Posts

Tuhan Tidak Punya Bintang Review

Oleh Ernest Martono, Jakarta

Tuhan tidak punya bintang untuk diulas. Berapa pun penilaian kita tentang Tuhan tidak akan mempengaruhi pribadi-Nya. Bagian kita adalah berkenalan dan mengalami Tuhan secara langsung, bukan hanya sekadar kata orang saja. 

Beberapa minggu lalu aku memutuskan ingin membaca sebuah novel. Novel ini telah diadaptasi menjadi sebuah film. Keduanya, baik novel maupun film, cukup booming. Padahal yang aku tahu, novel atau film tersebut bersifat tabu di masyarakat. Akhirnya aku memutuskan membaca ulasan terlebih dahulu sebelum beralih ke novelnya. 

Aku sengaja mencari ulasan yang panjang dan membacanya satu persatu. aku jadi bisa tahu pendapat-pendapat orang mengenai karakter di novel tersebut. Tanpa perlu membuka halaman-halaman di dalamnya, aku bisa tahu beberapa scene penting lewat ulasan yang kubaca. Alurnya tertebak, penulisannya biasa, karakternya tidak romantis padahal banyak orang bilang ini novel romantis. Aku terlalu asyik membaca ulasan-ulasan tersebut hingga lupa membaca novel aslinya. 

Tiba-tiba aku teringat, ini semua sebenarnya merupakan opini-opini orang tentang pengenalan mereka terhadap novel itu. Siapa tahu opiniku berbeda dengan apa yang dialami orang-orang. Mengapa aku sibuk membaca ulasan dan tidak langsung membaca saja novel tersebut? Ada bagian dari diriku yang mengatakan mulai saja baca, tidak perlu sibuk lihat ulasan dan setelah itu baru menentukan mau baca atau tidak. Apa salahnya memang jika aku membaca sendiri? 

Di situs Goodreads, novel tersebut sampai hari ini memiliki rating tidak lebih dari 4. Aku cenderung malas membaca buku yang ratingnya tidak sampai empat. Terlalu lama aku membaca ulasan, terlalu banyak pertimbangan sebelum aku memutuskan membaca novel itu. Namun, akhirnya aku coba baca bab pertama novel itu. Don’t judge a book by its cover, katanya. Selesai bab pertama novel itu aku tidak lagi melanjutkannya. Aku menyetujui beberapa ulasan negatif mengenai novel itu. Entah buku itu memang tidak cocok bagiku, entah aku yang terpengaruh oleh ulasan yang aku baca, atau memang buku itu tidak sebagus promosi media.

Namun, aku jadi bertanya pada diriku sendiri. Mengapa penting bagiku untuk mengetahui ulasan dari novel itu sebelum membacanya? Ternyata setelah disadari, aku ingin menghindari penderitaan yang dapat ditimbulkan dari membaca novel itu. Aku tidak mau merasa rugi membaca novel yang tidak berbobot. Aku tidak mau bertahan membaca tulisan yang sulit dinikmati kalimat-kalimatnya. Aku tidak mau membuang-buang waktu sebab ada begitu banyak buku lain yang lebih bagus untuk dibaca, pikirku.

Tiba-tiba pikiranku melompat. Apakah begitu juga sikapku kepada Tuhan? Jangan-jangan aku mengenali Tuhan bukan dengan mengalaminya secara langsung. Aku cenderung dengar kata orang-tentang Tuhan, tapi tidak mengalaminya. Aku dengar kata orang Tuhan itu baik, tapi aku tidak benar-benar menyadari dan mengalaminya. Mungkin kebanyakan orang juga mengalami hal yang sama sepertiku. Sering dengar khotbah atau berita-berita tentang Tuhan, dan dari situ mereka mengambil kesimpulan dan penilaian tentang Tuhan. Merasa cukup dengan semua informasi itu dan tidak perlu mengalami Tuhan. Akhirnya, kesimpulan kita tentang Tuhan bersifat tidak autentik dan cenderung tidak peduli.

