Posts

Ketika yang Paling Melekat di Hatiku Bukanlah Tuhan

Oleh Olive Bendon, Jakarta

Santi datang agak terlambat ke ibadah Minggu siang itu. Baru saja dia duduk, tiba-tiba dirinya berdiri lagi, Ada pokemon di belakang. Sebelum keduluan yang lain, aku ambil dulu,” bisiknya dengan senyum-senyum sambil berlalu ke deretan bangku belakang. Dia kembali ke bangku semula dengan tangan yang tetap asyik memainkan gawai saat pendeta mulai membagikan firman. Aku colek teman di sebelahnya untuk mengingatkan Santi fokus dulu ke ibadah, namun jawabannya membuat gemas. Katanya, dia bisa menyimak khotbah sembari bermain gim. 

Pokemon GO pernah menjadi permainan piranti bergerak yang fenomenal karena menarik minat masyarakat dunia untuk memainkannya. Gim yang diciptakan oleh Niantic dan dirilis di tiga negara pada 2016 itu, mengalahkan popularitas permainan sejenis di masanya; Candy Crush dan Angry Birds. Menariknya lagi, Pokemon Go yang menggunakan konsep augmented reality, teknologi yang menggabungkan benda maya dua atau tiga dimensi ke dalam dunia nyata ini; menurut riset yang dilakukan oleh Clinic Compare, sebuah lembaga kesehatan swasta di Inggris, dapat membantu menguruskan badan! Kok bisa? Katanya, karena permainan Pokemon Go akan membawa penggunanya bergerak mencari pokemon ke luar ruangan…dan pada sisi ekstrem seperti Santi, termasuk berburu di dalam ruang ibadah!

Jawaban Santi yang terasa menggemaskan membuatku berefleksi. Ibadah sejatinya membangun hubungan dekat dengan Tuhan. Tapi, kalau Tuhannya kita cuekin apakah Tuhan tidak tersinggung? 

Contoh sederhananya begini. Ketika kita ngobrol dengan teman dan dicuekin, bukankah kita akan menegur si teman agar menghargai kita, lawan bicaranya? Kalau teman yang terlihat saja tidak kita hargai, bagaimana mau fokus mendengar pesan Tuhan yang kita tidak lihat? Akan lebih menarik melihat gim bukan? 

Kemelekatan yang dalam terhadap sesuatu membuat seseorang susah untuk melepaskan diri. Fokusnya hanya kepada satu hal yang dia sukai. Hal-hal lain di sekitarnya tak lagi menarik minatnya, bahkan cenderung akan diabaikan. Santi yang awalnya hanya iseng bermain Pokemon ketika senggang, lama-lama jam ibadahnya pun terpakai untuk berburu monster-monster virtual dalam layar ponselnya. Responsnya yang berkata dia bisa fokus mendengar khotbah sembari bermain gim mungkin juga jadi sikap hati kita pada hal-hal yang kita lekatkan dalam hati. Mungkin bukan tentang gim, tapi tentang ambisi kita mengejar prestasi, terbuai hubungan romantis, dan sebagainya. 

Kembali pada cerita Santi, apakah benar dia bisa fokus ibadah sementara pikiran dan tangannya sibuk dengan permainan yang seru? 

Jawabannya kutemukan belakangan. Beberapa bulan ini, Santi merasakan kepalanya sering pusing dan bola matanya terasa menusuk-nusuk saat bangun tidur. Ia bahkan sempat masuk rumah sakit selama beberapa hari karena pusingnya itu, namun dokter mengatakan kondisi fisiknya baik-baik saja. Meski sudah diingatkan oleh teman dekatnya pusing itu pengaruh terlalu banyak memelototi layar gawai, Santi tak jua menghentikan kebiasaannya. Memang tidak mudah untuk menghentikan satu kebiasaan yang telah melekat dalam sekejap tapi bukan berarti tidak bisa. Hanya saja diperlukan usaha keras yang harus datang dari dalam diri.

Mungkin saat ini Santi belum sepenuhnya memahami bahwa kesukaannya dengan permainan akan memberi dampak buruk buatnya di kemudian hari. Bila kamu atau temanmu mengalami keadaan serupa dengan Santi, ada empat hal yang bisa menolongmu untuk lepas dari kemelekatan:

1. Berani berkata TIDAK. Jika sudah tahu dampak yang akan ditimbulkan, jangan coba-coba untuk mendekatinya meskipun rasa penasaran memuncak. Kenali kelemahan diri kita karena godaan itu akan selalu berulang di situ.

