Posts

Aku Mengalami Bipolar Mood Disorder, Namun Aku Bersyukur

Oleh Febriani*

“Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya” (Mazmur 139 : 14).

“Tuhan itu baik.”

Kalimat itu rasanya sudah terlalu sering kudengar. Namun, membutuhkan waktu seumur hidupku untuk benar-benar memahami dan menghidupi kebenaran itu. Setelah berhasil melewati setiap hal yang Tuhan izinkan terjadi dalam hidupku dan menyaksikan pekerjaan tangan-Nya, akhirnya saat ini aku bisa benar-benar mengatakan kalimat itu dari hatiku, tidak hanya dengan mulut. Hal itu pun bisa terjadi karena kebaikan-Nya.

Aku dapat merasakan kebaikan dan anugerah Tuhan dengan begitu nyata ketika aku bisa merasa “stabil”. Terdengar aneh, memang. Tetapi bagiku, ini sungguh luar biasa.

Pergumulanku dengan bipolar mood disorder

Beberapa bulan yang lalu, aku sempat berada di sebuah situasi di mana aku benar-benar tidak dapat mengendalikan diriku. Saat itu, aku menangis tidak terkendali sampai melukai diriku sendiri. Hal yang terlintas di benakku hanyalah betapa aku sangat membenci diriku sendiri, dan aku ingin segera mengakhiri hidupku. Keadaan ini membuat orang-orang terdekatku mengkhawatirkanku. Aku tidak sadar dan tidak benar-benar mengerti apa yang baru saja terjadi, aku sudah berada di rumah sakit ketika aku terbangun.

Ketika kesadaranku mulai kembali, aku mendengar dokter memberi diagnosis. “Depresi”, katanya. “Kalau seperti ini lagi, tolong pasien jangan dibawa ke rumah sakit ini, tetapi ke rumah sakit jiwa atau dokter kejiwaan.”

Kalimat itu membuat keluargaku sangat terpukul, terutama kedua orang tuaku. Kenyataan bahwa anaknya mengalami depresi mungkin sulit mereka terima, karena selama ini aku ingin orang melihatku seakan baik-baik saja. Mereka tidak pernah tahu apa yang kusembunyikan dari mereka. Aku memendam semua beban dan kepedihanku dalam-dalam. Namun bagaimanapun aku berusaha, aku tidak cukup tangguh untuk menyimpan semua itu sendirian. Akhirnya, semuanya pun meledak.

Mengetahui hal itu, papa dan mamaku meminta bantuan hamba Tuhan di gereja kami untuk memberiku pelayanan konseling. Melalui konseling selama beberapa bulan, aku dipulihkan. Selapis demi selapis, luka dan selubung dalam diriku Tuhan singkapkan. Aku mulai mengenal diriku seutuhnya.

Aku juga menyadari sebuah keadaan yang dapat dikatakan sebagai kenyataan yang aneh. Aku memiliki orang tua dan keluarga yang cukup baik, tetapi kasih sayang dari mereka yang terlalu besar sampai menjadi overprotective terhadapku justru menimbulkan luka dan kepahitan yang tidak kusadari telah menumpuk dan membentuk diriku yang seperti sekarang ini. Papaku yang terlalu melindungi, mengekang, dan mendidikku dengan keras, membuatku tidak dapat merasakan kasihnya kepadaku. Aku tumbuh dengan sebuah pemikiran bahwa papa tidak mengasihiku. Konsep tentang seorang papa yang seperti ini membuatku tidak percaya bahwa Allah Bapa mengasihiku.

Ternyata, gambar diriku rusak. Dokter dan konselorku menyebutnya dengan “pecahnya diri dan kepribadian”-ku. Aku sama sekali tidak menyadari bahwa aku telah sakit.

