Posts

Sebuah Pengingat Mengapa Aku Diutus Pergi Jauh

Sebuah cerpen oleh Cristal Pagit Tarigan

“Kamu yakin bakalan pergi? Gak usah muluk-muluk lah soal hidup. Bapak rasa kamu belum semandiri itu selama ini. Tapi, kalau kamu memang mau pergi sejauh itu, jangan sampai nanti kamu nyusahin orangtua atau diri sendiri.”

Mendengar kata-kata itu, aku merasa seakan duniaku runtuh. Rasanya sakit sekali tidak didukung oleh orang tuaku, dan aku merasa mereka tidak mengenalku. Padahal aku sudah berusaha memperbaiki hidupku selama beberapa tahun terakhir sejak aku menerima Yesus.

Belum lagi perkataan dari teman-teman dan keluargaku lainnya yang turut menyakiti hatiku.

“Gue shock sih, dengar kabar kalau lo tiba-tiba mau pergi ke sana dengan alasan mau melayani. Soalnya lo aja masih sering banyak ngeluh. Yakin lo, San?” Dia adalah salah seorang teman yang sudah cukup lama kukenal.

“Eh! Kata Ibu, Santi mau ikut volunteer tenaga medis ke Pedalaman ya? Pelayanan sih pelayanan San. Tapi, kamu yakin? Bukan cuma mau eksplor tempat aja, nih? Katanya pulau itu cantik, sih. Jangan sampai setengah-setengah lho, takutnya nanti ngerepotin keluarga.” Demikian ucapan bibiku yang datang ke rumah untuk membicarakan hal itu, tanpa basa-basi.

Belum saja aku pergi, sudah banyak kata-kata yang bukan berupa dukungan, melainkan kata-kata yang membuatku harus menahan air mata di depan mereka.

Kupikir tidak ada yang akan mendukungku. Namun, ada satu sahabat yang mendukungku, yang percaya kalau aku tidak salah dengan apa yang sedang kurasakan—tentang bagaimana Tuhan memang memanggilku melayani sebagai volunteer di daerah itu. Dia adalah Konnang.

“Gapapa San. Wajar kok semua orang, bahkan orang tuamu tidak mendukungmu. Kan memang tidak banyak orang yang dipanggil atau dipilih Tuhan untuk pelayanan seperti ini. Restu orang tua memang penting, tapi kalau suara Tuhan untuk kamu pergi lebih kuat, percayalah Tuhan akan membuktikan kalau Dia sendiri yang akan turun tangan untukmu.”

Kata-kata itu membuatku semakin yakin bahwa aku tidak salah dengan keputusanku.

Itulah sekelumit pergumulan yang kuhadapi sebelum keberangkatanku mengikuti apa yang jadi panggilan hatiku. Namaku Santi. Aku seorang tenaga medis yang bekerja di sebuah rumah sakit di kotaku. Tapi suatu hari, aku memutuskan berhenti untuk ikut sebuah pelayanan misi di sebuah pulau, tepatnya di suatu tempat terpencil di Indonesia. Bukan tanpa alasan aku memutuskannya.

Dulu, kehidupan sebagai orang Kristen memang biasa-biasa saja. Aku hanyalah seorang jemaat yang rajin ke gereja dan jarang terlibat dalam kepengurusan pelayanan. Tapi, pertemuanku dengan Yesus beberapa tahun lalu adalah alasan yang membuatku mengambil keputusan ini. Sejak hari itu, ada dorongan di hati untuk lebih peduli dan lebih aktif di beberapa kegiatan rohani yang kuyakin pastilah itu buah dari mengenal-Nya.

“Tapi, pertemuan dengan Yesus sekalipun tidak membuat kita langsung berubah 100%. Begitu pun dengan pandangan orang lain soal hidup kita yang lama, San,” tambah Konnang.

Karena ucapan itu, aku sedikit lebih lega untuk menanggapi kalimat-kalimat yang belakangan ini aku dengar dari orang-orang yang sebenarnya kuharapkan untuk mendukungku. Mereka tidak sepenuhnya salah, namun tidak juga benar untuk langsung menghakimiku lebih dulu.

Akhirnya, dengan restu setengah hati dari orang tuaku, aku berangkat.

Aku pun sampai di sebuah pulau yang penduduknya sama sekali tidak terlalu mengenal kecanggihan teknologi dan modernisasi kota. Kutatap mereka semua yang menyambut kedatangan timku. Saat itu hatiku bergetar, seakan berkata “inilah jawaban mengapa aku pergi.”

Lusuh, kumuh, kurang gizi, dan tanpa alas kaki. Seperti kurang diurus. Namun, senyum mereka seakan menyampaikan harapan bahwa kedatangan kami membawa dampak yang berarti buat hidup mereka.

Hari-hari di sana tidak mudah untuk kulalui. Jatuh bangun kualami, namun aku tetap kuat bertahan menyelesaikan sebuah misi yang sudah Tuhan percayakan ini. Tempat untuk mengobrol selain Tuhan, tetaplah Konnang, sahabatku yang Tuhan kirimkan untuk menemani perjalanan kisah ini. Dan Konnang tidak pernah melupakanku, sekalipun aku pergi ke tempat terpencil ini.

“Halo! Selamat Tahun baru, ya! Gak kerasa banget kita udah dua tahun gak ketemu, San. Apa ceritamu kali ini? “ tanya Konnang tanpa basa-basi mengawali pembicaraan kami.

“Selamat tahun baru, Konnang!” Aku menjawabnya dengan semangat. “Iya, ya. Gak kerasa aku udah dua tahun di sini, dan sisa waktuku sebagai volunteer tinggal enam bulan lagi. Tapi, tau gak sih, Nang, kadang aku masih belum percaya kalau aku bisa sampai di tahap ini. Kalau bukan karena pertolongan Tuhan, aku pasti udah pulang sejak lama. Tapi, pengharapan itu emang jadi alasan yang mengalahkan semua kekhawatiran dan ketakutanku, Nang. Dan buahnya, semakin hari aku merasa semakin kuat.”

