Posts

Belajar Jadi Anak: Proses Seumur Hidup untuk Kita Semua

Oleh Edwin Petrus

Setelah menyelesaikan pendidikan di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), aku meninggalkan kota kelahiranku. Aku merantau ke negeri orang untuk mendapatkan gelar sarjana. Selanjutnya, aku pun berkelana lagi ke kota orang untuk meniti karier. Enam tahun kemudian, aku melanjutkan studi ke sebuah kota yang jaraknya kurang lebih dua ribu kilometer dari rumahku. Tiga belas tahun sudah, aku pergi merantau.

Aku adalah seorang anak tunggal yang mendapatkan kasih dan perhatian penuh dari kedua orang tuaku. Namun, secara perlahan dan tanpa aku sadari, kehidupan di perantauan telah mengikis kemanjaanku dan mengubahnya menjadi kemandirian, hingga aku terbiasa melakukan banyak hal seorang diri. Sampai-sampai, banyak orang sering meragukan kalau aku adalah anak satu-satunya dalam keluargaku. Gambaran tentang anak tunggal yang manja sepertinya sudah hilang dari hidupku.

Selama merantau, aku tidak pernah menyia-nyiakan momen liburan bersama keluarga di rumah. Sekali setahun, aku pasti pulang ke rumah untuk beberapa hari lamanya. Aku memanfaatkan hari-hari libur untuk bercengkrama dengan papa dan mama. Walaupun biasanya selalu berkomunikasi melalui sambungan telepon maupun pesan singkat, tapi aku dapat merasakan kehangatan yang berbeda ketika kami banyak bertukar cerita sambil menyantap makanan-makanan khas dari kota kelahiranku. Namun, momen kebersamaan dengan mereka hanya dilalui beberapa hari dalam setahun, yang selalu dihabiskan dengan sukacita tanpa perbedaan cara pandang dan konflik yang berarti.

Di penghujung tahun 2021, aku memilih untuk pulang kampung. Kali ini aku sudah menetap kembali di rumah. Dan ternyata, aku menjumpai diriku berada di sebuah lingkungan yang tampak asing. Padahal aku kembali ke rumah yang pernah ku tinggali selama delapan belas tahun. Namun, aku mendapati bahwa aku harus berjuang untuk menyesuaikan diri dengan pola hidup dari kedua orang tuaku yang sudah kutinggalkan hidup berdua selama ini. Aku perlu mengatur ulang tatanan rutinitasku yang selama ini sudah terbiasa dijalani seorang diri karena aku perlu memikirkan dampaknya bagi kedua orang tuaku. Aku pun belajar memahami cara berpikir orang tuaku yang sudah semakin memutih rambutnya dan membangun cara berkomunikasi yang pas dengan mereka.

Saking banyaknya hal-hal yang harus aku pelajari ketika aku kembali pulang, aku sampai pada titik di mana aku merenungkan sebuah pertanyaan: sampai pada usia berapa sebenarnya seseorang perlu belajar sebagai seorang anak?

Selama ini, di dalam benakku, aku mengira bahwa hanya orang tua saja yang perlu mengikuti kelas parenting. Peran anak hanyalah sebagai objek yang menerima seluruh pengasuhan itu.

Namun, setelah aku merefleksikan lagi pertanyaan tadi, aku menemukan bahwa sekolah menjadi anak adalah pembelajaran seumur hidup. Secara konsisten, kita perlu terus belajar menjadi seorang anak karena sampai akhir hayat, seseorang tetap menyandang gelar sebagai anak dari orang tuanya. Bahkan, pada sebagian suku bangsa, nama orang tua melekat di balik nama anaknya. Akta kelahiran juga menuliskan dengan jelas nama orang tua dari sang anak pemilik surat itu.

Di sisi lain, ketika aku membaca kembali hukum kelima dari sepuluh hukum Taurat (Keluaran 20:1-17), aku menyadari bahwa perintah Allah yang mengatur relasi orang tua-anak ini juga membicarakan hal yang sama dengan pesan yang sangat jelas:

“Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu” (Keluaran 20:12).

Dari perintah ini, aku menyadari bahwa hormat yang diberikan oleh seorang anak kepada ayah-ibunya berlaku seumur hidup. Tidak ada pengecualian dari Tuhan bahwa seorang anak boleh berhenti menunjukkan respeknya kepada kedua orang tuanya setelah ia menginjak usia delapan belas tahun.

Hukum ke-5 ini juga memiliki banyak keunikan dibandingkan dengan sembilan lainnya. Jikalau hukum lainnya lebih terdengar seperti larangan bagi umat Allah untuk tidak boleh melakukan beberapa hal, maka menghormati orang tua adalah sebuah perintah yang harus dikerjakan secara aktif oleh setiap umat Allah. Selain itu, hukum ke-5 ini adalah satu-satunya hukum yang mengandung janji, bahwa setiap orang yang mengerjakan perintah ini akan mendapatkan berkat dari Allah.

Selain itu, sebuah kata yang menarik perhatianku dalam hukum ini adalah kata “hormat”. Empat hukum yang mengawalinya adalah tuntutan Allah kepada umat-Nya untuk menunjukkan hormat mereka kepada kekudusan Allah. Namun, Allah juga menggunakan kata “hormat” yang sama ketika Ia menginstruksikan agar setiap orang percaya menghormati orang tua mereka. Jadi, ketika kita menghormati ayah dan ibu sebagai anugerah dari Allah dalam hidup kita, pada waktu sama, kita juga memuliakan Allah. Wow!

Kawan, aku menyadari bahwa menghormati orang tua bukanlah perkara mudah bagi sebagian orang. Aku pun pernah mendengarkan berbagai kisah tentang orang tua yang sepertinya tidak layak untuk dihormati oleh anaknya. Ada anak yang bertumbuh dari keluarga dengan orang tua tunggal ataupun orang tua angkat karena mereka telah “dibuang” oleh orang tuanya sejak kecil. Sebagian lain hidup di dalam ketakutan karena salah satu dari orang tuanya mempraktikkan kekerasan dalam rumah tangga. Anak-anak lainnya tidak pernah bangga dengan figur papa maupun mamanya karena perilaku dan tindakan mereka yang menyakiti hati anak-anaknya. Kawan, mungkin kamu adalah salah satu dari anak-anak itu.

