Posts

Memaknai Ulang Pergumulan Hidup yang Beruntun

Oleh Elvira Sihotang, Balikpapan

Waktu kuliah dahulu, aku pernah berpikir bahwa hidup itu mirip dengan sekolah. Setelah ujian dilewati, maka hanya akan ada hari-hari penuh pelajaran yang normal. Analogi itu aku bawa ke dalam kehidupan. Aku mengira bahwa kesulitan atau persoalan berat dalam hidup laksana ujian yang diadakan setelah beberapa bulan; UTS setelah 2.5 bulan dan UAS setelah 5-6 bulan.

Sebenarnya analogi tersebut tidak sepenuhnya salah, namun saat berkuliah dulu, aku tidak memandang analogi itu secara penuh. Sehingga saat aku mendapati masalah kedua tanpa jeda yang cukup dari masalah pertama, hatiku meronta-ronta berteriak. Bertanya mengapa Tuhan tidak memberikan sedikit waktu untuk bernafas. Lebih parahnya, dulu aku pernah memandang jika masalah yang terlampau berat itu telah diberikan, maka sesudahnya akan muncul pelangi tak berkesudahan sebagai reward atas perjuangan kita menghadapi masalah yang sebelumnya.

Semua pandangan itu akhirnya harus kurombak ulang ketika aku mulai menghadapi berbagai pergumulan yang tidak ada jedanya. Waktu itu aku baru saja terkena dampak pengurangan karyawan dan harus meninggalkan lingkungan kerja yang cukup suportif, setelahnya aku dibuat bimbang dengan keputusan untuk pivot (berganti) bidang pekerjaan atau linear dengan pekerjaan sebelumnya. Setelah akhirnya memutuskan ke tempat yang baru, ada saja kerikil-kerikil di depan kaki. Entah perkara dengan budaya lingkungan kerja yang sepenuhnya baru sampai pada mengatur pendekatan dengan atasan dan rekan kerja. 

Saat hari-hari itu terjadi, pagi dan sore kulalui dengan selipan omelan-omelan yang berisi keluhanku akan hidup. Aku merasa tak mendapat waktu untuk tenang sejenak, untuk menikmati hari-hari pasca layoff. Sering aku berpikir, waktu yang tenang adalah semacam reward dari Tuhan untuk kita yang telah berhasil melewati pergumulan tersebut. Persis seperti liburan panjang di mana kita bebas melakukan yang kita suka setelah berbagai macam ujian harian, PR, ujian tengah semester, atau ujian akhir semester. 

Pergumulan ini aku bawa selama berbulan-bulan, atau mungkin sudah hampir setahun. Lewat beberapa renungan, khotbah pendeta yang menyinggung hal ini, dan bahkan percakapan dengan teman, aku sampai pada beberapa poin yang bisa menjawab pergumulan ini.

1. Pergumulan sehari-hari sejatinya adalah salib kita

Sejauh ini, memikul salib dalam Lukas 9:23 kumaknai hanya sebagai suatu penderitaan besar yang dialami orang-orang tertentu, seperti mereka yang sedang berjuang beradaptasi ketika berpindah keyakinan menjadi Kristen. Ternyata, makna memikul salib tidak melulu harus seberat itu. Memikul salib bisa kita temui dalam hal sepele yang mungkin sering terjadi, seperti menahan diri agar tidak resign demi tercukupinya kebutuhan dahulu, menahan amarah ketika jalanan macet padahal kamu harus tiba di waktu tertentu, memaafkan kesalahan orang-orang yang terlampau menyakiti hati, tidak iri dengan teman dan hal-hal lain yang mungkin membutuhkan kebesaran hatimu. Pergumulan kita sehari-hari adalah salib yang ternyata harus kita tanggung dengan sabar dan penuh pengharapan. Kenyataannya, memikul salib menjadi sebuah kewajiban dasar saat kita mengaku sebagai umat Kristen. Jelas dalam Lukas 9:23 dikatakan bahwa jika kita ingin mengikut Tuhan, maka ia harus memikul salibnya setiap hari. Ibaratnya, memikul salib itu sudah satu paket dengan menjadi Kristen. 

2. Pergumulan adalah cara agar kita berserah terus menerus pada Tuhan

Apa sih yang kita lakukan ketika menemukan masalah saat hidup lagi tenang-tenangnya? 

Jika sebelumnya kita rajin berdoa dan saat teduh, aku yakin maka kemungkinan besar kita akan memperkuat doa dan persekutuan kita dengan Tuhan. Namun jika sebelum masalah itu datang kita berada dalam keadaan yang on-off atau cenderung off dalam menjalin relasi dengan Tuhan, maka aku juga yakin lama kelamaan kita akan datang kepada Tuhan untuk meminta pertolongan-Nya. Kadangkala, pergumulan bisa ‘diciptakan’ Tuhan untuk menguji iman kita, seberapa gigih kita mengesampingkan pengertian kita dan akhirnya berserah kepada Tuhan. Mari kita ambil satu contoh pergumulan yang kita semua pernah alami: Pandemi.

