Posts

Berhenti Mencari Tahu Apa yang Jadi “Panggilan” Hidupmu dan Mulailah Menghidupi Hidup itu Sendiri

Artikel ini ditulis oleh YMI

Momen ketika kamu berhasil menemukan panggilan hidupmu sering digambarkan sebagai momentum besar yang akan mengubah hidupmu selamanya. Jadi, kita pun terus mencarinya, menanti, dan berharap momen itu datang. Kita membayangkan kelak kita melakukan pekerjaan yang mengubah hidup–menulis cerita-cerita tentang kaum marjinal, membuka rumah singgah atau yayasan buat anak-anak yang rentan, atau pergi melakukan perjalanan misi.

Pengejaran kita yang tanpa henti untuk menemukan panggilan hidup sedikit banyak dipengaruhi juga oleh media yang kita konsumsi, yang bilang mimpi harus dikejar, dan suara hati yang berbisik harus didengar supaya kita tahu tujuan hidup kita yang lebih besar.

Lantas kita meminta kelompok komsel untuk mendoakan kita, membaca apa pun yang membuat kita tahu mana yang kehendak Tuhan supaya kita menemui panggilan-Nya… atau bisa juga ikut kuis-kuis tentang kepribadian supaya tahu apa sih yang sebenarnya jadi ‘panggilan’ kita.

Tapi…hari-hari berlalu… ‘panggilan’ itu masih entah di mana. Bos kita di tempat kerja masih saja toxic, teman kita sudah dipromosikan jabatannya… dan kita sendiri dengan tak sabar menanti kapan weekend karena sudah capek kerja.

Setiap hari kita terus memberi tahu diri kita kalau hidup akan berubah—perjalanan kita akan lebih mulus, minim masalah, pokoknya yang baik-baik—itulah yang kita deskripsikan sebagai menemukan ‘panggilan’.

Tapi… gimana kalau panggilan itu sebenarnya sudah ada di depan kita? Gimana kalau Tuhan sudah menunjukkanya dengan jelas? Gimana kalau kita coba menikmati hidup di tempat di mana Tuhan sudah letakkan kita, dengan rendah hati melayani orang-orang di sekitar kita, serta melakukan segala sesuatunya tanpa mengharap balasan?

Maukah kamu menghidupi panggilan semacam itu?

1. “Panggilan” kita adalah tentang melakukan yang terbaik yang bisa kita lakukan, meskipun itu tidak menyenangkan

Kita bermimpi pekerjaan kita membuat suatu proyek yang mengubah dunia, tapi kenyataannya kita berdiri dua jam di depan mesin fotokopi, mencetak ratusan lembar laporan untuk rapat besok. “Hadeh, gak seharusnya aku kerja gini…” kita menggerutu sembari menendang mesin printer yang macet.

Dalam Alkitab, Yusuf dipanggil untuk menjadi pemimpin di Mesir, tetapi ada momen ketika dia harus melewatkan hari-harinya di penjara—yang ditafsirkan oleh para ahli sejarah selama 12 tahun!—atas tindakan yang tidak dia lakukan. Namun, Yusuf setia pada tempat di mana Tuhan menempatkan dia (Kej 39,40), dan pada waktu-Nya, dia menjadi orang kedua di Mesir setelah Firaun (Kej 41:37-43). Pada akhirnya, Yusuf bisa membawa keluarganya ke Mesir dan menyelamatkan mereka dari kelaparan (Kej 46).

Seperti Yusuf, apa yang kita lakukan sekarang mungkin terasa kurang berkesan dan seolah tidak mengubah dunia, tapi Tuhan telah menempatkan kita pada suatu peran untuk sebuah tujuan. Bisa jadi yang kita lakukan sekarang adalah batu loncatan untuk rencana-Nya kelak, dan masa-masa sekarang adalah momen terbaik untuk melatih diri kita.

Setialah pada tempat di mana kamu berada dan lakukan yang terbaik—meskipun tugasmu cuma sekadar memfotokopi ratusan lembar dokumen laporan untuk suatu rapat yang membosankan—dan izinkan Tuhan memimpinmu pada tahap selanjutnya sesuai waktu-Nya.