Keberanian dan konsistensi untuk berkata tidak sangat erat kaitannya dengan pengendalian diri. Pada praktiknya, menolak sesuatu tidak selalu mudah karena natur kita yang berdosa membuat kita lebih mudah tertarik oleh dosa. Oleh karenanya, kita butuh sesuatu yang ilahi, yang lebih kuat untuk mematahkan kedagingan kita. Kita dapat meminta pertolongan Roh Kudus untuk mengaruniakan kita salah satu buah Roh, yakni pengendalian diri sebagai senjata untuk menahan langkah kita tidak terjatuh pada kubangan dosa.

2. Bangun kebiasaan yang sehat. Bergabunglah dengan komunitas yang di dalamnya kamu dapat bertumbuh secara rohani.

Addiction kita terhadap sesuatu muncul karena kita merasa itulah satu-satunya cara yang bisa membuat kita merasa puas. Pikiran kita pun menjadi sempit dan tertutup dari hal-hal lain yang bisa memberikan kepuasan atau manfaat lebih buat kita.

Kehadiran komunitas yang mendukung kita untuk menikmati hal yang lebih baik seperti persekutuan dan kebersamaan tentu akan menolong kita. Dan, apabila kita memiliki satu kawan yang bisa kita percayai, kita akan lebih leluasa berbagi proses jatuh bangun kita untuk didoakan bersama-sama.

3. Batasi waktu untuk berinteraksi dengan apapun itu yang akan membuatmu lupa dengan hal lain. Paulus pernah berpesan dalam 1 Korintus 6:12 bahwa “Segala sesuatu halal bagiku, tetapi bukan semuanya berguna. Segala sesuatu halal bagiku, tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh suatu apa pun.” Sebuah permainan diciptakan untuk membantu merangsang imajinasi, daya ingat, melatih gerak motorik, juga sarana refreshing bagi penggunanya. Namun, jika penggunaannya sudah tidak terkontrol sehingga menjadikan penggunanya melekat, akan berdampak ke kesehatan mental yang dikategorikan sebagai gangguan perilaku. 

Saat kita asyik menikmati gim atau apa pun yang membuat kita merasa sangat hidup, hendaklah kita selalu ingat untuk tidak menjadikan itu satu-satunya cara kita meraih kepuasan.

Olive Bendon senang bercerita dan mengurai kegelisahannya lewat tulisan. Mampirlah ke www.obendon.com untuk membaca ceritanya.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Candu Cari Cuan!

Oleh Jessie 

🎵 Apa yang dicintai orang? Uang! Uang! 🎵

Cinta uang. Ini bukanlah hal yang aneh. Dunia ini tidak kekurangan tokoh yang menunjukkan betapa uang begitu dicintai, salah satunya jika kita suka menonton film kartun, adalah sosok Tuan Krab yang menjadikan uang adalah segalanya buat dia. Dan…sejak sekolah minggu juga sudah sering dikumandangkan, eh diingatkan maksudnya hehe, kalau kita harus mengelola uang dengan bijak, sesederhana kita mengembalikan apa yang Tuhan beri dalam bentuk uang sebagai persembahan. 

Siapa pula yang bisa menolak uang? Dikasih ya diambil toh? Ga dikasih, ya harus dicari, karena kita tahu uang itu tidak jatuh dari langit. Hehehe… Ga salah lagi kalau memang uang itu sangat diperlukan, bahkan diidam-idamkan… Untuk beli gadget baru, tas branded, makan enak, dan seterusnya… 

Semua itu tentu boleh-boleh saja sih. Tapi, apakah mengidamkan uang untuk tujuan seperti itu sudah masuk ke dalam kategori kecanduan? 

Uang memiliki peran yang substansial, di mana tanpa uang, mungkin kita tidak bisa hidup. Memang betul, uang menjadi media pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Kita menukar uang dengan makanan, tempat tinggal, pakaian, edukasi, dll. Namun, seringkali konsep pentingnya uang ini dibawa ekstrem sehingga menjadi tolak ukur kepuasan dan kebahagiaan manusia jika mereka dapat memiliki sepenuhnya. Pertanyaannya, seberapa banyak yang kita harus miliki? Dan apakah kita pasti akan bahagia setelah semuanya itu kita dapatkan?

Ada seorang pendeta pernah mengatakan, “greater wealth does not equal to greater satisfaction,” yang artinya kekayaan yang lebih besar tidak berbanding lurus dengan kepuasan yang lebih besar. Kalimat ini beliau katakan saat mempelajari kitab Pengkhotbah 5:8-17 yang temanya mengejar kekayaan. Salomo, si penulis kitab Pengkhotbah dan juga seorang raja yang dinyatakan paling bijaksana di seluruh dunia serta paling kaya di zamannya, mengatakan bahwa, Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Ini pun sia-sia.” (Pengkhotbah 5:10). Memiliki lebih banyak uang tidak akan mendatangkan kita kepuasan yang lebih lagi, sebaliknya hanya akan menimbulkan hasrat untuk menginginkannya lebih lagi.