Waktu pandemi terjadi, kita semua kelimpungan. Pedagang mengeluhkan omset yang menurun, pelajar yang bosan setengah mati karena pembelajaran online, guru yang menguras otak untuk menciptakan cara baru dalam mengajar online, teman-teman yang bosan akan anjuran di rumah selama berbulan-bulan walau sudah ada Zoom untuk bertemu ria dengan teman-teman lain, dan pergumulan-pergumulan lain.

Kita jenuh dan bertanya-tanya sampai kapan pandemi ini berlangsung, namun sayangnya tidak ada yang tahu dan bahkan beberapa prediksi pun melenceng. Saat itu, aku mengingat seorang sanak keluarga yang mengatakan bahwa tugas kita hanya mengusahakan yang telah dianjurkan dan menunggu harap pada Tuhan. Jelas teringat bahwa ia menganalogikan kita dan pandemi ini seperti bangsa Israel di padang gurun. Mereka mengembara 40 tahun di tanah asing. Menyedihkan, namun kita, umat Tuhan yang sekarang membaca kisah itu, tahu persis bahwa Tuhan bersama mereka selama 40 tahun itu lewat roti manna yang turun dan mukjizat-mukjizat lain. Jika Dia mengizinkan pandemi ini terjadi, maka Tuhan pulalah yang membantu kita melewati pandemi ini dalam segala pengalaman pribadi kita yang terjadi.

Sama seperti contoh pandemi ini, lewat pergumulan apapun yang terjadi, Tuhan siap sedia mendampingi dan menuntun kita, asalkan kita pun mau datang meminta kepada-Nya.

3. Pergumulan adalah natur selama kita hidup dan proses pembentukan diri

Sering kudengar nasihat yang mengatakan bahwa jika tak ada lagi masalah, berarti kita sudah tidak lagi hidup di dunia alias mati. Sehingga menemui masalah semasa hidup adalah sebuah kepastian. Pergumulan-pergumulan tersebut adalah hal yang membuat kita bertumbuh. 

Pernahkah kamu mendengar cerita klasik tentang ikan yang ketika diberi predatornya dalam akuarium ia menjadi lebih gesit dalam berenang? Hal itu mirip dengan kehidupan kita. Kadangkala, pembentukan diri menjadi lebih baik terjadi lewat pergumulan-pergumulan dalam hidup kita. Lewat kesulitan-kesulitan dalam pekerjaan, aku menemukan insight tentang menghadapi karakteristik orang-orang tertentu yang akhirnya bisa kugunakan di pengalaman selanjutnya. Lewat kesulitanku tinggal dalam ruang kamar kos yang tidak cukup luas, aku belajar skill baru untuk menata barang-barangku. Jika tampaknya pergumulan itu terlalu merepotkan dan menyusahkanmu, maukah kamu mengambil waktu sejenak dan mencoba menemukan 1 hal saja dari pergumulan ini yang bisa menjadi manfaat bagimu kelak?

Ada masa di mana aku rutin bersaat teduh dan berdoa dan ada saat di mana aku enggan untuk membuka Alkitab. Aku menyadari bahwa ada perbandingan yang khas dalam dua masa itu. Biasanya saat dalam pergumulan, aku akan lebih banyak merasa overthinking ketika aku sedang tidak rutin berdoa. Tentu ada pergumulan yang datang dalam masa-masa rutin berdoa, namun ketika pikiran-pikiran tersebut datang menghampiri, aku bisa lebih baik mengobservasinya dan memilah-milah mana yang benar-benar perlu dipikirkan, mana yang tidak. Istilah kerennya, aku bisa lebih mindful ketika sedang dekat dengan Tuhan dan itu lebih baik dalam membantuku menavigasi pergumulan.

Satu hal yang perlu kita terima, bahwa perasaan sedih kita saat pergumulan datang adalah hal yang valid, tapi aku yakin, Tuhan yang mengawasi kita selalu berharap bahwa dalam pergumulan itu kita akan selalu mengingat-Nya dan meyakini, Tuhan jugalah yang membantu kita untuk menghadapi pergumulan itu. Mengutip Roma 5 : 4-5: 

“Dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.”

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Solusi Bagi yang Lemah Niat: Meminta Hati yang Baru

Oleh Ernest Martono, Jakarta

Bulan Januari sudah habis dan sudah berapa banyak janji yang gagal kita tepati?

Hampir setiap awal tahun kita membuat resolusi tapi, banyak yang gagal melakukannya. Kita frustasi menghadapi diri kita yang lemah niat. Kita berusaha mencari jalan keluar dan pertolongan. Kita mencari tutorial, membaca tips-tips, termasuk mendengarkan kata-kata motivator.

Kebanyakan dari self-help tersebut mendorong kita untuk berjuang lebih keras. Pasang banyak strategi: pakai pengingat, tulis di catatan, cicil target, dan masih banyak lagi. Namun, entah kenapa masih banyak target yang meleset. Banyak yang mengusulkan untuk menemukan driving force. Namun, seperti apa wujud kekuatan tersebut? Bagaimana mendapatkannya?