2. Panggilan kita adalah untuk menaati apa yang Tuhan telah perintahkan untuk kita lakukan

Rasanya keren membayangkan kelak ada begitu banyak orang yang terinspirasi oleh kita saat kita menghidupi ‘panggilan’ kita. “Bukan, itu bukan aku, itu Tuhan”, kata kita di depan ribuan orang yang mendengarkan cerita kesaksian kita.

Namun, dalam pencarian akbar kita akan panggilan, apakah kita telah melewatkan satu panggilan terbesar? Bagaimana jika pada akhirnya “panggilan” kita adalah untuk hidup menjadi serupa dengan Kristus dan menghidupi hidup yang membawa orang lain kepada-Nya.

Efesus 5:1 berkata kita adalah ‘penurut Allah’, dan kita dipanggil untuk hidup sebagai umat Allah yang kudus (Ef 5:3). Ssemua itu dimulai dengan melakukan apa yang Dia telah perintahkan kita untuk lakukan—saling mengasihi (1 Yoh 4:7), mengampuni yang telah menyakiti (Ef 4:32), peduli pada yang lemah dan terpinggirkan (Yak 1:27)—semua inilah panggilan-Nya bagi kita.

Jadi, bagaimana kita mau mengasihi teman kerja yang menyebalkan? Apakah kita menjauhinya, menyumpahi supaya semua yang menyakiti kita kena sial? Atau, apakah kita dengan murah hati memberi pada orang yang butuh?

Orang-orang di sekitar kita mengamati apa yang kita bicarakan, lakukan, cara kita menghadapi cobaan, stres, juga kepahitan hidup. Hal-hal yang kita lakukan (atau tidak) menunjukkan pada orang-orang siapa Tuhan yang kita sembah dan layani.

Kita mungkin gak akan pernah mendapat standing ovation dari melakukan semua hal di atas, tapi dalam banyak cara, mungkin apa yang kita perbuat menjadi cara-Nya untuk mengubah hidup seseorang. Kelak saat kita tiba di surga, kita mendengar Tuhan berbicara, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia” (Mat 25:23).

3. “Panggilan” kita adalah menggunakan setiap kesempatan yang ada sebaik mungkin

Kita pernah mendengar kesaksian tentang orang-orang yang merasa mendapat ‘beban yang luar biasa’ yang Tuhan tanamkan di hati untuk melakukan ini dan itu. Dari situlah mereka tahu kalau itu panggilan mereka. Jadi, kita pun menanti ‘panggilan’ itu datang dengan cara yang sama.

Tapi di saat yang sama, kita menolak ikut serta jadi relawan. Kita bilang “aku doain dulu ya” pada orang yang telah mengajak.

Seiring Tuhan mengarahkan langkah kita (Amsal 16:9), kita akan menjumpai sesuatu yang menggugah hati ketika kita memberi diri untuk mengamil kesempatan yang ada. Contohnya, peduli pada hewan-hewan yang ditelantarkan bisa mendorong kita untuk kelak jadi aktivis yang menyuarakan tanggung jawab pada setiap orang yang berkeputusan memelihara hewan. Peduli yuang dimaksud itu tak cuma banyak cerita di medsos, tapi misalnya kamu ikut aktif merawat seekor anjing berkutu yang terlantar lama.

Panggilan kita mungkin tidak muncul dengan segera, tiba-tiba nongol setelah kita berdoa, atau setelah kita ikut tes kepribadian yang ke-100 kali… bisa jadi panggilan itu tersembunyi di pojokan jika kita memutuskan untuk menjelajahi setiap kesempatan yang datang pada kita.

Arti dari semua ini bukannya kita harus menyerah atas impian dan hasrat yang kita ingin raih (Tuhan menempatkan dua hal itu tentu dengan alasan), tapi kita bisa berhenti mencarinya dengan cara yang serampangan. Kita bisa menemukan panggilan dengan mulai hidup di sini, di saat ini dan melakukan apa yang Tuhan telah berikan pada kita. Saat kita sungguh merenungkan apa yang Tuhan mau kita lakukan, inilah sebenarnya panggilan-Nya juga.