Proses menuju pulih

Sebenarnya, konselorku sudah mengenal dan melayaniku cukup lama karena beliau adalah pembimbing gereja kami semenjak aku remaja. Saat-saat aku mengalami depresi yang adalah titik terendah dalam hidupku, beliau pun terus setia melayani dan menolongku. Beliau juga sempat curiga, mengapa aku bergumul di masalah yang sama selama bertahun-tahun, seperti mengalami mood swing yang tidak terkendali. Tidak hanya beliau, ternyata selama ini keluargaku juga bingung dengan diriku yang bisa tiba-tiba sangat bahagia, tetapi beberapa jam kemudian menjadi sangat sedih dan penuh kemarahan.

Konselorku pun mendorongku untuk memeriksakan diri ke dokter. Aku sendiri menyadari bahwa aku sangat lelah akan mood swing yang tidak terkendali. Setelah berdoa dan bergumul, akhirnya aku didampingi konselorku untuk menemui seorang dokter.

Aku positif mengalami bipolar mood disorder. Meskipun telah merasakan serangkaian gejalanya selama bertahun-tahun, aku mengira apa yang kualami adalah sesuatu yang normal dan umum dialami oleh banyak orang. Rupanya, aku membutuhkan pengobatan dan penanganan khusus.

Aku sudah terlalu lelah dengan mood-ku yang begitu mudah berubah-ubah dan mempengaruhi hidupku. Aku sudah berusaha begitu banyak hal dan memohon Allah Roh Kudus untuk menguasaiku. Namun, terus ada saat-saat di mana aku masih saja berkutat di masalah yang sama, dan ini terasa sangat melelahkan.

Pil-pil ini, psikiater, rumah sakit, dan dokter spesialis kejiwaan—semua ini merupakan hal yang sangat tabu dan mengerikan untukku beberapa bulan yang lalu. Namun, tidak ada kata yang dapat mengungkapkan rasa syukurku ketika saat ini Bapa yang baik memampukanku untuk dapat menerima kenyataan bahwa ternyata aku adalah seseorang dengan bipolar mood disorder, yang membutuhkan pertolongan lebih dari konseling. Aku membutuhkan penanganan dari dokter dan obat-obatan untuk membuat pulih.

Mengapa baru sekarang, setelah 32 tahun aku hidup, seakan aku harus memulai menata diriku dan hidupku dari awal? Mengapa aku mengalami ini? Kenapa Tuhan membuatku dengan bipolar seperti ini?

Pertanyaan-pertanyaan ini tidak lagi memerlukan jawaban. Sebab sekarang yang ada bagiku, hanya ucapan syukur pada-Nya. Aku mau berserah dan percaya penuh pada rencana-Nya bagiku yang tidak pernah berlaku buruk dan tidak pernah bertujuan untuk mencelakakanku. Ia Allah yang ingin memulihkanku dan mengerjakan rencana indah-Nya bagiku dengan cara-Nya, waktu-Nya, dan di dalam kehendakNya. Ia Bapaku yang kekal, Pribadi terbaik yang mengerti dan mengasihiku.

“Aku bukan sebuah kesalahan. Aku ini anak kesayangan-Nya dan alat kemuliaan-Nya.”

Mari kita bersama-sama meneguhkan kembali identitas kita di dalam Tuhan, bahwa kita diciptakan sesuai dengan gambar dan rupa-Nya. Kiranya Tuhan Yesus menolong kita semua. Amin.

*Bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Setahun Mencari Pekerjaan, Tuhan Akhirnya Menjawab Doaku

Saat masih duduk di bangku kuliah, aku pernah berpikir bahwa hidup akan terasa mudah dan indah setelah selesai kuliah. Lulus dengan nilai bagus, lalu diterima di perusahaan besar di Jakarta. Namun, impianku justru pupus begitu saja.

