Posts

Kematian Chester Bennington: Mengabaikan Rasa Sakit Bukanlah Cara untuk Pulih

Oleh Priscilla G., Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Chester Bennington’s Death: Numbing The Pain Is Not The Same As Healing It

Kasus ini hanyalah salah satu dari sekian banyak kasus bunuh diri yang menimpa kalangan selebriti. Tapi, kematian Chester Bennington, seorang vokalis grup band Linkin Park tentunya amat mengejutkan bagi banyak penggemarnya.

Bennington yang berusia 41 tahun ditemukan tewas di rumahnya pada hari Kamis, 20 Juli 2017, bertepatan dengan hari ulang tahun almarhum sahabatnya, Chris Cornell. Media-media memberitakan bahwa kasus bunuh diri yang dialami Bennington mirip dengan kasus Cornell, mantan vokalis band Soundgarden dan Audioslave yang juga mengakhiri hidupnya dengan cara menggantung diri dua bulan sebelumnya.

Berita ini membuatku terkenang kembali akan suara serak khas Bennington dalam lagu-lagunya seperti “Numb” dan “Somewhere I Belong”. Kedua lagu itu menggambarkan kekhawatiran yang kuhadapi ketika aku masih seorang remaja. Aku yakin, jutaan orang di luar sana mungkin juga merasakan perasaan yang serupa denganku. Bahkan, video klip dari lagu Numb itu telah ditonton lebih dari 560 juta kali sejak kali pertama diunggah di tahun 2007.

Aku begitu menyukai lagu Numb, yang dalam bahasa Indonesia berarti mati rasa. Liriknya seolah begitu pas dengan diriku dulu, seorang remaja 14 tahun yang mengalami frustrasi akibat gagal memenuhi harapan orang-orang. Rasa frustrasi itu dimulai ketika aku duduk di sekolah menengah. Kala itu, aku sedang dalam tahap percobaan untuk menjadi ketua OSIS di sekolah. Karena sewaktu di SD dulu aku pernah jadi ketua kelas, jadi kupikir aku bisa dengan mudah lolos tahap percobaan ini. Tapi, ternyata aku gagal dan merasa begitu kecewa. Kekecewaan itu membuatku berpikir mengapa tidak sekalian saja aku menjadi siswa yang bandel. Namun, alih-alih menjadi bandel, aku malah menjadi pribadi yang suka memendam semua rasa kecewa di dalam hati. Selain itu, lirik dalam lagu Numb juga menggambarkan perasaanku terhadap ayahku. Bukan dukungan dan kepedulian yang kudapat dari ayahku selama ini, melainkan cacian dan perintah.

“Aku telah sangat mati rasa (numb), aku tak bisa merasakan kehadiranmu lagi / Telah sangat lelah, dan sadar aku / Jadi beginilah aku, yang kuingin ialah / menjadi diriku sendiri dan bukannya semakin mirip dirimu.”

Namun, tak peduli sesering apapun aku menyanyikan refrain lagu ini, tetap saja aku tidak bisa menyingkirkan suara Tuhan yang berbisik perlahan di dalam hatiku. Di akhir tahun, akhirnya aku kembali mendedikasikan hidupku kepada Yesus.

Tidak lama setelahnya, aku berhenti untuk mendengarkan lagu-lagu Linkin Park karena aku menyadari bahwa pesan-pesan di balik lagu mereka tidak sesuai dengan nilai-nilai Kekristenan. Kalimat terakhir dalam lagu Numb mengajarkan tentang sifat egois, kebanggaan duniawi, dan kesombongan yang berkata ‘Aku lebih baik daripada kamu’ kepada orang-orang yang kita tidak suka. Ajakan untuk mengabaikan perasaan kita dari segala luka hati juga kupikir tidaklah bermanfaat.