Keluargaku juga bukan keluarga yang sempurna. Aku juga pernah menemukan kekurangan dari ayah-ibuku ketika aku membandingkan mereka dengan orang tua dari teman-temanku. Dalam Alkitab pun, kita tidak dapat menemukan keluarga yang sempurna karena relasi manusia telah dirusak oleh dosa. Walaupun demikian, aku mau belajar untuk meneladani Yesus di dalam menghormati orang tua-Nya. Walaupun Maria hanyalah seorang wanita yang dipinjam rahimnya oleh Allah untuk melahirkan Anak-Nya, tetapi selama hidup-Nya di dunia ini, Yesus menunjukkan respek yang tinggi terhadap ibu-Nya. Bahkan, sesaat sebelum Ia mati di kayu salib, Yesus menitipkan ibu-Nya kepada Yohanes, salah satu murid-Nya, untuk dapat merawat Maria (Yohanes 19:27).

Ketika aku semakin dewasa dan kedua orang tuaku semakin memutih rambutnya, aku menyadari bahwa bentuk hormatku kepada mereka juga perlu mengalami perubahan. Benak hati mereka berkata bahwa mereka merindukan anak yang bisa mereka banggakan. Mereka menginginkan telinga seorang anak yang siap mendengarkan tutur kata mereka. Mereka mengharapkan dukungan dari anak yang memaklumi sedikit kelambanan dan kepikunan mereka. Mereka mengharapkan kasih dan perhatian yang bukan hanya sekadar omongan belaka, tetapi nyata dalam tindakan yang menemani masa tua mereka. Mereka membutuhkan tuntunan untuk dapat menggunakan teknologi yang semakin canggih. Aku mau terus belajar untuk menjadi anak yang menunjukkan hormat kepada orangtuaku, sesuai dengan konteks dan kebutuhan mereka.

Yesus telah menjadi Guruku dalam menjalani pembelajaran ini, Roh Kudus telah menjadi Penolongku dalam mempraktikkannya, dan Allah Bapa memberiku anugerah dan kesempatan untuk terus belajar di tengah jatuh bangunku. Aku juga berdoa, kiranya teman-teman juga mau belajar menjadi seorang anak yang menghormati orang tua.

Suatu Sore, Saat Aku Pulang Kampung

Sebuah cerpen oleh Santi Jaya Hutabarat

Dret! Dret! Dret! Aku membiarkan ponselku terus bergetar.

Entah panggilan keberapa yang kulewatkan di hari ini. Panggilan berulang dari Ito, adik perempuanku.

Tadi malam, ia masih saja berusaha membujuk aku pulang. Padahal sudah beberapa kali kukatakan, aku tidak pulang Natal tahun ini. Ya, pulang. Kembali ke rumah setelah sekian lama merantau menjadi hal asing bagiku sejak papa menikah lagi.

Ito memintaku pulang agar bisa ziarah ke makam mama untuk merayakan kelulusannya.

“Sudah lima tahun abang tidak kumpul dengan kami. Nggak kangen ya?” tanya Ito dari seberang.

“Nanti pulang nyekar, kita sama-sama merayakan kelulusanku. Tante Yose jago lho masak ayam pinadar kesukaan abang” sambungnya.

Aku diam saja, tidak mengiyakan, tidak pula menolak.

“Aku tahu abang enggan pulang karena ada tante Yose dan Yosafat di rumah, tapi kali ini pulang ya. Please!!” terdengar nada memelas dari Ito.

“Abang coba ajukan cuti ya, kan masih pandemi,” aku mencari alasan menutup pembicaraan.

Lima kali merayakan Natal dan tahun baru di perantauan biasanya aku habiskan di kosan. Meski hanya 55 menit naik pesawat, aku malas pulang. Padahal saat kuliah, tidak jarang aku mengalami homesick, rindu rumah dan mau pulang. Now, it doesn’t feel like home anymore.

Belum setahun kematian mama, papa memutuskan menikah lagi dengan Tante Yose, single parent 1 anak, teman sekantor papa. Agar ada sosok mama yang mengurus kami katanya.

Aku menentang rencana papa, aku merasa papa hanya memikirkan kepentingannya. Lebih dari itu, aku sulit menerima ada yang menggantikan mama.

Aku tidak siap menerima orang baru di rumah, apalagi jadi pengganti mama. Meski sudah beranjak dewasa, rumor kengerian hidup bersama ibu tiri pun mengganggu pikiranku. Lagipula, aku menaruh sedikit curiga kalau papa dan tante Yose sudah mulai berhubungan saat mama masih hidup.

“Bagaimana mungkin bisa menggantikan mama secepat itu,” batinku membenarkan.

Aku kecewa dengan keputusan papa. Menurutku, papa harusnya mendampingi aku yang masih berduka dengan kematian mama.

Setahun berlalu hidup dengan tante Yose dan anaknya di rumah kami, aku akhirnya punya alasan meninggalkan rumah. Meski gaji dan posisinya belum sesuai harapanku, aku menerima tawaran jadi asisten guru di tempat temanku mengajar.

Sejak hari itu, hubunganku dengan papa semakin berjarak. Aku memang terus berkabar dengan Ito, tapi tidak dengan papa.

“Bang, jadi pulang kan?” Ito menanyai lagi dari chat.

Aku mengirimkan capture tiket yang aku pesan setelah mendapat izin pulang dari tempatku bekerja.

Aku akhirnya memutuskan pulang, hitung-hitung jadi hadiah wisuda untuk Ito. Rencananya, aku akan tiba sehari sebelum Natal dan langsung ke makam mama. Ikut ibadah perayaan Natal sekaligus syukuran wisuda Ito di tanggal 25 lalu langsung balik esok harinya. Aku tidak ingin berlama-lama di sana. Syukur-syukur kalau Ito mau kuajak tahun baruan di Medan.

Can’t wait to see you soon brother,” ketiknya disertai foto selfie di depan rumah.

Aku melihat beberapa gambar serta papan penunjuk nama pantai atau pulau tempat wisata di sepanjang perjalanan menuju rumah dari bandara. Sibolga merupakan pesisir yang membentang antara utara dan selatan, tidak heran jika tanah kelahiranku ini memiliki banyak pantai dan pulau yang memukau.

Hari belum terlalu siang saat aku tiba di rumah. Papa, Ito, Tante Yose, dan Yosafat sudah berdiri menyambutku di teras. Meski sedikit canggung, aku menyalam mereka. Kuserahkan juga kardus berisi Bika Ambon oleh-olehku.