Aku berdiskusi dengan salah satu teman. Dia mengatakan, dalam sebuah relasi butuh dua pengetahuan: Cognitive Knowledge dan Emotional Knowledge. Relasi yang kokoh dan autentik adalah relasi yang merupakan kolaborasi keduanya. Relasi orang tua dan anak misalnya. Orang tua mengajarkan kepada anak untuk tidak takut meminta apa yang mereka inginkan. Itu adalah informasi yang disimpan sebagai pengetahuan. Jika sang anak meminta, tapi orang tuanya terus mengabaikan, maka anak akan mengalami kebingungan. Sang anak akhirnya kesulitan untuk terikat secara emosi dengan orang tua. Kalau ini berlanjut, pelan-pelan sang anak bisa saja meragukan kebenaran dari pengetahuan yang selama ini dia pahami. Begitu juga relasi kita dengan Tuhan. 

Aku teringat kisah Ayub. Pada akhirnya Ayub mengenal Tuhan secara pribadi. Penderitaan bertubi-tubi menimpa Ayub, menyengsarakannya, dan secara khusus menempa imannya. Iman Ayub tidak lagi menjadi iman kata orang. Iman Ayub menjadi iman yang dapat dialami—utuh menyentuh aspek kemanusiaan Ayub. Pengenalan Ayub akan Tuhan jadi lebih kukuh dan autentik setelah ini. Aku suka menyebut kalau iman Ayub telah mendaging dalam dirinya, bukan lagi sekadar dalam ranah pikiran.    

Aku mengajak agar kita yang percaya pada Kristus tidak hanya puas dengan pengetahuan akan Tuhan—doktrin-doktrin, argumen-argumen apologetika, atau juga cerita tentang sejarah-sejarah gereja, tapi juga rindu mengalami Tuhan secara pribadi. Berjalan dalam kehidupan sehari-hari dengan kesadaran ada sebuah ikatan hubungan yang terjalin dengan Tuhan. Memang pengalaman kita harus bersandarkan pada firman Tuhan.

Kita mungkin pernah mendengar kesaksian mengenai orang yang mengaku bertemu Tuhan Yesus berkali-kali. Terkait klaim seperti ini, Alkitab mengajak kita mengujinya (1Tesalonika 5:21). Sebab, segala pengalaman spiritual tiap orang percaya jika dipersaksikan sudah selayaknya untuk mempermuliakan Tuhan, menguatkan iman orang percaya, dan selaras dengan sabda Tuhan.

Dengan demikian kami makin diteguhkan oleh firman yang telah disampaikan oleh para nabi. Alangkah baiknya kalau kamu memperhatikannya sama seperti memperhatikan pelita yang bercahaya di tempat yang gelap sampai fajar menyingsing dan bintang timur terbit bersinar di dalam hatimu.Yang terutama harus kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah. (2Petrus 1:19-21)

Petrus punya banyak pengalaman spiritual dengan Yesus setelah kenaikan Yesus. Namun, bukan itu yang ditekankan Petrus. “Makin diteguhkan oleh firman.” Petrus serius mempelajari firman dan mengulas pengalaman-pengalam spiritualnya dengan kacamata firman Tuhan. Dia tidak menafsir sembarangan nubuat-nubuat.

Pada akhirnya iman itu bukan hanya diketahui, tapi juga dialami. Bukan sembarang dialami, tapi sesuai dengan pengetahuan kita akan firman Tuhan. Keduanya harus bertumbuh sejalan agar iman menjadi kokoh dan asli.

Kalau kita yakin Tuhan itu baik, mengapa hanya berhenti dengan meyakininya saja? Rindukan untuk mengalaminya. Tidak perlu takut merugi mempercayai keyakinan kita pada Tuhan. Jalani saja dulu, baru setelah itu mengulas (red: bersaksi). Tuhan adalah buku tanpa sampul. Dia terbuka untuk dialami dan dikenal. Tidak akan Dia menipu sebagaimana seperti yang bisa kita alami dengan banyak sampul buku di toko buku. Indah di luar, tapi dalamnya tidak cocok dengan kita. Tidak akan merugi jika kita berkenalan dan mengalami Tuhan.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Tentang Benda-benda Langit yang Mengingatkanku akan Kebesaran Allah

Oleh Ghereetha Silalahi, Jakarta

Siang itu, sinar matahari terasa begitu menyengat tubuh. Tanpa direncanakan sebelumnya, aku memutuskan untuk menikmati fasilitas transportasi terbaru di Jakarta, yaitu MRT (Mass Rapid Transport, atau dalam bahasa Indonesia disebut Moda Raya Terpadu). Berbanding terbalik dengan udara di luar yang amat panas, di dalam stasiun MRT terasa sejuk.