Sebagai seorang pengusaha yang penghasilannya tidak tetap bagai roller-coaster, aku bisa relate dengan apa yang Salomo ingatkan ini. Dikarenakan pendapatanku bergantung pada omset bulanan, maka aku harus bekerja keras agar penjualan meningkat terus, maksudnya supaya uangku juga bertambah terus hehehe. Aku dan tim berputar otak melakukan berbagai strategi marketing agar dapat menggaet lebih banyak lagi pelanggan. Lalu apakah aku tergolong dalam grup para candu cari cuan? Bisa jadi sih, cuan-nya sih enggak, cuma kecanduannya mungkin, karena aku bisa lanjut kerja lagi pada malam hari, dan cukup stress kalau omset bulanan turun banyak; dan kalau omset lagi mendaki, kami juga push sampai puncak tertinggi. Setelah goal omset tercapai pun, aku menciptakan goal baru yang lebih tinggi lagi hahaha! Memang sudah benar kata Raja Salomo, bicara soal uang tidak pernah puas. Batas antara semangat bekerja dan kecanduan cari cuan memang agak rancu. Karena aku dikelilingi oleh pengusaha-pengusaha yang sukses dan penuh antusias, aku pun mudah tergoda untuk ikutan kiasu atau ga mau kalah.

“Keinginan alamiah (natural desires) akan berhenti ketika apa yang diinginkannya diperoleh, tetapi keinginan yang rusak (corrupt desires) tidak akan pernah terpuaskan (Matthew Henry, Bible Commentary on Ecclesiastes).” Tuhan menciptakan segala sesuatunya penuh keseimbangan, di mana kebutuhan dan keinginan alamiah manusia dapat dipuaskan dan dipenuhi. Contohnya saat kita lapar, ada yang namanya makanan yang dapat memuaskan rasa lapar kita; kebutuhan seks dapat dipuaskan dengan adanya konsep pasangan dan pernikahan. 

Jika hal yang kita inginkan lalu dapatkan tidak dapat terpuaskan, maka itu sudah menyangkut hati kita yang korup atau rusak. Keinginan/kebutuhan itu sendiri sudah terpuaskan, tapi tidak memuaskan hati kita yang sudah rusak. Seperti dalam kasus para pecandu cari cuan, apakah mereka kekurangan uang? Aku rasa tidak. Mereka cukup secara finansial; problem-nya adalah mereka kecanduan, sehingga menginginkannya lebih-lebih lagi. Candu itu bagaikan kebahagian momentum yang sifatnya fana tapi bikin ketagihan—tidak pernah ada rasa cukup. Dengan hati kita yang sudah korup, kita ditipu untuk terus mengejarnya, atau bahasa Alkitabiahnya, “memberhalakan” materi tersebut.

Sebagai raja terkaya semasanya dan terbijaksana sepanjang masa, Salomo mengatakan, “Setiap orang yang dikaruniai Allah kekayaan dan harta benda dan kuasa untuk menikmatinya, untuk menerima bahagiannya, dan untuk bersukacita dalam jerih payahnya—juga itupun karunia Allah.” (Pengkhotbah 5:19). Frasa “menerima bahagiannya” mengindikasi adanya porsi yang sesuai untuk dirinya. Namanya juga porsi, ya artinya tidak boleh berlebihan, karena sudah dijatah. Lah terus sisa harta saya dikemanain dong? Ya dibagikan untuk porsi-porsi lainnya. Karena kita hanya berhak menerima porsi kita yang secukupnya, maka kita juga harus mempertanggungjawabkan porsi yang memang sudah dipercayakan Tuhan kembali untuk Tuhan, keluarga, orang susah, pemerintah, dan seterusnya. 