“Kamu makan dulu ya mang, tante Yose sudah masak ayam pinadar untukmu,” ujar papa.

“Nanti aja pa,” balasku datar.

“Ito, berangkat yuk. Biar bisa lama-lama di sana” ajakku mencari celah menghindari kikuk yang kurasa.

“Daud mau langsung ke makam mama ya?” Tanya Tante Yose.

“Perlu ditemani? Di hari Ibu kemarin, kami sudah kesana sekalian bersih-bersih tapi…”

“Aku sama Ito aja.” Ucapku memotong Tante Yose.

Ito mengeluarkan sepeda motornya lalu kami berboncengan menuju makam mama.

Di sana, air mata tak bisa kubendung. Aku menangis sejadi-jadinya. Duka beberapa tahun silam rasanya terulang lagi.

Ito sepertinya lebih tenang dariku, meski sesekali kudengar ia sesenggukan.

Kenangan tentang mama memenuhi pikiranku. Terlebih masa-masa pengobatannya. Gagal ginjal dengan risiko tinggi terkena serangan jantung membuat mama harus cuci darah, setidaknya satu kali setiap tiga minggu. Kami tidak tahu mengapa tensi mama bisa sampai di angka 160/100 mmHg di hari itu. Saat itu, Ito yang menemani papa membawa mama ke rumah sakit. Besoknya papa menelepon memintaku pulang, karena mama sudah berpulang.

Di pusara mama, selama beberapa waktu aku dan Ito duduk tanpa bicara.

“Bang, kita sudah boleh pulang? Aku ada kegiatan untuk persiapan ibadah nanti malam di gereja.” Tanya Ito menepuk pundakku.

Aku mengangguk sembari mengusap air mataku.

“Langsung mandi ya, biar segar.” Kata papa, saat aku dan Ito sampai di rumah.

Ito mengantarku ke kamar. Ruangan yang dulu kutempati itu tidak banyak berubah.

“Bang, sudah selesai mandi kan? Aku tunggu di meja makan ya.” Seru Ito mengetuk pintu.

Saat itu sudah hampir jam 3 sore, aku menghampiri Ito di meja makan. Kami sempat bercerita meski sebentar.

Bosan bermain gawai setelah ditinggal Ito, aku berjalan mengelilingi rumah. Setiap sudut rumah membawaku pada kenangan saat mama masih ada. Tak lupa aku menuju taman belakang. Aku melihat masih ada beberapa jenis tanaman herbal yang dulu dipakai untuk pengobatan mama di sana. Sepertinya papa menambahkan gazebo kayu di sudutnya. Aku berjalan kesana dan duduk bersandar di tiangnya.

“Mungkin bagimu terlalu cepat atau papa seharusnya tidak usah menikah lagi, tapi sudah lama papa menunggu kepulanganmu. Seperti kehilangan mama, papa juga sedih saat kamu meninggalkan rumah. Ia sering menanyai kamu pada Ito.” terangnya.

Aku masih terdiam mencerna kata-kata Tante Yose.

I am really sorry, Daud. Tante minta maaf untuk semua hal yang sulit tante jelaskan, terkhusus tentang pernikahan kami.”

I feel blessed through our wedding and I thank God for my new family.

Aku mendengar suara Tante Yose bergetar di pernyataannya yang terakhir.

Aku tidak bersuara sama sekali. Aku sibuk mempertanyakan banyak hal dalam hatiku.

Adakah berkat Tuhan hadir untukku? Should I thank God for all these, like she does?

Dulu, duka kematian mama masih menyesakkanku saat aku juga harus kembali kecewa dengan pernikahan papa. Lalu, di mana Tuhan saat ini semua terjadi?

“Oh iya ini sudah lewat jam 5, kamu ikut ibadah Malam Natal kan, mang? Ibadah memang mulai jam 8, tapi biasanya ramai, karena banyak anak rantau sepertimu yang hadir.” Tante Yose mengingatkanku.

Aku meringis, tidak nyaman mendengar panggilan Tante Yose. Di tempatku, kadang orang Batak Toba memanggil anak lelakinya amang atau mang.

Aku kembali ke kamar meninggalkan Tante Yose tanpa kata, namun di hati aku terus menimbangi yang ia sampaikan.

Kuputuskan untuk tidak ikut ibadah. Hati dan pikiranku masih kacau. Kususun pakaian yang kubawa tadi di lemari. Tidak sengaja aku melihat tumpukan file-file lamaku. Ada rapot, buku tahunan saat kuliah dan beberapa berkas penting lainnya.

Aku terdiam melihat surat katekisasiku saat SMA. Aku membaca ayat alkitab yang menjadi peneguhan sidiku.

“Inilah perintahKu, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu,” (Yohanes 15:12).

Awalnya aku merasa ini hanya kebetulan atau karena aku lagi mellow. Namun aku coba membacanya kembali, merenungkan setiap kata demi kata.

Dulu saat peneguhan sidiku, papa dan mama membuat acara kecil-kecilan, mengundang beberapa kerabat. Ada juga penatua gereja yang sengaja diminta mama menjelaskan ayat peneguhan sidiku, katanya agar lebih kena di hati.

“Mengasihi, hal yang sering kita dengar bukan? Bentuk nyatanya juga banyak ya.” Penatua itu memulai penjelasannya.

Penuturannya ia lanjutkan dengan bercerita tentang penentuan ayat peneguhan sidi. Konon, pendeta akan berpuasa dan mendoakan si calon penerima sidi lalu membuka Alkitab dan menunjuk satu ayat dengan mata tertutup. Ayat yang ditunjuk akan menjadi ayat peneguhan sidi dari nama yang didoakan.

“Saat ini, kita belum tau bagaimana kehidupan Daud selanjutnya. Bisa jadi merantau, bertemu orang baru atau tetap tinggal di sini bersama orang-orang yang sudah dikenal. Ke depan, suasana dan mereka yang kamu temui bisa saja berganti, namun kasih-Nya bagimu tidak akan berubah. Ia mengasihimu dan dengan kasih-Nya itu juga, Daud diminta untuk selalu mengasihi ya nak,” tutupnya menepuk pundakku.

Aku memalingkan pandanganku ke luar jendela, berusaha menepis pikiranku. Hatiku berdebar tidak karuan. Aku lama termenung.