Sewaktu aku melihat resolusi yang tersebar di sosial media, ada kesamaan dengan resolusi dengan yang kubuat. Aku mulai bertanya resolusi apa yang harus dibuat oleh orang percaya? Jangan-jangan resolusi yang kubuat tidak ada bedanya dengan apa yang dunia cari. Mendapatkan pekerjaan yang lebih bagus, menikah, mendapatkan pendapatan lebih banyak, mengurangi berat badan, tidak lagi mau datang terlambat, itu semua adalah hal baik hanya saja semua itu pun dicari juga oleh orang-orang yang tidak mengenal Allah.

Lantas bagaimana seharusnya orang percaya membuat resolusi?

Di tahun 2022 lalu ada sebuah kejadian viral, seorang nenek ditendang oleh anak-anak sekolah. Banyak pihak merespons ini, tapi ada satu komentar seorang podcaster yang menarik perhatianku. “Karena semakin banyak anak-anak kayak gitu, semakin kecil saingan kamu untuk menjadi orang sukses,” demikian komentarnya. Aku mulai berpikir, kalau seandainya menendang seorang nenek akan diganjar hadiah sebesar 1 milyar, akankah orang akan melakukannya? Apakah tidak menendang seorang nenek hanya agar menjadi orang sukses? Aku rasa ada alasan yang lebih baik daripada sekedar menjadi orang sukses.

Namun, sayangnya ketika kita membuat resolusi, kebanyakan dari kita membangun gambaran ideal serupa dunia. Banyak motivator yang mendorong kita untuk menjadi orang sukses, tapi itu bukan segalanya. Gambaran ideal yang kita kejar tersebut berasal dari keinginan hati kita. Keinginan inilah yang memberi kita motivasi untuk membuat resolusi dan mengerjakannya. Masalahnya adalah hati kita telah dinodai oleh dosa, sehingga perbuatan yang sekalipun terlihat baik dapat dimotivasi oleh keinginan egois. Lihat saja contoh di atas tadi. Mengapa tidak menendang seorang nenek? Karena tindakan seperti itu menghalangi saya menjadi orang sukses. Jadi sebenarnya yang dikejar adalah sebuah pamrih kesuksesan.

Jarang sekali kita memiliki resolusi untuk memiliki hati dan keinginan yang baru, keinginan yang telah dikuduskan Tuhan. Kalau kita mau jujur, sebenarnya kita tidak mau punya keinginan sama seperti yang Tuhan inginkan. Hati kita begitu lemah dan mandul untuk mengikuti keinginan hati Tuhan. Dosa telah melumpuhkannya. Oleh sebab itu Tuhan berjanji:

“Aku akan memberikan mereka hati yang lain dan roh yang baru di dalam batin mereka; juga Aku akan menjauhkan dari tubuh mereka hati yang keras dan memberikan mereka hati yang taat” (Yehezkiel 11:19).

Ayat ini merupakan sebuah penghiburan bagi kita. Hati yang baru bukanlah sebuah hal yang harus kita usahakan. Itu adalah sebuah pemberian dari Tuhan. Tangan Tuhan sendiri yang akan mengusahakannya untuk kita. Kita dibentuk Tuhan menjadi manusia yang baru dengan keinginan-keinginan yang baru. Ini adalah identitas kita. Bagian kita adalah menghidupi manusia baru tersebut.

“Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang” (2 Korintus 5:17).

Jadi ketika kita menuliskan resolusi di tahun ini coba tanyakan sebagai seorang manusia baru, apa yang seharusnya aku inginkan? Apa yang seharusnya aku kejar? Apakah resolusi yang aku buat sesuai dengan gambaran manusia baru atau justru sama persis dengan yang dunia tawarkan?

Menuliskan resolusi bukan hanya sekadar menuliskan janji. Dari janji yang kita buat itulah kita bisa tau apa yang paling kita rindukan ada di dalam hidup kita. Apa yang paling kita cari dan berharga untuk hidup kita. Semoga kita bisa terus teliti memperhatikan isi hati kita dan mengarahkannya sesuai dengan keinginan Tuhan.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Tips Membawa Kembali SUKACITA di Rutinitas Sehari-hari

Kita sering berpikir kalau hidup yang bahagia itu selalu dipenuhi aktivitas yang asyik sepanjang waktu. Di media sosial kita melihat seseorang bersenang-senang dengan pasangannya, punya kantor yang asyik, atau jalan-jalan di kala senja bersama anjing kesayangan.

Kita memang tahu kalau media sosial tidak murni mencerminkan kenyataan, tapi tetap saja kita merasa minder dan membanding-bandingkan diri kita.

Ketika hidup tidak melulu menyajikan momen bahagia, ada hal-hal yang perlu kita tanamkan di pikiran supaya hidup kita lebih dipenuhi sukacita.