5 Hal yang Bisa Kamu Lakukan Ketika Temanmu Mengalami Gangguan Kejiwaan

Oleh Karen Kwek, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When You Find Out Your Friend Has A Mental Illness

Aku dan Simone* adalah teman saat kuliah di Inggris bertahun-tahun yang lalu. Simone merupakan seorang yang pintar dan populer dengan selera humor yang sarkastik. Di samping itu, bila dilihat sekilas, Simone sepertinya adalah seorang wanita yang memiliki segalanya: dia punya iman Kristen yang kuat, teman-teman dekat, prestasi akademik yang gemilang, juga kesempatan besar untuk melanjutkan studi tentang musik di jenjang pasca-sarjana. Sebagai wakil dari Outdoor Activites Club di kampus kami, Simone selalu penuh dengan ide-ide ambisius untuk mengisi perjalanan akhir pekannya. Dia suka aktivitas menaklukkan puncak gunung, hiking melalui hutan, menyisiri pantai, atau mengikuti pertandingan mendayung di musim panas.

Namun, hal itu berubah ketika kami berada di tingkat akhir masa kuliah, ketika aku, Simone, dan dua perempuan Inggris lainnya tinggal bersama di sebuah apartemen yang dikhususkan bagi mahasiswa. Di situlah aku mulai melihat sisi lain dari seorang Simone. Kami semua tahu bahwa Simone memiliki kesulitan tidur, tetapi biasanya aku hanya bertemu dengannya di ruang makan atau saat pertemuan kelompok saja. Aku tidak pernah memperhatikan bahwa Simone adalah seorang yang cepat lelah dan penyendiri.

Suatu malam, kami sangat terkejut dan khawatir karena Simone mengunci dirinya di kamar mandi dan menangis sejadi-jadinya. Tapi, keesokan harinya, Simone nampak baik-baik saja dan menjalani harinya seperti biasa. Kejadian serupa sempat terulang kembali beberapa kali. Namun, karena kami semua sedang menghadapi ujian yang cukup membuat stres, kupikir inilah alasan di balik perilaku Simone yang tidak biasa tersebut. Aku sering begadang untuk belajar bersama Simone, dan kami juga berdoa bersama saat dia merasa stres. Saat Minggu pagi, kami beribadah di gereja bersama-sama. Di musim panas tahun itu, akhirnya kami pun lulus dan melanjutkan studi kami ke program S-2 di universitas yang berbeda—Simone pergi ke Prancis, sedangkan aku ke Amerika Serikat.

Mungkin kamu jadi bertanya-tanya: bagaimana bisa kisah Simone ini dikatakan sebagai gangguan kejiwaan? Atau mungkin, seperti aku sebelumnya, kamu berpikir bahwa pengalaman Simone tersebut tidak cukup membuktikan bahwa dia pantas untuk mendapatkan label sebagai seorang yang memiliki gangguan kejiwaan.

Tapi, faktanya adalah isu tentang gangguan kejiwaan saat ini jauh lebih umum terjadi dibandingkan dengan apa yang kita pikirkan. Di negaraku (Singapura), sebuah studi pada tahun 2010 mengungkapkan bahwa 1 dari 8 orang di Singapura menderita gangguan kejiwaan. Sedangkan di Amerika Serikat, pada tahun 2016 secara angka jumlahnya adalah 1 dari 6 orang, dengan prevalensi tertinggi (22,1%) di antara orang-orang muda (usia 18-25 tahun). Menurut data dari World Health Organization (WHO), pada tahun 2017 terdapat lebih dari 300 juta oarng, atau 4,4% dari populasi global menderita depresi.

Selain depresi dan kecemasan sebagai bentuk paling umum dari gangguan kejiwaan dalam skala global, banyak juga yang menderita kondisi mental yang kompleks, termasuk Autism Spectrum Disorder (AS), Attention Deficit and Hyperactivity (ADHD), dan epilepsi.

Aku tidak menuliskan ini berdasarkan pandangan menyeluruh dari seorang yang profesional di bidang kesehatan. Tetapi, aku menuliskannya dari sudut pandangku sebagai orang beriman yang tidak luput dari kekurangan, yang juga mengetahui kesulitan yang dialami oleh beberapa temanku. Sebagai seorang yang juga pernah mengalami depresi dan kecemasan, menurutku tidak ada perbedaan antara “kita” dan “mereka”.