“Mengasihi sebagaimana aku dikasihi-Nya,” batinku mulai menyerah.

Aku mengingat kembali hari-hariku sejak kepergian mama. Aku mengakui saat itu aku hanya sibuk dengan pikiranku sendiri, hanya peduli pada lukaku sendiri. Aku lupa bahwa benar aku kehilangan mama tapi tidak dengan Tuhanku (Mazmur 27:10).

Perlahan, aku merasa Tuhan sedang menjelaskan kalut yang kurasa. Ia sepertinya menjawab aku yang meragukan penyertaan-Nya. Padahal, sebelum dan setelah kematian mama sekalipun, Tuhan tetap ada untukku. Kasihnya mengalir melalui orang-orang yang kutemui di perantauan bahkan lewat tante Yose dan Yosafat yang menemani papa dan Ito selama aku meninggalkan rumah.

Aku juga menyalahkan papa untuk semua hal yang terjadi bahkan tante Yose dan Yosafat. Aku alpa menyadari kalau papa juga berduka dan perlu dukungan. Harusnya aku belajar menerima keputusan papa dan tetap mengasihinya sebagaimana ia tetap ada bagiku. Terlebih dari itu karena Tuhan juga sudah dulu mengasihiku (1 Yohanes 4:19).

Dari depan, aku mendengar derit pintu, aku segera keluar kamar. Ternyata ada papa dan tante Yose yang akan berangkat ibadah.

“Eh, kamu ikut ibadah mang?” tanya tante Yose tersenyum kearahku.

Aku langsung memeluk papa dan tante Yose dalam diam dengan tubuh gemetaran. Kurasakan damai yang tidak bisa dideskripsikan saat di dekapan mereka.

Ahk, rasanya aku beruntung bisa memiliki sore tadi, suatu sore saat aku memutuskan pulang kampung.

Thank God, I found my way back home,” gumamku penuh syukur.

Soli Deo Gloria

Anak Bawang Tuhan

Oleh Antonius Martono

Percuma saja. Badanku sudah dibungkus dua selimut, tapi tetap saja dingin menggigil. Seolah-olah ada balok es yang tak dapat cair di dalam tubuhku sekalipun aku berupaya menghangatkan tubuhku.

Kala itu adalah malam yang panjang. Aku menderita masuk angin. Segala usaha pun telah kulakukan agar tubuhku segera merasa hangat kembali. Mulai dari meminum air hangat, menutup tubuh dengan selimut tebal, melaburi tubuh dengan balsam panas, tapi kehangatan yang diharapkan tak kunjung kurasa. Aku seperti kehilangan kemampuan untuk merasakan kehangatan kala itu. Dalam ringkuk tidurku di balik selimut, aku merenungkan kondisi fisik diriku ini. Bukankah kondisi seperti ini juga dapat terjadi dengan hatiku? Ada masa di mana aku “tidak dapat” merasakan kehangatan kasih Tuhan.

Dari dulu aku telah diajarkan bahwa Tuhan itu baik dan aku mempercayainya. Hanya saja bagiku kebaikan Tuhan bersifat eksklusif. Tidak semua anak Tuhan merasakanya secara melimpah termasuk aku. Memang benar aku adalah anak Tuhan, tapi aku memandang diriku sebagai anak bawangnya Tuhan. Jika seandainya Tuhan mau memberkati anak-anak-Nya, pasti aku akan kebagian paling akhir. Sebab Tuhan memprioritaskan berkatnya untuk anak-anak emasnya, sedangkan aku tidak masuk hitungan.

Aku menyimpulkan seperti ini berdasarkan kondisi keluargaku. Aku berasal dari keluarga broken home. Kedua orang tuaku pisah rumah saat aku berumur 15 tahun. Ibuku meninggal saat aku berusia 19 tahun yang membuatku menjadi seorang yatim piatu, sebab ayahku telah tiada 3 tahun sebelumnya. Sejak saat itu aku harus hidup berdua dengan adikku. Berdasarkan kondisi ini aku menyimpulkan bahwa Tuhan tidak mengasihiku seperti Dia mengasihi orang lain yang memiliki keluarga harmonis.

Kesimpulan ini berpengaruh terhadap caraku memandang Tuhan dan kehidupan. Aku jadi menaruh kecurigaan terhadap Tuhan. Aku kesulitan mendoakan pergumulan-pergumulanku sebab bagiku Tuhan tidak terlalu peduli. Aku merasa seperti berjuang sendiri dalam kehidupan ini dan Tuhan menjadi sosok penentu nasib yang harus kulawan. Aku seperti sedang adu kekuatan dengan Tuhan ketimbang bergantung kepada-Nya dan berusaha memenangkan pertandingan agar bisa hidup bahagia.

Dengan sikap seperti ini aku cenderung melihat kehidupan secara negatif. Aku iri dengan kehidupan teman-teman sebayaku dan menjadi orang yang mengasihani diriku sendiri. Aku juga menjadi sulit bersyukur atas berkat-berkat kecil di sekelilingku. Sehingga kebaikan yang aku terima dari orang di sekitarku pun kuanggap biasa saja. Seolah-olah ada atau tidak ada kebaikan itu pun tidak mempengaruhi hidupku. Toh, tidak ada yang berubah juga pada akhirnya. Padahal kebaikan-kebaikan tersebut mungkin adalah cara Tuhan menyatakan kehangatan kasih-Nya, tapi aku bergeming. Hatiku terlalu dingin terfokus pada kondisi keluargaku.

Aku tahu ini adalah pandangan yang tidak tepat tentang Tuhan. Aku ingin mengubahnya, tapi rasanya sulit. Sampai suatu ketika aku diingatkan oleh sebuah bagian dari buku rohani yang kubaca. Buku itu mengatakan bahwa untuk mengubah orientasi hati, kita perlu sadar bahwa kita telah, sedang, dan selalu dicintai Tuhan dengan dalam. Bukan sekadar dicintai melainkan dicintai dengan dalam.

Aku akhirnya tersadar bahwa selama ini Tuhan telah mengasihiku dengan dalam sekalipun lewat kebaikan-kebaikan kecil. Aku telah salah menilai kasih Tuhan. Aku menjadikan kondisiku sebagai sebuah indikator kasih Tuhan. Aku teringat sebuah ayat:

“Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” (Roma5:8).