1. Ketahuilah bahwa sukacita itu lebih dari sekadar perasaan senang

Sukacita itu bukan cuma tentang momen penuh euforia, atau sesuatu yang baru atau senang sepanjang waktu. Bukan pula tentang berpura-pura bahagia padahal kamu sendiri sedang sedih.

Pemazmur menulis bahwa sukacita ditemukan dalam kehadiran Allah, dan di tangan kanan-Nya ada nikmat senantiasa (Mazmur 16:11). Jadi, ketika kita sungguh memikirkannya, sukacita ditemukan hanya dalam Allah. Kita ada di dalam-Nya dan diselamatkan dalam Yesus, tak ada yang dapat mengubah fakta itu. Inilah sukacita yang sejati ketika kita tahu apa yang jadi kebenarannya, sukacita yang tak ditentukan oleh kerapuhan atau kekecewaan.

Ketika kita dapat benar-benar memahami bagaimana sukacita datang dari Tuhan, maka perasaan kita tidak perlu menghalangi kita untuk mengetahui sukacita sejati.

2. Izinkanlah dirimu merasa bosan sesekali—itu bukanlah hal yang selalu buruk

Kadang hari-hari yang kita lalui terasa monoton, dan kita berpikir, “Oh, gak bener ini. Pasti ada yang salah di hidupku”. Kebanyakan dari kita ketika tiba di masa-masa jenuh, kita tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.

Kejenuhan bisa jadi kesempatan untuk beristirahat dan mengenali hal-hal kecil di sekitar kita–bunga yang mekar di taman belakang rumah, sekelompok bebek yang berenang di kolam, atau memandang takjub pada indahnya langit malam.

Di lain waktu, kejenuhan juga bisa jadi semacam kompas yang mengarahkan kita pada arti dan tujuan, serta mengingatkan kita untuk memikirkan ulang hal-hal yang telah (atau tidak) kita lakukan.

Tapi waspadalah, kejenuhan bisa juga menjebak kita untuk berlama-lama nonton Netflix atau sekadar bermain medsos. Mintalah Tuhan untuk menolong kita berproses dan menyelidiki kejenuhan ini. Apakah kita kurang bersyukur, atau ini kesempatan buat berkembang?

3. Coba sesuatu yang baru atau berbeda

Selain kerja, makan, dan tidur yang terus berulang kita bisa menjadikan hari-hari kita lebih berwarna dengan melakukan hal baru. Misalnya: kita ikut kelas mengajar, mengajak teman atau tetangga pergi makan, atau kalau kamu menikmati waktu-waktu sendiri, kamu bisa makan malam sendirian di restoran yang enak.

Mendorong diri kita untuk keluar dari zona nyaman dapat menolong kita memiliki perspektif yang lebih luas dan menyadari kalau ada banyak sekali hal yang bisa kita jelajahi. Kita bisa berinteraksi dengan orang dengan berbagai ide, melihat bagaimana mereka menghidupi hidup, dan mengembangkan skill baru.

Yang paling penting, kita tahu bahwa Tuhan ingin kita bertumbuh dan dewasa dalam karakter dan iman. Pertumbuhan itu baru bisa terjadi jika kita tidak anti dengan perubahan.

4. Bangun relasi yang berarti, yang gak cuma sekadar di media sosial

Kita sering terjebak dalam pekerjaan dan rutinitas yang lama-lama membuat kita lupa akan betapa berharganya relasi dengan teman dan keluarga.

Kita bisa mulai membangun kembali relasi dengan teman-teman lama, tapi ini bukan berarti kita tiba-tiba mengirimi chat ke semua kontak kita. Pilih dengan cermat siapa teman yang ingin kita jumpai dan kenal lebih dalam lagi. Kita bisa mengobrol lewat chat, lalu merencanakan agenda bertemu bersama entah untuk olahraga, atau makan bareng.

Pertemanan yang awet tidak dibangun hanya dengan chat yang panjang, jadi pastikan kamu tetap berinteraksi setelah chat kalian usai. Ayo bangun relasi yang berarti yang menguatkan satu sama lain (1 Tesalonika 5:11).

5. Pikirkanlah segala kebaikan yang Tuhan telah lakukan buatmu

Mungkin sekarang kita tidak sedang bersukacita. Kita lelah, khawatir, dan merasa sangat sulit untuk tersenyum lagi. Tuhan pun serasa jauh untuk menyelamatkan kita.

Namun, satu cara yang bisa menolong membawa sukacita kita kembali adalah dengan mengingat seberapa jauh Tuhan telah membawa kita. Jika kita merenungkan bagaimana Tuhan menolong kita saat kita putus dari pacar, gagal di ujian, dan sebagainya, kita mengingat kembali bahwa Dia selalu beserta kita dalam masa-masa yang tak pasti.

Mengingat akan kesetiaan-Nya akan membawa kita pada rasa syukur, yang datang berdampingan dengan sukacita (Mazmur 95:1-2, 1 Tesalonika 5:18). Allah yang dahulu menolong kita adalah Allah yang sama, yang hadir beserta kita.

