Aku dan Seisi Rumahku Beribadah Kepada Tuhan
Sebuah cerpen oleh Meili Ainun
“Cuma 3,65? Kamu nggak bisa lebih dari itu? Kenapa harus ada nilai B?” Suara papi terdengar dingin.
Yosua menjawab papinya dengan menunduk diam.
“Bagaimana kalau ada yang tahu? Apa yang akan mereka pikirkan? Papi selalu membanggakan kamu itu akan lulus dengan nilai sempurna. Apa susahnya dapat IP 4.00?” Suara papi semakin meninggi.
Yosua semakin menundukkan kepalanya. Wajahnya pucat.
“Kamu selalu saja mengecewakan. Sudah sana, siap-siap untuk kelas Pemahaman Alkitab. Jangan sampai terlambat. Dan berpakaianlah rapi sedikit,” rasa kecewa pun tertuang dalam nada bicara papi.
Yosua melangkah perlahan menuju ke kamarnya.
“Apa salahku? Begitu pentingkah nilai itu? Kuliah kedokteran kan susah. Lagipula aku tidak ingin jadi dokter. Aku ingin jadi guru. Tetapi papi beranggapan tidak ada gunanya menjadi guru. Menjadi dokter menjaga nama baiknya,” gumam Yosua dalam hati. Dia membatin mengapa papinya begitu memaksa dia untuk meraih prestasi sempurna di bidang yang sejatinya bukanlah pilihan hatinya.
Meski begitu, Yosua tetap belajar untuk menghormati papinya. Dengan hati yang sendu, dia menyiapkan diri untuk ikut kelas PA.
“Mengapa baru datang sekarang? Sudah papi bilang jangan terlambat,” tegur papi sambil melihat jam tangannya. “Kamu tahu, untuk menjadi orang yang berhasil, kamu harus selalu tampil sempurna. Dulu orang tua papi juga mendidik papi dengan disiplin keras, sehingga papi bisa berhasil seperti sekarang. Kamu juga harus seperti itu,” lanjut papi dengan tegas.
“Maaf, papi,” jawab Yosua pelan. “Padahal masih ada 15 menit sebelum kelas dimulai,” gumamnya dalam hati.
“Konsentrasilah mendengar kelas hari ini. Minggu lalu, kamu sampai tidak bisa menjawab pertanyaan yang mudah itu. Memalukan sekali!” Suara papi terdengar kesal.
“Baik, papi. Akan kucoba,” jawab Yosua sambil melirik pada mami yang duduk di sebelahnya.
Mami tidak memperhatikan Yosua. Matanya fokus pada Alkitab yang sedang dia pegangi. Dia tampak tenggelam dalam bacaannya.
Percuma berharap pada mami. Dia tidak akan menolongku. Dia hanya sibuk dengan dirinya.
Setelah beberapa waktu setelah kelas PA pun dimulai, tiba-tiba Yosua mendengar namanya dipanggil.
“Yosua, senang melihatmu hari ini. Bagaimana pendapatmu tentang perikop yang kita baca hari ini?” tanya hamba Tuhan itu dengan antusias. Dia memajukan wajahnya ke depan layar menunggu jawaban Yosua.
Melalui pandangan matanya, papi memperingatkan Yosua untuk menjawab dengan benar.
“Tuhan telah menolak Saul menjadi raja karena ketidaktaatannya kepada Tuhan. Dan Tuhan telah memilih orang lain yaitu Daud, menjadi raja menggantikan Saul,” jawab Yosua dengan ragu. Semoga jawabanku tidak salah.
“Bagus sekali, Yosua. Pak Hartono, tentu senang sekali memiliki anak sepintar Yosua. Saya dengar dia kuliah kedokteran. Bapaknya dokter, anaknya juga. Luar biasa sekali, pak,” puji hamba Tuhan itu dengan tersenyum lebar.
Papi Yosua mengangguk-angguk dan tersenyum bangga.