Setiap kita pasti pernah mengalami pergumulan hidup yang sedikit banyak memberi dampak terhadap kesehatan kejiwaan kita; yang membedakannya hanya tingkatannya. Aku menceritakan kisah Simone di sini karena dialah yang pertama kali membantuku memahami situasi ini dengan lebih baik, serta mengajarkanku untuk bagaimana menjadi teman sekaligus saudari yang lebih baik dalam Kristus.

Jika kamu memiliki teman yang memiliki masalah kesehatan kejiwaan, inilah beberapa langkah yang bisa kamu ambil untuk membantunya.

1. Berempati dan dukung dia untuk meminta bantuan bila diperlukan

Jantung berdebar-debar, panik, mual, muntah, tangisan yang berlebihan, perilaku berisiko ekstrem, kekerasan, melukai diri sendiri—perilaku psikis dan fisik ini bisa jadi dipicu oleh stres, kecemasan berlebih, dan bentuk penyakit kejiwaan.

Temanmu mungkin saja sedang melalui proses penyesuaian diri yang sementara terhadap kehilangan atau trauma. Jika demikian, dengan kamu ada di sampingnya sebagai teman untuk berbicara dan berbagi, kamu dapat membantunya meringankan bebannya. Mungkin, memang inilah yang temanmu perlukan.

Namun, apabila masalahnya lebih serius atau kronis (terjadi berulang kali), sarankan dia untuk meminta bantuan dari seorang pendeta, konselor, atau dokter. Beberapa orang seringkali merasa malu untuk menceritakan tentang gejala yang mereka alami, seperti mendengar “suara-suara”, berhalusinasi, rasa ketakutan yang berlebihan atau paranoid, rasa ingin bunuh diri, atau pikiran seperti seorang pembunuh.

Kehadiranmu itu sangat penting karena biasanya ada sebuah stigma sosial yang sering disematkan kepada orang yang menderita gangguan kejiwaan, termasuk di dalam lingkungan orang Kristen sendiri. Orang yang mengalami kondisi gangguan kejiwaan merasa takut akan sesuatu yang tidak kita mengerti. Oleh sebab itu, biasanya mereka dikucilkan dari relasi. Akibatnya, mereka tidak dapat menikmati relasi layaknya orang “normal”, baik itu di rumah, kantor, dan gereja. Mereka biasanya tidak dihiraukan saat bersenda gurau, dibiarkan dalam rasa malu, atau didiamkan saja, dan juga dianggap sebagai orang lain.

Jadi, apabila temanmu sudah terbuka kepadamu tentang kesehatan jiwanya, ketahuilah bahwa inilah tanda dia mempercayaimu. Sangat mungkin apabila selama ini dia merasa sendirian dan disalahpahami, atau mungkin dia merasakan hal ini di masa lalu.

Simone, temanku itu bertahan seorang diri dan menyimpan pergumulannya selama lebih dari 10 tahun sebelum masa-masa suram itu semakin sering terjadi dan dia berusaha mengakhiri hidupnya berulang kali. Pacarnya (yang sekarang telah menjadi suaminya) yakin bahwa ada sesuatu yang sangat salah, dan kemudian membawanya untuk mencari bantuan. Pada tahun 2015, dia didiagnosis mengidap gangguan bipolar. Diagnosis ini membantu keluarga dan teman-teman Simone untuk sedikit lebih mengerti tentang apa yang Simone telah alami semenjak masa remaja.

2. Hindari menjejali temanmu dengan ayat-ayat Alkitab saat itu juga dan membuat asumsi tentang kondisi kejiwaannya

Meskipun Simone sudah didiagnosis dan kemungkinan besar dicap sebagai pasien gangguan kejiwaan oleh sebagian orang, bagiku dia tetaplah Simone yang selalu menjadi temanku. Dukungan ini sangat berarti bagi Simone.