Terakhir, sukacita sejati hanya ditemukan dalam Tuhan yang memenuhi kita lebih dari kelimpahan gandum dan anggur (Mazmur 4:7).

Adalah baik untuk selalu menantang diri kita bertumbuh. Temukan hobi baru, tumbuhkan relasi yang lebih erat dengan temanmu, atau sesekali belajarlah menerima rasa bosan dan jenuh agar kita mengingat lagi bahwa janji Yesus itu nyata. Sukacita sejati hadir ketika kita hidup selaras dalam kasih-Nya (Yohanes 15:10-11).

Apa yang Rutinitas Sedang Ajarkan Padamu?

Oleh Aldi Darmawan Sie

Baru-baru ini aku sedang membaca sebuah buku dari seorang teolog bernama James K.A. Smith yang berjudul “You are what you love”. Melalui buku ini, Smith banyak mengajarkanku tentang apa artinya rutinitas dan kaitannya dengan kecintaanku kepada Tuhan. Sadar atau tidak, ternyata ada kaitan yang sangat erat antara rutinitas dengan kecintaan kita terhadap suatu objek tertentu.

Smith meyakini manusia pada dasarnya adalah pecinta (human as a lover being). Manusia dari semula diciptakan Tuhan untuk mengasihi sesuatu. Pendapat ini sebetulnya sejalan dengan desain Tuhan bagi manusia yang tersirat di dalam Alkitab (Ulangan 6:4-5). Manusia pada mulanya memang diciptakan dengan kemampuan untuk mengasihi Tuhan dan mengalami kasih Tuhan. Namun, dosa membuat manusia cenderung menempatkan cinta terbesarnya kepada objek yang salah. Penyimpangan-penyimpangan kasih manusia terlihat ketika manusia memiliki sifat narsistik, terjebak dalam berbagai kecanduan, seperti pornografi, gemar belanja berlebihan (shopaholic), gemar kerja berlebihan (workaholic), dan sejenisnya.

Berbagai bentuk penyimpangan kasih di atas terbentuk dari rutinitas yang dilakukan setiap hari. Rutinitas yang kita lakukan berulang-ulang setiap hari, secara tidak sadar sedang membentuk kecintaan kita kepada suatu objek tertentu. Tanpa kita sadari, rutinitas kita membentuk sebuah “liturgi” dalam hidup kita, dan “liturgi” tersebut yang pada akhirnya membentuk kecintaan kita. Liturgi bisa dikatakan sebagai suatu aktivitas berulang yang sedang membentuk kecintaan kita kepada suatu hal. Bahayanya adalah “liturgi-liturgi” yang salah bisa menggeser kecintaan terbesar kita kepada Tuhan.

Belakangan ini, aku sendiri menyadari bahwa ada sebuah “liturgi” yang sedang bersemayam dalam diriku, yaitu kecanduan gawai. Sebelum tidur, secara otomatis aku bisa bersafari sekitar 1-2 jam di berbagai media sosial dan juga media belanja online. Setelah mengevaluasi diri, akhirnya aku menyadari bahwa aktivitas ini telah menjadi “liturgi” baru yang sedang membentuk kecintaanku. “Liturgi” ini membuatku menjadi orang yang haus dengan hiburan dan mencari kenyamanan diri. Aku bersyukur melalui buku Smith, Tuhan menolongku untuk mengidentifikasi dan mengatasi rutinitas yang menjadi “liturgi tandingan” sehingga membuatku tidak menempatkan kasih terbesarku kepada Tuhan.

Membangun kecintaan kepada Tuhan melalui rutinitas kita

Sulit memang untuk memangkas “liturgi-liturgi tandingan” yang sudah bercokol dalam hati kita. Itu karena “liturgi” tersebut sudah membentuk kecintaan kita. Namun, bukan berarti hal ini tidak bisa diatasi. Belajar dari apa yang Smith sampaikan dalam bukunya, kita juga bisa melatih hati kita untuk meletakkan kasih kita yang terbesar kepada Tuhan melalui rutinitas kita. Untuk mewujudkannya, perlu adanya upaya intensional dan rutin.

Kita bisa mengidentifikasi apakah ada rutinitas kita sehari-hari yang saat ini sedang menjadi “liturgi tandingan” yang menggeser kecintaan kita kepada Tuhan. Setelahnya, kita bisa minta Tuhan menolong kita agar mengarahkan hati kita kembali kepada kasih-Nya. Sama halnya seperti yang tertulis dalam 2 Tesalonika 3:5: “Kiranya Tuhan tetap menujukan hatimu kepada kasih Allah dan kepada ketabahan Kristus.”

Jikalau pandemi membuat rutinitas kita berantakan, kita bisa membangun kembali kebiasaan kita untuk bersaat teduh dan berdoa setiap hari. Kedua aktivitas ini sering kali terkesan sepele. Akan tetapi, jika keduanya dilakukan dengan rutin, akan sangat menolong kita menumbuhkan kecintaan kita kepada Tuhan.