Begitu jawabku. Aku pun menyadari, semakin banyak kata-kata bijak yang dapat kuucapkan, dan aku tahu kata-kata itu lahir dari semua pengalamanku ini.

“San, tau gak apa yang paling menarik dari kisahmu? Dulu, aku bilang ke kamu biar Tuhan yang membuktikan kalau Dia yang akan turun tangan dalam perjalananmu. Waktu itu aku hanya menyemangatimu untuk mengambil keputusan. Tapi, rasanya sekarang aku makin mempercayai hal itu buat hidupku, sekalipun pasti perjalanan ceritaku dan ceritamu berbeda.”

Ya, benar! Apa yang Konnang katakan sungguh benar.

Enam bulan kemudian, aku pulang ke kampung halamanku. Masa melayaniku di tempat terpencil itu sudah habis.

Dan ketika aku baru saja sampai di bandara kota tempat tinggalku, keluarga dan orang-orang yang kurindukan langsung memelukku dengan hangat. Air mata mereka pun turut membasahi baju putih yang kukenakan hari itu. Mereka menyambutku dengan sangat hangat. Dan aku bersyukur, mereka juga bangga atas apa yang telah kulakukan.

Bertahan dan bermegah dalam kesengsaraan memang tidak mudah, tapi ketaatan dan ketekunan akan menjadikan kita berpengharapan. Dan pengharapan dalam Yesus tidak mengecewakan.

Terima Kasih Yesusku, karena Engkau menjadi pembelaku. Karena Engkau juga, aku tidak perlu membuktikan apapun kepada siapapun.

Malam itu, seperti biasanya aku menulis. Kututup buku journey-ku dengan kalimat itu sambil tersenyum bangga mengingat kasih setia-Nya yang tidak pernah ada habisnya.

3 Janji akan Harapan di Tengah Ketidakpastian

Oleh Ruth Lawrence
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Verses That Give Me Hope Amidst Uncertainty

Rasanya tidaklah berlebihan jika kita berkata tahun 2020 itu mengerikan. Jutaan orang di seluruh dunia merasakan dampak dari pandemi, entah mereka terinfeksi atau mengalami efek domino lainnya yang diakibatkan kebijakan-kebijakan untuk meredam laju penyebaran virus.

Kita semua pun mungkin sepakat bahwa tahun 2020 sangat tidak biasa—tahun yang dipenuhi dengan banyak kesulitan! Namun, jika seandainya pandemi Covid-19 tidak terjadi pun, kita tetap akan mengalami hari-hari yang buruk—rencana yang gagal, kehilangan, sakit, juga kesedihan.

Terlepas dari kesulitan yang mendera kita, satu hal lain yang pasti di dunia ini adalah ketidakpastian. Tidak ada yang tahu akan apa yang terjadi besok, sebagaimana kita pun tak tahu di Januari 2020 akan seperti apa pandemi ini merebak.

Ketidakpastian bukanlah keadaan yang nyaman. Aku tak suka mengalami kejutan. Aku ingin bisa mengendalikan sesuatu dan memprediksi keadaan. Tapi faktanya, aku tidak piawai dalam mengendalikan situasi yang tak terduga. Aku malah berpura-pura seolah itu tak pernah terjadi, seolah hidupku baik-baik saja. Tapi, aku mendapati bahwa itu bukanlah cara yang tepat untuk menghadapi ketidakpastian.

Seiring aku merefleksikan bagaimana caraku menanggapi dunia yang penuh ketidakpastian, aku menemukan tiga ayat yang mengandung janji Allah, yang menolong kita menemukan kedamaian dari-Nya:

1. Kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia

“Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya kamu beroleh damai sejahtera dalam Aku. Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia” (Yohanes 16:33).

Tahun lalu, ketika aku sedang mempelajari Injil Yohanes, aku tersentak oleh diskusi antara Yesus dengan murid-murid-Nya menjelang waktu penyaliban. Yesus akan segera mengalami penderitaan yang tak terkatakan, tapi Dia masih meluangkan waktu untuk meyakinkan para murid dengan kata-kata-Nya yang penuh belas kasih.

Yesus tidak berkata kalau hidup para murid akan mudah. Faktanya, Yesus berkata bahwa mereka (juga kita) akan menghadapi kesengsaraan. Hal-hal buruk terjadi sebagai bagian tak terpisahkan dari hidup, dan sebagai orang Kristen, kita telah diberi tahu bahwa kita akan mengalaminya. Namun, kita punya alasan untuk berharap karena Yesus berkata, “kuatkanlah hatimu”. Ketika hati kita menjadi kelu karena kita merasa tak mampu menghadapi penderitaan—entah itu kesepian, kesakitan, atau kehilangan—Yesus berkata, “Jangan patah arang, kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia.

Dengan Yesus di sisi kita, kita dapat berdiri teguh meskipun gelombang besar mendera kita. Yesus adalah kawan yang tidak sekadar berjalan di samping kita, Dia turut merasakan apa yang kita rasakan. Dia bukanlah Allah yang jauh, yang tak mengerti bagaimana rasanya kehilangan seorang sahabat atau dikhianati. Dia turun ke dunia dan menghidupi kehidupan yang dipenuhi sukacita sekaligus juga kesakitan. Yesus mengerti keadaan kita karena Dia sendiri telah melaluinya sebelum kita.

Kadang, ketika kita menghadapi masa-masa yang tidak pasti, emosi kita—takut, khawatir, bingung—bisa menenggelamkan kita dan membuat kita sulit berdoa. Ketika aku kehilangan kata-kata untuk berdoa pada Allah, aku bisa memulainya dengan mengakui keadaan yang tengah kulalui. Jujur di hadapan Allah menolongku untuk melihat keadaanku dalam terang yang baru—aku bisa mengarungi lautan yang bergelora karena Bapa Surgawi menyertaiku.

