:

Kenapa aku yang lebih rajin bekerja, tapi dia yang dapat gaji lebih banyak?

Kenapa dia bisa jalan-jalan keluar negeri, sementara aku cuma bisa jalan-jalan keliling kota?

Kenapa harus aku yang menderita penyakit ini?

Kenapa teman-temanku sudah pada menikah, sedangkan aku: pacar saja belum punya?

Kenapa rumahnya lebih bagus dari rumahku? Kenapa dia lebih cakep? Kenapa dia punya ini-itu, sedangkan aku tidak?

Kenapa Tuhan tidak juga menjawab doa-doaku?

Banyak orang merasa hidup ini tidak adil karena mereka membandingkan diri mereka dengan orang-orang yang “lebih” daripada mereka: lebih kaya, lebih tampan, lebih cantik, lebih pintar, lebih sehat, lebih harmonis, lebih kuat, lebih terkenal, dan lain sebagainya. Namun, kalau kita pikirkan lagi, bukankah itu tidak adil juga jika kita hanya membandingkan diri kita dengan yang “lebih”? Bagaimana dengan yang “kurang”? Pernahkah kita bertanya-tanya seperti ini:

Kenapa aku punya pekerjaan, sedangkan banyak orang yang menganggur?

Kenapa aku bisa berjalan, di saat ada orang yang hanya bisa terbaring di ranjang?

Kenapa aku masih bisa memilih makan apa hari ini, di saat ada orang yang begitu miskin sampai-sampai tidak bisa makan tiap hari?

Kenapa aku bisa mengenal Tuhan Sang Juruselamat, di saat banyak orang masih belum pernah mendengar tentang Dia?

Bukankah hidup ini memang tidak adil?

Kalau kita mau adil, mari buka mata dan hati kita untuk melihat tidak hanya orang-orang yang mempunyai “lebih” dari kita, tapi juga lihatlah mereka yang tidak mempunyai apa yang kita miliki. Kalau kita tidak suka ketidakadilan, bukankah hal yang bijak jika setidaknya kita sendiri berlaku adil?

Hidup ini memang tidak adil, tapi jika kita mampu melihat dari sudut pandang yang berbeda, kenyataan ini tidak seharusnya membuat kita iri hati. Sebaliknya, kita akan bersyukur atas apa yang Tuhan telah berikan kepada kita, dan tergerak untuk berbagi kepada orang lain, untuk setidaknya membuat hidup ini menjadi lebih adil bagi mereka. Marilah mulai dari diri kita sendiri.

Selain itu, ada satu aspek lain yang perlu kita renungkan.

Suatu hari, ketika Yesus melihat orang yang buta sejak lahirnya, murid-murid-Nya bertanya kepada Yesus, “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” (Yohanes 9:2).

Ketika ada hal yang kurang baik terjadi, kita cenderung mencari kambing hitam: salah siapakah ini? Apakah salah orang buta itu? Ataukah salah orang tuanya? Namun, jawaban Yesus membukakan sebuah aspek lain yang kadang mungkin kita lupakan:

Jawab Yesus: “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia” (Yohanes 9:3).

Kadang apa yang kita lihat sebagai penderitaan dan ketidakadilan, sesungguhnya itu adalah bagian dari rencana Tuhan yang indah, agar pekerjaan-pekerjaan Allah dapat dinyatakan melalui hidup kita.

Jadi, bagaimanapun keadaanmu saat ini, bersyukurlah atas segala hal yang Tuhan telah berikan kepadamu. Dan jadilah berkat bagi mereka yang tidak seberuntung dirimu, agar dunia ini bisa menjadi sedikit lebih adil.

Baca Juga:

4 Rumus untuk Menyampaikan Teguran

Sebagai seorang yang tidak suka terlibat konflik, menegur seseorang adalah hal yang cukup menakutkan buatku. Aku berusaha mencari posisi aman. Tapi, sebagai orang Kristen, kita dipanggil untuk menyuarakan kebenaran. Inilah empat rumus yang perlu kita perhatian ketika kita ingin menegur seseorang.