Salib Kristus adalah bukti solid bahwa Tuhan mengasihiku dengan dalam. Bahkan Dia mengasihiku saat aku masih musuh Tuhan. Kalau Tuhan sendiri telah memberikanku anak tunggal emas-Nya, bukankah adalah perkara kecil bagi Tuhan untuk merawat masa depanku?

Kesimpulanku tentang Tuhan mencerminkan betapa sempitnya hatiku. Aku hanya mau dikasihi dengan satu cara, yaitu berubahnya kondisi kehidupanku secara drastis. Jika Tuhan tidak memberikannya maka benar aku adalah anak bawangnya Tuhan. Padahal Tuhan telah mengasihiku seumur hidupku. Kasih Tuhan begitu luas. Tuhan memiliki banyak cara untuk menunjukan kasih-Nya. Selama ini justru akulah yang membatasinya. Aku mengharuskan Tuhan menunjukan kasih-Nya sesuai ekspektasiku. Sehingga aku tak menyadari kehangatan kasih-Nya yang telah lama Dia berikan.

Setelah kuevaluasi kembali hidupku, ternyata Tuhan telah banyak menunjukan jejak kasih-Nya. Ekspresi kasih-Nya, sekalipun terlihat tidak sesuai kondisiku atau tidak menjawab doaku, tapi selalu melayani kebutuhanku. Selalu saja ada ekspresi kasih-Nya yang selama ini tidak aku sadari. Jika aku mampu bertahan sampai hari ini bukankah itu karena kasih-Nya? Jika aku dapat mengenal komunitas yang mendorongku untuk bertumbuh bukankah itu bentuk kasih-Nya? Jika aku dapat menikmati hubungan pribadi dengan Tuhan, bukankah itu bentuk kasih-Nya?

Perlahan pandanganku terhadap Tuhan dan kehidupan berubah. Aku menjadi pribadi yang lebih positif dan optimis dari sebelumnya. Aku berhenti mengasihani diri sebab aku tersadar bahwa kasih Tuhan yang dalam juga tertuju padaku. Sekarang aku lebih terbuka terhadap bentuk kasih dari Tuhan dan orang sekitarku. Aku bukanlah anak bawang Tuhan meskipun kondisi tidak seideal ekspektasiku.

Bagiku, ketika aku menyadari bahwa aku dikasihi oleh-Nya adalah kunci untuk mengubah cara pandangku melihat Tuhan. Aku yakin perubahan cara pandangku ini pun juga termasuk salah satu cara Dia mengasihiku.

Baca Juga:

Dilema Memutuskan Keluar Kerja di Tengah Pandemi

Meninggalkan pekerjaan yang telah kutekuni selama 15 tahun terasa berat, dan semakin berat ketika itu kulakukan di tengah masa pandemi.

Kita Tak Bisa Memilih untuk Lahir di Keluarga Mana, Tapi Kita Bisa Memilih Berjalan Bersama-Nya

Oleh Gabriel Angelia, Malang

Hari ulang tahun bisa dimaknai beragam. Bagi yang diberkati dengan relasi yang erat, mungkin hari ulang tahun adalah momen berbahagia ketika kerabat dan sahabat saling memberi semangat. Tapi, bagi yang mungkin berasal dari keluarga broken home dan tak memiliki kawan karib, mungkin hari ulang tahun tak ubahnya hari biasa.

Tanggal 16 Juni lalu, usiaku tepat 20 tahun. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya di mana aku merayakan hari jadiku bersama teman satu kelas di sekolah dulu, tahun ini terasa berbeda.

Empat tahun belakangan hubungan dalam keluargaku tidak baik. Tidak ada komunikasi di antara kami karena sifat ayahku yang semakin menjadi-jadi. Ayahku adalah seorang yang ringan tangan dan buruk dalam berkata-kata. Masalah-masalah sepele sering menjadi besar dan tak jarang ibuku yang malah disalahkan. Aku merasa berat tinggal di keluarga seperti ini. Meskipun keluargaku mengajakku makan bersama untuk merayakan ulang tahunku, tapi hatiku tak merasa senang. Aku kecewa lahir di keluarga seperti ini. Ucapan selamat dari teman-teman dan sahabat-sahabat pun rasanya hambar. Berat bagiku untuk mengatakan “terima kasih” pada mereka.

Karena kondisi keluargaku yang dirundung konflik, hampir setiap malam aku menangis. Aku merasa tak berdaya, tak bisa berbuat apa-apa selain berdoa. Aku pun merasa tak ada gunanya berbahagia di hari ulang tahunku. Tak ada gunanya orang lain datang ke rumahku dan mengucapkanku selamat. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk tidak memberi tahu teman-temanku bahwa tanggal 16 Juni adalah hari ulang tahunku. Aku mengunggah foto di media sosial tapi aku tidak menunjukkan kalau aku berulang tahun, padahal biasanya sejak aku berumur 17 tahun aku selalu mengupload foto ulang tahun dengan tagar #17AndBlessed, #18AndBlessed, #19AndBlessed.

Namun, di tengah kesedihan itu, ada hal yang membuatku tersentak. Upayaku untuk menyembunyikan hari ulang tahunku ternyata tidak berhasil. Tahun ini adalah tahun keduaku berada di sekolah Teologi. Hari ulang tahun tiap mahasiswa dipajang di dinding kampus, bersamaan dengan informasi-informasi studi lainnya. Teman-temanku mengetahui hari ulang tahunku. Ucapan selamat pun berdatangan. Aku yang tadinya merasa getir akan hidupku, terkhusus hari ulang tahunku, menjadi terharu. Tuhan memberiku kejutan!

Memasuki usia yang baru dengan angka yang berbeda adalah penanda akan perjalanan hidup yang menarik, yang Tuhan persiapkan bagiku. Aku mungkin pernah merasa hari lahirku sebagai sebuah kekecewaan, hari yang tak berguna, tapi di hari itulah sejatinya Tuhan berkarya. Tuhan mengirimku untuk lahir di dunia ini, di keluarga yang dirundung konflik. Mungkin sekarang aku belum tahu apa maksud Tuhan dari semua ini, namun sekelumit kesan di hari ulang tahun ini mengingatkanku bahwa dalam perjalanan hidupku, aku disertai-Nya. Aku memang tak dapat memilih untuk dilahirkan di mana, tapi aku dapat memilih untuk menjalani hidupku bersama Tuhan.