2. Jangan kamu menjadi lemah dan putus asa

“Ingatlah selalu akan Dia, yang tekun menanggung bantahan yang sehebat itu terhadap diri-Nya dari pihak orang-orang berdosa, supaya kamu jangan menjadi lemah dan putus asa” (Ibrani 12:3).

Ketika Yesus mendekati momen-momen penyaliban-Nya, Dia tidak menganggap remeh apa yang akan dilalui-Nya. Dia berkata jujur akan betapa hati-Nya pedih. Tapi, lebih dari itu, Dia juga berbicara akan hal-hal baik yang akan terjadi setelah kematian-Nya. Dia memberitahu para murid bahwa Dia akan pergi tetapi datang kembali agar mereka mendapatkan sukacita yang kekal. Kepergian-Nya berarti Roh Kudus akan datang dan menolong, dan terutama, dari kematian-Nya kita dapat didamaikan dengan Allah.

Aku mendapati Ibrani 12 itu menarik dan menguatkan karena pasal tersebut menceritakan alasan mengapa Yesus menderita bagi kita. Kita diundang untuk melihat kehidupan Yesus dan bagaimana Dia membawa kita pada Allah Bapa, agar kita tidak tawar hati.

Sebagai manusia kita cenderung berfokus pada hal-hal negatif yang tampak di depan kita. Ketakutanku akan virus Covid-19 dan aturan pembatasan sosial adalah nyata. Tapi, kita bisa memilih agar ketakutan itu tidak jadi fokus pikiran kita. Kita bisa melihat hal-hal baik lainnya yang mendorong kita mengucap syukur.

Satu aktivitas yang memberi dampak positif bagiku adalah sebelum hari berakhir, aku akan mengingat kembali setidaknya tiga kebaikan yang terjadi sepanjang hari itu. Aku lalu mengucap syukur kepada Allah. Ketika aku melakukan ini, aku mendapati ternyata aku punya lebih dari tiga hal untuk kusyukuri. Tujuanku adalah agar fokusku bergeser, dari pikiran tentang “seandainya Tuhan berbuat ini dan itu”, menjadi kepada berkat-berkat apa saja yang Dia telah berikan dan janjikan bagiku.

3. Bedakan antara mana yang baik dan buruk

“Segala sesuatu diperbolehkan.’ Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. ‘Segala sesuatu diperbolehkan’. Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun” (1 Korintus 10:23).

Ayat terakhir yang kutemukan ini lebih dari sekadar pengingat. Di suratnya, Paulus menulis kepada jemaat Korintus tentang sikap mereka terhadap satu sama lain. Paulus mengingatkan, meskipun mereka tidak lagi terpisah oleh sekat aturan makan orang Yahudi, bertindak semena-mena untuk melakukan apa pun mereka yang inginkan bukanlah hal yang terbaik untuk dilakukan bagi saudara seiman.

Ayat ini membuatku berpikir bagaimana aku menyikapi orang lain ketika aku sedang bertemu teman-temanku. Saat ini, ketika pembatasan sosial gencar dilakukan, mungkin banyak orang akan menerima perintah ini. Tetapi, ketika kebijakan ini dilonggarkan, aku perlu berpikir matang bagaimana tindakanku nanti dapat berdampak bagi orang-orang di sekitarku. Aku mungkin tidak masalah untuk menjumpai teman-temanku secara tatap muka, tapi bagaimana jika tindakanku itu membuat orang lain khawatir? Aku perlu memikirkannya dengan bijak. Atau, semisal ketika aku berbelanja di supermarket, aku perlu memberi jarak fisik antara aku dengan antrean di depanku. Meskipun aku bukan termasuk orang yang parno, tetapi tidak dengan orang lain. Aku perlu juga menghargai mereka.

Aku perlu mengerjakan apa yang baik bagiku dan menghindari apa yang membawa keburukan. Bukan hanya untuk kesehatan mentalku, tetapi juga bagi perjalanan imanku. Apakah menghabiskan waktu bermedia sosial selalu lebih baik daripada membaca firman-Nya? Bagaimana jika aku menyerahkan kekhawatiranku kepada Tuhan daripada terus-menerus melihat tayangan berita?

Seiring aku berusaha mengubah kebiasaanku, aku terdorong untuk menyadari hal-hal kecil yang patut disyukuri, dan aku pun merasa diriku lebih positif.

Kesulitan dan ketidakpastian adalah bagian dari hidup setiap orang. Menyadari bahwa hal buruk terjadi dan kita merasa sedih karenanya adalah sikap yang wajar, tetapi kita juga bisa melihat pada hal-hal baik yang Tuhan izinkan terjadi. Tidak selalu mudah untuk mengubah pikiran kita kepada kasih dan berkat dari Allah, tetapi ketika kita bisa melakukannya, kita menemukan penghiburan dan harapan yang kekal.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Memaafkan yang Tak Termaafkan

Memaafkan adalah sebuah tindakan yang melibatkan proses rumit, yang untuk mengucapkannya kita perlu mengorek kembali segala memori dan luka hati. Lantas, bagaimana bisa kita memaafkan orang yang rasanya tidak termaafkan?

Lepaskan Khawatirmu Supaya Kamu Mendapat Kedamaian

Oleh Marta Ferreira
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Trade Your Worries For God’s Peace

Kupikir aku adalah orang yang punya ingatan bagus. Orang-orang sering berkata, “Ingetin aku ya….”. Tapi sekarang, aku terkejut karena betapa mudahnya aku melupakan apa yang seharusnya amat penting—siapa Tuhanku—ketika perasaan insecure dan kebohongan menghampiri pikiranku.