Walaupun cap tersebut sebenarnya tidak mendefinisikan temanmu, cobalah mengerti sebanyak mungkin yang bisa kamu mengerti tentang isu kesehatan jiwa temanmu secara spesifik karena tidak semua kondisi itu sama. Mintalah temanmu untuk mendeskripsikan apa yang dia hadapi. Bacalah bacaan-bacaan yang relevan yang dipublikasikan oleh institusi-institusi yang mendukung tentang kesehatan kejiwaan.

Mitos yang paling menghancurkan adalah pernyataan yang berkata: hanya orang lemah yang memiliki gangguan kesehatan kejiwaan; masalah ini seharusnya bisa diselesaikan begitu saja; ini adalah hukuman yang pantas didapatkan oleh dia; imannya tidak cukup kuat sih; atau, orang yang dewasa secara rohani pasti tidak akan mengalami gangguan kejiwaan, atau pasti selalu bisa sembuh.

Gangguan kejiwaan biasanya disebabkan oleh faktor yang kompleks antara genetik, biologis, psikologis, dan lingkungan yang saling mempengaruhi. Dalam banyak kasus yang kronis, bahkan penyebabnya tidak diketahui. Gejala-gejala psikologis juga dapat terjadi secara tidak menentu, seolah-olah tubuh mengabaikan instruksi dari otak dan bekerja di luar kendali. Kamu harus peka. Ketika berbagi ayat-ayat Alkitab dengan temanmu yang sedang mengalami gangguan kejiwaan, jangan sampai itu sampai mengecilkan hati atau bahkan menyakitinya seakan-akan dia adalah seorang yang tidak taat atau tidak beriman!

Simone menderita gangguan bipolar, yaitu sebuah gangguan yang disebabkan oleh ketidakseimbangan unsur-unsur kimia yang berada di dalam otaknya. Ketika dia sedang ceria, pikirannya menjadi tidak stabil dan tidak realistis—“tidak teratur, terserak ke mana-mana”, begitulah dia menyebutnya. Yang lebih sering daripada itu adalah keputusasaannya. Selama masa-masa ini, Simone dapat mengingat bacaan-bacaan Alkitab tentang bersukacita dan menemukan pertolongan di dalam Tuhan. Tapi, semua itu terasa hampa. Simone tidak dapat merasakan emosi positif ataupun benar-benar berdoa selain memohon kepada Tuhan untuk mengakhiri hidupnya saja karena dia merasa sangat terkucilkan dari segalanya. Simone juga pernah tiba-tiba mengalami ketakutan yang membuatnya tidak berdaya, jantungnya berdegup kencang, sesak nafas, menangis, bahkan ketika dia sedang bersenang-senang dengan teman-temannya.

3. Tawarkan persaudaraan dan harapan Kristiani

Kalau kamu berpikir seperti yang kupikirkan, kamu mungkin akan menimbang ulang untuk terlibat membantu temanmu. Bukan karena kamu tidak peduli, tetapi mungkin karena kamu khawatir akan membuat masalah menjadi semakin kacau. Namun, Simone meyakinkanku: “Menunjukkan kasih dan kepedulian tidak akan membuat keadaan jadi lebih buruk.”

Galatia 6:2 berkata: “Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.” Hukum Kristus adalah kasih kepada Tuhan dan sesama. Jadi, kita diajarkan bagaimana mengasihi sesama secara konkrit. Penanggung beban yang utama adalah Yesus Kristus sendiri, yang telah menanggung dosa-dosa kita dan mati supaya kita dapat hidup (Galatia 2:20).

Simone diberikan resep obat yang mengandung lithium untuk menyeimbangkan unsur-unsur kimia di otaknya. Simone juga diajarkan untuk tidak mengizinkan suara-suara negatif di pikirannya mengalahkan kebenaran bahwa sesungguhnya dia dikasihi dan diselamatkan oleh Tuhan. Namun, tetap saja Simone menemukan kesulitan untuk bersosialisasi saat dia tengah mengalami depresi dan khawatir apabila dia tidak dapat memenuhi kebutuhan orang lain, ataupun tidak dapat berbagi kebahagiaan.