Yosua hanya tersenyum tipis mendengar pujian itu. Andaikata hamba Tuhan itu tahu yang sebenarnya.
Malam itu, ketika Yosua berbaring di atas tempat tidurnya, dia membolak-balikkan tubuhnya dengan gelisah. Dia tahu dia lelah, tetapi dia tidak dapat memejamkan matanya. Selama beberapa bulan terakhir ini, Yosua hanya tidur selama 3-4 jam saja. Badannya terasa lelah dan sakit. Tetapi dia tidak pernah mengeluh kepada orang tuanya. Paling-paling mereka hanya akan menganggap aku mencari alasan untuk menghindari tanggung jawab. Mereka tidak mengerti. Mereka hanya sibuk dengan diri mereka sendiri. Tiba-tiba Yosua teringat akan sebuah botol obat yang dia temukan di lemari beberapa hari lalu. Dia mengeluarkan botol itu dari laci mejanya, dan dengan cepat dia menenggak 2 pil tidur sekaligus.
Yosua terlihat menjalani hari-harinya seperti biasa. Sibuk dengan kuliah dan kegiatan gereja. Orang tuanya selalu menekankan pentingnya untuk beribadah bersama-sama. Bahkan di ruang tamu, ada lukisan dinding yang bertuliskan ayat yang diambil dari Yosua 24:15b: Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada Tuhan. Orang tuanya bahkan memberikan nama Yosua kepadanya karena terinspirasi oleh ayat itu.
Sepanjang ingatan Yosua, tiada hari yang dilewati tanpa kegiatan gereja meskipun masih dilakukan daring selama pandemi. Tanpa perlu jadwal, Yosua sudah menghafal semua kegiatan yang harus diikutinya. Kelas Pemahaman Alkitab, komsel keluarga, Persekutuan Doa, komsel remaja dimana Yosua adalah ketua remajanya, dan kelas Pemahaman Alkitab remaja. Setiap hari Sabtu, Yosua ikut kegiatan bakti sosial yang diketuai oleh maminya.Pada hari Minggu, karena gereja sudah mulai dapat dikunjungi, maka Yosua akan pergi beribadah bersama-sama kedua orang tuanya.
Pernah Yosua meminta izin untuk tidak ikut kelas Pemahaman Alkitab karena harus menyelesaikan tugas kuliah yang banyak. Papinya menjawab dengan ketus,”Salah kamu sendiri yang tidak bisa mengatur waktu dengan baik. Papi juga sibuk. Tetapi bisa mengatur waktu untuk kerja dan gereja. Kamu juga seharusnya bisa. Kamu kan tidak lebih sibuk daripada papi. Apa kata orang kalau kamu tidak ikut? Jangan pernah coba merusak image baik keluarga kita!” Sejak itu, Yosua tidak pernah lagi meminta izin sekalipun dia merasa lelah atau tidak enak badan.
Yosua sering mendengar orang-orang memuji keluarganya. “Wah…hebat sekali. Tentu membanggakan memiliki anak yang kuliah kedokteran seperti Yosua. Satu-satunya keluarga dokter di gereja kita.”
“Keluarga teladan. Selalu ada di setiap kegiatan gereja. Tidak pernah absen sekalipun.”
“Sungguh keluarga harmonis. Tidak pernah bertengkar. Selalu akur setiap waktu. Mengagumkan sekali.”
Bahkan para hamba Tuhan di gereja juga ikut berkomentar. “Luar biasa keluarga Yosua itu. Itu baru namanya keluarga yang menyembah Tuhan. Setiap keluarga harus belajar dari keluarga Yosua.”
“Nama gereja kita mulai dikenal masyarakat sejak istrimu aktif dalam kegiatan bakti sosial. Banyak orang tertolong. Apalagi pak Hartono ikut memberikan pelayanan kesehatan gratis. Tanpa keluarga bapak, gereja kita tidak bisa seperti sekarang.”