Ketika gelombang pandemi pertama kali menjangkau negaraku, Inggris dan kami menjalani lokcdown, aku berusaha keras untuk menyesuaikan diri. Lalu, ketika kebijakan karantina skala besar dicabut dan aku mulai menata rutinitasku lagi, rupanya wilayah tempat tinggalku harus menjalani sekali lagi lockdown. Seketika perasaan senang dan bebas terbenam kembali.

Aku orang yang suka bersosialisasi dan menikmati pertemuan dengan orang-orang sepanjang minggu, dan betapa senangnya aku ketika bisa beraktivitas secara normal kembali. Tapi, sekarang aku tidak bisa lagi mengikuti ibadah daring bersama dua temanku di rumah, atau pergi nongkrong di akhir minggu dengan rekan gereja. Yang kulihat adalah: aku akan kembali terisolasi.

Menemukan harapan di tengah kesuraman

Naluri alamiahku ketika menghadapi kabar buruk adalah khawatir, over-thinking, dan panik. Pagi itu, aku tidak mampu mengendalikan perasaanku dan pikiranku dengan cepat dipenuhi ketakutan. Tidakkah aku berdoa? Ya, aku berdoa. Tapi, doa yang kunaikkan bukan berasal dari hati, itu doa yang didasari putus asa dan kesuraman. Sebuah doa yang kunaikkan dalam ketakutan, bukan rasa percaya.

Namun, saat aku mulai berdoa, secercah cahaya muncul perlahan di tengah badai pikiranku. Untuk setiap kekhawatiranku, aku mulai mengingat ayat-ayat Alkitab. Semakin aku berdiam dalam pikiran yang tenang, lebih banyak inspirasi dari Alkitab yang kuingat. Aku pun kembali teringat akan siapa Bapa dan firman-Nya. Hatiku tak lagi bergejolak, kendati pikiranku masih terasa kalut. Ada setitik kedamaian yang mulai kurasa.

Ratapan 3:21-25 berkata:

Tetapi hal-hal inilah yang kuperhatikan, oleh sebab itu aku akan berharap:
Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya,
Selalu baru tiap pagi;
Besar kesetiaan-Mu!
“Tuhan adalah bagianku,” kata jiwaku, oleh sebab itu aku berharap kepada-Nya.
TUHAN adalah baik bagi orang yang berharap kepada-Nya, bagi jiwa yang mencari Dia.

Kitab Ratapan dipenuhi jeritan hati dari nabi Yeremia yang melihat Israel, bangsanya dihancurkan dan dijarah oleh bangsa asing. Yeremia sudah mencoba memperingatkan Israel berkali-kali bahwa Tuhan memanggil mereka untuk kembali dan percaya hanya pada Allah, tetapi Isral mengabaikan seruan itu.

Namun, terlepas dari kondisi kehancuran tersebut, Yeremia tetap menaruh harapan. Meskipun di sekelilingnya hanya ada kesuraman, dia tetap memiliki harapan. Mengapa? Karena Yeremia mengetauhui siapa Allah—harapan kepada-Nya tidaklah tergantung pada keadaan dunia yang berubah-ubah, tetapi kepada Allah yang kasih dan kedaulatan-Nya senantiasa tetap. Allah yang berdaulat dan telah berjanji untuk menyambut siapa saja yang mencari dan berpaling pada-Nya. Allah yang turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi yang mengasihi Dia (Roma 8:28).

Hari itu aku diingatkan kembali bahwa harapan kita terletak pada Allah yang sama. Bagiku, itu artinya aku bisa tetap berharap sekalipun pada kenyataannya semua usaha untuk menekan laju penyebaran virus tidak berhasil. Aku bisa tetap punya harapan meskipun aku harus mengalami lockdown kembali, atau meskipun aku khawatir kalau hari-hariku di depan akan menjadi kelam. Seperti nabi Yeremia, kendati keadaan di sekelilingnya suram, aku tahu aku bisa tetap punya harapan. Aku hanya perlu membangkitkan ingatanku akan apa yang menjadi alasanku untuk berharap.

Cara-cara untuk mengingat kembali kebaikan Allah

Kabar baiknya adalah, Tuhan tahu betapa kita ini pelupa. Karena itu, Dia memberi kita instruksi dalam Ulangan 6:6-9 agar umat-Nya menjaga perintah-perintah-Nya dalam hati mereka dengan cara membicarakannya dengan orang-orang di sekitar, menuliskannya di depan pintu, dan mengingatnya senantiasa.

Perintah Allah adalah tanda dari kasih-Nya. Mengaplikasikan apa yang Allah perintahkan pada umat Israel di masa lampau dapat menolong kita mengingat dan berharap pada janji-Nya. Inilah tiga cara sederhana untuk mempraktikkan Ulangan 6:6-9:

1. Arahkan orang lain pada kebenaran dengan kata-kata sederhana

Kita bisa mengingatkan teman-teman atau orang terdekat kita dengan cara mengirimkan mereka chat atau pesan yang berisikan hikmat Alkitab.

Di hari ketika aku mendapat kabar tentang lockdown kedua, kiriman ayat dan doa dari temanku memberikan perbedaan yang signifikan buatku.

2. Kelilingi dirimu dengan firman Tuhan

Aku menuliskan beberapa ayat dan menempelnya di dinding, atau menjadikannya sebagai lockscreen ponselku. Aku memilih ayat-ayat yang menolongku untuk berfokus pada-Nya.

3. Fokuskan pandanganmu pada kebenaran

Meskipun aku sudah mengelilingi diriku dengan banyak ayat, itu tidak berarti aku selalu membaca dan mengaplikasikan maksud ayat tersebut. Namun, ayat-ayat itu selalu menolongku untuk mengingat Allah dan merasa terhibur ketika aku mulai tergoda untuk khawatir.