Mengabaikan perasaan itu berarti kita mencabut kepekaan dalam hati kita. Tapi, ketahuilah bahwa sebenarnya rasa sakit yang kita alami itu adalah sebuah tanda. Rasa sakit menandakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Oleh karena itulah kemampuan kita untuk merasakan rasa sakit itu menjadi penting. Apabila tubuh seseorang tidak memiliki saraf yang dapat mengirimkan rasa sakit ke otak, maka seseorang tidak akan menyadari apabila kulitnya melepuh akibat menyentuh kompor yang sangat panas. Seorang penulis Kristen dari Amerika dalam sebuah bukunya yang berjudul Where is God When it Hurts pernah menulis demikian: “Secara harfiah, sakit itu memang tidak enak. Rasa sakit itu mampu memaksa kita untuk menjauhkan tangan dari kompor yang panas. Namun, justru rasa sakit itulah yang sejatinya mampu mengindarkan kita dari kehancuran. Hanya, kita cenderung untuk mengabaikan peringatan, kecuali jika peringatan itu amat memaksa.”

Ketika aku membaca kisah hidup Chester Bennington di berita-berita, aku melihat sesosok pribadi yang menderita. Pengalaman hidupku sendiri memang tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan apa yang dia rasakan. Tapi, kelihatannya dia tidak menghadapi permasalahan hidupnya dengan cara yang terbaik.

Semenjak dia masih berusia 7 atau 8 tahun hingga usianya 13 tahun, dia sering dilecehkan oleh teman-temannya yang berusia lebih tua darinya. Kedua orangtuanya bercerai di usianya yang ke-11 tahun. Pernikahan pertamanya juga berakhir dengan perceraian pada tahun 2005. Kecanduannya pada narkoba dan alkohol menjadi inspirasi dari beberapa lagu populer Linkin Park. Tetapi, kesuksesan yang dia dapatkan tidak dapat melepaskannya dari rasa kecanduannya.

Dalam sebuah sesi wawancara di tahun 2009, Bennington berkata: “Aku bisa menghadapi segala hal negatif dalam hidupku dengan cara membuat perasaanku mati rasa dan mengalihkannya dengan bermain musik.” Di awal tahun ini, Bennington juga menambahkan: “Jika bukan karena musik, aku pasti sudah mati. 100% mati.”

Menyalurkan perasaan negatif lewat musik dan cara-cara lainnya (seperti melukis, menulis puisi, ataupun berlari) memang masih lebih baik daripada memendam semuanya di dalam hati. Tapi, ini bukanlah cara terbaik untuk memulihkan segala luka-luka di hidup kita.

Mengabaikan rasa sakit dan membuat hati kita mati rasa itu seperti menutup sebuah botol air yang bocor dengan jari kita. Memang bocornya berhenti sementara, tetapi kita tidak mungkin terus menerus menutupnya dengan jari kita. Lama kelamaan, tangan kita akan pegal juga, dan masalah kebocorannya sendiri tidak selesai.

Jika saat ini kamu merasa hancur, ketahuilah bahwa Tuhan menyembuhkan orang-orang yang patah hati dan membalut luka-luka mereka (Mazmur 147:3). Tuhan adalah sumber air hidup bagi kita (Yeremia 2:13).

Aku berdoa supaya kamu dapat menemukan sumber penghiburan dan sukacita yang sejati.

“Barangsiapa minum air ini, ia akan haus lagi, tetapi barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal” (Yohanes 4:13-14).

Foto oleh: Kristina_Servant via Foter.com / CC BY

Baca Juga:

Ketika Aku Memahami Arti dari Didikan Orangtuaku

Dulu, aku berpikir masa-masa remajaku adalah fase yang paling buruk dalam hidupku. Aku tinggal dengan orangtua kandungku, tapi hidupku tidak bahagia. Aku menolak ungkapan yang mengatakan “Rumahku, Istanaku”. Bagiku, rumahku adalah tempat yang buruk karena orangtuaku tidak menganggapku sebagai seorang anak, melainkan seorang pekerja yang bisa diperas tenaganya setiap waktu.

Jangan Melompat, Masih Ada Harapan!

jangan-melompat-masih-ada-harapan

Oleh Leslie Koh, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Please Don’t Jump, There’s Hope

Hari itu, aku baru saja bersiap akan berangkat kerja ketika seorang polisi datang dan mengetuk pintu kamar apartemenku. “Permisi, apakah kamu mengenal seorang wanita tua yang tinggal di lantai ini?”