Di tengah masa pandemi yang belum usai, aku juga bersyukur karena Tuhan sebenarnya membuka banyak kesempatan untuk semakin mengenal dan mengasihi Tuhan. Salah satunya ialah melalui berbagai renungan, khotbah dan puji-pujian yang bisa kita akses dengan mudah dari media sosial. Selain itu, saat ini juga tersedia banyak aplikasi-aplikasi Alkitab yang juga dapat menolong kita membuat jadwal rutin untuk membaca Alkitab. Tuhan menolong kita untuk semakin mengasihi-Nya di dalam dan melalui kehidupan kita.

Menemukan Kepuasan di Tengah Rutinitas Sehari-hari

Oleh Matthew Geddes
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Finding Fulfillment In The Daily Grind

Setelah beberapa malam kurang tidur, aku kembali ke depan komputerku dan menyiapkan hariku. Aku duduk di lantai dasar. Gelap dan dingin. Aku merasa lelah. Kupikir aku butuh satu atau dua cangkir kopi.

Di momen itu, aku bertanya kepada diriku sendiri, “Apakah hidup cuma begini-begini saja?” Aku berharap aku ada di luar ruangan, diterpa sinar matahari yang hangat di salah satu tempat favoritku: di pegunungan, dikelilingi oleh keindahan ciptaan-Nya. Ayat Alkitab yang sering kudengar di banyak khotbah, seperti “mengucap syukurlah dalam segala hal” (1 Tesalonika 5:18) terasa jauh dan samar, ibarat musim panas yang kehadirannya masih sangat lama di tengah musim dingin.

Lalu aku melanjutkan aktivitas dengan Zoom-meeting bersama teman-teman kerjaku. Satu temanku sedang marah dengan komputernya yang jadi musuh bebuyutannya. Temanku yang kedua sedang frustasi dengan platform hosting untuk acara virtual kami. Temanku yang ketiga hanya diam. Dia sedang dirumahkan sementara dari pekerjaannya dan sangat bergumul.

Seiring aku melihat pergumulan pelik dari masing-masing temanku, aku jadi terbangun. Aku bisa melanjutkan hariku dengan setengah mengantuk, memfokuskan diri pada apa yang aku ingini, dan mungkin tak akan ada yang tahu perbedaannya kecuali Tuhan. Atau, daripada aku berandai-andai sedang berada di mana, aku bisa sungguh hadir di meja kerjaku dan memuliakan Tuhan dengan sepenuh hati bekerja untuk-Nya (Kolose 3:23).

Aku teringat sebuah penelitian yang digagas oleh Amy Wrzeniewski di sebuah rumah sakit. Dia mengidentifikasi beberapa pekerja harian (seperti petugas kebersihan, dsb) yang bekerja melampaui tugas-tugas rutin mereka. Satu pekerja yang bekerja di unit pasien yang mengalami koma, secara rutin mengganti hiasan seni di dinding supaya pemandangan yang berbeda tersebut merangsang perkembangan otak si pasien. Pekerja yang lain akan menemui dan membimbing keluarga pasien dari pintu masuk rumah sakit sampai ke ruangan pasien dirawat. Tidak seperti pekerja harian lainnya, para pekerja ini melihat diri mereka sebagai bagian integral dari tim medis yang berkontribusi untuk menyembuhkan dan memulihkan para pasien.

Apa yang bisa kita pelajari dari para pekerja rumah sakit ini? Mereka melihat melampaui batasan-batasan rutinitas harian, yang banyak orang mungkin melihat pekerjaan mereka sebagai pekerjaan yang kasar atau remeh. Namun, mereka mampu mengkoneksikan pekerjaan remeh tersebut dengan sesuatu yang jauh lebih besar—mereka punya tujuan yang menggerakkan apa yang mereka lakukan.

Bagaimana kita dapat mengaplikasikan pola pikir ini ke dalam pekerjaan atau studi kita, atau ketika kita mendambakan seharusnya kita bekerja di tempat lain? Untuk menjawabnya, kita perlu mengingat bahwa pekerjaan kita bukanlah tentang kita. Tuhan punya tujuan yang lebih besar daripada sekadar membuat kita senang; kita dipanggil untuk menghidupi hidup yang memancarkan kebaikan-Nya (Matius 5:16). Mengingat kebenaran ini dapat menolong kita. Ketika tantangan dan pergumulan meradang, kita bisa memberi ruang bagi Tuhan untuk memimpin kita percaya pada-Nya.

Kedua, adalah sangat menolong apabila kita bisa mengaitkan apa yang kita lakukan dengan bagaimana itu dapat berdampak bagi orang lain. Untuk menolong kita melakukan ini, penulis Emily Esfahani menyarankan kita untuk mengambil pekerjaan rutin dan bertanya pada diri kita sendiri, “Kenapa aku melakukan ini” sebanyak tiga kali. Saat kita melakukan ini, kita kemudian akan menemukan bahwa apa yang kita kerjakan membawa kebaikan bagi orang lain. Seperti yang Bryan Dik dan Ryan Duff catat (mereka berdua penulis dari buku Make Your Job Your Calling), hampir setiap pekerjaan, apa pun itu, memberi perbedaan di hidup orang lain jika kamu sungguh-sungguh memikirkannya.