Banyak kesempatan selama lockdown kedua ini, ketika aku merasa putus asa, merindukan teman-teman, atau aku berkeluh-kesah, gambaran visual dari 1 Tesalonika 5:16-18 datang ke benakku. Aku meminta agar Tuhan menolongku “bersukacita senantiasa, tetap berdoa, dan mengucap syukur dalam segala keadaan”. Saat aku berdoa, aku menyadari ada perubahan cara pandangku. AKu menemukan kekuatan dan motivasi untuk menjalani hari-hariku dengan sukacita dan mulai memperhatikan kebutuhan orang lain.

Menulis ayat-ayat dan menempelkannya di dinding adalah baik, tetapi yang paling penting adalah Allah sendiri memberikan Roh-Nya untuk tinggal bersama kita. Roh itu menolong kita untuk berdoa (Roma 8:26-27) di dalam kelemahan kita, dan Roh jugalah yang memimpin pikiran kita kepada kebenaran yang perlu kita ingat. Kesetiaan Tuhan tak hanya terlihat dari apa yang kita baca di Alkitab, tapi juga melalui pengalaman-pengalaman hidup yang telah kita lalui. Dia akan menolong kita memilih pemahaman yang benar akan pencobaan, dan mengingatkan kita akan harapan yang kekal, yang tidak akan mengecewakan kita.

Sekarang aku tidak sedang berkata kalau aku telah berhasil mengatasi kekhawatiranku dengan sempurna, tapi pengalaman ini menolongku untuk lebih percaya diri dalam melangkah. Aku masih terjebak dalam lockdown dan banyak hal tetap terasa berat, tetapi aku tahu Tuhan campur tangan dan mampu memberiku damai sejahtera. Aku berdoa agar Tuhan menguatkanku dan menolongku untuk selalu mengingat siapa Dia. Aku percaya Dia akan melakukannya tak cuma untukku, tapi juga kepada setiap orang yang meminta pada-Nya, sebab Tuhan adalah setia.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Ketika Impian Suksesku Kandas

Kondisi pandemi membuat pekerjaanku terguncang, tetapi aku percaya Tuhan tidak tidur, dan melalui kuasa-Nya yang tidak terbatas, Dia menerbitkan kembali sinar harapan yang telah padam kepada orang-orang yang terdampak pandemi.

4 Jurus untuk Mengatasi Kekhawatiran

Oleh Kristle Gangadeen, Trinidad and Tobago
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 4 Weapons For Battling Anxiety In Difficult Seasons

“Rasanya seluruh hidupku telah hancur.”

Rasa putus asa tertulis di halaman-halaman buku harianku. Aku bingung, gelisah, dan frustrasi. Semua gelombang emosi itu membanjiriku sekaligus.

Dua tahun terakhir begitu menantang buatku. Aku kembali ke rumahku di kampung halaman, ketidakpastian akan tujuan hidup dan langkah karier selanjutnya, kebingungan apakah aku akan menganggur atau tidak, dan sekarang, relasiku yang berakhir dengan tiba-tiba.

Aku merasa buta, bingung, dan tertinggal, meski aku tetap berjuang untuk bertahan ketika gelombang demi gelombang kekhawatiran semakin menjeratku.

Sejujurnya kurasa Tuhan seperti mempermainkanku. Aku percaya pada-Nya ketika aku meninggalkan bisnis yang kurintis. Aku percaya pada-Nya untuk mengarahkan langkahku kepada tujuan. Dan, aku percaya pada-Nya ketika aku berdoa dengan sungguh untuk menjalin relasi dengan kekasihku.

Namun, semuanya tampak hancur berantakan.

Dalam kehancuranku, aku coba tetap mengungkapkan segala ketakutanku akan masa depan kepada Dia yang mendengarkan doa-doa kita dan melihat air mata kita (2 Raja-raja 20:5). Kubuka Alkitabku untuk mendapati penghiburan dan harapan.

Lalu, garis pembatas antara harapan dan khawatir pun tergambar di benakku. Aku harus memilih untuk memihak ke mana: janji Tuhan atau tipu muslihat dari si jahat.

Peperangan dalam pikiran itu sungguh nyata. Sekarang saatnya untuk angkat senjata dan menghadapinya.

Jika kamu juga berjuang menghadapi kekhawatiran seiring kamu menjalani masa-masa yang sulit, ikutlah bersamaku mempraktikkan empat jurus ini, agar kita dapat menang dalam Kristus.

Jurus #1: Ingatlah kasih setia Tuhan

“Marilah kita teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita, sebab Ia, yang menjanjikannya, setia” (Ibrani 10:23).

Alkitab berulang kali menunjukkan kesetiaan Allah. Dia setia ketika menepati janji akan keturunan yang diberikan-Nya pada Abraham dan Sara; Dia setia ketika memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir menuju Tanah Perjanjian; Dia setia ketika memberkati Hana dengan seorang anak laki-laki; Dia pun setia ketika memberikan Juruselamat bagi dunia.

Ketika aku mendapati diriku bertanya, “Berapa lama, Tuhan?”, dan kekhawatiran menyergap hatiku, kuingatkan kembali diriku bahwa Tuhan setia pada janji-Nya. Di tahun-tahun yang lampau Tuhan telah menunjukkan kesetiaan, penyertaan, perlindungan, dan penghiburan bagiku.

Bagaimana mengaplikasikannya: Luangkan beberapa waktu untuk menuliskan kesetiaan Tuhan di masa-masa lalumu dan renungkanlah itu. Kamu akan melihat bahwa Tuhan sungguh baik dan dapat dipercaya.

Jurus #2: Bersukacitalah dan pujilah Tuhan

Raja Daud mengalami banyak masa sulit sepanjang hidupnya. Contohnya: ketika Saul berupaya untuk membunuhnya, Daud harus melarikan diri (1 Samuel 20-27). Lalu, anaknya sendiri mengkhianatinya (2 Samuel 15). Tapi, dalam segala kondisi, Daud tetap memilih bersukacitan dan memuji Tuhan.

