Posts

Mengapa Film Joker Kali Ini Harus Kita Maknai dengan Serius?

Oleh Caleb Young
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why This Joker Should Be Taken Seriously
Gambar diambil dari Official Trailer

Joker, dibuat oleh Todd Philips dan dibintangi Joaquin Phoenix adalah film yang memicu banyak kritik dan komentar dari para penontonnya di seluruh dunia. Ada yang memuji performa maksimal Phoenix dalam menuturkan kisah saingan terberat Batman, namun ada pula yang menganggap film ini sebagai tayangan yang mengglorifikasi kekerasan dan membenarkan pembunuhan yang dilakukan oleh psikopat.

Saat menonton film Joker minggu ini, aku melihatnya sebagai sebuah film yang jauh lebih dalam dan rumit daripada kritik-kritik yang beredar. Film Joker ini pada beberapa bagiannya menceritakan betapa terbelahnya masyarakat kita, orang-orang yang bergulat dengan depresi, juga menunjukkan pada kita akan kehampaan dan ketidakberartian hidup yang mungkin juga dirasakan oleh kita. Film Joker menjadi semacam kisah peringatan yang bertutur tentang penjahat-penjahat yang bisa kita ciptakan ketika kasih, empati kepada sesama, dan kebenaran kita singkirkan dari kehidupan kita.

Apa yang Joker sesungguhnya bicarakan

Pada dasarnya, Joker adalah kisah awal dari sosok penjahat paling terkenal di serial DC Comic. Ada banyak versi lain dari sosok Joker yang dibintangi oleh Heath Ledger di film The Dark Knight yang menarik banyak perhatian.

Namun, inilah kali pertama Joker difilmkan tanpa kehadiran sosok Batman. Penulis ceritanya, Todd Philips dan Scott Silver menggunakan kesempatan ini untuk menciptakan gambaran tentang kehidupan Joker sesungguhnya—menunjukkan pada kita sesosok orang sakit mental seperti Arthur yang dapat berubah menjadi pembunuh kriminal.

Ada tiga tahapan yang kuamati tentang bagaimana Arthur bertransformasi menjadi Joker. Setiap tahapan ini memunculkan pertanyaan yang berbicara kepada kita hari ini.

1. Apakah kita punya andil dalam menciptakan penjahat?

Salah satu tema kunci dari film Joker adalah perpecahan dalam masyarakat dan kenyataan bahwa kita cenderung menjelek-jelekkan mereka yang tidak kita mengerti. Dalam kasus Arthur Fleck, film ini menunjukkan Arthur berdandan sebagai badut untuk mewujudkan mimpinya menjadi seorang komedian. Arthur bergumul dengan sakit mental yang kemungkinan besar didapatnya dari kekejaman yang diterimanya sewaktu kecil dan setiap leluconnya tidak diapresiasi di semua tempat pertunjukkan yang dia kunjungi.

Beberapa kali ditunjukkan di film, Arthur dirisak, baik secara verbal maupun fisik oleh orang-orang yang berasal dari beragam strata sosial, mulai dari sekelompok anak-anak, tiga profesional muda, hingga oleh seorang pembawa acara profesional yang diperankan oleh Robert de Niro. Setiap perlakuan buruk yang diterima Arthur mendorongnya untuk terluka lebih dalam.

Dalam kasus Arthur, pengalaman-pengalaman buruknya membawa dia kepada kekerasan. Cerita ini sejatinya tidaklah asing. Jika kita melihat berita internasional di televisi atau media sosial, kita mengetahui pernah ada penembakan massal yang terjadi di beberapa tempat di dunia. Film Joker menunjukkan fenomena nyata tersebut dan menantang para penontonnya untuk bertanya, apakah kita punya andil dalam menciptakan penjahat di dunia? Apakah empati dan pengertian kita yang kurang terhadap mereka yang berbeda dari kita mendorong kita untuk mengolok-ngolok atau merendahkan mereka? Atau, apakah kita seperti masyarakat kota Gotham yang yang tidak peduli terhadap perisakan yang terjadi di sekitar kita?

Buatku pribadi, sebagai seorang pengikut Yesus, apakah aku gagal menunjukkan kasih kepada orang-orang yang tak kukenal dan membiarkan mereka hidup tanpa kasih dan perasaan dihargai? Jika ada orang-orang yang sungguh peduli dalam kehidupan Arthur, mungkinkan dia tidak akan berubah menjadi Joker?

2. Apakah kita menyembunyikan pergumulan kita di balik kebahagiaan palsu?

Sebagai badut dan komedian, Arthur punya mimpi untuk membuat semua orang berbahagia, tapi dia mengakui kalau dia tidak pernah merasa bahagia satu hari pun dalam hidupnya. Arthur malah “menggunakan wajah bahagia” untuk menyembunyikan kesedihan yang dirasakannya.

Salah satu akibat dari penyakit mentalnya adalah Arthur bisa tertawa tak terkendali di situasi yang sebenarnya dia tidak ingin tertawa. Salah satu bagian yang menyayat hati adalah ketika Arthur di suatu malam terduduk di sofa. Dia tertawa histeris dan air matanya menetes, menunjukkan depresi yang telah sangat akut menyerangnya.

Penggambaran akan depresi ini begitu menantangku. Meskipun aku sendiri belum pernah merasakan depresi yang mendalam, aku terpikir berapa banyak orang-orang di sekitarku yang mencoba memasang wajah bahagia di balik pergumulan hebat yang mereka alami?

Apakah ada orang-orang, seperti Arthur, yang ingin membuat orang lain tertawa tapi dirinya sendiri tercabik oleh depresi? Apa yang bisa kulakukan atau kukatan supaya mereka tahu kalau ada seseorang yang sesungguhnya bersedia untuk berjalan bersama mereka? Atau, apakah aku terlau egois dengan waktu dan energiku sendiri alih-alih menolong mereka yang bergumul dengan depresi?

3. Apakah hidup ini sebuah tragedi, komedi, atau…?

Salah satu kutipan yang paling kuingat adalah ketika Arthur berubah menjadi sosok Joker si pembunuh. Dia berbicara kepada ibunya yang juga menderita sakit mental. Arthur berkata,”Aku pernah berpikir hidupku adalah sebuah tragedi. Tapi sekarang, aku menyadari hidupku adalah komedi.” Pemahaman ini menjadi tahap akhir yang mengubah Arthur menjadi Joker sepenuhnya.

Kutipan ini berbicara kepada budaya dan masyarakat kita saat ini. Ada banyak berita buruk dan hal-hal negatif tentang masa depan yang membuat kita merasa tak berdaya dan tak punya tujuan, seperti Joker yang pernah berpikir bahwa keseluruhan hidup kita dapat dilihat sebagai sebuah tragedi. Tapi, di sisi lain, mungkin kita lebih mudah melihat kehidupan sebagai komedi ketika kita menganggap kematian, kerusakan, dan kekacauan sebagai sesuatu yang layak ditertawakan.

Jika seandainya Arthur pernah melihat atau mengetahui bahwa ada cara lain untuk melihat eksistensi hidupnya di dunia. Bukan sebagai tragedi atau komedi, tetapi sebagai kisah kasih. Sebuah kisah kasih antara kita dengan Bapa Surgawi. Dalam Joker, tampak jelas bahwa Arthur Fleck, sama seperti kita, mencoba untuk dimengerti, dihargai, dan dikasihi oleh seseorang.

Bagian penting dalam film Joker adalah ketika Arthur mencari tahu ayah kandungnya dan berusaha mengerti mengapa dia ditinggalkan begitu saja. Ketika Arthur bertemu seseorang yang mungkin adalah ayah kandungnya, dia tidak menginginkan uang. Arthur hanya ingin sebuah pelukan. Jika seandainya Arthur mengetahui bahwa Bapa Surgawi, Seseorang yang selalu menantinya dengan tangan terbuka, mungkinkah kisah ini menjadi berbeda?

Ketika film Joker tidak menyajikan akhir yang bahagia, tidak demikian seharusnya dengan hidup kita. Joker adalah tantangan bagi kita orang percaya untuk memohon kepada Roh Kudus untuk membimbing kita kepada ‘Arthur Fleck-Arthur Fleck’ yang ada di dunia dan memberi tahu mereka bahwa kehidupan bukanlah sebuah tragedi ataupun komedi. Hidup ini adalah sebuah kisah kasih dan undanglah mereka untuk masuk ke dalam kisah tersebut.

SinemaKaMu: Searching—Sejauh Mana Kamu Akan Pergi untuk Menemukan Orang yang Kamu Kasihi?

Oleh Caleb Young, Australia
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Searching: How Far Will You Go For Your Loved Ones?

Searching adalah film pertama yang disutradarai oleh seorang sutradara berusia 27 tahun yang bernama Anesh Chaganty. Film ini bergenre crime-thriller, dengan John Cho yang berperan sebagai David, seorang ayah yang mati-matian mencari anak perempuannya yang hilang.

Setelah Margot, putri David menghilang, David tidak diperbolehkan untuk berperan aktif dalam investigasi yang dilakukan oleh kepolisian. Jadi, satu-satunya cara yang bisa David lakukan adalah menelusuri jejak digital Margot di dunia maya untuk mencari petunjuk tentang kehilangannya. Disorot dari sudut pandang yang unik, melalui smartphone dan layar laptop, film ini mengeksplorasi berbagai topeng yang kita pakai untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi atau kita rasakan. Melalui lika-liku dalam investigasi tersebut, David belajar betapa sedikitnya yang dia ketahui tentang putrinya sendiri, dan upayanya untuk menemukan kembali putrinya itu akan menjadi perjalanan yang panjang.

Searching bukanlah film pertama yang sudut pandangnya diambil dari layar laptop, tetapi yang paling menarik adalah film ini secara hampir sempurna mampu menunjukkan pengalaman online yang dialami oleh generasi millennial. Dari adegan pertama yang menunjukkan Windows XP sedang dioperasikan, film ini kemudian menampilkan cuplikan-cuplikan nostalgia melalui adegan MSN Messenger, tampilan awal Youtube, hingga versi awal Facebook, seiring kita diajak untuk melihat kenangan-kenangan masa kecil Margot. Adegan lima menit pertama ini sangat menyentuh buatku. Aku belum pernah melihat film dengan efek serupa selain daripada film ini dan film Up dari Pixar yang membuatku terharu.

Film Searching ini pun kemudian menceritakan tentang penggunaan aplikasi komunikasi di zaman ini seperti Facetime dan iMessage beserta media sosial lainnya yang terkenal seperti Instagram, Facebook, dan bahkan Tumblr untuk mengungkap cerita di balik hilangnya Margot. David bahkan menggunakan Google Sheets dan Google Maps untuk menolongnya melakukan investigasi pribadi untuk menemukan Margot. Chaganty, sang sutradara, menambahkan detail-detail kecil seperti panggilan video call yang gambarnya terputus-putus, salah ketik ketika berkirim pesan, atau keputusan untuk menghapus tulisan sepanjang 200 kata dan menggantinya dengan sebuah kalimat pendek yang tegas, untuk menambahkan nuansa yang lebih nyata dari pengalaman online.

Walaupun teknik pembuatan film yang digunakan untuk membentuk cerita Searching membuat film ini unik, daya tarik emosional dari karakter David dan Margotlah yang membuat film ini menjadi film yang bagus. Beberapa komentar yang beredar tentang film Searching adalah film ini merupakan film terkenal Hollywood pertama yang menjadikan seorang aktor dari Asia sebagai karakter utamanya. Menariknya, meskipun John Cho adalah seorang keturunan Korea, tetapi itu tidak mempengaruhi penggambaran karakter David. Film ini lebih berfokus pada tema yang lebih universal, tema tentang dinamika keluarga yang rumit, tentang kedukaan dan kehilangan, dan—yang paling menonjol—adalah tentang kasih seorang ayah.

Kasih seorang ayah inilah tema yang paling berbicara kepadaku ketika aku merenungkan film tersebut. Aku diingatkan akan perumpamaan Yesus tentang domba yang hilang (Lukas 15:1-7) di mana Yesus menceritakan tentang seorang Gembala yang akan “meninggalkan sembilan puluh sembilan ekor” domba-Nya dan “pergi mencari yang sesat itu sampai ia menemukannya” (Lukas 15:4).

Di dalam film Searching, David menemukan banyak hal yang awalnya dia kira tidak mungkin dilakukan oleh putrinya. David menemukan bagaimana Margot selama ini menipunya dan melalukan perbuatan yang dia tidak percaya akan dilakukan oleh putrinya. Pada suatu titik dalam film ini, David meratap kepada seseorang yang menjadi pemimpin investigasi, “Aku tidak mengenalnya. Aku tidak mengenal putriku.” Meskipun temuan-temuan tersebut mengguncang David, tetapi tujuan utama David untuk menemukan putrinya tidaklah goyah.

Seperti kegigihan David, tak peduli apapun keadaannya, kasih Allah kepada kita selalu tetap dan tidak tergoyahkan. Namun, berbeda dengan David, Bapa kita di surga mengenal anak-anak-Nya dengan intim. Dia mengetahui topeng-topeng yang kita kenakan dan kebohongan-kebohongan apakah yang kita sampaikan kepada orang-orang supaya kita bisa berbaur atau diterima oleh mereka. Bapa tahu tentang perilaku-perilaku berdosa kita. Bapa juga tahu bahwa kita akan membuat-Nya kecewa, tidak taat kepada-Nya dan mengikuti kemauan kita sendiri. Meski begitu, Bapa tetap akan meninggalkan yang “sembilan puluh sembilan ekor domba” dan mencari kita dengan kerinduan yang jauh lebih besar daripada yang David tunjukkan dalam film tersebut. Bahkan, Bapa kita di surga telah memberikan persembahan terbaik-Nya untuk kita, bukan karena kebaikan apapun yang ada dalam kita, tetapi karena kasih-Nya yang besar untuk kita anak-anak-Nya.

Aku berharap kita takkan pernah harus mengalami apa yang David dan Margot alami dalam film tersebut. Doaku adalah kiranya setiap kita dapat merasakan kasih Bapa di surga dan mengizinkan diri kita untuk ditemukan oleh-Nya ketika kita kehilangan arah.

Artikel ini diterjemahkan oleh Arie Yanuardi
Gambar artikel diambil dari Official Trailer

Baca Juga:

Catatan Hidupku Sebagai Seorang Albino

Halo kawan, perkenalkan namaku Anatasya, atau kerap disapa Ana. Aku ingin membagikan cerita pengalamanku sebagai seorang yang terlahir Albino melalui tulisan ini.