Aku mengisi waktu di perjalanan dengan membaca sebuah situs di internet tentang astronomi. Situs tersebut memuat banyak hal seputar benda langit dan fenomena alam yang terjadi di luar atmosfer Bumi. Aku baru mengetahui bahwa setiap nama planet yang teridentifikasi oleh para ilmuwan dunia ini disadur dari nama para dewa Olimpus dalam mitologi Yunani yang kemudian diterjemahkan kembali oleh bangsa Romawi pada zamannya sesuai dengan nama dewa-dewanya sendiri kala itu: Mercurius (untuk Hermes), Venus (Afrodit), Mars (Ares), Jupiter (Zeus) dan Saturnus (Cronus). Dalam bahasa Yunani kuno, Matahari dan Bulan disebut dengan Helios dan Selene. Melalui bacaan tersebut, aku juga mendapati bahwa Bumi adalah satu-satunya planet yang namanya tidak diambil dari mitologi Yunani-Romawi. Bumi sendiri baru diakui sebagai planet pada abad ke-17, dan istilah Earth sendiri berasal dari bahasa Anglo-Saxon yaitu Erda yang artinya daratan atau tanah.

Pengetahuan baru yang kudapatkan sepanjang perjalanan membuatku merasa sangat bersyukur akan kebesaran Tuhan, sang Pencipta langit, bumi dan segala isinya. Melalui hari yang panas terik, aku menyadari bahwa Tuhan kembali menyatakan diri-Nya dengan mengingatkanku akan karya ciptaan-Nya yang luar biasa. Aku bersyukur akan terang dan gelap yang Dia ciptakan di hari pertama; cakrawala yang putih membiru di hari kedua; laut, darat, dan tumbuh-tumbuhan di hari ketiga; benda-benda penerang cakrawala (matahari, bulan, bintang) di hari keempat; binatang-binatang laut, darat dan udara pada hari kelima; dan pada akhirnya menciptakan manusia di hari keenam.

Aku dan kamu adalah ciptaan-Nya yang sungguh teramat baik. Ketika Tuhan menciptakan bumi dan segala isinya, Ia merencanakan semuanya dengan matang untuk mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia. Rasa syukurku semakin bertambah ketika membaca kembali apa yang Allah katakan kepada manusia dan bagaimana Dia memberkati manusia ciptaan-Nya yang agung dalam Kejadian 1:28, “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranak-cuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi”.

Dengan menyadari betapa dahsyatnya Allah dalam penciptaan, aku berharap kita semakin dimampukan Tuhan untuk memelihara bumi dan segala ciptaan-Nya sebelum kedatangan-Nya yang kedua kali, agar Ia mendapati kita telah bertanggung jawab atas kewajiban yang telah Ia berikan kepada kita. Aku mengajak kita semua untuk mencintai bumi tempat kita tinggal sebagaimana Allah mengasihi segala ciptaan-Nya sebagai Imago Dei—gambar dan rupa Allah.

Mari kita penuhi Bumi dengan kasih dan damai sejahtera yang bersumber dari Allah Bapa kita. Tuhan Yesus memberkati kita semua.

Baca Juga:

Ketika Kecantikan Menjadi Berhalaku

Sederet produk kecantikan yang kugunakan membuatku tampil lebih percaya diri. Tapi, ketika akhirnya wajahku mengalami breakout, aku menyadari bahwa ada yang salah dengan upayaku tersebut.

Seri Lukisan Natal: Sebuah Nubuat yang Ditepati

lukisan-natal-warungsatekamu-orang-majus

Karena Sang Bayi, para majus jauh-jauh mencari
Penguasa istimewa, Raja orang Yahudi
Dari Timur, terang bintang terus mereka ikuti
Rindu mempersembahkan harta dan segenap hati

Sang Bayi Kudus, Yesus namanya
Rindukah kamu juga mempersembahkan hidupmu kepada-Nya?

Baca: Matius 2:1-12

Pelukis: @galihsuseno
Tahun: 2015
Bahan: Acrylic on Canvas
Ukuran: 120 x 160 cm