Di Mazmur 22, Raja Daud memulainya dengan mengungkapkan ratapan dari hati yang pedih kepada Tuhan. Namun di akhir mazmurnya, Daud menaikkan pujian bagi Tuhan. Dia memuji Tuhan dalam penderitaannya karena dia percaya pada-Nya.

Jika Daud bisa membawa semua beban dan perasaannya pada Tuhan, artinya kita pun bisa melakukannya! Mengungkapkan isi hati pada Tuhan jauh lebih mudah daripada chat atau menelpon teman. Kita bisa berbicara dari hati ke hati dengan Tuhan kapan pun.

Tapi, janganlah kita berhenti sampai di sini saja. Iman dan kekuatan kita diperbaharui lewat pujian, seiring fokus kita bergeser dari masalah kita menuju kebesaran Tuhan.

Bagaimana mengaplikasikannya: Gunakan suaramu untuk memuji Tuhan. Temukan atau buatlah daftar lagu puji-pujian di ponselmu. Menyanyilah bagi Tuhan di rumahmu, di mobilmu, di manapun.

Jurus #3: Mengucap syukur

Hidup tak selalu manis seperti sepotong kue bolu, tetapi setiap harinya Tuhan memberikan kita banyak hal untuk kita mengucap syukur.

1 Tesalonika 5:18 berkata, “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.”

Berfokus pada apa yang tidak kita punya, yang tidak kita capai, atau apa yang telah hilang, bisa membawa kita kepada kepahitan, kebencian, dan ketidakpuasan. Mengubah fokus kita kepada berkat-berkat yang kita miliki bisa menolong kita menyingkirkan kegelapan dan menggantinya dengan cahaya kebenaran. Dan kebenarannya adalah: kita diberkati dengan berlimpah.

Sejak aku mulai menulis hal-hal yang bisa kusyukuri di buku harianku, aku tak lagi mendapati ada hari-hari di mana aku tak tahu hal apa yang bisa kusyukuri.

Janganlah kita asal-asalan menjalani hari. Jika kita punya makanan untuk dimakan, baju untuk dikenakan, dan kasur untuk tidur, baiklah kita mengucap syukur.

Bagaimana mengaplikasikannya: Buatlah daftar ucapan syukur, bisa di buku tulis atau catatan di ponsel. Berkomitmenlah untuk menuliskan setidaknya satu hal yang bisa kamu syukuri setiap harinya. Setelah beberapa waktu, coba evaluasi ulang.

Jurus #4: Merenungkan firman Tuhan dan temukanlah harapan

Sungguh suatu penghiburan karena kita bisa percaya bahwa firman-Nya itu benar, terlepas dari apa pun yang kita rasakan dan lihat (Yesaya 55:11).

Mazmur Daud menguatkan kita dalam masa-masa sulit dan masa-masa penantian. Beberapa mazmur favoritku adalah Mazmur 25:3, 27:13, 34:10, 34:18, 37:4, dan 46:1.

Satu ayat yang kupegang teguh dalam masa-masa sulitku diambil dari Keluaran 14:14 versi BIS:

“TUHAN akan berjuang untuk kamu, dan kamu tak perlu berbuat apa-apa.”

Ayat di atas adalah pesan Tuhan kepada bangsa Israel ketika mereka terjebak di tepi Laut Merah, padahal tentara Firaun semakin dekat dengan mereka. Dan, pesan itu jugalah yang masih berlaku bagi kita di masa kini. Ketika kita merasa kewalahan dan tak sabar, ingatlah janji-Nya itu.

Bagaimana mengaplikasikannya: Temukan ayat Alkitab yang berisi janji Tuhan dan renungkanlah itu. Kamu bisa jadikan ayat itu wallpaper di ponselmu, atau tulis lalu tempelkanlah di dindingmu.

Masa-masa sulit dalam hidupku masih berlangsung, tetapi roh yang menghadirkan damai sejahtera telah menolongku untuk menang mengatasi kekhawatiran di hati dan pikiranku (Filipi 4:6-7).

Kita memang tak tahu bagaimana masa depan kita, tapi jika kita mengenal Yesus, kita tahu siapa yang memegang masa depan itu. Kita bisa percaya dan teguh bahwa Dia yang memulai pekerjaan baik di dalam kita adalah setia, dan Dia jugalah yang akan memampukan kita menyelesaikannya (Filipi 1:6).

Baca Juga:

Menang Atas Dosa Favorit

Dosa itu menawarkan atau mengiming-imingi kita dengan suatu kenikmatan. Salah satu contohnya adalah dosa seksual. Makin kita terpikat, makin kita terjerat.

Mengatasi Kegelisahan

Hari ke-23 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 4:6

4:6 Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.

Bagiku, kedamaian adalah hal yang amat sulit dicerna pikiran. Aku mengerti konsepnya, tetapi aku belum pernah benar-benar merasakannya.

Lulus dari politeknik dengan nilai pas-pasan, aku takut tidak dapat diterima di universitas manapun. Aku menuliskan kata demi kata dalam esai sebagai syarat pendaftaran universitas dengan diiringi perasaan khawatir akan ketidakpastian. Air mata membasahi wajahku saat menyadari betapa kurangnya aku dibandingkan dengan teman-temanku yang berhasil meraih nilai memuaskan, ditambah lagi dengan pencapaian gemilang dalam ekstrakulikuler.

Aku tahu Tuhan itu baik dan setia. Namun tetap saja, rasanya tidak ada harapan bagi situasi yang sedang kualami. Jangankan menyerahkan semuanya kepada Tuhan, menenangkan diriku sendiri untuk berdoa saja aku tidak bisa.