Tahun demi tahun ada banyak naik turun yang kualami. Tak mudah tumbuh besar di keluarga yang tak baik, ditambah lagi dengan keadaan pandemi yang kita semua hadapi di tahun ini. Namun syukur kepada Tuhan, berjalan bersama-Nya membuat hari-hari yang sulit bisa dilalui.

Tahun ini, another new milestone telah Tuhan berikan untukku.

Teruntuk kamu yang mungkin merasakan hal yang sama denganku, kiranya Tuhan meneguhkan hatimu.

Baca Juga:

Luka Karena Patah Hati Adalah Sebuah Perjalanan yang Mendewasakanku

Setelah lahir baru aku merasa mudah untuk mengampuni orang lain. Selalu kukatakan pada diriku sendiri bahwa pengampunan yang Tuhan berikan memampukanku untuk mengampuni orang lain. Namun, sepertinya itu hanya teori yang memenuhi kepalaku saja, tidak hatiku.

Masa Depanmu Tidak Ditentukan oleh Keadaanmu

Oleh Timothy Lee, Taiwan
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: 输在起跑线!那又如何?(有声中文)

Banyak orang percaya bahwa untuk mencapai kesuksesan, seseorang harus lebih unggul sebelum pertandingan dimulai. Artinya, peluangmu untuk “sukses” itu ditentukan oleh latar belakang keluargamu. Kalau kamu berasal dari keluarga yang beruntung, kamu punya peluang lebih besar untuk mencapai kesuksesan.

Aku berasal dari keluarga yang rumit. Ayahku adalah generasi ketiga dari sebuah kelompok kriminal, dan ibuku adalah seorang pecandu narkoba. Usia mereka masih sangat muda, dan segera setelah aku lahir, mereka memberikanku kepada orang lain untuk diadopsi.

Narkoba yang dikonsumsi ibuku selama dia hamil membuatku menderita banyak masalah kesehatan sejak aku lahir, salah satunya adalah ginjalku yang meradang saat aku baru berusia setahun. Karena itu, aku menghabiskan banyak waktuku di rumah sakit.

Di titik ini, mungkin kamu berpikir bahwa hidup anak ini memang ditakdirkan penuh tragedi. Namun, oleh kasih karunia Allah, mukjizat terjadi padaku. Sebuah keluarga Kristen yang mengetahui keadaanku memutuskan untuk mengadopsiku. Mereka memberi kesempatan kepada anak yang lemah dan sakit ini untuk menikmati masa kecil yang baik.

Bermula dari ketidakberuntungan

Aku pun memulai lembaran baru dalam hidupku. Tapi, aku segera menyadari bahwa “titik awal”ku bukanlah saat aku dilahirkan, tapi ketika aku masih berada dalam kandungan ibuku. Sekalipun lingkungan baruku menolongku bertumbuh secara pribadi, sesungguhnya masalah kesehatanku tidak berkurang. Sejak usia mudaku, aku bergantung pada penggunaan steroid (hormon untuk menjaga keseimbangan air dan mineral dalam tubuh) secara teratur untuk menangani penyakit ginjalku.

Selain itu, aku pun termasuk anak yang hiperaktif. Aku sering berlari-lari dan mendapat masalah. Walaupun keluargaku menghabiskan banyak uang dan waktu untuk menolongku, aku tidak bisa duduk diam dan belajar. Orang-orang dewasa di keluargaku jadi frustrasi. Tidak ada seorang pun yang berharap banyak untuk masa depanku.

Sebuah titik balik

Ketika aku berumur 13 tahun, aku mengalami masalah lain dengan ginjalku, dan ini adalah kondisi paling buruk yang pernah kualami. Perutku bengkak dan aku tidak bisa buang air kecil. Tubuhku pun terus kehilangan protein. Bahkan setelah sebulan aku dirawat di rumah sakit, para dokter tidak dapat menyembuhkanku. Mereka hanya merawatku dengan meningkatkan dosis steroidku. Dan, karena terus kehilangan protein, aku harus menjalani perawatan lain untuk mempertahankan kadar protein dalam tubuhku.

Ketika keadaanku sepertinya tidak ada harapan lagi, keluargaku membawa seorang pendeta dari gereja kami untuk mendoakanku. Keesokan harinya, aku mulai sembuh secara ajaib. Aku bisa buang air kecil secara natural, dan seminggu kemudian aku bisa keluar dari rumah sakit.

Setelah menjalani masa pemulihan selama dua tahun, dokter memberitahuku bahwa aku tidak perlu lagi menggunakan steorid, dan risiko penyakitku untuk kambuh kembali sangatlah rendah. Para dokter itu tidak pernah menemukan apa alasan di balik kesembuhanku yang tiba-tiba dan cepat, tapi aku ingat seorang perawat berkata kepadaku saat itu, “Tuhanmu telah menyelamatkanmu!”

Rencana Tuhan itu berbeda untuk semua orang; tidak semua orang akan melalui pengalaman yang dramatis sepertiku. Tetapi, pengalaman inilah yang menjadi titik balik dalam hidupku. Sejak hari itu, aku berubah. Aku mulai berdoa, mempelajari Alkitab, dan pergi ke gereja. Aku juga mulai mengubah karakterku, tidak lagi tergesa-gesa seperti dahulu. Tak lama kemudian, aku dibaptis sebagai orang Kristen dan mulai melayani di gereja. Tuhan berkata kepadaku bahwa hidupku adalah milik-Nya, dan karena Dia telah menebusku, maka aku melayani-Nya.

Ketika aku berumur 19 tahun, aku diterima di sebuah universitas yang baik di Hong Kong, dan bahkan melayani sebagai ketua himpunan mahasiswa. Meskipun saat aku kecil aku dipandang rendah, sekarang aku dikenal sebagai mahasiswa yang baik dan menjadi teladan. Perubahan ini semuanya adalah pekerjaan Tuhan.

Meskipun semua prestasi ini memberiku kedudukan yang lebih baik di mata dunia, bagiku ukuran kesuksesan yang paling penting bukanlah dipuji oleh manusia, melainkan menjadi kepunyaan kerajaan Allah—diakui oleh Allah sebagai anak-Nya dan ditopang oleh kasih-Nya yang tidak pernah berkesudahan.