Namun, ketika Simone dapat menerima persaudaraan dari kami, dia menemukan dukungan yang besar di dalam cinta kasih, kepedulian, dan komunitas Kristen. Menjejalkan ayat-ayat Alkitab tanpa disertai hikmat sama saja seperti menghakimi dan tidak mengasihi sama sekali. Sebaliknya, firman Tuhan yang dibagikan dalam konteks kepedulian dan dipelajari bersama-sama dalam kelompok pendalaman Alkitab (PA) telah menjadi penyelamat Simone. Melalui hal ini, Simone diajarkan dan diingatkan bahwa di kekekalan nanti, dia tidak hanya disembuhkan, melainkan akan dibaharui.

Pada kenyataannya, kehancuran pikiran Simone sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kehancuran yang umum terjadi pada diri kita, para pendosa. Ketika Simone jatuh ke dalam keputusasaan yang mendalam, harapan yang menolongku ternyata juga menolongnya; itu adalah suatu kepastian dari warisan yang takkan pernah mati, rusak, ataupun pudar, karena telah dimenangkan oleh Yesus (1 Petrus 1:3-7). Betapa berharganya pengertian bahwa pemberian ini disimpan di surga bagi setiap kita, dan bahwa kekuatan Tuhan menjaga kita melalui iman kita, bahkan ketika kesedihan yang kita alami saat ini sangat hebat! Ketika Yesus kembali, kepercayaan kita di dalam Dia terbukti semakin kuat karena kita telah menderita, dan ini akan semakin memuliakan Tuhan.

4. Perhatikan dirimu

Jika kamu adalah satu-satunya orang yang mendampingi temanmu, cobalah meminta beberapa teman yang dapat dipercaya untuk mendampinginya juga. Kamu sendiri perlu beristirahat secara fisik dan kamu juga perlu waktu untuk terus memperkuat relasimu dengan Tuhan. Ingatlah bahwa satu-satunya harapan temanmu adalah di dalam Tuhan, maka peranmu haruslah merefleksikan kasih-Nya dan membawa temanmu kepada-Nya. Jika kamu mencoba menjadi seorang yang memiliki jawaban atas segalanya atau membuat temanmu terlalu bergantung kepadamu, ini bukanlah solusi yang terbaik untuk jangka panjang.

5. Berdoalah untuk dan dengan temanmu

Terkadang Simone merasa terlalu sedih untuk berdoa. Tapi, dia tentu memiliki Roh Kudus bersamanya di saat-saat sulit sekalipun. Apakah kami berdoa supaya Tuhan menyembuhkan gangguan bipolarnya? Tentu saja! Tetapi, mungkin Tuhan tidak memilih untuk melakukannya saat ini juga, dan mungkin kita tidak akan mengerti alasan-Nya seumur hidup kita. Walaupun begitu, kami tahu bahwa Kristus telah memberikan arti hidup, tujuan hidup, dan harapan bagi Simone, bahkan ketika Simone hidup dengan gangguan kejiwaan. Dengan pengobatan dan dukungan dari teman-temannya, Simone kini dapat kembali pada pekerjaannya, yaitu menjadi seorang guru musik.

Hidup selalu penuh dengan suka dan duka bagi kita semua, namun yang pasti, kita sangat diberkati karena kita dapat mengimani dan mengatakan seperti yang Petrus tuliskan dalam suratnya di 1 Petrus 1:3-7:

Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, yang karena rahmat-Nya yang besar telah melahirkan kita kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati, kepada suatu hidup yang penuh pengharapan, untuk menerima suatu bagian yang tidak dapat binasa, yang tidak dapat cemar dan yang tidak dapat layu, yang tersimpan di sorga bagi kamu. Yaitu kamu, yang dipelihara dalam kekuatan Allah karena imanmu sementara kamu menantikan keselamatan yang telah tersedia untuk dinyatakan pada zaman akhir. Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan. Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu—yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api—sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya.

*Bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Apa Pemberian Terbaik yang Bisa Kamu Berikan pada Seseorang?

Menurutmu, apa pemberian terbaik yang bisa kamu berikan kepada seseorang?