Aku duduk di sofa hitam yang dingin, menunggu dipanggil untuk diwawancarai oleh pihak dari salah satu universitas yang kudaftarkan. Aku sangat takut. Aku merasa sulit bernapas. Sebuah ayat yang pernah kuhafalkan ketika masih anak-anak, Filipi 4:6-7, muncul di pikiranku. Kurenungkan ayat itu dan kuucapkan dalam hati. Lama kelamaan, pernapasanku menjadi lebih stabil dan aku pun berdoa. Saat aku menumpahkan semua perasaanku kepada Tuhan, damai sejahtera-Nya membasuhku. Ketenangan yang seperti itu belum pernah kurasakan lagi semenjak lima bulan yang lalu, ketika aku mulai mendaftarkan diri ke universitas.

Rasul Paulus menyatakan perintah yang absolut kepada jemaat Filipi, “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga”. Tidak ada kata “tetapi”, “jikalau”, atau pengecualian apapun. Meskipun Paulus sempat dipenjara (Filipi 1:13) sampai jemaat Filipi diterpa ajaran-ajaran sesat (3:2), Paulus tetap mendorong mereka untuk tidak mengizinkan hal-hal tersebut mengalihkan atau menjauhkan mereka dari sukacita kekal di dalam Kristus.

Apakah yang memberikan Paulus keberanian untuk mengatakan hal itu dengan segenap keyakinan dan kepercayaan diri yang tinggi? Yesus sendiri yang memerintahkan kita tiga kali dalam Matius 6 untuk tidak menyerah pada kekhawatiran dan kegelisahan (ayat 25, 31, dan 34). Kita tidak perlu khawatir karena sebuah kebenaran: Tuhan memedulikan kita dan Ia akan memenuhi semua kebutuhan kita.

Memerangi kegelisahan jauh lebih mudah untuk dikatakan daripada dilakukan. Namun, Paulus memiliki satu anjuran yang sederhana untuk kita lakukan: berdoa. Apabila kita percaya sepenuhnya akan kedaulatan Tuhan dalam segala situasi, kita dapat menyerahkan keadaan kita kepada-Nya. Percayalah bahwa Ia akan “bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia” (Roma 8:28).

Paulus mendorong kita untuk berdoa dengan “ucapan syukur” bukan hanya ketika kita membutuhkan sesuatu dari Tuhan, tetapi “dalam segala hal”. Memiliki sikap bersyukur sangatlah penting. Dengan bersyukur, kita diingatkan bahwa Tuhan sudah mengaruniakan kepada kita hadiah terindah yang akan memberikan kita kepuasan sejati: Yesus, putra tunggal-Nya. Apapun selain daripada-Nya, tidak lagi kita butuhkan dan tidak layak kita dapatkan. Ungkapan syukur datang dari sebuah kesadaran bahwa semua yang kita miliki dari Tuhan murni karena kasih karunia-Nya. Kita pun akan dimampukan untuk melihat dengan penuh kerendahan hati bahwa Tuhan tidak berkewajiban untuk memberikan kita segala hal yang kita minta, Ia justru telah menyediakan semua yang kita butuhkan dalam kelimpahan. Dengan pemahaman itulah kita dapat benar-benar bersukacita (ayat 4).

Ketika aku menghadap Tuhan dengan sikap bersyukur dan menyatakan keinginanku kepada-Nya, aku merasa lebih mudah untuk melepaskan kegelisahan. Doa harus menggantikan posisi kekhawatiran dalam hidup kita. Doa meluruskan kembali pikiran dan perilaku kita, lalu mengembalikan hadiah berharga yaitu kedamaian sejati yang datangnya hanya dari Tuhan.

Pada akhirnya, aku tidak berhasil lolos seleksi di jurusan yang kuinginkan. Tetapi, aku menerima hal lain yang jauh lebih berharga dari hal yang sebelumnya kuinginkan. Aku memperoleh pembelajaran bahwa ketika aku menyerahkan segala ketakutanku kepada Tuhan, Ia akan menjaga hati dan pikiranku dengan damai yang memberi ketenteraman. Tuhan sungguh-sungguh memegang kendali. Ia menggenggam kita erat-erat dengan tangan-Nya, dan Ia takkan pernah meninggalkan kita. Bagiku, itu sudah lebih dari cukup. Aku harap kamu dapat merasakan hal yang sama.—Constance Goh, Singapura

Handlettering oleh Agnes Paulina

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Apa yang kamu lakukan ketika kamu sedang gelisah? Apakah kamu menyerahkan segala kekhawatiranmu kepada Tuhan, “dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur”?

2. Bagaimanakah sikap penuh syukur dapat mengubah perspektif kita terhadap situasi yang kita hadapi?

3. Catatlah hal-hal yang membuatmu gelisah belakangan ini. Dengan tuntutan dari Paulus dalam ayat hari ini, tuliskanlah dengan sepenuh hati doamu secara pribadi kepada Tuhan.

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Constance Goh, Singapura | Constance merasa amat senang ketika dia bisa bekerja bersama anak-anak dan menikmati segelas bubble tea. Firman Tuhan itu manis, menjadi pengingatnya setiap hari akan kasih setia Tuhan bagi anak-anak-Nya.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Tolong! Aku Ingin Bebas dari Overthinking

Oleh Rachel Moreland
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Help! I Can’t Stop Overthinking

Tanganku bergetar, aku lalu membuka ponselku dan mencari tahu mengapa.

Googling.

Beberepa detik kemudian, aku membaca satu artikel tentang tumor otak.

Sakit kepala? Iya.

Penglihatan sedikit terganggu? Iya.

Nah, kamu mengalami dua gejala ini!

Tapi, ada gejala-gejala lain yang ditulis di artikel itu tidak aku alami.

Tapi, kamu sudah mengalami dua gejala loh! Kamu harus ke dokter. Gimana kalau ternyata kamu terkena tumor otak?