Mengakhiri pertandingan dengan baik
Dulu aku adalah seorang yang tidak punya harapan dan masa depan. Aku bertahan hidup hanya karena obat-obatan. Namun, Tuhan tidak hanya memberikanku keluarga yang mau merawatku, menyembuhkanku secara fisik dan spiritual, tetapi juga memberiku hikmat dan kebaikan di mata manusia. Perubahan hidupku adalah saksi dari kebaikan Tuhan yang juga kita baca dalam Alkitab.

Teman, mungkin saat ini kamu merasa terbebani karena keadaanmu: Mengapa aku lebih buruk daripada yang lain dalam banyak hal? Mengapa aku tidak terlahir dengan kaya raya? Bagaimana aku bisa mewujudkan segala keinginanku kalau aku memulainya dengan sesuatu yang buruk?

Seiring aku bertumbuh dewasa, aku juga sering berkeluh kesah seperti itu. Namun, ada bacaan Alkitab yang menggerakkan dan mengingatkanku untuk tidak mengeluh tentang keadaanku:

“Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti, supaya jangan ada seorang manusiapun yang memegahkan diri di hadapan Allah.” (1 Korintus 1:27-29)

Setiap kali aku membaca ayat ini, hatiku dipenuhi rasa syukur—aku pernah dianggap rendah oleh dunia, tetapi Tuhan telah menebus hidupku melalui kasih karunia-Nya. Bahkan sejak aku berada dalam rahim ibuku, Tuhan menjagaku. Dia punya rencana dan tujuan untuk hidupku.

Jadi, ketika kita mengandalkan Tuhan, meskipun kita memulai pertandingan hidup ini dalam keadaan yang buruk, kita dapat mengakhirinya dengan baik. Tapi, itu tidak berarti bahwa kita tidak akan memiliki kesulitan dalam kehidupan kita. Jika hidupmu, seperti hidupku, dipenuhi kehancuran sejak awal dan kamu tidak ingin terus jatuh dalam pusaran tragedi, aku punya kabar baik untukmu—Tuhan dapat menebus hidupmu dan memenuhinya dengan harapan.

Jika ini adalah kerinduan hatimu, aku mengundangmu untuk berdoa seperti ini:

Tuhan,

Aku mengakui bahwa aku tidak dapat sepenuhnya mengontrol hidupku. Aku tidak dapat mengubah keadaan seperti latar belakang keluargaku. Tetapi aku tahu bahwa Engkaulah Tuhan yang sanggup menebus segala sesuatu.

Oleh karena itu, aku dengan rela menerima Engkau sebagai Tuhan dalam hidupku. Izinkan aku untuk mengalami perubahan yang berasal dari percaya kepada-Mu. Aku percaya, Engkau dapat menuntunku di jalan yang berbeda, karena Engkaulah pencipta yang memberikan makna dalam hidupku.

Tolonglah aku, agar aku tidak kehilangan diriku di tengah pengertian sukses menurut dunia dan pengakuan dari orang lain. Biarlah hidupku menjadi berharga dan bermakna karena persekutuan dengan-Mu. Amin!

Baca Juga:

Aku Menemukan Kepuasan di Tengah Keterbatasan Keuangan

Penghasilanku dan suamiku hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan bulanan. Kadang kami merasa Tuhan tidak adil. Namun, seiring aku semakin mengenal-Nya, aku sadar bahwa harta terbesar yang seharusnya kumiliki bukanlah uang.

Sebuah Pulang yang Mengubahkanku

Oleh Agustinus Ryanto, Jakarta

Sudah enam tahun terakhir aku tinggal jauh dari rumah karena merantau. Seringkali aku merasa homesick. Tapi, karena latar belakang keluargaku yang broken, pulang bukanlah pilihan yang mudah setiap kali aku merasa homesick.

Sejak aku memutuskan studi dan bekerja di luar kota, hubungan antara ayah dan ibuku berguncang. Ayah yang belum mengenal Tuhan menduakan ibuku. Dia menikahi perempuan lain. Ketika ibuku memberitahuku hal ini, dia menangis, sebab dia bukan hanya kehilangan Ayah, melainkan juga harta benda hasil jerih lelah yang dia upayakan bersama ayahku sejak awal menikah dulu.

Aku tidak tahu harus merespons apa terhadap permasalahan ini. Yang kutahu adalah aku kecewa pada ayahku. Aku harus kuliah sebaik mungkin supaya bisa segera bekerja dan tidak lagi bergantung secara finansial kepadanya. Singkat cerita, Tuhan mengabulkan keinginanku. Aku lulus tepat empat tahun dan diterima bekerja sebelum aku diwisuda.

Setelah bekerja, jarak antara kota tempat perantauanku dengan rumah sebenarnya tidak begitu jauh. Tapi, aku tidak bersemangat untuk pulang. Aku malas jika harus bertemu muka dengan ayahku. Kalaupun aku pulang, motivasi utamaku hanyalah untuk bertemu dengan teman-teman sekolahku dulu.

Sebuah pulang yang tidak terduga

Menjelang libur Imlek yang jatuh di hari Jumat bulan Februari lalu, kantorku memberi kebijakan kepada stafnya untuk pulang kerja lebih cepat di hari Kamis, supaya beberapa staf yang merayakan Imlek bisa bersiap-siap.

“Wah, lumayan, long-weekend nih,” aku bergumam. Aku sudah beride kalau di libur panjang akhir pekan itu aku tidak akan pulang ke rumah. Aku mau beristirahat saja di kos.

Tapi, entah mengapa, aku merasa hatiku tidak tenang. Hati kecilku seolah berbisik, “Ayo, pulang, sebentar saja. Mumpung masih ada kesempatan pulang, pulanglah.”

Jujur, aku enggan untuk pulang. Kutengok tiket kereta api, semuanya ludes. Kulihat tiket travel juga hasilnya sama.

“Masih ada bus kok, ayo pulanglah naik itu,” hati kecilku berbisik lagi.

Aku masih enggan, tapi setelah kupikir-pikir lagi, tidak ada salahnya dengan pulang. Kalaupun nanti aku tidak mau bertemu dengan ayahku, aku bisa pergi ke rumah temanku. Yang penting aku pulang dulu untuk bertegur sapa dengan ibuku, pikirku.

Di hari Kamis, selepas tengah hari, aku pun bergegas ke terminal bus. Setelah sembilan jam perjalanan, aku pun tiba di rumah.