Jika mereka dapat “menikmati” dan “bersukacita dalam jerih payahnya” itupun juga merupakan berkat dari Tuhan. Sesungguhnya, tidak semua orang dapat menjalani siklus kehidupan yang fana ini dengan sukacita, mulai dari proses mencari uang itu sampai kepada kepuasan saat menggunakan uang hasil kerjanya sendiri. Aku rasa aku tidak perlu panjang lebar menjelaskan arti dari “menikmati” hasilnya, karena kita semua sudah tau lah yang namanya belanja untuk hal yang kita sukai itu ya seneng-seneng aja. Tapi ternyata rasa kepuasan atau kepenuhan itu tidak ada pada semua orang. Rasa “kenikmatan” itu tidak pernah mereka rasakan oleh karena candunya yang membuatnya menginginkan terus-menerus tanpa batas. Akhirnya bukannya menikmati hasilnya, fokus mereka malah teralihkan pada keinginannya yang tamak. Adanya sebuah hukum ketetapan Allah di mana konsep menikmati harus ditakari sesuai porsi atau “bahagiannya,” barulah ada rasa kepuasan tersebut tercapai. Hanya mereka yang memiliki kekuatan/kuasa (power) atas barang kepunyaannya, dan tidak diperbudak oleh benda tersebut, yang dapat menikmati siklus kehidupan ini dengan kepuasan hati. 

Jadi boleh disimpulkan bahwa kenikmatan itu juga harus dibarengi dengan rasa tanggung jawab dan hormat pada Siapa yang memberi, secara rasional (tidak berlebihan/sesuai porsinya) dan bermurah hati (berbagi kepada dirimu dan sesama), karena mengerti semuanya merupakan pemberian Tuhan semata. 

Pada akhirnya semua hal yang manusia kejar dan dapatkan pun merupakan sebuah kefanaan. Setelah jerih payahnya mengumpulkan begitu banyak uang, para pecandu cari cuan ini juga akan diperhadapkan dengan kematian, dan faktanya tidak akan ada sepeserpun atau satu dari harta bendanya yang dapat dibawanya ke dunia akhirat. Namun dengan adanya hukum ketetapan Allah akan kenikmatan yang hakikatnya memiliki porsi, adanya kepuasan hati teruntuk mereka yang melaksanakannya. Sehingga, “tidak sering ia mengingat umurnya, karena Allah membiarkan dia sibuk dengan kesenangan hatinya.” (Pengkhotbah 5:20).

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Ketika Kenyamanan Justru Menghancurkanmu

Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu

Ada kutipan berbahasa Inggris yang berkata demikian: “Hard times create strong men, strong men create good times, good times create weak men, and weak men create hard times.” 

Beribu-ribu tahun sejarah mencatat, manusia selalu berupaya menjadikan kondisi hidupnya lebih baik. Tetapi, sejarah mencatat pula bahwa kondisi baik yang bisa kita sejajarkan dengan kenyamanan tak pernah jadi tujuan akhir yang tetap. Meraih kenyamanan tak berarti masalah hilang, justru malah melahirkan masalah-masalah baru. Nah, kalau begitu, apakah itu artinya kita tidak boleh mengupayakan kenyamanan? Untuk menjawabnya aku mau mengajakmu menjelajah lebih dalam tentang bagaimana kenyamanan membentuk hidup dan dunia kita. 

Hidup dalam kondisi nyamanan bukanlah hal buruk. Tetapi, dari apa yang kuperhatikan dan kualami, kenyamanan yang salah tempat membuat banyak orang menjadi hancur. Kenyamanan dapat perlahan berubah menjadi candu, dan jika itu terlepas dari kebenaran, maka bersiaplah untuk menjumpai kehancuran. Tentu ini bukan artinya kita malah mencari-cari masalah lalu menolak keindahan dan kenikmatan secara mutlak. Itu jelas konyol. Namun, seperti yang Timothy Keller katakan, “Hal-hal baik dari dunia ini yang dianggap sebagai berkat (keindahan, kuasa, kenyamanan, kesuksesan, pengakuan), yang diterima di luar Allah adalah kutuk. Semua itu akan menggoda dan menghabisi kita.” 

Jika sampai di sini kamu merasa tulisan ini terlalu keras, ambillah sedikit waktu untuk berdoa karena Dia mengizinkan momen ini untuk mengingatkanmu. Tapi, jangan lupa, lanjutkan membaca sampai akhir.

Mari mengingat kembali satu kisah tentang seorang wanita yang ditulis ribuan tahun sebelum Kristus lahir di Betlehem. Alkitab tidak menyebutkan namanya, apalagi zodiaknya! Kita hanya diberi informasi bahwa sosok ini ialah istri Lot, keponakan Abraham. Memang ada tradisi Yahudi yang mengatakan namanya adalah Ado atau Edith, tapi kita tidak dapat memastikan. 

Meskipun kita tidak terlalu mengenal orang ini, tetapi apa yang terjadi dalam hidupnya adalah kisah tragis yang populer dan dapat menjadi pengingat bagi kita. Aku bahkan sangat yakin “soal” tentang istri Lot selalu muncul dalam lomba cerdas cermat Alkitab untuk anak-anak di gereja. “Siapa tokoh dalam Alkitab yang menjadi tiang garam?”