Setelah beberapa minggu mengalami gangguan penglihatan, aku pun menghubungi dokter. Aku merasa seperti hendak dihukum mati. Pikiran ini terus menghantuiku dan sulit untuk tidak memikirkannya.

Bagaimana jika ternyata kamu terkena tumor otak? Stop!

Mungkin tumor otak itulah sebabnya kamu mengalami gangguan penglihatan. Stop sekarang juga!
Pikiranku terus berpikir yang tidak-tidak. Tiap kali pikiran itu datang, aku selalu berkata “stop”. Aku tidak ingin pikiran-pikiran ini membuatku berpikir semakin buruk.

Dengan derai air mata, aku memohon kepada sang dokter untuk melakukan tes atau uji lab. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi supaya ketakutanku hilang.

Setelah menjalani tes selama satu jam, aku malu karena hasilnya. Seluruh waktu dan energiku dihabiskan untuk khawatir. Sakit kepala dan gangguan penglihatanku ternyata terjadi karena tekanan pikiran, atau stress.

“Stress?” aku membuang ingusku ke tisu.

“Iya. Kamu butuh istirahat lebih,” kata dokter itu seraya menyerahkan lebih banyak tisu kepadaku. Lalu, dia memberiku beberapa nasihat.

“Jika kamu terus memikirkan hal-hal yang buruk, kamu akan mendapati itu terjadi.”

Dokter itu menambahkan, ketakutan kita memiliki kekuatan untuk mengarang sesuatu menjadi ada. Jika kita membiarkan imajinasi kita tidak terkendali, itu dapat menyebabkan masalah buat kta.

Mungkin kamu belum pernah mengalami kepanikan seperti yang kualami, tapi tentu ada suatu hal dalam hidupmu yang membuatmu khawatir terus-menerus: relasimu, pekerjaanmu, kesehatanmu, keuanganmu, pergumulan hidupmu.

Semakin kita fokus kita berlebihan kepada suatu hal, semakin besar juga kesempatan untuk si musuh menekan kita dengan kekhawatiran, sama seperti ketika imajinasiku akan sakitku akhirnya mengantarku ke dokter.

Masalah pola pikir yang destruktif ini sudah ada dalam hatiku selama beberapa waktu, dan aku telah belajar kalau aku bisa mengendalikan pikiran dan imajinasiku—kita harus melakukannya! Kenyataannya, perasaan kita bisa saja mengarahkan kita pada jalan yang salah dan tidak selalu perasaan itu harus dipercaya. Ketika aku menyadari betapa banyaknya waktuku terbuang hanya untuk mendengarkan suara-suara dari pikiranku alih-alih suara Tuhan, aku tahu aku harus berubah. Aku perlu belajar untuk mendengar dan menerima suara-suara yang benar.

Mengendalikan imajinasi kita

Imajinasi kita adalah bagian yang indah, luar biasa, dan inspiratif dari diri kita. Imajinasi kita adalah tempat lahirnya ide-ide brilian, keren, dan kreatif.

Tapi, imajinasi itu bisa juga membelenggu kita jika kita membiarkannya tidak terkendali.

Kawan, dengarkanlah aku. Ada pertempuran yang sedang terjadi sekarang ini. Dan, pertempuran itu bukanlah pertempuran fisik (Efesus 6:12). Musuh-musuh kita berusaha mengisi pikiran kita(2 Korintus 10:3-5). Tapi, syukurlah karena kita tidak perlu takut. Tuhan memiliki tujuan bagi setiap kita, tujuan yang mulia. Tuhan telah mengungkapkan janji-Nya kepada kita (Yeremia 29:11, Ibrani 13:5, 1 Petrus 5:6-7). Sekarang yang perlu kita lakukan adalah mengatakan itu semua kepada diri kita.

Aku tidak tahu cara lain yang lebih hebat untuk mengalahkan pikiran negatif selain dari merenungkan firman Tuhan. Firman Tuhan menolong kita mengambil alih kendali pikiran dari hal-hal buruk kepada hal-hal yang baik.

Kita harus berhenti mendengarkan pikiran kita yang mengembara ke mana-mana dan mulai mendengar apa yang Tuhan katakan, tentang rencana-Nya bagi kita.

Jika ada suatu hal yang telah kupelajari dari peristiwa-peristiwa aku dilanda kepanikan, itu adalah pemahaman bhwa hidup kita cenderung mengikuti apa yang kita pikirkan. Keberanian dan ketakutan datang dari pikiran kita sendiri.

Daripada menjadikan kekhawatiran sebagai penggerak dari tiap tindakanku, aku mau doa dan komitmen rohaniku menjadi respons utama yang kulakukan ketika hidup berjalan tidak sesuai rencana.

Aku tidak mengajak kita untuk mengabaikan saja masalah-masalah kita. Hanya, kita perlu bersikap realistis dan hadapilah tiap masalah dengan solusi-solusi praktis dan hikmat Alkitab. Namun, kita juga perlu mengingatkan diri kita untuk selalu terhubung dengan Tuhan. Suara Tuhan sajalah yang seharusnya menggerakkan hidup kita.

Sekarang aku bergulat dengan kebenaran ini. Aku sedang berproes untuk menuju tempat di mana aku bisa melihat masalah-masalahku lebih luas dan tidak menjadi terpuruk karenanya. Aku mau berpegang teguh pada janji Tuhan. Melalui Alkitab, Tuhan telah berjanji akan menjaga setiap anak-anak-Nya, dan aku pun tahu Dia akan menjaga dan mengangkatku melewati setiap kesulitan yang kuahdapi. Jadi, aku akan berusaha mengingat kebenaran ini.

Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engku dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau. Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal. Rancanganku adalah rancangan damai sejahtera untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan. (Ibrani 13:5, Yeremia 31:3, Yeremia 29:11).

Baca Juga:

Pelayanan, Sarana Aku Bertumbuh di dalam Tuhan

Apa yang kamu lakukan ketika diberi kesempatan melayani?