Sebagai contoh, aku menelaah ratusan resume dari mahasiswaku. Menerapkan saran dari Emily, jawabanku adalah “supaya mahasiswaku bisa mendapat pekerjaan yang sepadan dari studi yang telah mereka lalui dengan upaya keras.” Jawaban akhirku jauh lebih berarti dan memotivasi bagiku karena aku bisa melihat lebih jelas dampak dari aktivitasku bagi orang lain. Itu menolongku untuk berpindah dari sikap aku “harus” bekerja dengan segenap hatiku, menjadi aku “mau” bekerja dengan segenap hatiku (Kolose 3:23).

Terakhir, kita bisa mengambil aksi yang kecil tetapi jelas untuk membuat hidup seseorang lebih baik seperti yang dilakukan oleh para pekerja di rumah sakit di atas. Sikap seperti ini tidak hanya Alkitabiah (ingat kisah Orang Samaria yang baik hati di Lukas 10:30-37), melakukannya menolong kita untuk meningkatkan rasa puas kita terhadap apa yang kita kerjakan. Kepuasan itu bisa datang dari hal yang remeh seperti mendengarkan rekan kerjamu ketika mereka curhat, atau tersenyum kepada seseorang yang kepadanya kamu memberikan secangkir kopi.

Seiring aku mendapati tindakan seperti ini dapat memberikan emosi positif bagiku dan orang lain, yang paling penting adalah: membagikan kebaikan bagi orang lain mengingatkanku akan betapa Tuhan sudah baik bagiku, dan itu memuliakan-Nya.

Di dalam pekerjaanku sendiri, mengingat mengapa aku bekerja tidak hanya meningkatkan kepuasanku, tetapi juga menguatkan relasiku dengan sesama rekan kerja, dan menolong orang lain untuk melihat orang Kristen lebih positif, terkhusus di lingkungan yang tidak ramah terhadap kekristenan.

Jika kelak kamu mendapati dirimu bertanya “mengapa aku melakukan ini?”, bergabunglah bersamaku untuk mengingat para pekerja kasar di rumah sakit, yang banyak orang menganggap pekerjaan mereka itu remeh, tetapi mereka menjadikan apa yang remeh itu sebagai kesempatan untuk menciptakan perbedaan. Kemudian, tanyalah Tuhan, “apa yang bisa kupikirkan dan kulakukan secara berbeda untuk memuliakan-Mu?” dan lihatlah kesempatan-kesempatan yang Tuhan bukakan buatmu.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Tembok Bata dari Jaring Laba-laba

Ketika seorang tentara berdoa memohon tembok bata untuk melindunginya dari musuh, Tuhan malah menjawabnya dengan mengirim seekor laba-laba. Apa yang terjadi setelahnya?

Bosan Tidak Selalu Jadi Pertanda untuk Berhenti

Oleh Santi Jaya Hutabarat, Medan

“If you are tired, learn to rest, not quit.”

Pesan di atas kuterima di bulan keenam tahun 2018 dari seorang teman dekat yang mengetahui keputusanku untuk mengundurkan diri dari kepengurusan organisasi pelayanan intern-kampus. Jenuh merupakan faktor utama yang mendorongku untuk memutuskan mundur dari koordinasi yang seharusnya kuselesaikan hingga bulan Desember di tahun yang sama.

Sebagai pengurus, aku dan kesembilan teman dalam koordinasi biasanya memiliki jadwal yang padat. Selain karena kami juga masih menjalani rutinitas kuliah, kegiatan di organisasi dengan visi pelayanan “murid yang memuridkan kembali” tersebut juga terbilang cukup padat. Kegiatan dalam Kelompok Kecil yang merupakan ujung tombak dari pelayanan tak boleh luput dari pantauan kami sebagai motor organisasi di tahun itu. Begitu juga dengan kegiatan lain seperti persiapan ibadah yang biasanya dilakukan 2 kali sebulan, jam doa puasa, pelatihan untuk meningkatkan keterampilan anggota organisasi yang masih mahasiswa hingga harus menjalin komunikasi dengan keseluruhan anggota baik alumni maupun mahasiswa melalui sharing ataupun via daring serta mengadakan pertemuan untuk regenerasi kepengurusan di tahun mendatang.

Hampir setiap malam kami harus bertemu di rumah sekretariat, terkadang kami juga harus sampai begadang karena susah mencocokkan jadwal kosong di siang atau sore hari. Aktivitas yang di awal membuatku bersemangat perlahan berubah menjadi rutinitas yang berlalu tak berbekas ataupun bermakna. Di bulan keenam, kuberanikan diri bercerita dengan seorang teman yang juga pernah mengerjakan kepengurusan. Walau berbeda kampus namun aku percaya dia bisa jadi tempat berbagi.