Di belakang tempat polisi itu berdiri, ada sebuah kursi yang berada persis di sebelah pagar pembatas apartemen. Setahuku, kursi itu bukanlah kursi milik tetanggaku. Saat aku mengamati keadaan, aku melihat beberapa polisi telah hadir dan mereka membentangkan garis pembatas di sepanjang koridor lantai apartemenku. Melihat peristiwa itu, rasanya tidak sulit bagiku untuk menebak apa yang sedang terjadi. Di tahun-tahun yang lalu, apartemen tempat tinggalku adalah tempat yang populer untuk orang-orang bunuh diri karena dulu jarang ada gedung lain yang setinggi apartemenku.

“Sebenarnya, kebanyakan penghuni apartemen di sini sudah lansia,” jawabku kepada polisi. Kemudian aku teringat akan tetangga di sebelahku. Kulirikkan mataku ke arah jendelanya yang hanya berjarak 60 sentimeter dari tempatku berdiri. Melihat mataku terarah ke jendela, polisi itu pun mengikuti apa yang kulakukan, kemudian dia mengangguk dan berkata, “Tetanggamu ada di dalam kamarnya.” Aku pun merasa lega.

Kemudian, aku jadi teringat lagi tentang tetanggaku yang lain. Seorang yang tinggal beberapa kamar dari tempatku sebenarnya sedang mengalami depresi berat karena cacat yang dialaminya. Aku melirik ke arah kamarnya dan melihat pintu telah terbuka. Polisi-polisi yang datang terus menyusuri koridor dan mengetuk setiap pintu-pintu kamar. Aku melihat bayangan tangan tetanggaku itu, dan hatiku pun lega karena aku tahu dia sedang baik-baik saja.

Polisi yang berbicara denganku tadi kemudian bertanya kepadaku apakah aku keberatan untuk melihat foto wajah wanita tua itu. Dia ingin mengetahui apakah aku mengenal wanita itu atau tidak, namun setelah aku melihat fotonya, ternyata aku tidak mengenalnya sama sekali.

Wanita tua itu mungkin tidak tinggal di apartemen ini. Mungkin saja dia tinggal di apartemen lain, dan sepertinya dia sudah merencanakan tindakan bunuh diri. Kursi yang kulihat itu mungkin saja adalah kursi yang dia bawa sendiri ke lantai 10 di gedung apartemenku, kemudian, di ujung koridor yang sepi ini dia memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan melompat. Apartemenku adalah wilayah yang paling sepi di daerah ini, sehingga aksi bunuh diri yang dilakukan wanita itu tidak terelakkan karena tidak ada orang lain yang melihatnya.

Tidak ada lagi yang bisa kulakukan untuk membantu polisi itu. Aku pun melangkah keluar kamar dan pergi bekerja. Tapi, aku sempat melirik sejenak pagar pembatas itu. Tepat 10 lantai di bawah pagar, aku dapat melihat jenazah sang wanita tua itu tergeletak dan telah dibungkus dengan kain.

Aku berpamitan dengan polisi itu, berjalan melewati garis pembatas dan bergegas menuju lift. Sambil melangkah keluar, aku merasakan kesedihan di hati. Aku tidak mengenal siapa wanita tua itu, namun aku merasakan kesedihan mendalam. Tidaklah sulit untuk menebak alasan mengapa di apartemen yang banyak dihuni lansia ini ada seorang wanita tua memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan melompat.

Mungkin dia hidup sebatang kara dan tak memiliki keluarga. Atau, jika dia memiliki keluarga, mungkin saja tidak tidak akrab dan merasa terbuang. Mungkin dia mengidap penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Mungkin dia merasa bahwa tidak ada lagi alasan baginya untuk terus hidup. Hidup tanpa kasih, tanpa tujuan, hanya ada rasa kesepian dan hidup yang hampa. Tidak ada lagi yang tersisa selain dari rasa putus asa.

Tidak ada lagi alasan untuk terus hidup. Tidak ada harapan.

Memilih kematian seolah menjadi satu-satunya jalan keluar. Satu-satunya sumber kelegaan.

Kalau saja aku dan istriku ada di luar kamar saat wanita tua itu hendak bunuh diri, maka bisa saja kami menghentikan aksi nekatnya itu. Jika saja ada seseorang yang memiliki kesempatan untuk memberitahu wanita itu: Jangan melompat! Harapan masih ada.