Obrolan yang mengubahkanku

Karena hari itu adalah Imlek, ayahku pun pulang ke rumah. Menjelang tengah malam, saat aku sudah berbaring di kasur, aku mendengar langkah kaki ayahku. Dia berjalan menuju dapur dan bersiap memasak. Selama 25 tahun ini, keluargaku bertahan hidup dengan berjualan makanan yang kami olah sendiri. Ayahkulah yang bertindak sebagai koki utamanya.

Malam itu dia hendak menyiapkan bahan masakan untuk esok. Kutengok dari jendela, lalu aku berjalan menghampirinya. Aku tak tahu apa yang menggerakkanku untuk mendekatinya, karena biasanya aku selalu menghindar untuk mengobrol dengan ayahku.

“Loh, belum tidur kamu?” tanya Ayahku.

“Belum. Aku belum ngantuk.”

Gimana kerjaanmu sekarang?”

Aku terdiam. Pertanyaan ini aneh buatku. Selama enam tahun sejak aku merantau, Ayah tak pernah sekalipun datang menengokku atau sekadar bertanya bagaimana kabarku lewat telepon. Mengapa hari ini dia bertanya begitu padaku, aku jadi bertanya-tanya.

“Ya gitu aja. Senang sih. Tapi sedih karena kalau pulang kerja sepi, gak ada teman.”

“Tahun ini tahun kamu, shiomu kan anjing. Perhitungannya lagi bagus. Kalau kamu mau bikin bisnis sendiri, kamu bisa hoki. Kalau kamu kerja ikut orang, kamu bisa dapet tanggung jawab gede.”

Aku mengangguk meski aku tidak percaya pada hitung-hitungan shio semacam itu.

Bermula dari sekadar basa-basi, tanpa terasa, obrolan itu berlanjut. Aku dan Ayah berbicara tentang banyak hal. Selama enam tahun tak menjalin komunikasi dengannya, Ayah bertutur tentang perjalanan hidupnya, tentang usaha makanannya yang kini merosot, dan bagaimana dia kini terlilit utang karena dia belum bisa terlepas dari dosa judinya.

Setelah dia selesai bertutur, gilirankulah yang bercerita tentang bagaimana perjalanan hidupku di perantauan selama enam tahun. Malam itu, kami berdua untuk pertama kalinya saling berbagi kisah hidup. Saat jam sudah menyentuh angka dua dini hari, aku pamit kepada ayahku untuk tidur duluan.

Di atas kasur, aku tidak langsung tidur. Aku melipat tanganku. Aku tidak percaya bahwa aku bisa duduk berdua dan mengobrol dengan ayahku. Bahkan, dia dululah yang memulai pembicaraan denganku. Melalui obrolan malam itu, aku merasa Tuhan sepertinya menegurku.

Jujur, sejak aku mendengar kabar tentang ayahku yang menikah lagi, aku tidak lagi mendoakan keluargaku pada Tuhan. Kupikir sudah jalan takdirnya keluargaku broken, dan biarlah itu broken sampai akhirnya. Tapi, hari itu ada lilin harapan kembali yang menyala dalamku. Ayahku belum mengenal Tuhan Yesus, dan mungkin inilah yang membuatnya gegabah dalam mengambil langkah kehidupan.

Aku mungkin kecewa dan memutuskan tidak ingin menjalin relasi lagi dengan Ayah. Tapi, aku sadar bahwa bagaimanapun juga, dia adalah ayahku. Terlepas dari status pernikahannya sekarang, yang kutahu tidak pernah ada istilah mantan ayah ataupun mantan anak. Ikatan keluarga itu bersifat permanen. Dan, jika bukan aku yang mulai membuka hati untuk mendekati Ayah, dengan apakah Ayah akan mengenal Tuhan dan diselamatkan? Aku mengimani firman Tuhan yang berkata: “Percayalah kepada Tuhan Yesus Kristus dan engkau akan selamat, engkau dan seisi rumahmu” (Kisah Para Rasul 16:31).

Sekarang aku selalu mendoakan ayahku dan beriman bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik untuk Ayah dan ibuku. Aku percaya bahwa meski keluargaku broken, Tuhan bisa menggunakannya untuk kebaikan, seperti ada tertulis bahwa Allah bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia (Roma 8:28). Dan, imanku perlu diwujudkan dalam perbuatan-perbuatanku sebagaimana firman-Nya berkata: “Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati” (Yakobus 2:26). .

Jika dulu aku pernah mengeluh bahwa Ayah bukanlah ayah yang baik karena tidak pernah mau menjalin komunikasi denganku, kini aku belajar untuk inisiatif duluan berkomunikasi dengannya. Aku mengiriminya SMS, menanyakan kabarnya. Walau dia kadang lama membalasnya dan tidak mengangkat teleponku, kucoba terus lakukan itu. Hingga akhirnya dia pun mau meluangkan sedikit waktunya untuk menjalin komunikasi denganku. Dan, jika dulu aku selalu enggan untuk pulang, kini aku belajar meluangkan waktuku untuk pulang barang sekali dalam beberapa bulan.

Kalau aku mengingat kembali masa di mana aku enggan pulang dulu, aku tak menyangka bahwa kepulanganku di hari Imlek itu dipakai Tuhan untuk mengubahkanku terlebih dulu. Lewat obrolan hangat dengan Ayah, aku jadi mengerti bahwa sesungguhnya peluang komunikasi itu masih terbuka dan harus dirajut. Aku percaya bahwa sebelum keluargaku diubahkan, Tuhan mau akulah yang berubah terlebih dulu. Dia ingin aku tidak lagi memandang ayahku sebagai sesosok yang membuatku kecewa, tapi sebagai seorang di mana aku harus menyatakan kasih Kristus kepadanya.

Kawan, aku tahu kisahku ini belum selesai. Tapi aku percaya bahwa Tuhan masih terus berkarya dalam keluargaku.

Apabila ada di antara kamu yang mengalami keretakan keluarga dan pergi menjauh, aku berdoa kiranya Tuhan memberimu kedamaian hati supaya kamu pun dimampukan untuk pulang barang sejenak dan menjangkau keluargamu dengan kasih.

Baca Juga:

Pelajaran Berharga dari Penyelamatan 13 Pemain Bola di Thailand

Penyelamatan 13 orang yang terperangkap di dalam gua di Thailand adalah misi yang dramatis dan berbahaya. Ketika misi ini berakhir sukses, ada satu hal yang membuatku terperangah dan mengingatkanku akan sebuah pengorbanan terbesar yang pernah dilakukan untuk umat manusia.