“Mengapa kemarin mau menerima pelayanan itu?” Pertanyaan pertama darinya membuatku mengingat kembali momen ketika PKK-ku (Pemimpin Kelompok Kecil) secara khusus mengajakku membahas firman Tuhan dari Lukas 19:28-40 tentang bagaimana Yesus dielu-elukan di Yerusalem.

Di sana diceritakan bagaimana Yesus meminta murid-murid-Nya membawa keledai untuk-Nya yang akan ditunggangi-Nya menuju Yerusalem. Saat Yesus akan menaiki keledai, orang-orang menghamparkan pakaiannya dan membantu Yesus menaiki keledai itu.

“Diberkatilah Dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan, damai sejahtera di sorga dan kemuliaan di tempat yang Maha Tinggi”, kata semua murid yang mengiring Dia. Karena hal itu, orang Farisi menegur Yesus, “Guru, tegorlah murid-murid-Mu itu”. Jawab Yesus, “Jika mereka ini diam, maka batu ini akan berteriak” (Ayat 40).

“Jangan mengeraskan hati dek, jika Tuhan mau, batu pun bisa dipakai-Nya untuk melayani Dia”, begitu kakak di kelompok kecil mengingatkanku di akhir pertemuan itu.

“Ahk, aku capek. Bosan! Daripada kukerjakan tapi tidak dari hati” belaku dengan berbagai alasan pembenaran atas keputusanku. Merasa lelah karena terlalu sering dipekerjakan merupakan salah satu penyebab kejenuhan. Walau tak selalu benar, kejenuhan bisa menjadi alasan bagi kita untuk tidak mengerjakan hal itu lagi.

“If you tired, learn to rest, not quit”, kutipan di awal tulisan ini mengingatkanku untuk menyediakan waktu beristirahat alih-alih mundur dan mengingkari komitmen yang sudah diambil. Di dalam pelayanan-Nya, Yesus juga pernah mengajak murid-murid-Nya untuk beristirahat ketika mereka harus memberi makan lima ribu orang yang mengikuti mereka (Markus 6:31). Tentu beristirahat dan berhenti adalah dua hal yang berbeda. Secara perlahan dengan pertolongan-Nya, aku mengingat kembali kenapa aku mau menerima tanggung jawab itu. Dengan menyediakan waktu untuk beristirahat, itu berhasil membantuku memulihkan keadaanku saat itu.

Jenuh, jemu, bosan menggambarkan situasi emosional di mana kita sudah tidak suka dengan si objek yang bisa jadi dalam bentuk keadaan, pekerjaaan, lingkungan bahkan hubungan dengan seseorang. Ayah yang sudah bosan bertahun-tahun bekerja di tempat yang sama; ibu yang jenuh dengan urusan dapur dan kegiatan beres-beres yang dilakukan setiap hari; anak yang jemu duduk berjam-jam di kelas ditambah dengan tugas sekolah; atau mungkin sepasang kekasih yang mulai bosan dengan dering telpon yang dipisahkan jarak; bahkan kita anak-anak Tuhan yang mungkin merasa jenuh menjalin persekutuan dengan-Nya.

Memasuki bulan keempat setelah aturan-aturan untuk menanggulangi pandemi virus corona digalakkan, beradaptasi untuk menghilangkan kejenuhan bukanlah perkara yang mudah. Berhenti beraktivitas dari rumah, pergi berkerumun, atau menolak anjuran pemerintah tentu memiliki konsekuensi tersendiri khususnya bagi kesehatan kita. Sebagai individu yang diciptakan berbeda-beda, tips treatment untuk kejenuhan orang yang satu bisa saja tidak mempan untuk yang lainnya. Pilihan untuk menikmati waktu dengan keluarga, mengubah situasi kamar atau rumah agar lebih nyaman untuk belajar dan bekerja dari rumah, hingga mencari kreativitas lain agar tetap waras selama #DiRumahaAja terdengar klise dan tak berpengaruh. Namun sebagai ciptaan-Nya kita perlu mengingat bahwa pada-Nya ada jawaban dari setiap pergumulan kita dan pada-Nya ada kelegaan bagi setiap kita (Matius 11:28).

Kiranya kita bisa memaknai setiap waktu atau kesempatan dengan bijaksana. Sama seperti Musa, biarlah kita tak bosan meminta kekuatan dari Tuhan untuk menyadari berharganya setiap waktu yang ada (Mazmur 90:12).

Dia akan menolong dan memulihkan semangat kita (Yesaya 40:29).

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Ketika Aku Terjebak Membandingkan Diriku dengan Orang Lain

Aku pernah ada dalam kondisi membandingkan diriku dengan orang lain. Dan orang itu adalah teman terdekatku! Aku merasa temanku itu lebih baik dalam banyak hal, terutama pelayanan yang dia kerjakan.