Harapan. Terkadang hanya harapanlah yang menjadi satu-satunya alasan bagi seseorang untuk terus melanjutkan hidupnya.

Ketika kamu kehilangan segalanya, dan seolah tidak ada masa depan lagi dalam hidupmu. Ketika semua hal tidak berjalan baik, dan juga seakan tidak mungkin membaik.

Apakah yang akan menghentikan kita untuk memilih jalan pintas? Apakah yang akan menghentikan kita untuk pergi ke lantai tertinggi sebuah gedung atau meminum obat sampai over dosis?

Harapan. Harapan bahwa suatu saat, entah bagaimana caranya, sesuatu akan membaik. Ada harapan di tengah rasa kesepian, ada seseorang di luar sana yang masih peduli kepada kita dan berkata, “Kamu sangat berarti bagiku. Jangan pergi, aku membutuhkanmu di dalam hidupku.” Masih ada harapan, sekalipun itu di tengah rasa keputusasaan. Seseorang akan datang mengulurkan tangannya, memberikan sebuah pelukan dan ia berkata, “Jangan khawatir, karena aku ada bersamamu. Aku akan berjalan bersamamu.”

Hanya ada satu Pribadi yang dapat memberikan kita harapan. Hanya ada satu Pribadi yang berjanji kepada kita bahwa Dia akan selalu ada di setiap langkah kita. Hanya ada satu Pribadi yang dapat memegang janji itu, karena Dia selalu bersedia mendengarkan kita. Hanya ada satu Pribadi yang tidak akan pernah mengecewakan kita. Hanya ada satu Pribadi yang dapat berkata kepada kita dengan penuh kepastian, “Jangan khawatir, Aku memiliki kuasa. Aku tahu bagaimana keadaanmu, dan Aku tahu apa yang harus diperbuat. Aku tahu apa yang kamu butuhkan.”

Pribadi itu adalah Yesus. Dia pernah hidup sebagai manusia biasa, Dia sangat tahu apa yang sesungguhnya kita rasakan. Kesedihan, kesepian, keputusasaan yang kita rasakan. Sebagai Anak Allah, Dia memiliki kuasa ilahi untuk mengatasi tiap situasi yang kita hadapi. Dia mengetahui bagaimana cara mendukung dan menghibur kita, dan Dia dapat memberikannya bagi kita.

Sebagian dari kita mungkin masih tetap harus menghadapi situasi yang sulit, namun kita memiliki sebuah jaminan pasti bahwa Dia akan berjalan bersama kita setiap hari, setiap jam, setiap menit. Dan yang paling penting di atas semuanya adalah, kita dapat terus melanjutkan hidup ini karena kita tahu Yesus mengasihi kita. Bagi Yesus, aku begitu berharga hingga Dia rela mati untuk menyelamatkanku. Dia memiliki tujuan untukku. Dia menempatkanku di dunia untuk suatu alasan. Dia mau aku hidup bagi-Nya.

Ketika seolah tidak ada lagi alasan untuk tetap hidup, ketika kita telah kehilangan segalanya, kita masih memiliki satu hal. Yesus memberi kita harapan. Harapan untuk hidup. Harapan untuk tetap percaya.

Jika saat ini kamu merasa putus asa, jika kamu ingin menyerah di dalam hidup ini, jika kamu telah mengambil sebuah kursi dan berjalan menuju lantai tertinggi, berhentilah. Aku mohon, berhentilah. Masih ada satu Pribadi yang mengasihimu. Yesus teramat sangat mengasihimu.

Baca Juga:

Mengapa Mission Trip Tidak Selalu jadi Program yang Tepat?

Pernahkah kamu mengikuti mission trip yang diadakan oleh gerejamu? Pada kenyataannya, kegiatan perjalanan misi yang nampak menyenangkan ini tidak selalu berjalan sebagaimana mestinya. Mengapa demikian?

Menemukan Hidup

Selasa, 17 Januari 2017

Menemukan Hidup

Baca: Yohanes 14:5-14

14:5 Kata Tomas kepada-Nya: “Tuhan, kami tidak tahu ke mana Engkau pergi; jadi bagaimana kami tahu jalan ke situ?”