Tuhan yang penuh kasih sekaligus Tuhan yang amat membenci dosa, menghancurkan Sodom dan Gomora, dua kota yang terkenal karena kebejatannya. Memang Lot dan keluarganya tinggal di sana, namun mereka mendapatkan peringatan dan kesempatan dari Tuhan untuk meninggalkan tempat itu. Sayang sekali, istri Lot tidak mengindahkan peringatan yang berasal dari Tuhan untuk melarikan diri dan tidak menoleh ke belakang. Dia (istri Lot), terlalu nyaman di sana dan dengan demikian mencelakai dirinya sendiri. 

Dari sini kita dapat melihat bahwa sebenarnya persoalan terbesar istri Lot bukan hanya karena dia tinggal di Sodom, melainkan karena Sodom yang telah tinggal di dalam dirinya. Sodom telah memberinya banyak hal. Mungkin rumah mewah dan usaha yang lancar. Kisah ini memberikan pelajaran bagi kita agar kita sadar penuh bahwa meskipun kita tinggal di dalam dunia, jangan membiarkan dunia tinggal di dalam kita.

Dunia selalu menawarkan kenyamanan dan membuatmu sejenak lupa dengan berbagai bahaya yang menanti. Berapa banyak dari kita yang telah merasa hancur karena jatuh dalam hubungan yang salah dimulai dengan alasan kenyamanan? Berapa banyak orang yang telah melalaikan pekerjaan, keluarga, termasuk pelayanan karena minuman keras, obat terlarang, hingga game online? Berapa banyak orang telah menyesal karena sadar akan banyak hal yang telah dia rusak pada waktu yang lampau? Semua dimulai dengan mencoba, lalu mengulanginya karena nyaman, dan akhirnya kecanduan. Istri Lot menjadi tiang garam karena dia menoleh ke belakang, melawan apa yang sudah diperingatkan Tuhan kepadanya, sekaligus sebuah petunjuk jelas bahwa ada sesuatu yang tidak mau dia lepaskan dari Sodom. Istri Lot lupa ada yang jauh lebih berharga dari semua itu, nyawanya.

Sekali lagi, ini bukan berarti kita tidak boleh menikmati semua hal di dalam dunia ini. Kamu tentu boleh mengunduh game online di gawaimu dan memainkannya. Jika kamu punya uang yang cukup, kamu bahkan boleh membeli Playstation 6 dan memberikan Playstation 5 punyamu padaku. Namun, meminjam dan sedikit memodifikasi perkataan Tim Keller, segala macam kenyamanan yang kamu terima dan nikmati di luar Allah dan Firman-Nya, yang kamu gunakan hanya untuk memuaskan dirimu sendiri, adalah berhala yang akan membuatmu menyesal. Jangan lupa berhala bukan hanya sekadar patung, melainkan segala sesuatu yang menyita perhatianmu melebihi perhatianmu pada Tuhan.

Untuk kamu yang mengenal baik kelemahanmu sendiri, jangan merasa sangat hebat. Jangan biarkan dirimu memulai sesuatu yang kamu tahu tidak mampu kamu tangani, dapat mencelakaimu, dan terutama yang berseberangan dengan Firman Tuhan. Ingat, kamu tidak sendiri. Kamu ditunggu oleh orang-orang yang mencintaimu di rumah. Ada juga saudara-saudara seimanmu yang menunggumu di gereja. Minta Tuhan untuk memberimu hikmat dalam memilih, juga keberanian untuk menolak.

Untuk kamu yang telah terlanjur jatuh dalam kesalahan, dan kini sedang berjuang meninggalkan kebiasaan buruk yang lama, ingat, kamu juga tidak sendiri! Ada jutaan orang di panti rehabilitasi, ruang konseling, dan di berbagai tempat yang sedang berjuang melawan diri sendiri, demi orang-orang yang dicintainya dan yang mencintainya. Minta Tuhan agar memberimu kekuatan untuk bertahan dalam perjuangan ini.

Dan untuk kita semua, ingatlah kita tidak sendiri, ada Tuhan Yesus, Sang Juruselamat yang telah mengambil rupa sebagai hamba, yang telah mati di Kalvari untuk menebus dosa kita, yang bangkit dari kematian mengalahkan maut, yang naik ke surga, memberikan jaminan keselamatan, dan yang memateraikan Roh Kudus pada setiap orang percaya. 

Hiduplah menurut keinginan Roh itu karena di dalamnya ada hidup dan damai sejahtera (Roma 8:6).

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu