Posts

Boleh “Bucin” Asal…

Oleh Jovita Hutanto

Dulu waktu masih sekolah, mamaku suka bilang begini, “Cinta itu buta. Eek pun bisa jadi serasa coklat!” Lain mamaku, lain temanku. Mereka sering berkata, “Dasar, bucin lo!” buat teman-teman yang rela melakukan apa saja demi ‘cinta’.

Jika kita cermati, rasa cinta itu memanglah luar biasa. Bukan saja dapat mengubah rasa pahit jadi manis, kita bahkan rela melakukan apa pun untuk sosok yang kita cintai. Jika kita ingat masa-masa awal berpacaran, pasti maunya nempel terus. Tapi, seiring waktu, lama-kelamaan bunga dan warna pelangi cinta di mata kita pun memudar. Buatku pribadi yang sudah cukup lama memelihara masa lajang, mungkin aku hampir lupa rasanya mencintai dan dicintai. Yang kuingat seperti makan permen nano-nano, banyak rasa.

Namun, cinta yang tampaknya luar biasa itu pada realitanya seringkali bersifat menuntut. Contoh kasusnya, saat kita siap berpacaran, kita tentu sudah memikirkan kriteria lelaki atau perempuan seperti apa yang ingin kita pacari. Apakah itu yang baik, ganteng, kaya, beriman. Atau, malah semuanya harus ada dalam satu pribadi? Kurasa yang ‘sempurna’ seperti ini cuma ada di drama Korea dan film-film Disney ya. Semua kriteria yang kita tetapkan jika mau jujur ujung-ujungnya adalah untuk ‘aku’.

Jadi, bagaimana sih selayaknya kita berelasi sebagai manusia yang terbatas dan berdosa?

1. Kasih bertahan karena komitmen yang mendasarinya

Berantem itu wajar. Beda pendapat itu lumrah. Kita ini manusia berdosa; relasi yang terjalin juga sudah pasti penuh dengan cacat cela. Semakin kita dekat dan kenal dengan orang tersebut, semakin banyak masalah yang akan timbul. Kalau kata orang, “mulai keliatan deh tuh karakter aslinya.” Menurutku, ini sangat dapat dimaklumi… mengapa? Semakin kita yakin dan nyaman dengan orang-orang pilihan kita, semakin kita terbuka pada mereka. Dengan seiring berjalannya waktu juga kita tidak dapat lagi menyembunyikan tabiat asli kita. Begitu juga dengan lawan relasi kita. Namun, setelah tahu warna asli mereka yang sesungguhnya, apakah kita akan mempertahankan relasi kita dengannya? Di sinilah peran penting komitmen mengasihi yang membuat kita bertahan dengan orang tersebut.

Aku sering mendengar cerita pasangan yang baru menikah dan tinggal serumah. Mereka kaget dengan perilaku pasangannya. “Ihh, kok ternyata berantakan,” atau “tidurnya ngorok gede banget.” Ya! Skakmat deh tuh! Komitmen di dalam berelasi itu sama dengan langkah skakmat alias tidak ada kemungkinan untuk melarikan diri. Yang namanya sudah komit di hadapan Tuhan untuk sehidup dan semati, apapun keadaannya, tetap harus dijalankan dan diperjuangkan. Terdengar berat ya, dan memang kenyataannya berat, berdasarkan orang-orang yang sudah lebih berpengalaman menjalaninya lho ya, bukan kataku sendiri.

Nah… supaya yang berat itu tidak terasa berat, komitmen ini perlu didampingi dengan kasih. Kasih akan memampukan seseorang untuk melakukanna dengan rela, yang tentunya akan membuat seseorang merasa lebih enteng menjalaninya.

Kehidupan orang Kristen itu erat hubungannya dengan kasih karena Allah itu kasih, dan Ia memberikan perintah agar setiap orang yang percaya untuk mengasihi. Dalam terjemahan bahasa Inggrisnya, “You shall love your neighbor.” Perhatikan kata “shall” yang artinya harus; mengasihi sudah merupakan kewajiban orang Kristen. Lalu, kepada siapa kita harus mengasihi? Tuhan Yesus tidak menggunakan kata teman atau pasangan maupun keluarga; Tuhan menggunakan kata “sesamamu.” Dengan kata lain kasih kepada “sesamamu” tidak terbatas pada orang yang kamu kenal, namun kepada siapapun yang kamu temui.