14:6 Kata Yesus kepadanya: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.

14:7 Sekiranya kamu mengenal Aku, pasti kamu juga mengenal Bapa-Ku. Sekarang ini kamu mengenal Dia dan kamu telah melihat Dia.”

14:8 Kata Filipus kepada-Nya: “Tuhan, tunjukkanlah Bapa itu kepada kami, itu sudah cukup bagi kami.”

14:9 Kata Yesus kepadanya: “Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku? Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa; bagaimana engkau berkata: Tunjukkanlah Bapa itu kepada kami.

14:10 Tidak percayakah engkau, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku? Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak Aku katakan dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa, yang diam di dalam Aku, Dialah yang melakukan pekerjaan-Nya.

14:11 Percayalah kepada-Ku, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku; atau setidak-tidaknya, percayalah karena pekerjaan-pekerjaan itu sendiri.

14:12 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pada itu. Sebab Aku pergi kepada Bapa;

14:13 dan apa juga yang kamu minta dalam nama-Ku, Aku akan melakukannya, supaya Bapa dipermuliakan di dalam Anak.

14:14 Jika kamu meminta sesuatu kepada-Ku dalam nama-Ku, Aku akan melakukannya.”

Sebab Aku hidup dan kamupun akan hidup. —Yohanes 14:19

Menemukan Hidup

Perkataan ayah Ravi sangatlah menyakitkan hati Ravi. “Kamu itu pecundang. Kamu membuat seluruh keluarga malu.” Jika dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang berbakat, Ravi sering dianggap sebagai aib. Ia berusaha untuk unggul dalam bidang olahraga dan berhasil, tetapi ia tetap merasa seperti pecundang. Ia bertanya-tanya, Akan jadi apa aku ini? Apakah aku memang tak tertolong lagi? Bisakah aku melepaskan diri dari hidup ini tanpa rasa sakit? Pikiran-pikiran itu menghantuinya, tetapi ia tidak menceritakannya kepada siapa pun karena itu bukanlah hal yang lazim dalam budayanya. Ia telah diajar: “Pendamlah rasa sakit hatimu; tetaplah tegak meski runtuh duniamu.”

Maka Ravi pun bergumul sendiri. Kemudian ketika sedang dirawat di rumah sakit setelah gagal bunuh diri, Ravi menerima sejilid Alkitab dari seorang pengunjung. Ibunya membacakan firman dari Tuhan Yesus dalam Yohanes 14 kepada Ravi: “Sebab Aku hidup dan kamupun akan hidup” (ay.19). Itu mungkin satu-satunya harapanku, pikir Ravi. Hidup dengan cara yang baru. Hidup seperti yang dikehendaki oleh Sang Pemberi hidup itu sendiri. Ravi pun berdoa, “Yesus, jika memang Engkau pemberi hidup yang benar, aku mau menerima hidup itu.”

Dalam hidup ini, adakalanya kita mengalami masa-masa yang membuat kita putus asa. Namun seperti Ravi, kita dapat menemukan pengharapan dalam Yesus Kristus yang adalah “jalan dan kebenaran dan hidup” (ay.6). Allah rindu memberi kita hidup yang bermakna dan berkelimpahan. —Poh Fang Chia

Ya Tuhan, aku sadar aku orang berdosa yang membutuhkan pengampunan-Mu. Terima kasih Yesus, karena Engkau telah mati bagiku dan memberiku hidup kekal. Ubahlah hidupku agar aku bisa memuliakan dan menghormati-Mu saja.

Hanya Yesus yang dapat memberi kita hidup baru.

Bacaan Alkitab Setahun: Kejadian 41-42; Matius 12:1-23

Artikel Terkait:

5 Hal yang Menolongku Mengatasi Stres

Masalah yang datang bertubi-tubi kerap membuat kita kehilangan fokus dan kehabisan energi. Hidup menjadi kacau. Kita tidak tahu harus berbuat apa. Kita menjadi stres. Lalu, bagaimana? Yuk simak 5 hal berikut yang dapat menolong kita mengatasi stres.