Pujian-pujian itu tidak hanya dikatakan orang-orang di gereja, tetapi juga oleh teman-teman maupun kerabat orang tuanya. Bahkan sosial media mereka pun dibanjiri pujian seperti itu.
Apakah pentingnya pujian itu? Andai mereka tahu yang sebenarnya. Yosua tertawa sinis. Papi sendiri tidak pernah terlihat berdoa atau membaca Alkitab. Mami membaca Alkitab tetapi tidak mengerti apa-apa. Papi menyuruhnya maka dia harus ikuti. Segala sesuatu di rumah ini harus ikut perkataan papi. Tidak boleh ada yang membantah. Untuk apa hidup seperti ini? Semua orang mengatakan kami adalah keluarga Kristen yang menyembah Tuhan. Apakah orang yang hidupnya menyembah Tuhan itu seperti papi? Munafik. Apakah Tuhan juga seperti papi? Apakah Dia sungguh ada? Kalau Dia ada, mengapa Dia tidak menolongku? Kegelisahan itu kembali menghampiri Yosua. Dia meraih botol obat yang ada di mejanya, dan kali ini dia menelan lebih banyak pil lebih dari seharusnya.
***
Ruangan tunggu rumah sakit terasa dingin dan sunyi. Papi dan mami Yosua duduk di salah satu pojok. Bahu mereka merosot turun. Rasa tidak percaya terpancar di wajah keduanya. Kenyataan bahwa Yosua mencoba membunuh dirinya tidak pernah terbayang dalam benak keduanya.
“Selamat malam, pak dan bu Hartono.” Tiba-tiba terdengar suara yang menyapa keduanya.
Orang tersebut mengulurkan tangannya. “Saya mendengar apa yang terjadi. Saya ikut prihatin dengan kondisi Yosua.”
“Oh…pak Kristanto. Selamat malam,” jawab papi dengan kikuk. “Iya…kami…tidak menyangka sama sekali. Kami berpikir selama ini Yosua dalam keadaan baik. Dia mengikuti semua kegiatan dengan baik. Tidak pernah terpikir oleh kami. Kami…kami…tidak mengerti. Apa salah kami? Kami mengikuti kegiatan gereja setiap hari. Tidak pernah kami absen sekalipun. Kami bahkan tidak pergi berlibur. Kami memberikan persembahan. Kami sekeluarga beribadah kepada Tuhan. Mengapa ini terjadi pada kami?” keluh papi.
Penatua gereja yang dipanggil pak Kristanto itu menepuk-nepuk pundak papi. “Iya, semua ini terjadi di luar dugaan kita ya. Kita berpikir kita sudah melakukan yang terbaik bagi keluarga kita, bahkan juga telah menjadi contoh buat mereka. Tapi ternyata…apa yang kita pikir belum tentu seperti yang terlihat ya, pak.”
Papi terdiam sejenak. Wajahnya tampak serius. “Saya…saya tidak pernah berpikir seperti itu. Saya berpikir selama ini kami sudah setia beribadah kepada Tuhan. Tetapi…ya benar. Kalau dipikir-pikir, saya rasa saya belum contoh yang baik bagi Yosua. Saya…saya…bahkan jarang sekali berdoa dan membaca Alkitab. Mungkin yang saya lakukan selama ini hanyalah kegiatan saja. Saya…saya… tidak punya relasi dengan Tuhan.”
Pak Kristanto tersenyum hangat. “Selalu ada kesempatan untuk berubah. Tuhan selalu menunggu kita untuk bertobat.”
Papi menganggukkan kepalanya dengan perlahan. “Terima kasih, pak. Saya akan berbicara kepada Yosua. Saya perlu meminta maaf kepadanya. Saya sadar selama ini kami belum sungguh-sungguh beribadah kepada Tuhan. Kami akan mencoba mulai dari awal lagi.”