2. Kita mengasihi dalam kerangka konsep Kristus

Untuk melengkapi ilmu tentang kasih, perlu kita ketahui bahwa ada 4 tipe kasih dalam Alkitab (terjemahan bahasa Yunani): Storge adalah kasih yang hadir di antara orang tua dan anak; Filia merupakan kasih persaudaraan atau persahabatan, seperti kita dengan sahabat kita; Eros mengacu pada cinta yang seksual atau romantis, layaknya pasangan suami dan istri; dan yang terakhir adalah Agape, cinta yang sempurna, abadi, dan tanpa syarat, tidak ada kasih agape di dunia ini selain kasih Kristus.

Jadi… dalam mengasihi pasangan, keluarga, maupun teman kita, apapun bentuk kasih yang kita miliki, seluruhnya harus didampingi oleh kasih agape. Dikarenakan kasih agape ini tidak ada dalam manusia yang berdosa, filsuf Kierkegaard menciptakan istilah baru, yaitu “Christian love.” Kierkegaard menjelaskan bahwa Christian love adalah wujud kasih Kristus yang hidup dalam hati para pengikutnya lalu dibagikan kepada sesamanya. Christian love ini tidak sempurna seperti kasih Kristus, namun statusnya lebih tinggi dari bentuk-bentuk kasih manusia lainnya. Karena tanpa Christian love ini, kasih antar manusia sifatnya sementara yang menyebabkan adanya perceraian suami istri dan pertikaian pertemanan dan keluarga.

Sifat kasih eros dan filia bergantung pada aspek yang dimiliki objek yang dikasihinya. Seperti, “aku mencintai dia karena dia cantik,” jadi kalau dia jelek, maka aku tidak cinta lagi. Sebaliknya, Kierkegaard (dalam terjemahanku) menjelaskan bahwa Christian love mengandung unsur kemurnian dan ketulusan hati, tanpa syarat dan tuntutan, ikhlas memberi tak harap kembali. Christian love tidak bergantung pada objek yang dikasihi. Tidak peduli latar belakang ataupun karakter seperti apa yang mereka miliki, apapun kendala yang akan kita hadapi bersama mereka, sudah menjadi kewajiban orang percaya untuk tetap mengasihi mereka.

Menurut aku, Christian love itu bucin (budak cinta) yang sesungguhnya. Budak cinta itu tidak dipengaruhi oleh sifat lawan relasimu. Apapun wujud asli mereka, kita tetap cinta, namanya juga budak cinta, ya budaknya si cinta bukan budaknya si Asep (atau Betty). Boleh disimpulkan bahwa Christian love ini kunci dari awetnya sebuah relasi karena sifatnya longlasting (panjang umur bahagia sentosa), baik dalam relasi suami istri, keluarga, maupun pertemanan.

3. Christian Love harus diaplikasikan

Aku suka merasa lucu kalau bertanya ke mereka-mereka yang sudah berpacaran lebih dari 7 tahun.

“Jadi apa nih kunci benteng pertahanannya?” Lalu jawaban para lelaki, “sabar-sabar aja, sering-sering lah minta maaf,” atau ada juga yang bilang, “semuanya perlu komunikasi yang baik.”

Pada dasarnya semua jawabannya mengindikasikan adanya masalah yang perlu diselesaikan. Belum pernah aku temukan jawaban seputar, “soalnya aku sudah jatuh cinta,” karena tidak ada lagi tuh ya cinta-cintaan lewat 1 atau 2 tahun. Menurutku ini normal dan tidak jadi masalah, dan sama seperti yang dikatakan Alkitab bahwa kasih itu banyak wujudnya (1 Korintus 13:4-8). “Kasih itu sabar,” “kasih itu murah hati,” termasuk kasih itu juga banyak-banyak minta maaf.

Kasih itu tidak terikat pada satu buah perilaku positif, namun seluruh perilaku positif. Kasih atau Christian love atau bucin itu adalah kebebasan ekspresi dari setiap orang yang sudah menerima kasih Kristus. Apapun bentuknya, asalkan didasari dengan ketulusan hati, maka selamat! Anda telah bergabung di dalam komunitas bucin yang sesungguhnya!